SALAH PROSEDUR HUKUM PERTANAHAN

SALAH PROSEDUR HUKUM PERTANAHAN

๐Ž๐ฅ๐ž๐ก: Turiman Fachturahman Nur SH M Hum

๐๐-Menganalisis kasus bentrok antara warga kampung tua di Rempang Galang dengan BP Batam, terjadi karena di SK Walikota Batam nomor 105 tahun 2004 kawasan kampung tua tidak termasuk dalam rencana lahan investasi PT Megah Elok Graha (MEG) milik taipan Tomy Winata. Mengapa karena hasil analisis mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMRAH Batam, Prof. Dr. M. Syuzairi, M.Si., SK 105 tahun 2004 dipakai sebagai pengganti skema keterbatasan pihak Otorita Batam dalam mengelola lahan di Rempang Galang. Pada kategorisasi ini secara hukum ,bahwa pada saat rencana investasi PT MEG di Rempang Galang pihak Otorita Batam belum memiliki kewenangan atas lahan disana, maka dipakailah SK Walikota Batam untuk mengatur posisi hukum kampung tua.

โ€œTetapi di dalam SK itu ditegaskan, bahwa kampung tua bersama fasilitas sosial dan umumnya tidak termasuk dalam bagian rencana investasi PT MEG. Oleh sebab itu, wajar jika mereka menolak dipaksa untuk relokasi,โ€ ujar Syuzairi, yang juga mantan pejabat Pemko Batam melalui saluran telepon selulernya, Selasa (12/9/2023).

Tetapi sekarang pihak BP Batam memaksa masyarakat kampung tua untuk keluar dari kawasan eco city milik Taipan Tomy Winata, berarti sudah terjadi kesalahan besar, atas dasar hukum apa ?
Ternyata saat Otorita Batam didirikan di Batam masih menggunakan Keppres 41 tahun 1973 dengan kewenangan hak pengelolaan lahan yang ada di Batam saat ini, kemudian atas kebutuhan lahan yang lebih luas untuk pengembangan kawasan industri maka Pemerintah menerbitkan Keppres 28 tahun 1992 dengan memasukan kawasan Rempang Galang dan sekitarnya sebagai wilayah tambahan Otorita Batam.

Dalam subtansiย  Keppres 28 tahun 1992 bukan mutatis dan mutandis seperti pengelolaan kawasan di daerah Batam, namun harus diatur dalam peraturan Menteri Agraria, artinya ada regulasi imperatif.

Atas kebutuhan itu, maka keluarlah Peraturan Menteri Agraria nomor 9/VIII tahun 1993 tentang kesediaan hak mengelola lahan di Rempang dan Galang kepada pihak otorita Batam, dengan syarat sesuai dengan Kepmendagri 77 yang merupakan turunan Keppres 41 tahun 1973 dimana tanah, tanaman wajib diganti rugi oleh pihak Otorita Batam, disini pangkal persoalan lokus dimana apakah termasuk wilayah Rempang Galang.

Prosedur hukum Pertanahan atau tiindak lanjutnya, setelah itu baru diajukan kepada BPN untuk mendapatkan sertifikat hak pengelolaan lahan. Setelah mendapatkan hak ini barulah Otorita Batam memiliki hak atas tanah Rempang Galang secara keseluruhan. Yang menjadi pertanyaan hukum apakah sudah terbit HPL tersebut?

Realitas hukumnya sampai hari ini, pihak Otorita Batam masih belum memiliki sertifikat hak pengelolaan lahan di Rempang Galang. Yang baru keluar dari Kementerian Agraria adalah SK HPL Bersyarat untuk hanya beberapa ratus hektar lahan saja di Rempang Galang. Sebab kawasan hutan tidak boleh dikeluarkan HPL.

Jadi, dalam kaitan investasi di Rempang Galang saat ini seharusnya belum boleh ada kegiatan. Sebab MoU antara BP Batam dan PT MEG di Agraria beberapa waktu lalu baru bersifat kesepakatan belum bisa bersifat eksekusi. Namun harus dilakukan persyaratan clear and clean dulu terhadap lahan di Rempang Galang.

Nah, kaitannya pada saat PT MEG mengajukan ijin pembukaan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di Kawasan Rempang Galang, Pemerintah Kota Batam menerbitkan SK 105 tahun 2004 tentang Fasus dan Fasos serta Kampung Tua, tidak termasuk dalam rencana lahan investasi MEG. Artinya dia enclave, dikeluarkan. Itu yang menjadi dasar bagi masyarakat untuk bertahan. Dan secara turun temurun masyarakat dilahirkan disana, otomatis dia menjadi bagian dari tempat lahirnya.

Belum lagi ada pesan pesan dari warisan orang tuanya, neneknya supaya kampungnya tetap dijaga. Biasanya orang Melayu, atau suku lain jika menerima amanah itu selalu menjaga amanah itu. Itulah dasarnya mereka bertahan.

Kenapa masalah Rempang ini berlarut karena pemerintah tidak mendengarkan aspirasi warga. Mereka asyik menawarkan relokasi dengan janji akan diberikan lahan pengganti 500 M3, lalu dibangun rumah seluas 45 M3 dengan anggaran Rp120 juta.

Sementara rumahnya belum ada, masyarakat sudah diminta, dalam waktu dekat, harus keluar dan tinggal di rusun Pemko dan Otorita, dan ditanggung biaya hidupnya Rp1 juta lebih dalam sebulan. Jadi Otomatis masyarakat menolak.

โ€œJadi solusi yang harus diambil adalah pemerintah tetap mempertahankan status kampung tua, tanpa menghambat proses investasi yang telah dijanjikan,โ€ ujarnya”

Apalagi luas lahan kampung tua itu hanya 1000 hektar saja, tidak cukup 10 persen dari total luas lahan di Rempang Galang yang mencapai 17.000 hektar lebih.
Kenapa tidak berpikir untuk menschedule ulang. Artinya carilah lahan kosong yang tidak menyasar kampung kampung tua itu.
Kemudian harus ada kajian kalau lokasi kampung tua itu berdampak langsung terhadap kawasan industri, maka diupayakan dipindahkan tidak jauh dari lokasi kawasan industri, sehingga masyarakatnya bisa hidup dari aktifitas diluar industri itu. Misal menyewakan rumah untuk kosan pekerja dan berjualan makanan.
Sebab kawasan industri yang berdampak lingkungan kan wajib dipagari, tidak boleh di alam terbuka, sementara kampung tua yang tidak terdampak diusahakan menjadi kampung wisata, kampung percontohan, artinya ada pemberdayaan dahulu kampung tua jika berkaitan dengan destinasi wisata alam, bukan mengabaikan masyarakat kampung tua.
Terhadap objek kegiatan masyarakat seperti berkebun dan pantai, jika tidak terdampak maka menjadi mitra perusahaan, dimana perusahaan bisa menjadi bapak angkat.

Mengapa perusahaan tetap memaksakan masyarakat keluar, karena mereka ingin melaksanakan konsep eco city itu secara total dan tidak mau melibatkan masyarakat. Ini kan konsepnya salah dan kebijakan yang keliru, contoh Batam saja, membangun kawasan industri tetap bertetangga dengan masyarakat, dan tidak menggeser kampung kampung lama. Misal, Tanjung Uma, Batu Besar, dan lainnya. Sekarang mengapa 16 titik kampung tua itu harus direlokasi, kecuali perkampungan yang tidak padat penduduk bisalah direlokasi ke tempat lain, tetapi perkampungan tua yang ada sebaiknya dipermanenkan dengan anggaran relokasi sehingga sesuai pula dengan konsep eco city yang mau dibuat. Dengan demikian secara prosedur hukum Keppres 28 tahun 1992 bukan berarti mutatis dan mutandis pengelolaan kawasan seperti daerah Batam, namun harus diatur dalam peraturan Menteri Agraria.
Keluarlah Peraturan Menteri Agraria 9/VIII tahun 1993 kesediaan hak mengelola lahan kepada pihak otorita Batam, dengan syarat sesuai dengan Kepmendagri 77 yang merupakan turunan Keppres 41 tahun 1973 dimana tanah, tanaman wajib diganti rugi. Setelah itu baru diajukan kepada BPN untuk mendapatkan sertifkat hak pengelolaan lahan setelah mendapatkan hak ini barulah Otorita Batam memiliki hak atas tanah Rempang Galang,artinya
pihak Otorita Batam masih belum memiliki sertifikat hak pengelolaan lahan di Rempang Galang. ( ๐ญ๐ฎ๐ซ๐ข๐ฆ๐š๐ง )

CATEGORIES
Share This