Dalilnya, Rehabilitasi = Hukuman Penjara
BN – Hukuman rehabilitasi secara yuridis kedudukannya sama dengan hukuman penjara bagi penyalah guna untuk diri sendiri, dari segi manfaatnya hukuman rehabilitasi lebih bermanfaat dari pada hukuman penjara, dapat memulihkan seperti sediakala sehingga hukuman rehabilitasi merupakan model hukuman non kriminal yang justru untuk menghilangkan, setidak tidaknya menekan bisnis narkotika baik dari sisi demand maupun sisi supply. Hukuman rehabilitasi diperkenalkan secara jelas sebagai bentuk hukuman di Indonesia melalui Undang Undang (UU) no 35 tahun 2009 tentang narkotika melalui pasal 103/2 yang menyatakan masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
Kewenangan menjatuhkan hukuman rehabilitasi diberikan kepada hakim berdasarkan pasal 103/1 menyatakan, dalam memutus perkara pecandu (perkara penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan, hakim dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi bila terbukti “bersalah” dan mengambil tindakan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti “tidak bersalah”. Kewenangan upaya paksa juga diberikan kepada penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menempatkan tersangka atau terdakwa perkara penyalah guna untuk diri sendiri kedalam lembaga rehab pada semua tingkat pemeriksaan sebagai “ganti” menahan (PP 25 /2011 pasal 13). Masa menjalani rehabilitasi pada saat proses pemeriksaan ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan dihitung sebagai masa menjalani hukuman. Tempat rehabilitasi menjalani hukuman adalah rumah sakit yang ditunjuk menteri kesehatan (pasal 56)
Nyatanya penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan (pecandu) sekarang ini jumlahnya lebih dari 40 ribu yang ditahan dan dihukum penjara dilingkungan Lapas. Pertanyaan rasionalnya mana yang lebih bermanfaat bagi kita, bangsa dan negara ? Hukuman rehabilitasi atau hukuman penjara.
Menurut sejarahnya hukuman rehabilitasi itu sudah teruji jauh lebih bermanfaat dibanding hukuman penjara, kalau penyalahguna dipenjara justru akan menjadi bencana. Sejarah berlakunya hukuman rehabilitasi secara global terhadap penyalahgunaan narkotika terkait erat dengan Konvensi Internasional. Pada tanggal 23 Januari 1912 digelar Konvensi Opium Internasional di Den Haag, Belanda. Konvensi ini ditandatangani oleh 12 Negara yang melakukan pengaturan penjualan terhadap empat jenis narkotika, yaitu Opium, Heroin, Morfin dan Kokain, dan tidak melarangnya untuk penyalahgunaannya. Penyalahguna tidak dilarang, pengedar juga tidak dilarang. Pada era ini baik pengedar (drug traffickers) maupun pembeli (drug user) tidak dikriminalkan.
Pelarangan penjualan dan mengkonsumsi narkotika dimulai sejak dikeluarkannya Single Convention Narcotics 1961. Amerika mempelopori kebijakan pelarangan penyalahgunaan narkotika. Konvensi ini memaksa setiap negara anggota mengkriminalisasikan pelaku tindak pidana peredaran dan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Pada era ini hukuman penjara berlaku bagi pengedar maupun penyalahgunaannya. Era ini Amerika beserta beberapa negara Eropa menyatakan perang terhadap Narkotika dipimpin langsung oleh Presiden Nixon dengan cara menangkapi penyalahguna maupun pengedar diproses dan dijebloskan ke dalam penjara.
Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun setelah Amerika memimpin perang melawan narkotika dengan cara memenjarakan siapa saja, baik para penyalahguna maupun pengedar. Cara perang model America ini disamping menghabiskan dana dan energi besar, penyalahguna justru bertambah banyak dan kebutuhan narkotika illegal meningkat, bisnis narkotika tambah ramai. Amerika malah menjadi sasaran bisnis narkotika. Dalam sejarah perang melawan narkotika, Amerika menghasilkan generasi muda pecandu yang dikenal dengan generasi hippies atau generasi flamboyant. Pada titik ini ada kesamaan model penegakan hukum di Indonesia sekarang dengan model penegakan hukum ketika jaman Nixon.
Pada tanggal 21 Februari 1971 dalam Single Konvention on Psychotropics Substainces di Vienna tahun 1971 dilaksanakan pembahasan akan arti penting rehabilitasi mulai dilakukan. Dalam konvensi ini mulai dilakukan pengecualian hukuman terhadap penyalahguna narkotika dan psikotropika, mengganti hukuman penjara menjadi perawatan, pendidikan, after-care maupun re-integrasi sosial.
Akhirnya, pada tahun 1972 dilakukan amandemen terhadap The Single Convention Narcotic Drugs 1961 dengan protokol 1971. Protokol tersebut ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1972 yang menekankan perawatan dan rehabilitasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika. Protokol tersebut juga menambahkan hal penting mengenai perawatan, pendidikan, after-care maupun re-integrasi sosial sebagai alternatif pengganti hukuman terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika. Sejak saat itu lah secara universal hukuman rehabilitasi diperkenakan sebagai alternatif hukuman menggantikan hukuman penjara.
Pada tahun 1976 Indonesia mengadopsi The Single Convention on Narcotic drugs 1961 beserta protokol yang mengubahnya menjadi UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1976 beserta protokol yang mengubahnya, memuat ketentuan baik penyalah guna maupun pengedar dilarang, terhadap penyalah guna diberikan alternatif hukuman berupa rehabilitasi terhadap pengedar dihukum sesuai ketentuan perundang undang yang berlaku.
Atas dasar UU no 8 tahun 1976 tersebut diatas maka dibuatlah UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika ( UU narkotika pertama) memuat hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna dan hukuman penjara bagi pengedar. Pada masa itu penyalah guna untuk diri sendiri diancam dengan hukuman maksimum 3 tahun penjara (pasal 36 ayat 7). Hakim dalam memutus perkara pidana penyalahgunaan narkotika diberi kewenangan “dapat” memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan perawatan atas biaya sendiri (pasal 33). Pada era UU no 9 tahun 1976 hukuman rehabilitasi sudah exsis sebagai alternatif hukuman bagi penyalah guna untuk diri sendiri namun tidak pernah digunakan untuk menghukum penyalah guna untuk diri sendiri.
Pada tahun 1999 Indonesia mengadopsi konvensi perserikatan bangsa bangsa tentang pemberantasan peradaran gelap narkotika dan psykotropika menjadi UU no 7 tahun 1997 selanjutnya dibuatlah UU narkotika baru no 22 tahun 1997.
Pada era UU narkotika no 22 tahun 1999 penyalah guna diperlakukan secara represif, hukuman rehabilitasi tidak diatur sehingga penyalah guna yang berhubungan dengan penegakan hukum praktis dihukum penjara. Penyalah guna narkotika untuk diri sendiri diancam dengan hukuman penjara maksimal 4 tahun penjara (pasal 85). Penyalah guna yang relap setelah mendapat hukuman penjara dalam waktu 5 tahun, hukuman pidana nya ditambah sepertiga dari pidana pokok. Pada masa ini penyalah guna untuk diri sendiri dan pengedar diperlakukan secara represif total.
Pada sidang High Level Segment Commission on Narcotic Drugs di Wina pada tanggal 11-12 Maret 2009 yang juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah Indonesia, menghasilkan Political Declaration And Plan Of Action of 2009. Deklarasi politik ini mendasari adanya keseimbangan langkah demand reduction dan supply reduction. Keseimbangan langkah inilah yang dijadikan dasar oleh negara-negara peserta sidang dalam mengambil langkah mengatasi permasalahan narkotika dengan penekanan akan pentingnya upaya pencegahan, perawatan terhadap penyalah guna narkotika dan upaya pemberantasan terhadap peredaran narkotika.
Dengan semangat Political Decklaration And Plan Of Action of 2009 digantilah UU no 22 tahun 1097 menjadi UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dimana keseimbangan langkah penanganan demand reduction (penyalah guna dan pecandu disatu sisi) dan supply reduction (pengedar disisi lain). Oleh karena itu tujuan dibuatnya undang disebutkan secara tegas terhadap demand (penyalah guna, pecandu) dicegah, dilindungi, diselamatkan dan dijamin untuk mendapatkan upaya rehabilitasi sedangkan terhadap supply (pengedar dan kejahatan yang berhubungan dengan peredaran) diberantas. Sehingga visi penegakaan hukum bersifat rehabilitatif terhadap penyalah guna dan visi penegak hukum bersifat represif kepada pengedar
Pada UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, sekarang ini exsistensi hukum diatur sangat jelas dalam pasal 103 dinyatakan masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman. Kewenangan menjatuhkan hukuman juga diberikan kepada hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna dalam keadaan ketergantungan (perkara pecandu) hakim diberi kewenà ngan menjatuhkan hukuman rehabilitasi
Dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengacu pada pendekatan Balance Aproach tersebut diatas. Terhadap demand reduction digambarkan melalui kegiatan:
Pertama, pencegahan penyalahgunaan narkotika, ditujukan untuk membentengi masyarakat agar terlibat penyalahgunaan narkotika, sasarannya adalah masyarakat yang belum pernah terlibat dengan penyalahgunaan narkotika agar tidak menjadi penyalah guna, dan tidak menjadi pengedar.
Kedua, rehabilitasi penyalah guna dan pecandu narkotika. Penyalah guna untuk diri sendiri digambarkan sebagai penjahat diancam dengan pidana pidana ringan maximum 4 tahun penjara. Penyalah guna tersebut diwajibkan untuk melaporkan pada rumah sakit yang ditunjuk agar sembuh, bagi yang melaksanakan wajib lapor akan diassesmen dan dinyatakan sebagai pecandu, status kriminalnya berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2/3 ), tujuan rehabilitasi adalah menyembuhkan kondisi sakit ketergantungan narkotika terhadap para penyalah guna dan pecandu agar pulih dari penyakit adiksi / ketergantungan narkotika.
Kalau tidak memenuhi kewajiban wajib lapor maka dipaksa oleh penegak hukum dilakukan penangkapan, tidak ditahan (pasal 21 KUHAP) , ditempatkan dilembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum (PP 25/2011 pasal 13), di dalam sidang pengadilan, hakim wajib menghukum rehab (pasal 127/2) berdasarkan kewenangan rehabilitatif, bila terbukti bersalah dihukum rehab, bila tidak terbukti bersalah juga dihukum rehab (baca: pasal 103), tempat menjalani rehab rumah sakit yang ditunjuk menteri kesehatan.
Terhadap supply reduction digambarkan sebagai penjahat dengan ancaman berat lebih dari 5 tahun penjara, tujuannya diberantas, dalam proses penegakan hukum dilakukan penahanan karena memenuhi sarat ditahan (pasal 21) hakim diberikan kewenangan berdasakan KUHAP untuk menghukum penjara agar jera sesuai sistem peradilan pidana.
Meskipun penyalah guna dan pengedar sama sama sebagai pelaku kriminal namun penyidikan dan penuntutannya tidak boleh disidik dituntut secara subsidiaritas atau di- yunto-kan apalagi secara komulatif dengan pasal pengedar karena beda tujuan dan beda misi penegakan hukumnya.
Terhadap penyalah guna tujuan penegakan hukumnya adalah melindungi, menyelamatkan dan menjamin penyalah guna mendapatkan rehabilitasi, untuk mencegah menggunakan narkotika lagi, terhadap pengedar harus diberantas. Demikian pula misi penegakaan hukumnya terhadap penyalah guna bersifat rehabilitatif sedangkan terhadap pengedar misinya represif.
Oleh karena itu saya mengajak kepada penegak hukum dan masarakat hukum ayo merubah cara berpikir kita untuk melindungi dan menyelamatkan penyalah guna dalam keadaan tergantungan narkotika dengan cara direhabilitasi guna mencegah mereka agar tidak mengkonsumsi narkotika lagi.
Jangan lagi memenjarakan penyalah guna yang membawa sabu 0,02 atau 0,03 gram.
Konsultasi masalah narkotika dapat dilakukan melalui no wa 08111285858.