Beratnya Mengobati “Orang Kuat” Indonesia
JAKARTA, berantasnews.com Setelah berjuang selama 24 hari, tim dokter kepresidenan hanya bisa pasrah ketika mantan orang nomor satu di Indonesia itu mengembuskan napas terakhir, Minggu (27/1/2008) pukul 13.10 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, akibat kegagalan multiorgan.
Ketika meninggal dunia, tutur koordinator medik tim dokter kepresidenan Prof Djoko Rahardjo, semua alat bantu masih terpasang. Pada Sabtu (26/1/2008) malam, kondisi Soeharto stabil, suplai oksigen dari alat bantu pernapasan 30 persen, tekanan darah normal, dalam kondisi sadar, bahkan mengucap amin ketika didoakan keluarganya.
Minggu pukul 03.00, kondisinya memburuk. Tekanan darah turun drastis sehingga diberi obat-obatan untuk menaikkan tekanan darah. Batang otak sudah tidak mampu merespons. Dokter spesialis bedah syarat Prof Satya Negara yang turut merawat Soeharto mengatakan, tim dokter telah memeras kemampuan untuk membantu Soeharto.
“Kemampuan jantung merosot, tidak mampu lagi memompa darah, sehingga terjadi gangguan pada suplai oksigen di tingkat seluler. Jadi, organ-organ tubuh tidak mendapat suplai oksigen. Ini diperparah perdarahan pada lambung,” ujar ahli jantung Muhamad Munawar. Akibatnya, terjadi kegagalan multiorgan.
Pada Sabtu (12/1/2008) juga terjadi kegagalan multiorgan jantung, paru, dan ginjal. Soeharto terbantu ketika dipasang ventilator, dilakukan resusitasi (pemulihan denyut jantung), serta diberi obat untuk menidurkannya. Kondisinya membaik.
Kondisi kesehatan Soeharto saat masuk rumah sakit ini adalah yang terparah dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini diperberat dengan usia lanjut, ditambah riwayat kesehatan, seperti stroke ringan, batu ginjal, dan gangguan jantung.
“Perawatan pasien geriatri (usia lanjut) dengan penurunan fungsi pada berbagai organ tubuh sulit dilakukan,” ujar ahli anestesi Christian A Johannes.
Semua tindakan yang dilakukan seolah pisau bermata dua. “Kami semua takut salah karena yang ditangani adalah mantan presiden. Apalagi media menyorot setiap tindakan yang dilakukan,” kata Munawar. Mereka dicecar pertanyaan oleh wartawan. Pertanyaan itu kadang-kadang terasa memojokkan.
Bekerja di bawah sorotan media adalah bagian dari risiko tugas tim dokter kepresidenan yang beranggotakan 36 dokter ahli itu, antara lain dari Rumah Sakit Pusat Pertamina, RS Pusat Angkatan Darat, RS Jantung Harapan Kita, RS Pondok Indah, dan RS Medistra.
Nyaris setiap hari mereka menggelar jumpa pers, menjelaskan kondisi terakhir kesehatan Soeharto. Belum lagi wawancara khusus. Mereka bekerja di bawah tekanan publik karena mereka mengobati mantan presiden yang pernah berkuasa selama 31 tahun di negeri berusia 62 tahun ini.
“Harus diakui, kami stres sebab Pak Harto kan bukan pasien biasa, tetapi mantan Presiden RI. Apalagi media memberitakan yang aneh-aneh,” kata Christian.
“Secara profesional kami tidak pernah ragu. Namun, ada pertimbangan nonmedik yang harus dipikirkan. Kami harus memberi keterangan berulang kali sampai keluarga mengerti, juga harus ada izin tertulis dari keluarga untuk memberi keterangan pers,” kata Djoko. (BN)