Revolusi Pendidikan Menteri Nadiem?
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah MONASH INSTITUTE, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.
BN – Tulisan ini saya buat dalam perjalanan dari Semarang ke Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) di Desa Mlagen, di pinggiran Kabupaten Rembah, Jawa Tengah. Sekolah ini kami bangun karena keprihatinan dan sekaligus idealisme sebagaimana digaungkan oleh Pak Menteri Nadiem. Teribosan yang kami buat, selalu mendapatkan hambatan.
Namun, kini ada celah jika yang dikatakan Pak Menteri benar-benar dilaksanakan. Namun, tetap saja, ada satu kekhawatiran bahwa gagasan besar Pak Menteri akan menjadi sekedar kata indah yang tak bisa diwujudkan sebagaimana jargon revolusi mental.
Dalam kata-kata, Menteri Nadiem sudah mengajukan perubahan yang nampak besar dalam pendidikan. Tahun 2020 UN akan dihapuskan, karena hanya membuat tidak hanya anak stress, tetapi juga guru dan orang tua. Yang juga menarik adalah menjadikan literasi dan numerasi sebagai yang utama. Kemampuan pertama yang harus dimiliki semua manusia adalah berbahasa. Bahkan para filsuf Yunani Kuno membangun perspektif yang kemudian dikenal dalam tradisi filsafat Islam bahwa al-insaan hayawaanun naathiqun, manusia adalah hewan yang berbicara.
Kemampuan berbicara sesungguhnya adalah kemampuan berlogika. Itulah sebab, muncul istilah manthiq, logika; yang banyak digunakan dalam disiplin ilmu fikih. Dengan kemampuan bahasa itulah, komunikasi bisa terjadi. Dalam proses belajar yang di dalamnya ada transfer pengetahuan dan nilai, komunikasi merupakan sebuah keniscayaan. Untuk memahamkan konsep berhitung, komunikasi juga menjadi keniscayaan. Kemampuan dalam literasi adalah sebuah tanda kuat bahwa kemampuan berbahas juga sangat baik.
Dalam melihat semua itu Menteri Nadiem tepat. Hanya satu yang kurang tepat, yakni soal menghafal. Mungkin karena Pak Menteri tidak memiliki pengalaman tentang pentingnya menghafalkan al-Qur’an. Dan ini pun masih bisa diperdebatkan, karena maksud kritiknya terhadap menghafal juga adalah menghafal tanpa tahu maksudnya. Jadi, pernyataannya tentang menghafal itu bisa diabaikan untuk sementara.
Untuk melakukan perubahan itu, diperlukan berbagai prasyarat dasar. Menghapus UN misalnya, kalau dilakukan hanya karena mengekor negara-negara lain yang dinilai sudah maju dalam pendidikan, sementara prasyaratnya tidak dipenuhi, justru akan menjadi malapetaka. Assesment yang direncanakan akan dijadikan sebagai pengganti, ujungnya nanti akan sama saja. Beda nama, substansinya sama. Sebab, jika tanpa UN kemudian hasil proses pendidikan ternyata justru makin buruk, maka para orang tua akan tetap memasukkan anak-anak mereka untuk mengikuti bimbingan belajar. Mereka juga akan stress karena masalah kelanjutan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi yang menjadi harapan.
Tentang bebas ujian, pesantren memiliki pengalaman yang jauh lebih dulu. Sebagian pesantren memang menerapkan mekanisme ujian, biasanya disebut dalam bahasa Arab imtihaan, tetapi sebagian lainnya tidak menerapkannya. Para santri hanya mengikuti kajian dan/atau pengajian yang diselenggarakan oleh kiai. Jika mereka berada di pesantren yang tidak memberlakukan ujian, maka urusan kualitas santri adalah urusan masing-masing, termasuk orang tuanya. Dan yang akan memberikan pengakuan tentang kemampuannya adalah masyatakat ketika para santri terjun langsung kemudian ke dalamnya.
Namun, tingkat keberhasilan santri dalam menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh kiai di pesantren relatif sangat rendah. Saya tidak bisa mengajukan angka yang pasti karena masih hanya meraba-raba. Namun, sangat sedikit santri yang bukan anak kiai berhasil melakukan mobilitas vertikal dengan menjadi pendidik dengan pengakuan sebagai kiai baru, bahkan walaupun di lingkungannya sendiri. Yang menjadi pengganti kiai ketika meninggal dunia pada umumnya adalah anaknya sendiri.
Dan santri yang telah menyelesaikan pendidikan, lalu terjun ke masyarakat, secara umum tidak menjadi mandiri secara intelektual. Mereka tetap berpatron kepada kiai atau penerusnya di pesantren yang dulunya mereka berguru. Mengapa demikian? Sebab, santri pada umumnya belajar di dalam sistem klasikal bahkan massal. Sedangkan anak-anak kiai memiliki kesempatan yang sangat luas, sejak mereka usia balita untuk mendapatkan pendidikan secara privat. Dengan model pendidikan inilah, anak-anak kiai menjadi SDM dengan kualitas yang bisa diandalkan. Sedangkan para santri, pada umumnya, tidak mendapatkan perhatian, seintensif anak-anak kiai.
Lebih dari itu, anak-anak kiai mendapatkan kesempatan untuk mengajar di lingkungan pesantren, karena kepemilikan pesantren bersifat pribadi. Kesempatan mengajar, baik karena paksaan pada awalnya, atau karena keinginan sendiri, bisa menjadi sarana untuk belajar yang sangat efektif, terutama dalam hal membangun retorika. Berawal dari mengajar inilah, kemampuan berbahasa akan terasah kareba biasa.
Juga akan muncul kesadaran tentang berbagai kekurangan dalam penguasaan substansi keilmuan yang harus selalu diperbaiki. Untuk memiliki kemampuan ini, Pak Menteri Nadiem sudah mendorong dengan seruan untuk memberikan kepada murid kesempatan mengajar di depan kelas. Sebab, memang, cara belajar terbaik adalah mengajar. Dengan mengajar itu, orang dituntut untuk memahami.
Mengenai literasi, walaupun sebelumnya tidak mendapatkan tekanan khusus dan disandingkan dengan numerasi, sesungguhnya ini ada isu dan agenda lama. Dorongan kepada para guru untuk menulis telah ditekankan. Namun hasilnya sangat minim. Bahkan guru bahasa Indonesia pun lebih banyak memberikan teori berbahasa yang menyebabkan para murid menjadi bosa dan bahkan bisa jadi stress.
Ujian bahasa pun juga lebih banyak tentang apa yang disebut tambahan, imbuhan, sufiks, afiks, dan semacamnya yang tanpa aplikasi bisa dipastikan menjadi tidak ada gunanya. Itu terjadi karena pada umumnya guru, termasuk guru bahasa Indonesia, tidak memiliki karya dalam sebuah proyek literasi, terutama yang bersifat mandiri. Bagaimana mau mengajari murid untuk menulis, jika kebiasaan menulis itu tidak ada dalam diri setiap guru, bahkan guru bahasa? Tidak mungkin orang yang tidak bisa menulis mengajarkan menulis.
Dan tidak mungkin seseorang mampu menulis tulisan dengan kerangka konseptual, jika dia sendiri memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, melakukan analisis, lalu menarik simpulan, yang semuanya itu membutuhkan kapasitas intelektual.
Apa sebab semua itu? Jawaban paling dasarnya adalah kualitas guru. Jadi, gagasan Pak Menteri yang sebelumnya dikenal jago aplikasi itu akan menjadi sekedar gagasan apabila tidak menyentuh faktor guru. Dan berkaitan dengan ini, yang harus dipastikan adalah dua hal, yaitu: kualitas dan kuantitas.
Yang harus dipastikan adalah guru yang berkualitas. Padahal inilah yang saat ini menjadi salah satu masalah paling utama pendidikan di Indonesia. Harus diakui, walaupun ini sangat pahit dan bisa menohok perasaan para guru, bahwa guru saat ini bukanlah SDM dengan kualitas terbaik. Perguruan tinggi keguruan bukan pilihan utama lulusan-lulusan terbaik di tingkat SMU.
Pilihan masuk di fakultas keguruan adalah pilihan ke sekian, setelah pilihan di fakultas kedokteran, hukum, ekonomi, dan teknik dirasa sulit dicapai. Atau bahkan mereka sudah benar-benar gagal dalam meraihnya. Jika melihat ini, menjadi guru menjadi alternatif daripada tidak memiliki “pegangan”. Dan itu terjadi juga karena ada rentetan penyebabnya. Di antara yang menjadi penyebab utamanya adalah perhatian negara kepada guru sangatlah minim. Itulah sebab, di Indonesia, guru dihibur dengan jargon “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Jargon itu sebagai sebuah penyemangat dalam mendidik, tentu sangat penting.
Namun, jika kualitasnya kurang memadai, maka tentu akan membuat capaian proses pendidikan menjadi tidak optimal. Salah-salah malah bisa menjadi sarana penyesatan cara berpikir. Dalam hal ini, jika Pak Menteri benar-benar akan mewujudkan perubahan besar dalam pendidikan, maka harus dilakukan langkah-langkah besar dan paling mendasar. Harus dilakukan assesment ulang terhadap guru untuk memastikan kualitasnya, lalu menempatkan mereka pada tempat yang tepat.
Selain itu, melakukan perubahan besar pula dan konteks rekrumen guru baru yang memungkinkan untuk mendapatkan SDM-SDM terbaik, dari perguruan tinggi excellent. Finlandia bisa dijadikan sebagai rujukan. Dan di antara konsekuensinya adalah guru harus menjadi profesi dengan penghargaan paling tinggi. Di masa depan, tidak ada lagi cerita guru terlantar. Tidak ada lagi berita tentang aksi protes guru honorer yang belum mendapatkan honor.
Kuantitas diperlukan sampai rasio guru:murid benar-benar rasional, sehingga semua murid mendapatkan kesempatan “sentuhan” guru. Rasio guru:murid telah terbukti secara rasional ilmiah menjadi salah satu faktor utama keberhasilan proses pendidikan. Tidak mungkin satu guru bisa menangani puluhan siswa dengan karakter dan jenis kecerdasan yang berbeda-beda.
Bahkan bisa jadi murid memiliki kecerdasan tertentu yang guru sama sekali tidak memilikinya. Rasio yang makin besar membuka banyak peluang pendidikan yang efektif, karena guru dan murid bisa saling menyesuaikan kemampuan, sehingga murid, terutama di tingkat menengah pertama ke bawah mendapatkan bimbingan secara optimal sesuai dengan potensi yang dengan mudah diidentifikasi oleh guru yang memiliki kompetensi tinggi. Semoga Pak Nadiem segera menyeriusinya. Wallahu a’lam bi al-shawab. ( red )