Redaksi Pasal 170 RUU Omnibus Law Inskontitusional
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
BN – Membaca secara cermat redaksi BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 170 :
Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.
Jelas dari bunyi Pasal 170 RUU Cipta secara Konstitusional melanggar Pasal 20 ayat (1) UUD RI Tahun 1945. Pasal 20 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang -undang”. Norma Pasal 20 ayat (1) itu sangat jelas posisi DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif sebagai pemegang kekuasaan pembentuk UU. Materi muatan Pasal 170 RUU Cipta Kerja secara tidak langsung bentuk pengambilalihan kewenangan DPR oleh presiden (pemerintah pusat) dalam mengubah/merevisi UU dengan Peraturan Pemerintah melalui Pasal 170 itu. Rumusan norma pasal dilihat dari konstruksi hukum dinilai tidak lazim dalam proses pembentukan Undang Undang dan jelas nabrak materi muatan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, karena Peraturan Pemerintah materi muatan pelaksana Undang-Undang
Dari sisi hukum tata negara Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, presiden tidak boleh mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pengambilalihan kewenangan DPR oleh presiden ‘menabrak’, bahkan merusak konstitusi,” dan dikategorikan tindakan inskontitusional .
Sangat dikhawatirkan justru melalui pengaturan Pasal 170 RUU Cipta Kerja ini menjadikan pemerintah berpotensi otoriter. Kalau sudah merusak konstitusi, pasti merusak sistem ketatanegaraan. Bisa kembali ke sentralistik negara kita.
Hal ini saya senada dengan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai Pasal 170 RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. Dia menerangkan materi muatan PP merupakan instrumen hukum untuk menjalankan undang-undang. Secara konstitusional merujuk Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Bahwa kedudukan Peraturan Pemerintah ada dua. Pertama, Peraturan Pemerintahlah kedudukannya di bawah undang-undang lantaran undang-undangnya menentukan kebutuhan pembentukannya. Kedua, karena secara hierarki berbeda, maka materi muatan norma antara undang-undang dan peraturan pemerintah tak dapat disamakan. Artinya Peraturan Pemerintah memiliki jangkauan pengaturan lebih teknis dibandingkan dengan undang-undang.
Memperhatikan norma ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja nampak ditujukan untuk mengambil alih kewenangan DPR dalam membentuk Undang-Undang Padahal, porsi kewenangan legislasi pasca reformasi melalui amandemen UUD 1945 lebih menitikberatkan ke DPR atau legislative heavy. Dengan demikian isi Pasal 170 merusak prinsip dasar ketatanegaraan dan pembentukan peraturan perundang –undangan.Dapat ditelusuri,bahwa lolosnya norma ini menunjukkan ada persoalan mendasar dalam pemerintah dalam penyusunan peraturan baik dari sisi prosedur maupun substansi.
Bagaimana mungkin norma semacam ini bisa diloloskan oleh Presiden dan diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama? Ini sepertinya ada “kesengajaan” untuk melakukan terobosan hukum melalui kekuasaan politik. Patut dipertanyakan, bagaimana pertanggung- jawaban Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai tugas melakukan harmonisasi setiap RUU?”
Jika kita merujuk Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -Undangan mengamanatkan pejabat Menkumham bertugas mengharmonisasi, pembulatan, dan pemantapan RUU yang akan diusulkan oleh pemerintah. Pasal 51 ayat (4) PP 87/2014 itu untuk menselaraskan RUU dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan UU lain. Dan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Lolosnya norma Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengindikasikan lemahnya proses harmonisasi yang seharusnya bisa menunjukkan adanya pertentangan dengan UUD NRI 1945, UU lain, dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. “Atau jangan-jangan RUU ini diserahkan ke DPR tanpa proses harmonisasi terlebih dahulu?”
Seharusnya DPR melakukan pendalaman, ada pendapat anggota Komisi III DPR Mohammad Syafii juga khawatir rumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja justru menggerus kewenangan DPR dalam pembuatan atau mengubah UU. Sebab, Pasal 170 seperti mengambil alih fungsi legislasi DPR. Padahal, bila merujuk Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR pemegang kekuasaan pembuat UU. Karena itu perlu memastikan bakal melakukan pendalaman terhadap RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi.Apabila rumusan RUU Cipta Kerja melalui omnibus law jelas kontraproduktif dan mereduksi hak legislasi DPR. Jika ini lolos sama saja mereduksi sistem ketatanegaraan yang sudah terbangun dan tak boleh diruntuhkan atau memang ada keinginan seolah-olah hak legislasi DPR ingin direduksi dengan omnibus law ini.
Jika kita menyitir Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD menegaskan materi muatan undang-undang tidak bisa diubah atau diganti dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP). Kecuali kalau lewat Perppu, undang-undang diganti dengan Perppu sejak dulu bisa. Sejak dulu sampai kapanpun bisa. Tapi isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) jelas tidak bisa baik secara konstitusional, jika norma ini lolos didalam RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi, seperti adanya kesalahan ketik dalam pasal yang tertuang di rancangan undang-undang tersebut atau mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu, atau suatu kesengajaan.
Prinsipnya secara konstitusional tidak bisa sebuah undang-undang diubah dengan PP atau Perpres, kalau dengan Perppu bisa. Perubahan kalau untuk Perppu konsultasi dulu (ke DPR) bisa disetujui jadi Undang-Undang dan bisa tidak disetujui oleh DPR.