ANALISIS PROBLEMATIKA HUKUM “KASUS MALADMINISTRASI”, MASUKAN ANALISIS HUKUM TERHADAP OMBUDSMAN KALIMANTAN BARAT

ANALISIS PROBLEMATIKA HUKUM “KASUS MALADMINISTRASI”, MASUKAN ANALISIS HUKUM TERHADAP OMBUDSMAN KALIMANTAN BARAT

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak)

BN – Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam sektor pertambangan di Indonesia. Secara umum, IUP Eksplorasi adalah izin yang diberikan kepada badan usaha atau perseorangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam rangka penemuan dan pengembangan potensi sumber daya alam di bidang pertambangan. Berikut adalah kewenangan dan tanggung jawab pemegang IUP Eksplorasi secara hukum:
1. Kewenangan Pemegang IUP Eksplorasi
Pemegang IUP Eksplorasi berwenang untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pencarian dan evaluasi potensi sumber daya alam di wilayah pertambangan yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Melakukan Kegiatan Eksplorasi: Pemegang IUP Eksplorasi dapat melakukan kegiatan pencarian bahan tambang, yang meliputi kegiatan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran, pengambilan sampel, serta analisis laboratorium untuk mengidentifikasi potensi bahan tambang.
Pengambilan Sampel: Pemegang IUP Eksplorasi berwenang untuk mengambil sampel tanah, batuan, atau air untuk analisis guna menilai potensi sumber daya tambang.
Penelitian dan Pengujian: Melakukan penelitian terkait kualitas dan kuantitas cadangan sumber daya alam yang ditemukan untuk mengetahui kelayakan ekonomi dan teknis tambang tersebut.
Mengajukan Perpanjangan atau Perubahan: Jika hasil eksplorasi menunjukkan potensi yang signifikan, pemegang IUP Eksplorasi bisa mengajukan perpanjangan izin atau permohonan untuk IUP Operasi Produksi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
2. Tanggung Jawab Pemegang IUP Eksplorasi
Pemegang IUP Eksplorasi juga memiliki sejumlah tanggung jawab yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.
Mematuhi Regulasi Lingkungan: Pemegang IUP Eksplorasi wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk kewajiban untuk menyusun dan melaksanakan dokumen lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan).
Melaksanakan Kewajiban Pengelolaan Lingkungan: Kegiatan eksplorasi harus dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan, seperti tidak merusak lahan, menjaga kelestarian ekosistem, serta mencegah pencemaran lingkungan.
Laporan Berkala: Pemegang IUP Eksplorasi wajib menyampaikan laporan perkembangan hasil eksplorasi secara berkala kepada pemerintah, melalui instansi yang berwenang (misalnya Direktorat Jenderal Minerba atau Pemerintah Daerah).
Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Pemegang IUP Eksplorasi juga diwajibkan untuk membayar kewajiban penerimaan negara terkait dengan kegiatan eksplorasi, seperti biaya untuk izin, jaminan reklamasi, dan pajak lainnya sesuai peraturan yang berlaku.
Tidak Melakukan Kegiatan Produksi: Pemegang IUP Eksplorasi hanya berhak melakukan eksplorasi dan bukan kegiatan produksi. Jika kegiatan eksplorasi menunjukkan hasil yang potensial untuk diproduksi, pemegang IUP Eksplorasi harus mengajukan IUP Operasi Produksi.
3. Syarat dan Proses Pemberian IUP Eksplorasi
Untuk memperoleh IUP Eksplorasi, badan usaha atau perseorangan harus memenuhi syarat administrasi dan teknis yang ditetapkan oleh pemerintah, antara lain:
Dokumen Amdal atau UKL/UPL (tergantung pada skala dan dampak lingkungan kegiatan).
Rencana Kegiatan Eksplorasi yang mencakup rencana kerja, jadwal kegiatan, dan metode yang akan digunakan.
Pembayaran Biaya Izin: Pemohon harus membayar biaya yang ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan tarif yang berlaku.
Memiliki Kualifikasi Teknis: Pemegang IUP Eksplorasi harus memiliki kemampuan teknis dalam menjalankan kegiatan eksplorasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Durasi dan Perpanjangan IUP Eksploras
Masa Berlaku IUP Eksplorasi biasanya ditentukan oleh pemerintah dan bisa diperpanjang sesuai dengan hasil eksplorasi dan kebutuhan untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang ditemukan.
Pemegang IUP Eksplorasi harus mengajukan permohonan perpanjangan sebelum masa berlaku izin habis, dengan menunjukkan kemajuan dalam kegiatan eksplorasi.
5. Sanksi atas Pelanggaran
Pemegang IUP Eksplorasi yang tidak memenuhi kewajiban atau melanggar ketentuan yang berlaku, misalnya melakukan kegiatan di luar rencana eksplorasi atau merusak lingkungan, dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin.
Kesimpulan
Pemegang IUP Eksplorasi memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatan pencarian dan penilaian sumber daya alam, namun mereka juga memiliki kewajiban yang besar dalam hal pengelolaan lingkungan, pelaporan, dan pembayaran kewajiban negara. Kegiatan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak lingkungan dan masyarakat sekitar, dan setiap pelanggaran dapat berujung pada sanksi yang serius.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
UU Minerba adalah dasar hukum utama yang mengatur kegiatan pertambangan di Indonesia, termasuk IUP Eksplorasi. Beberapa pasal penting yang berkaitan dengan IUP Eksplorasi dalam UU ini antara lain:
Pasal 37: Mengatur mengenai pemberian izin usaha pertambangan yang terdiri dari IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi.
Pasal 39: Mengatur tentang prosedur penerbitan IUP Eksplorasi, yang melibatkan kewajiban untuk mematuhi peraturan tata ruang dan pengelolaan lingkungan.
Pasal 41: Menyebutkan tentang kegiatan eksplorasi yang hanya boleh dilakukan di wilayah yang telah diberikan izin sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 99: Mengatur tentang kewajiban pemegang IUP untuk melaksanakan kewajiban terkait lingkungan hidup, baik itu AMDAL maupun UKL/UPL.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
PP No. 23 Tahun 2010 memberikan peraturan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan pertambangan, termasuk eksplorasi. Beberapa pasal penting terkait IUP Eksplorasi:
Pasal 18: Menyebutkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh IUP Eksplorasi, termasuk dokumen lingkungan dan laporan kegiatan eksplorasi.
Pasal 19: Mengatur tentang kewajiban pemegang IUP Eksplorasi untuk menyampaikan laporan eksplorasi dan hasil penelitian.
3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perizinan Berusaha di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
Permen ESDM ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja dan mengatur mengenai mekanisme perizinan berusaha di sektor energi dan sumber daya mineral, termasuk IUP Eksplorasi.
Pasal 1: Definisi berbagai jenis perizinan, termasuk IUP Eksplorasi.
Pasal 20: Menyebutkan prosedur permohonan dan penerbitan IUP Eksplorasi.
Pasal 22: Menyebutkan kewajiban pemegang IUP Eksplorasi untuk melaporkan hasil eksplorasi secara berkala.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010
PP No. 96 Tahun 2014 mengubah ketentuan dalam PP No. 23 Tahun 2010 untuk memperbaiki beberapa ketentuan terkait IUP dan tata kelola pertambangan.
5. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Usaha Pertambangan
Permen ini mengatur tata cara lebih lanjut mengenai prosedur permohonan dan penerbitan IUP, termasuk IUP Eksplorasi.
Pasal 6: Menyebutkan prosedur permohonan IUP Eksplorasi oleh badan usaha atau perseorangan.
Pasal 10: Mengatur kelengkapan dokumen yang dibutuhkan dalam permohonan IUP Eksplorasi, seperti dokumen lingkungan dan rencana kerja eksplorasi.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 56/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2017 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Sektor Pertambangan
Peraturan ini mengatur tentang kewajiban pemegang IUP Eksplorasi dalam hal pengelolaan lingkungan, termasuk:
AMDAL: Kewajiban menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan.
UKL/UPL: Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan untuk kegiatan yang berdampak kecil dan menengah.
7. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1713 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Eksplorasi
Keputusan Menteri ini memberikan pedoman teknis terkait penyusunan rencana kerja untuk kegiatan eksplorasi yang harus diajukan oleh pemegang IUP Eksplorasi.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang
Pasal 4: Pemegang IUP Eksplorasi harus menyediakan dana jaminan untuk kegiatan reklamasi, yang termasuk dalam kewajiban mereka untuk melakukan reklamasi jika eksplorasi menunjukkan potensi tambang yang harus ditindaklanjuti.
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)
UU Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan dalam sektor pertambangan, termasuk perizinan usaha. Beberapa hal yang relevan dengan IUP Eksplorasi dalam UU ini adalah:
Simplifikasi Izin: Proses perizinan yang lebih mudah dan efisien melalui sistem online single submission (OSS).
Penyederhanaan Izin Usaha Pertambangan: Pemegang IUP Eksplorasi kini mengajukan permohonan izin melalui OSS dan mendapatkan perizinan yang lebih cepat.
Kesimpulan:
Pemegang IUP Eksplorasi harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek, mulai dari prosedur permohonan izin, pengelolaan lingkungan, hingga kewajiban pelaporan dan pembayaran pajak. Berbagai peraturan ini memastikan bahwa kegiatan eksplorasi dilakukan secara sah dan terkontrol, menjaga kelestarian lingkungan, serta berkontribusi pada penerimaan negara.
:Maladministrasi dalam konteks Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi terjadi ketika ada kelalaian, ketidaksesuaian, atau pelanggaran prosedur dalam penerbitan atau pengelolaan izin yang dapat merugikan masyarakat atau lingkungan. Maladministrasi ini dapat melibatkan penyalahgunaan kewenangan, pengabaian prosedur hukum, atau kegagalan dalam memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada publik.
Peran Ombudsman dalam analisis Maladministrasi Izin Pertambangan Eksplorasi
Ombudsman memiliki peran untuk mengawasi dan menangani laporan terkait maladministrasi dalam pelayanan publik, termasuk dalam penerbitan izin pertambangan. Ombudsman berfungsi untuk memastikan bahwa penyelenggaraan administrasi negara, termasuk pengeluaran izin usaha pertambangan, dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar dan adil. Jika ada dugaan maladministrasi dalam proses perizinan IUP Eksplorasi, Ombudsman dapat melakukan investigasi dan memberikan rekomendasi atau tindakan korektif.
Tugas Ombudsman dalam Kasus Maladministrasi IUP Eksplorasi:
1. Menerima Pengaduan: Masyarakat, pihak yang dirugikan, atau bahkan perusahaan yang merasa proses perizinannya tidak sesuai prosedur dapat mengajukan pengaduan ke Ombudsman.
2. Investigasi: Ombudsman memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi terkait pengajuan izin dan menilai apakah ada unsur maladministrasi, seperti penyalahgunaan kekuasaan, prosedur yang tidak sesuai, atau kelalaian dalam proses.
3. Rekomendasi: Setelah melakukan pemeriksaan, Ombudsman dapat memberikan rekomendasi kepada instansi yang berwenang (misalnya, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral atau Kementerian ESDM) untuk memperbaiki proses atau menghentikan izin yang dikeluarkan jika ditemukan pelanggaran hukum.
4. Menyelesaikan Sengketa Administratif: Jika ditemukan maladministrasi, Ombudsman bisa menyarankan penyelesaian sengketa antara pihak yang merasa dirugikan dan pihak berwenang yang menerbitkan izin.
Apakah ada Maladministrasi dalam Proses Perpanjangan IUP Eksplorasi
Perpanjangan IUP Eksplorasi adalah prosedur yang juga harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika ada maladministrasi dalam proses perpanjangan IUP Eksplorasi, hal tersebut dapat mencakup ketidaksesuaian prosedur, pengabaian kewajiban laporan, atau penyalahgunaan wewenang dalam keputusan perpanjangan.
Apakah Ombudsman bisa dilibatkan dalam perpanjangan IUP Eksplorasi? Ya, Ombudsman tetap memiliki kewenangan untuk menangani kasus maladministrasi dalam proses perpanjangan IUP Eksplorasi. Proses perpanjangan izin harus melalui prosedur yang jelas dan transparan, dan jika ditemukan adanya penyimpangan atau kelalaian dalam pelaksanaannya, masyarakat atau pihak terkait dapat mengajukan pengaduan ke Ombudsman.
Contoh Maladministrasi dalam Perpanjangan IUP Eksplorasi:
1. Tidak Transparannya Proses Perpanjangan: Jika pihak yang berwenang tidak memberikan informasi yang jelas atau menunda proses perpanjangan tanpa alasan yang sah.
2. Ketidaksesuaian Prosedur: Misalnya, jika dalam perpanjangan IUP Eksplorasi tidak dilakukan evaluasi teknis atau lingkungan yang memadai, padahal hal itu diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Penyalahgunaan Wewenang: Jika ada indikasi bahwa izin perpanjangan diberikan berdasarkan pertimbangan yang tidak objektif atau melanggar aturan yang ada.
Prosedur Pengaduan ke Ombudsman terkait Maladministrasi:
1. Pengajuan Pengaduan: Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pengaduan kepada Ombudsman. Pengaduan bisa terkait dengan kelalaian, penyalahgunaan kewenangan, atau prosedur yang tidak sesuai dalam penerbitan atau perpanjangan IUP Eksplorasi.
2. Penyelidikan dan Tindakan: Ombudsman akan menyelidiki laporan tersebut dan memverifikasi apakah ada maladministrasi yang terjadi. Jika ditemukan, Ombudsman dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan korektif.
3. Sanksi dan Tindakan: Ombudsman bisa mengarahkan lembaga yang berwenang untuk memperbaiki kesalahan administrasi. Dalam beberapa kasus, sanksi terhadap pejabat yang bertanggung jawab dapat diambil sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kesimpulan:
Ombudsman memiliki peran yang sangat penting dalam menangani maladministrasi dalam izin pertambangan eksplorasi, baik dalam proses penerbitan izin awal maupun dalam perpanjangan izin. Ombudsman dapat menerima pengaduan, melakukan investigasi, dan memberikan rekomendasi untuk tindakan perbaikan. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian atau pelanggaran dalam proses perpanjangan IUP Eksplorasi, Ombudsman dapat menuntut tindakan korektif dan memperbaiki prosedur agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permohonan suspensi terhadap kegiatan pertambangan yang berbasis pada Mineral dan Batubara (Minerba) bisa saja tidak dipertimbangkan oleh pihak berwenang, tergantung pada berbagai faktor yang berkaitan dengan prosedur administratif, aturan yang berlaku, dan kondisi spesifik dari permohonan tersebut. Suspensi adalah tindakan penangguhan atau penghentian sementara terhadap izin atau kegiatan pertambangan yang biasanya dilakukan jika ada pelanggaran hukum atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang ada.
Kondisi yang Membuat Permohonan Suspensi Tidak Dipertimbangkan:
1. Ketidaklengkapan Dokumen atau Persyaratan
Jika pemohon tidak melengkapi dokumen persyaratan administratif atau teknis yang diperlukan untuk mendukung permohonan suspensi, permohonan tersebut bisa tidak dipertimbangkan.
Misalnya, jika permohonan tidak disertai dengan bukti pelanggaran atau alasan yang sah yang mendasari permintaan suspensi, hal ini bisa menghambat proses pertimbangan.
2. Ketidaksesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan
Permohonan suspensi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (misalnya, undang-undang atau peraturan pemerintah terkait pertambangan) kemungkinan besar akan ditolak atau tidak dipertimbangkan.
Jika permohonan tidak memenuhi kriteria atau tidak ada dasar hukum yang cukup untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan, maka keputusan untuk tidak mempertimbangkan permohonan bisa diambil.
3. Tidak Ada Pelanggaran yang Jelas
Jika permohonan suspensi diajukan tanpa adanya bukti pelanggaran yang jelas atau tanpa adanya kondisi yang mendesak (misalnya, dampak lingkungan yang membahayakan), pihak berwenang mungkin menilai bahwa suspensi tidak diperlukan dan memilih untuk tidak memproses permohonan.
Proses audit atau investigasi yang dilakukan sebelum permohonan suspensi seringkali diperlukan untuk menentukan apakah suspensi itu wajar dan dibenarkan.
4. Prosedur yang Tidak Tepat
Jika permohonan suspensi tidak mengikuti prosedur yang tepat, misalnya tidak diajukan ke instansi yang berwenang atau tidak melalui mekanisme yang sesuai, maka permohonan tersebut bisa dianggap tidak sah dan tidak dipertimbangkan.
5. Tindak Lanjut Permohonan yang Terlambat
Jika permohonan suspensi diajukan setelah batas waktu atau terlambat, dan tidak ada alasan yang dapat diterima untuk penundaan tersebut, permohonan tersebut bisa saja tidak dipertimbangkan.
6. Tindakan yang Tidak Memenuhi Kriteria Keamanan dan Lingkungan
Jika permohonan suspensi terkait dengan masalah teknis, lingkungan, atau keselamatan yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, permohonan bisa tidak dipertimbangkan atau ditolak. Misalnya, jika penyelesaian permasalahan lingkungan atau keselamatan belum memadai.
Pihak yang Berwenang Menyusun Keputusan
Proses pertimbangan terhadap permohonan suspensi biasanya melibatkan beberapa pihak terkait, termasuk:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau Dinas Pertambangan Daerah (tergantung tingkat kewenangan),
Instansi terkait di bidang lingkungan hidup (misalnya, Badan Lingkungan Hidup atau kementerian lingkungan hidup),
Lembaga yang mengawasi kepatuhan terhadap ketentuan hukum pertambangan.
Pihak-pihak ini akan menilai permohonan berdasarkan aspek hukum, teknis, dan dampak terhadap lingkungan. Jika permohonan tidak memenuhi syarat atau tidak berdasarkan alasan yang sah, maka keputusan untuk tidak mempertimbangkan permohonan bisa diambil.

Contoh Situasi di Mana Permohonan Suspensi Tidak Dipertimbangkan:
1. Kegiatan Pertambangan yang Mematuhi Aturan:
Jika perusahaan pertambangan terbukti tidak melanggar ketentuan yang berlaku atau sudah melakukan tindakan yang diperlukan untuk mematuhi peraturan, maka permohonan suspensi mungkin tidak dianggap perlu.
2. Pembuktian yang Tidak Memadai:
Jika pengaduan atau permohonan suspensi tidak dilengkapi dengan bukti yang cukup mengenai pelanggaran atau potensi bahaya terhadap lingkungan atau masyarakat, pihak berwenang mungkin menilai permohonan tersebut tidak memiliki dasar yang cukup untuk dipertimbangkan.
Kesimpulan:
Permohonan suspensi untuk kegiatan pertambangan Minerba bisa tidak dipertimbangkan jika tidak memenuhi syarat administrasi, tidak didasari oleh bukti yang cukup, atau tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Selain itu, jika tidak ada pelanggaran atau kondisi yang membahayakan, permohonan suspensi juga bisa ditolak. Proses pengajuan suspensi harus sesuai dengan ketentuan hukum dan disertai bukti yang memadai untuk mendukungnya.
Berkaitan dengan izin operasional oleh pelapor, patut diketahui, bahwa Batu andesit termasuk dalam kategori minerba (mineral dan batu bara), meskipun lebih tepat dikategorikan sebagai bahan galian golongan C, yang merupakan bahan galian non-logam atau batuan. Batu andesit, yang merupakan jenis batuan beku yang sering digunakan dalam konstruksi bangunan, jalan, dan bahan lainnya, termasuk dalam kelompok bahan galian yang dikelola dengan peraturan khusus di Indonesia.
Kategori Pertambangan Batu Andesit
Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), batu andesit termasuk dalam mineral non-logam. Batu andesit bukan termasuk logam mulia atau logam lainnya seperti emas atau tembaga, melainkan bahan galian yang digunakan dalam pembangunan dan infrastruktur.
Dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rinci, batu andesit termasuk dalam golongan C, yang mencakup bahan galian seperti batu kapur, tanah liat, pasir, dan sebagainya, yang diolah untuk kepentingan pembangunan dan industri.
Izin yang Diperlukan
Untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, atau kegiatan pertambangan batu andesit, pelaku usaha perlu mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat atau oleh pemerintah pusat, tergantung pada lokasi dan skala usaha. Dalam hal ini, IUP yang diajukan adalah untuk pertambangan mineral non-logam, khususnya batu andesit.
1. IUP Eksplorasi: Izin yang diberikan untuk kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan batu andesit.
2. IUP Operasi Produksi: Izin yang diberikan untuk kegiatan pertambangan batu andesit yang sudah memasuki tahap produksi.p
Kewajiban Lingkungan dan Sosial
Pemegang IUP untuk batu andesit harus mematuhi peraturan lingkungan hidup yang terkait dengan pengelolaan limbah, reklamasi lahan, dan pengelolaan dampak lingkungan lainnya. Pemerintah daerah atau pemerintah pusat akan menilai apakah kegiatan pertambangan batu andesit memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan.
Kesimpulan
Batu andesit termasuk dalam kategori pertambangan bahan galian golongan C, yang mencakup berbagai bahan tambang non-logam yang dimanfaatkan untuk keperluan industri dan konstruksi. Untuk menambang batu andesit, perusahaan harus memperoleh IUP dan memenuhi berbagai persyaratan hukum terkait lingkungan hidup, keselamatan kerja, serta tanggung jawab sosial perusahaan.
Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam sektor pertambangan di Indonesia. Secara umum, IUP Eksplorasi adalah izin yang diberikan kepada badan usaha atau perseorangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam rangka penemuan dan pengembangan potensi sumber daya alam di bidang pertambangan. Berikut adalah kewenangan dan tanggung jawab pemegang IUP Eksplorasi secara hukum:
1. Kewenangan Pemegang IUP Eksplorasi
Pemegang IUP Eksplorasi berwenang untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pencarian dan evaluasi potensi sumber daya alam di wilayah pertambangan yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Melakukan Kegiatan Eksplorasi: Pemegang IUP Eksplorasi dapat melakukan kegiatan pencarian bahan tambang, yang meliputi kegiatan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran, pengambilan sampel, serta analisis laboratorium untuk mengidentifikasi potensi bahan tambang.
Pengambilan Sampel: Pemegang IUP Eksplorasi berwenang untuk mengambil sampel tanah, batuan, atau air untuk analisis guna menilai potensi sumber daya tambang.
Penelitian dan Pengujian: Melakukan penelitian terkait kualitas dan kuantitas cadangan sumber daya alam yang ditemukan untuk mengetahui kelayakan ekonomi dan teknis tambang tersebut.
Mengajukan Perpanjangan atau Perubahan: Jika hasil eksplorasi menunjukkan potensi yang signifikan, pemegang IUP Eksplorasi bisa mengajukan perpanjangan izin atau permohonan untuk IUP Operasi Produksi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
2. Tanggung Jawab Pemegang IUP Eksplorasi
Pemegang IUP Eksplorasi juga memiliki sejumlah tanggung jawab yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.
Mematuhi Regulasi Lingkungan: Pemegang IUP Eksplorasi wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk kewajiban untuk menyusun dan melaksanakan dokumen lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan).
Melaksanakan Kewajiban Pengelolaan Lingkungan: Kegiatan eksplorasi harus dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan, seperti tidak merusak lahan, menjaga kelestarian ekosistem, serta mencegah pencemaran lingkungan.
Laporan Berkala: Pemegang IUP Eksplorasi wajib menyampaikan laporan perkembangan hasil eksplorasi secara berkala kepada pemerintah, melalui instansi yang berwenang (misalnya Direktorat Jenderal Minerba atau Pemerintah Daerah).
Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Pemegang IUP Eksplorasi juga diwajibkan untuk membayar kewajiban penerimaan negara terkait dengan kegiatan eksplorasi, seperti biaya untuk izin, jaminan reklamasi, dan pajak lainnya sesuai peraturan yang berlaku.
Tidak Melakukan Kegiatan Produksi: Pemegang IUP Eksplorasi hanya berhak melakukan eksplorasi dan bukan kegiatan produksi. Jika kegiatan eksplorasi menunjukkan hasil yang potensial untuk diproduksi, pemegang IUP Eksplorasi harus mengajukan IUP Operasi Produksi.
3. Syarat dan Proses Pemberian IUP Eksplorasi
Untuk memperoleh IUP Eksplorasi, badan usaha atau perseorangan harus memenuhi syarat administrasi dan teknis yang ditetapkan oleh pemerintah, antara lain:
Dokumen Amdal atau UKL/UPL (tergantung pada skala dan dampak lingkungan kegiatan).
Rencana Kegiatan Eksplorasi yang mencakup rencana kerja, jadwal kegiatan, dan metode yang akan digunakan.
Pembayaran Biaya Izin: Pemohon harus membayar biaya yang ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan tarif yang berlaku.

Memiliki Kualifikasi Teknis: Pemegang IUP Eksplorasi harus memiliki kemampuan teknis dalam menjalankan kegiatan eksplorasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Durasi dan Perpanjangan IUP Eksplorasi
Masa Berlaku IUP Eksplorasi biasanya ditentukan oleh pemerintah dan bisa diperpanjang sesuai dengan hasil eksplorasi dan kebutuhan untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang ditemukan.
Pemegang IUP Eksplorasi harus mengajukan permohonan perpanjangan sebelum masa berlaku izin habis, dengan menunjukkan kemajuan dalam kegiatan eksplorasi.
5. Sanksi atas Pelanggaran
Pemegang IUP Eksplorasi yang tidak memenuhi kewajiban atau melanggar ketentuan yang berlaku, misalnya melakukan kegiatan di luar rencana eksplorasi atau merusak lingkungan, dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin.
Kesimpulan
Pemegang IUP Eksplorasi memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatan pencarian dan penilaian sumber daya alam, namun mereka juga memiliki kewajiban yang besar dalam hal pengelolaan lingkungan, pelaporan, dan pembayaran kewajiban negara. Kegiatan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak lingkungan dan masyarakat sekitar, dan setiap pelanggaran dapat berujung pada sanksi yang serius.
Masalah PLT yang menindak lanjuti kebijakan terhadap masalah AJi pada materi yang diminta masukan ke Nara sumber, bahwa secara hukum, wewenang Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) diatur berdasarkan prinsip limitation of authority, yakni pembatasan wewenang terhadap tindakan-tindakan yang bersifat strategis atau jangka panjang. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang relevan serta pembatasannya dalam konteks hukum di Indonesia:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
UU ini menetapkan bahwa pejabat yang menjalankan fungsi administrasi pemerintahan wajib memiliki kewenangan yang sah. Dalam hal PLT, kewenangannya tidak mencakup keputusan yang mengikat jangka panjang, karena mereka hanya bersifat sementara.
Pasal 20 ayat (1) menegaskan bahwa pejabat yang menduduki jabatan definitif harus menjalankan kewenangan secara penuh. Sementara PLT bertindak hanya dalam lingkup kewenangan terbatas.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (telah diubah dengan PP No. 17 Tahun 2020)
Pasal 14 ayat (1) menegaskan bahwa pejabat PLT tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan strategis, seperti perubahan struktur organisasi, mutasi atau promosi pegawai, serta pengambilan keputusan yang berdampak besar dalam bidang keuangan atau anggaran.
Tugas PLT lebih kepada menjaga keberlanjutan fungsi operasional dan administratif sampai pejabat definitif tersedia atau diangkat kembali.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Dalam konteks pemerintahan daerah, PLT kepala daerah hanya melaksanakan tugas administratif sehari-hari, dan tidak diizinkan membuat kebijakan baru yang berdampak luas, termasuk kebijakan yang mempengaruhi keuangan daerah, pelaksanaan proyek besar, atau pengangkatan dan pemberhentian pejabat di bawahnya.
4. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 2 Tahun 2019
Surat ini mempertegas bahwa pejabat PLT tidak boleh membuat keputusan yang mengikat secara hukum dalam jangka panjang atau mengubah kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pejabat definitif. Sebagai contoh, PLT tidak dapat menandatangani perjanjian strategis atau mengambil keputusan keuangan yang memerlukan persetujuan lebih tinggi.
Secara umum, PLT memiliki wewenang terbatas pada tugas rutin atau harian dan tidak diperbolehkan membuat keputusan yang mempengaruhi kebijakan, keuangan, atau perubahan organisasi yang berjangka panjang. Kewenangan PLT yang melanggar ketentuan ini dapat dipertanyakan secara hukum atau bahkan dibatalkan oleh pengadilan jika terbukti melebihi batas otoritas yang diberikan.
Dalam perspektif hukum pemerintahan daerah dan hukum administrasi negara, kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) diatur dengan ketat untuk menjaga prinsip legalitas dan kepastian hukum dalam pemerintahan. Kewenangan PLT dalam kedua perspektif ini umumnya bersifat terbatas dan fokus pada tugas-tugas administratif. Berikut penjelasan rinci dari kedua sudut pandang hukum tersebut:
1. Perspektif Hukum Pemerintahan Daerah
Dalam konteks pemerintahan daerah, Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) biasanya diangkat untuk menggantikan sementara posisi kepala daerah atau jabatan penting lainnya yang mengalami kekosongan sementara, baik karena cuti, masa transisi, atau kondisi lain yang menyebabkan pejabat definitif tidak dapat menjalankan tugasnya. Dalam perspektif hukum pemerintahan daerah, ada beberapa ketentuan penting yang membatasi kewenangan PLT, antara lain:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU ini menegaskan bahwa kepala daerah dan pejabat lainnya memiliki tanggung jawab penuh dalam menjalankan otonomi daerah, yang tidak berlaku secara penuh pada pejabat PLT.
Pasal 66 menyatakan bahwa pejabat PLT memiliki batasan untuk membuat kebijakan strategis yang berdampak jangka panjang bagi daerah. Keputusan-keputusan penting seperti kebijakan anggaran, perubahan struktur organisasi, atau kebijakan investasi daerah umumnya hanya bisa diambil oleh pejabat definitif.
PLT hanya diizinkan menjalankan tugas-tugas harian atau administratif untuk menjaga kesinambungan pelayanan publik di daerah, bukan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan pertanggungjawaban penuh.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016
Peraturan ini mempertegas bahwa dalam konteks daerah, PLT kepala daerah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan keputusan yang mengikat jangka panjang, seperti mengubah APBD, melakukan pengangkatan atau pemberhentian pegawai, dan mengambil keputusan yang berdampak luas dalam tata kelola daerah.
Kewenangan PLT juga dibatasi dalam hal pengelolaan sumber daya, seperti tidak diperbolehkannya PLT menandatangani perjanjian kerja sama yang berpotensi membebani keuangan daerah di masa depan.
Secara umum, dalam hukum pemerintahan daerah, PLT harus memastikan bahwa tindakannya tidak merusak kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat definitif sebelumnya atau mengubah arah kebijakan yang telah disetujui oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
2. Perspektif Hukum Administrasi Negara
Dalam hukum administrasi negara, kewenangan PLT dilihat dari prinsip dasar legalitas, yang berarti setiap tindakan pejabat publik harus memiliki dasar hukum yang sah dan tidak melampaui kewenangan yang diberikan. Berikut penjelasannya dalam perspektif hukum administrasi negara:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Menurut UU ini, pejabat PLT wajib memiliki dasar hukum yang jelas untuk setiap tindakan administratif yang dilakukannya. Kewenangan PLT tidak termasuk dalam kebijakan atau keputusan strategis yang memiliki dampak besar atau jangka panjang bagi institusi.
Pasal 20 mengatur bahwa PLT tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan atau keputusan yang membutuhkan pertimbangan atau persetujuan lebih lanjut dari pejabat definitif atau atasan yang memiliki otoritas penuh.
Dalam praktik administrasi negara, PLT berperan untuk melaksanakan tugas operasional sehari-hari tanpa membuat keputusan baru yang mengikat secara hukum atau merubah kebijakan yang sudah ada.
Prinsip Diskresi dan Pembatasannya
Diskresi adalah kewenangan pejabat administrasi negara untuk membuat keputusan dalam situasi yang tidak diatur secara tegas oleh undang-undang. Namun, kewenangan ini juga dibatasi dalam hal PLT. PLT tidak diizinkan menggunakan diskresi untuk membuat keputusan di luar lingkup tugas rutin.
Dalam hukum administrasi negara, keputusan yang dibuat PLT harus tetap tunduk pada prinsip ultra vires, yang berarti tidak boleh melampaui batas kewenangan yang diberikan. Jika PLT melampaui batas ini, keputusan tersebut bisa dibatalkan atau digugat di pengadilan tata usaha negara.
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 2 Tahun 2019
Surat edaran ini memperjelas bahwa PLT tidak dapat mengambil tindakan yang mengikat organisasi atau institusi secara hukum dalam jangka panjang, seperti pengikatan kontrak, pengambilan keputusan anggaran, atau perubahan kebijakan.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, penting bahwa kewenangan PLT dibatasi hanya pada tugas-tugas administratif atau teknis yang menjaga kelangsungan operasional, tetapi tidak berdampak luas pada kebijakan atau struktur organisasi. Pembatasan ini juga penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dalam pengambilan keputusan di posisi yang bersifat sementara.
Berkaitan dengan Penanganan bencana sosial di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mencakup berbagai aspek seperti pencegahan konflik, penegakan hukum, rehabilitasi sosial, dan penanganan pasca-bencana. Berikut ini adalah beberapa peraturan penting yang mengatur tentang penanganan bencana sosial:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
Tujuan: Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan pedoman dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan dari konflik sosial di Indonesia.
Kewenangan Pemerintah: Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pencegahan, penanganan, dan pemulihan pasca-konflik.
Tahapan Penanganan Konflik:
Pencegahan Konflik: Melalui deteksi dini, pelatihan toleransi, penguatan koordinasi antar lembaga, dan pengawasan terhadap potensi konflik.
Penghentian Konflik: Melalui tindakan represif yang melibatkan pihak berwenang untuk menghentikan konflik.
Pemulihan Pasca Konflik: Terdiri dari rehabilitasi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi untuk memperbaiki hubungan sosial dan lingkungan yang terdampak.
Peran Masyarakat: Masyarakat diimbau untuk berperan serta dalam mencegah konflik sosial melalui kerja sama dan komunikasi dengan pihak berwenang.
Sanksi: UU ini juga mengatur sanksi bagi individu atau kelompok yang terbukti melakukan provokasi atau menyebarkan informasi yang memicu konflik.
2. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Rawan Konflik
Perlindungan Masyarakat: Peraturan ini memberikan pedoman kepada pemerintah untuk melindungi masyarakat yang tinggal di daerah rawan konflik dengan menyediakan fasilitas keamanan dan penyuluhan.
Pemberdayaan Masyarakat: Diupayakan melalui pemberdayaan ekonomi, peningkatan akses pendidikan, dan pelatihan keterampilan untuk mengurangi potensi konflik yang muncul akibat ketimpangan sosial.
Penyediaan Infrastruktur Dasar: Pemerintah harus memastikan ketersediaan layanan dasar seperti air bersih, pendidikan, dan kesehatan di daerah rawan konflik untuk menjaga stabilitas sosial.
Peran Pemerintah Daerah: Pemerintah daerah diberikan tanggung jawab untuk mengidentifikasi daerah rawan konflik dan memberikan perhatian khusus melalui pembangunan infrastruktur serta program pemberdayaan.
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Jenis Bencana: UU ini mengakui tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, non-alam, dan sosial. Bencana sosial mencakup situasi seperti konflik, kekerasan, dan tindakan terorisme.
Kewenangan BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Dalam konteks agama, IMB atau sekarang dikenal sebagai PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) sering kali berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah, seperti masjid, gereja, pura, vihara, atau kelenteng. Perizinan untuk bangunan tempat ibadah ini biasanya menjadi topik yang sensitif, karena menyangkut hubungan antarumat beragama dan kebutuhan masyarakat setempat. Prosedur perizinan rumah ibadah memiliki aturan yang cukup ketat, yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan sosial.
Peraturan Terkait Pembangunan Rumah Ibadah
1. SKB 2 Menteri (Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat
Persyaratan Pendirian: SKB ini mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi beberapa syarat, antara lain jumlah minimum pengguna, dukungan masyarakat setempat, dan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Jumlah Pengguna: Misalnya, pendirian rumah ibadah memerlukan dukungan dari 90 orang pengguna yang menjadi anggota jemaat di wilayah tersebut.
Persetujuan Masyarakat Setempat: Minimal ada 60 orang warga yang menyetujui pendirian tempat ibadah tersebut, yang diperkuat dengan pernyataan tertulis.
Rekomendasi FKUB: FKUB setempat akan memberikan rekomendasi sebagai bentuk pemeliharaan kerukunan antarumat beragama.
Izin Pemerintah Daerah: Izin akhir harus dikeluarkan oleh bupati atau wali kota berdasarkan hasil verifikasi terhadap syarat-syarat yang telah dipenuhi.
2. Peraturan Daerah: Di beberapa wilayah, ada Peraturan Daerah (Perda) atau kebijakan yang lebih khusus mengatur pembangunan rumah ibadah, yang biasanya menambahkan syarat atau memperkuat ketentuan dalam SKB 2 Menteri.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law): Meskipun UU Cipta Kerja fokus pada penyederhanaan izin, ketentuan khusus terkait rumah ibadah tetap harus mengacu pada SKB 2 Menteri dan aturan daerah yang berlaku. Penerapan UU Cipta Kerja tidak mengubah persyaratan fundamental untuk pendirian rumah ibadah.
Tantangan dalam Pendirian Rumah Ibadah
Isu Kerukunan Umat Beragama: Pembangunan rumah ibadah sering kali menjadi isu krusial yang memengaruhi kerukunan umat beragama, terutama di wilayah-wilayah dengan keragaman agama yang tinggi.
Perizinan yang Rumit: Proses pengumpulan tanda tangan, dukungan, dan verifikasi dari FKUB dapat menjadi tantangan tersendiri, terutama di wilayah yang minoritas.
Penegakan Peraturan: Pemerintah daerah dan FKUB memegang peranan penting dalam memastikan bahwa semua syarat dipenuhi untuk mencegah konflik dan memastikan keharmonisan antarumat beragama.
Tujuan dari Pengaturan Ini
Pengaturan ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara hak untuk beribadah dan menghormati kerukunan serta kedamaian masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan ini mendorong semua pihak untuk membangun dialog, kerja sama, dan saling menghormati dalam proses pembangunan rumah ibadah. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This