Mengenal Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Kalimantan Barat (BPK XII) Dalam Konteks Penguatan Ekonomi Berbasis Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Oleh:Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum
Tim Ahli Khusus Senator Syarif Melvin AlKadrie, SH, DPD RI Dapil Kalimantan Barat
BN – Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Kalimantan Barat (BPK XII) berfokus pada pelestarian nilai budaya, khususnya dalam bidang tradisi, kepercayaan, seni, film, dan sejarah. Tujuannya adalah untuk melakukan penelitian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan aspek-aspek budaya ini, sambil membina kerja sama dalam pelestarian budaya dan menyebarluaskan informasi terkaitnya.
Visi:
Visi BPK XII adalah untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya, termasuk tradisi, kepercayaan, dan warisan sejarah, diakui dan dilestarikan untuk generasi mendatang, serta berkontribusi pada identitas dan karakter masyarakat Kalimantan Barat.
Misi:
1.Melaksanakan penelitian terhadap aspek-aspek budaya seperti tradisi, kepercayaan, seni, film, dan sejarah.
2.Melakukan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya melalui dokumentasi, advokasi, dan penyuluhan kepada publik.
3.Membangun kerjasama yang dapat meningkatkan upaya pelestarian budaya di wilayah ini.
Kegiatan mereka meliputi penyediaan layanan publik terkait pelestarian budaya, pengelolaan perpustakaan untuk berbagi sumber daya, serta mengadakan acara seperti workshop dan seminar untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan budaya.
Program:
1. Penelitian dan Dokumentasi:
Melakukan penelitian mendalam tentang sejarah, tradisi, dan budaya Kalimantan Barat.
Mendokumentasikan warisan sejarah berupa manuskrip, arsip, dan artefak bersejarah.
2. Pelestarian dan Pemeliharaan:
Mengupayakan pelestarian situs-situs sejarah, seni, dan budaya lokal.
Memelihara dan merawat warisan budaya Kalimantan Barat agar tetap relevan dan dihormati generasi muda.
3. Edukasi dan Publikasi:
Mengembangkan program edukasi, seminar, dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang sejarah lokal.
Menerbitkan buku, jurnal, dan konten digital terkait sejarah Kalimantan Barat.
4. Penguatan Identitas Lokal:
Mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal ke dalam kehidupan masyarakat modern.
Mendorong kebanggaan terhadap warisan sejarah sebagai bagian dari identitas Kalimantan Barat.
5. Kemitraan dan Kolaborasi:
Menjalin kerja sama dengan universitas, komunitas budaya, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memajukan kajian sejarah.
Membangun jejaring dengan lembaga sejarah di dalam dan luar negeri.
6. Advokasi dan Promosi:
Mengadvokasi pentingnya pelestarian dan kebudayaan kepada pemerintah daerah dan nasional.
Mempromosikan sejarah Kalimantan Barat melalui pameran, media sosial, dan festival budaya.
Dengan visi dan misi ini, Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat dapat berperan sebagai pelopor dalam menghidupkan kembali nilai-nilai sejarah dan budaya di wilayah tersebut.
Peraturan perundang-undangan Terkait
Dasar hukum pembentukan Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat dapat merujuk pada berbagai peraturan yang mendukung pelestarian sejarah, budaya, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berikut beberapa dasar hukum yang relevan:
1. Undang-Undang
UUD 1945 Pasal 32 Ayat (1)
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Mendukung pelestarian budaya dan sejarah lokal sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Mengatur perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan objek pemajuan kebudayaan, termasuk sejarah dan tradisi lokal.
Pasal 5 menyebutkan upaya pelestarian budaya sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait.
UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Menjadi dasar hukum pelestarian situs, benda, dan warisan sejarah, termasuk kajian akademik dan pengelolaan museum atau balai kajian sejarah.
2. Peraturan Pemerintah
PP Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum
Mendukung pembentukan lembaga atau balai yang memiliki fungsi dokumentasi, edukasi, dan penelitian terkait sejarah dan kebudayaan.
3. Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0486/0/1989
Mengatur organisasi dan tata kerja balai di beberapa lokasi, termasuk Pontianak, sebagai pusat kajian nilai budaya dan sejarah.
4. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata KM.52/OT.001/MKP/2003
Menetapkan tugas dan fungsi operasional balai ini sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya.
5. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata PM.17/HK.001/MKP-2005
Mengatur organisasi dan tata kerja dalam struktur Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
6.Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 53 Tahun 2012
7.PP Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pengembangan Keilmuan dan Inovasi
Balai ini diubah nama menjadi Balai Pelestarian Nilai Budaya dengan tugas lebih luas mencakup tradisi dan budaya daerah.
8. Kebijakan Lokal
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 125 Tahun 2016 yang telah diperbarui oleh Pergub Nomor 100 Tahun 2019.
Sejarah awalnya bernama Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) di Kalimantan Barat, yang sekarang dikenal sebagai Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), dibentuk untuk melestarikan budaya dan sejarah sebagai bagian dari upaya pengembangan kebudayaan nasional. Balai ini pertama kali dioperasikan secara resmi pada tahun 1990 di Pontianak, berdasarkan beberapa landasan hukum.
Awalnya, keberadaan BKSNT ini diatur melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0486/0/1989 tentang organisasi dan tata kerja. Pada tahun-tahun berikutnya, pengaturan lebih lanjut dibuat melalui sejumlah peraturan, termasuk Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012, yang mengubah namanya menjadi Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XII, yang mencakup Kalimantan Barat, memiliki tugas utama dalam pelestarian budaya, baik tangible (berwujud) seperti cagar budaya, maupun intangible (tak berwujud) seperti tradisi dan adat. Perubahan organisasi ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 33 Tahun 2022.
Program prioritas mereka mencakup:
1. Pemutakhiran dan inventarisasi data cagar budaya serta objek pemajuan kebudayaan.
2. Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional Cagar Budaya.
3. Fasilitasi advokasi budaya, termasuk peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pelestarian warisan budaya.
Fokus balai ini mencakup kajian sejarah, pelestarian budaya lokal, dan pengelolaan nilai-nilai tradisional di wilayah Kalimantan Barat dan seluruh pulau Kalimantan
Dukungan ini penting untuk menyelaraskan program balai dengan prioritas pembangunan daerah.
Untuk pelestarian budaya di Kalimantan Barat, terdapat beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur aspek ini:
1. Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, dan Pengembangan Adat Istiadat serta Lembaga Adat. Perda ini bertujuan untuk melestarikan adat-istiadat dan memperkuat peran lembaga adat dalam kehidupan masyarakat【26】.
2. Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Perda ini mengatur perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melestarikan cagar budaya【27】.
Kedua Perda ini menjadi landasan hukum untuk memastikan pelestarian budaya Kalimantan Barat berjalan secara terarah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Informasi lebih lengkap bisa diakses melalui situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Provinsi Kalimantan Barat.
5. Kerja Sama dan Rekomendasi
1.Rekomendasi Universitas dan Lembaga Budaya
2.Pendirian Penelitian Di universitas dapat melibatkan kerja sama akademik dan budaya sebagai dasar tambahan Penguatan elestarian Kebudayaan Kalimantan Barat.
Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat (BPNB Kalbar) telah melakukan berbagai penelitian terkait budaya dan sejarah wilayah tersebut. Pada 2019, BPNB Kalbar mengadakan seminar hasil penelitian dengan tema “Merajut Pemikiran Bangsa, Menggali Warisan Budaya Kalimantan”. Seminar ini menyajikan delapan laporan hasil penelitian, yang mencakup kajian di bidang budaya dan sejarah, serta perekaman naskah kuno. Beberapa bidang yang dibahas dalam penelitian tersebut meliputi kajian budaya, sejarah, dan naskah kuno, dengan harapan hasilnya dapat dipublikasikan untuk masyarakat luas.
Laporan hasil penelitian tersebut mencakup kajian mendalam tentang warisan budaya Kalimantan Barat dan juga dokumentasi penting dalam pelestarian sejarah lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat mengenai sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak mencakup berbagai aspek penting dalam kajian budaya dan sejarah kesultanan ini. Balai ini fokus pada pengkajian warisan budaya, termasuk Istana Kadriah sebagai pusat kebudayaan dan sejarah Kesultanan Pontianak. Salah satu objek yang sering dijadikan fokus penelitian adalah koleksi pusaka kesultanan, yang meliputi keris-keris pusaka dan perhiasan kerajaan yang memiliki nilai tinggi, serta peran Istana Kadriah dalam membentuk identitas budaya Melayu di Pontianak.
Selain itu, penelitian ini juga memperdalam pemahaman tentang hubungan Kesultanan Pontianak dengan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, seperti Kesultanan Banjar, yang turut membentuk sejarah panjang daerah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memelihara dan melestarikan kekayaan budaya serta tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Untuk pelajar dan peneliti, Istana Kadriah menawarkan banyak informasi yang kaya tentang kehidupan kesultanan masa lampau.
Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat telah melakukan beberapa penelitian mengenai sejarah dan kebudayaan di wilayah tersebut. Salah satu contoh penelitian yang dilakukan adalah kajian tentang “Perkapalan Rempah di Perairan Timur Kalimantan Abad XVI-XVII: Dinamika Perdagangan Maritim,” yang mempelajari hubungan perdagangan maritim di wilayah Kalimantan pada masa lalu. Selain itu, ada juga penelitian terkait komunitas adat Dayak, seperti “Perempuan Adat Penjaga Tradisi: Kajian tentang Peran Perempuan Kayaan Mendalam di Kapuas Hulu” yang meneliti peran perempuan dalam pelestarian budaya.
Penelitian mengenai sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat (BPK Kalbar) difokuskan pada kajian sejarah dan budaya daerah ini, termasuk peranannya dalam perkembangan kebudayaan serta warisan sejarah yang masih ada hingga saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tentang struktur pemerintahan, pengaruh luar, dan bagaimana kesultanan ini berperan dalam sejarah Kalimantan Barat. Penelitian ini juga menyentuh aspek arsitektur istana, seperti Istana Kadriyah yang memiliki nilai historis dan budaya tinggi.
Pada tahun 2021, BPK Kalbar menggelar Seminar Proposal Penelitian yang mencakup berbagai bidang kajian, termasuk sejarah. Dalam seminar tersebut, ada beberapa proposal penelitian terkait sejarah, yang salah satunya mengkaji lebih dalam tentang Kesultanan Kadriah dan aspek kebudayaan lainnya di Kalimantan Barat. Kegiatan ini menunjukkan komitmen BPK Kalbar untuk memperdalam pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di wilayah tersebut.
Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat (BPK Kalbar) memiliki beberapa publikasi yang dapat diakses oleh publik. Salah satu saluran utama untuk publikasi ini adalah Jurnal Handep, yang berfokus pada penelitian budaya, sejarah, serta pelestarian nilai-nilai budaya di Kalimantan Barat. Artikel-artikel dan penelitian dalam jurnal ini melibatkan berbagai topik, termasuk sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak, kebudayaan Dayak, dan tradisi lokal lainnya.
Selain itu, hasil penelitian juga dapat ditemukan melalui seminar dan publikasi yang diselenggarakan oleh BPK Kalbar. Salah satunya adalah seminar penelitian yang dilaksanakan pada 2021, yang membahas berbagai proposal penelitian tentang sejarah dan budaya Kalimantan.
Kebijakan Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Jakarta, 3 Desember 2024 – Dalam Sidang ke-19 Komite untuk Pelindungan Warisan Budaya Takbenda atau 19th Session of the Committee for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage UNESCO yang berlangsung di Paraguay, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon melalui pidato virtual menyampaikan apresiasi mendalam kepada UNESCO dan Paraguay atas terselenggaranya sidang penting ini, seraya menegaskan komitmen Indonesia dalam pelindungan warisan budaya takbenda sebagai bagian dari upaya memperkuat dialog, perdamaian, dan kerja sama global.
Menteri Kebudayaan juga menyampaikan komitmen kuat terhadap pelindungan dan promosi warisan budaya takbenda. “Atas nama Republik Indonesia, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada UNESCO dan Paraguay atas penyelenggaraan pertemuan penting ini. Meskipun jarak memisahkan kita, apresiasi bersama terhadap budaya dan warisan menyatukan kita sebagai sarana kerja sama, dialog, dan promosi nilai-nilai universal perdamaian,” ungkap Menteri Kebudayaan.
Ia menambahkan bahwa Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, 2.400 kelompok etnis, dan 720 bahasa daerah, merupakan contoh nyata dari keragaman budaya yang hidup. Melalui prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia terus mendorong pelestarian budaya yang memperkuat persatuan di tengah perbedaan. Hingga kini, Indonesia telah mendaftarkan lebih dari 2.000 elemen dalam Inventarisasi Nasional Warisan Budaya Takbenda dan 13 elemen dalam daftar UNESCO, dengan tambahan tiga elemen baru yang akan disahkan dalam sidang ini.
“Warisan budaya takbenda bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan bukti ketangguhan dan persatuan manusia yang relevan dengan tantangan dunia modern, termasuk perubahan iklim, konflik, urbanisasi, dan kemajuan teknologi,” tambah Menteri Fadli.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, visi Astacita menjadi landasan upaya penguatan keselarasan antara manusia, budaya, dan alam. Dalam kesempatan ini, Indonesia juga menyampaikan kesiapannya untuk berpartisipasi dalam pencalonan anggota Komite Antar Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Takbenda di UNESCO untuk periode 2026–2030. Sidang ini diharapkan menjadi momentum untuk memprioritaskan pelindungan warisan budaya takbenda dalam agenda nasional dan internasional.
Sidang 19th Session of the Committee for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage atau Sidang ke-19 Komite untuk Pelindungan Warisan Budaya Takbenda ini merupakan forum internasional tahunan yang mempertemukan negara-negara anggota untuk membahas langkah-langkah pelindungan, promosi, dan pelestarian warisan budaya takbenda dunia, berdasarkan Konvensi 2003 UNESCO.
“Dalam sidang ini, Indonesia mengusulkan tiga warisan budaya Indonesia yaitu: Reog Ponorogo (kategori Urgent Safeguarding List) yang akan disidangkan tanggal 3 Desember 2024; Kebaya (Nominasi Multinasional kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity), yang akan disidangkan tanggal 4 Desember 2024; dan Kolintang (kategori Extension Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) yang akan disidangkan tanggal 5 Desember 2024”, pungkas Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Selanjutnya, ia berharap agar melalui upaya diplomasi budaya Indonesia, dapat terwujud kerjasama global dalam menjaga keberlanjutan budaya bagi generasi mendatang sehingga dapat menciptakan dunia yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Bogor, 7 Desember 2024. Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, M.Sc., pagi ini menghadiri Seminar Nasional Strategi Program Pertanian Menuju Indonesia Swasembada Pangan di Aula Gedung Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Bogor. Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan Muktamar VI Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang mengangkat tema “Peran STII Mendorong Industri Pertanian 5.0 untuk Ketahanan Pangan 2025.”
Tema tersebut dipilih karena program swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional selaras dengan nafas yang selama ini diperjuangkan oleh STII, khususnya dalam hal ketahanan pangan. Menteri Kebudayaan dalam Pidato Kebangsaannya, membuka dengan menyampaikan apreasiasinya terhadap sumbangsih STII bagi Indonesia sejak 1946.
Menteri Kebudayaan menyampaikan jika tema seminar ini sejalan dengan visi dari Presiden. Terutama mengenai swasembada dan ketahanan pangan yang dari dulu telah menjadi prioritas Presiden Prabowo.
“Kita pernah mendapatkan penghargaan dalam hal pangan oleh FAO karena swasembada pangan. Penghargaan tersebut didapat karena memprioritaskan pertanian,” ungkap Menteri Kebudayaan.
“Saat ini target-target dunia pada SDG’s (suistainable development goals) yang pertama adalah no poverty, yang kedua adalah terkait pangan, yakni mengakhiri kelaparan (zero hunger). Persoalan pangan ini adalah persoalan hidup-mati sebuah negara. Kita pernah menjadi negara swasembada, pernah menyumbang ke negara tetangga, salah satunya Vietnam. Namun kini kita mengimport beras dari Vietnam,” sambungnya.
Menteri Kebudayaan melanjutkan dengan menyebutkan tentu tidak sembarang pangan, namun juga memperhatikan gizi karena dari sini muncul SDM-SDM unggul. Menurutnya ini sesuai pesan salah satu founding fathers Bangsa Indonesia, Mohammad Hatta, yakni kebahagiaan rakyat: cukup pangan, cukup sandang, jaminan kesehatan dan usia tua. Serta sejahtera rakyat: ekonomi baik, hidup layak, mencapai kebebasan.
Selanjutnya Menbud menyatakan jika terkait kebudayaan sektor pertanian tidak dapat dipisah. Pada hadirin yang hadir ia menyebutkan salah satu kearifan lokal yang sudah diakui dunia adalah sistem Subak di Bali, yang menurutnya juga ada di daerah lainnya di Indonesia dengan nama dan sistemnya sendiri.
“Termasuk bidang pertanian. Banyak ekspresi budaya yang terkait dengan segala sesuatu terkait padi mulai dari menanam hingga memanen. Bagaimana bersatunya petani dengan alam dan budaya, ini ada di kebudayaan kita masing-masing,” ujar Beliau.
“Fokus dari pemajuan kebudayaan adalah bagaimana menghidupkan pangan lokal yang memang budaya masyarakat setempat. Kuliner juga tidak dapat dipisah karena bagian dari produk budaya yang tidak dapat dipisah dari masyarakat. Ini bagian yang kita ajukan ke UNESCO sebagai intangible heritage. Kemarin tiga warisan budaya kita, yakni Reog Ponorogo, Kebaya, dan juga Kolintang telah menambah Warisan Budaya Takbenda Indonesia menjadi 16 warisan yang diakui UNESCO. Jamu yang salah satu diantaranya juga tentu memiliki keterkaitan dengan pertanian,” ungkap Menteri Fadli.
Pada akhir pidatonya Menteri Kebudayaan mengungkapkan kepada para peserta untuk bersama-sama kedepannya memajukan pertanian di Indonesia dengan
mengintegrasikan nilai- nilai budaya ke dalam strategi pertanian, serta memadukan inovasi teknologi yang berakar pada tradisi dan budaya.
“Persaingan kita kini dengan bangsa lain bukan dengan bangsa sendiri. Kini kita harus bersama- sama agar negara kita menjadi negara maju, diperhitungkan dunia, dan mencapai Indonesia emas, yang harus kita rintis mulai dari sekarang ini,” tutup Menteri Kebudayaan.
Pada muktamar ini, STII mengajak anggotanya dari seluruh Indonesia untuk bersinergi dengan pemerintah dan sektor pertanian lainnya guna memperkuat upaya menuju kedaulatan pangan. STII juga berharap kepada pemerintah untuk meningkatkan koordinasi dalam mencapai swasembada pangan, khususnya pada komoditas utama seperti beras, jagung, kedelai, dan tebu.
Seminar ini juga turut dihadiri oleh Prof. Dr. Mohammad Nur Rianto Al Arif, M.Si, selaku staf Ahli Mohammad Mardiono Utusan Khusus Presiden, Prof. Dr. Ali Zum Mashar selaku Wakil Ketua Umum PB STII, dan Rudi Rubijaya, S.P., M.Sc selaku Direktur Landreform Direktorat Jendral Penataan Agraria Kementrian Agraria dan Tata Ruang /BPN, serta 120 peserta yang merupakan pengurus STII dari 18 provinsi dan 46 kabupaten/kota. Pada seminar ini STII juga menyampaikan optimisme terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo dalam mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan.
Daftar Pertanyaan Komite II DPD RI Kalimantan Barat
Kaitan antara pelestarian kebudayaan, perubahan nama Bandara Supadio, sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak, dan ekonomi kerakyatan di Kalimantan Barat sangat relevan, terutama dalam konteks penguatan ekonomi berbasis budaya dan pemberdayaan masyarakat lokal. Ekonomi kerakyatan berfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat secara langsung, dengan memperhatikan potensi lokal dan keunikan budaya daerah, yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan.
1. Pelestarian kebudayaan sebagai pendorong ekonomi lokal
Pelestarian budaya lokal, seperti sejarah Kesultanan Kadriah dan situs-situs bersejarah lainnya, dapat memperkuat identitas daerah dan menjadi daya tarik pariwisata. Hal ini menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar, seperti peningkatan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang berfokus pada kerajinan tangan, kuliner lokal, dan penyediaan jasa wisata berbasis budaya. Dengan demikian, kebudayaan menjadi salah satu sumber daya ekonomi yang mendukung ekonomi kerakyatan.
2. Perubahan nama Bandara Supadio dan dampaknya terhadap pariwisata dan ekonomi
Nama bandara yang berkaitan dengan sejarah lokal, seperti Kesultanan Kadriah, dapat memperkuat citra daerah dan meningkatkan minat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Peningkatan pariwisata ini akan berdampak langsung pada ekonomi kerakyatan melalui sektor-sektor seperti perhotelan, restoran, dan sektor informal lainnya, yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
3. Pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan kebudayaan
Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan kebudayaan, termasuk penyelenggaraan festival budaya, pelatihan untuk melestarikan kerajinan tradisional, dan pengembangan produk berbasis budaya, dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian kerakyatan. Komite II DPD RI, melalui kewenangannya, dapat mendorong kebijakan yang mendukung penciptaan peluang ekonomi berbasis budaya, memperkuat ekosistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
4. Menghubungkan kebudayaan dengan ekonomi kreatif
Pelestarian kebudayaan tidak hanya berkaitan dengan sejarah, tetapi juga dengan penciptaan ekonomi kreatif yang berbasis pada warisan budaya. Dalam konteks Kalimantan Barat, ini bisa mencakup pembuatan produk berbasis adat dan budaya lokal yang dipasarkan, menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta meningkatkan partisipasi ekonomi kerakyatan melalui ekonomi kreatif dan industri kreatif.
Dengan demikian, pelestarian kebudayaan, sejarah Kesultanan Kadriah, dan perubahan nama Bandara Supadio dapat saling mendukung dalam memperkuat ekonomi kerakyatan di Kalimantan Barat, yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat lokal dan peningkatan kesejahteraan berbasis potensi budaya daerah.
Komite II DPD RI telah fokus pada beberapa isu penting yang berkaitan dengan pelestarian kebudayaan Kalimantan Barat, termasuk perubahan nama Bandara Supadio dan sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak. Beberapa topik yang menjadi perhatian dalam rapat atau diskusi termasuk pentingnya pelestarian identitas budaya lokal dan sejarah kerajaan, serta pengaruh perubahan nama Bandara Supadio terhadap citra budaya dan pariwisata Kalimantan Barat.
Terkait dengan perubahan nama Bandara Supadio, beberapa pertanyaan yang muncul berkisar pada bagaimana keputusan tersebut dapat mempengaruhi pengenalan budaya Kalimantan Barat di tingkat nasional dan internasional. Sementara itu, sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak yang merupakan bagian integral dari warisan budaya daerah, menjadi bagian dari upaya Komite II untuk memastikan bahwa cerita dan pengaruh Kesultanan Kadriah Pontianak tidak terlupakan dalam narasi sejarah Indonesia. Pelestarian nilai-nilai sejarah ini diharapkan bisa mendukung pendidikan kebudayaan dan penguatan karakter masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat.
Senator dari Kalimantan Barat, seperti Maria Goreti, juga menyoroti pentingnya pemahaman sejarah lokal dalam membentuk kebanggaan dan identitas bangsa, serta peran kebudayaan dalam menjaga keutuhan NKRI.
Berikut adalah daftar pertanyaan yang dapat diajukan oleh Komite II DPD RI terkait pelestarian kebudayaan Kalimantan Barat, perubahan nama Bandara Supadio, dan sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak:
1. Bagaimana perubahan nama Bandara Supadio dapat mempengaruhi identitas budaya Kalimantan Barat di tingkat nasional dan internasional?
2. Apa langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah daerah untuk memastikan bahwa sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak tetap dipelihara dan dipromosikan dalam pendidikan dan pariwisata?
3. Bagaimana peran Kesultanan Kadriah dalam sejarah Kalimantan Barat dapat dijadikan bagian dari kurikulum sejarah nasional?
4. Apa upaya yang dilakukan untuk melestarikan situs bersejarah yang terkait dengan Kesultanan Kadriah Pontianak, seperti istana dan masjid?
5. Apakah ada rencana untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pelestarian kebudayaan Kalimantan Barat melalui program-program berbasis komunitas?
6. Bagaimana proses pelestarian budaya lokal di Kalimantan Barat berhubungan dengan program pemerintah pusat dalam rangka pelestarian budaya bangsa?
7. Apa tantangan utama dalam pelestarian kebudayaan Kalimantan Barat, khususnya terkait dengan integrasi antara modernisasi dan warisan budaya?
8. Bagaimana perubahan nama Bandara Supadio berhubungan dengan strategi pengembangan pariwisata dan peningkatan kesadaran budaya di Kalimantan Barat?
9. Apa dampak dari perubahan nama Bandara Supadio terhadap pengakuan internasional terhadap Kalimantan Barat sebagai pusat kebudayaan dan sejarah?
10. Bagaimana proses pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek pelestarian budaya, dan sejauh mana peran mereka dihargai dalam upaya ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pentingnya pelestarian budaya dan sejarah lokal, serta dampaknya terhadap identitas daerah dan pengakuan budaya Indonesia secara lebih luas.
Komite II DPD RI memiliki kewenangan untuk mengawasi dan mendorong kebijakan di bidang pemerintahan daerah, pembangunan, dan budaya, yang berkaitan dengan pelestarian kebudayaan, sejarah, serta pengembangan potensi daerah, termasuk Kalimantan Barat. Berikut adalah hubungan antara pertanyaan yang diajukan dengan kewenangan Komite II DPD RI:
1. Pengaruh perubahan nama Bandara Supadio terhadap identitas budaya Kalimantan Barat
Komite II DPD RI memiliki kewenangan untuk menilai kebijakan daerah yang terkait dengan infrastruktur publik, terutama yang dapat mempengaruhi citra dan identitas daerah, termasuk nama bandara yang berhubungan dengan sejarah dan budaya lokal. Pertanyaan ini menggali sejauh mana kebijakan ini mendukung pelestarian budaya dan pariwisata lokal.
2. Langkah-langkah pelestarian sejarah Kesultanan Kadriah Pontianak dalam pendidikan dan pariwisata
Sebagai lembaga yang mengawasi kebijakan daerah dan nasional, Komite II DPD RI berperan dalam mendorong pelestarian sejarah, termasuk dalam bentuk program pendidikan dan pariwisata. Pertanyaan ini menilai kebijakan pelestarian sejarah lokal dan kontribusinya terhadap pembangunan nasional.
3. Peran Kesultanan Kadriah dalam kurikulum sejarah nasional
Komite II DPD RI dapat mengusulkan masukan untuk revisi atau pengembangan kurikulum pendidikan nasional yang mencakup nilai sejarah budaya daerah. Hal ini relevan dengan peran mereka dalam mendukung pengakuan dan penghargaan terhadap sejarah lokal.
4. Pelestarian situs bersejarah terkait Kesultanan Kadriah Pontianak
Komite II DPD RI memiliki kewenangan untuk mendorong kebijakan yang mendukung pelestarian situs bersejarah sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya dan peningkatan pembangunan daerah, termasuk melalui inisiatif pelestarian fisik dan pemeliharaan situs sejarah.
5. Pelibatan masyarakat dalam pelestarian budaya Kalimantan Barat
Kewenangan Komite II termasuk mendorong kebijakan yang melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan pelestarian kebudayaan lokal. Pertanyaan ini relevan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam program-program kebudayaan.
6. Pengaruh perubahan nama Bandara Supadio terhadap pengakuan internasional
Komite II DPD RI juga berperan dalam memastikan kebijakan daerah yang berdampak pada pengakuan nasional dan internasional, khususnya yang berkaitan dengan identitas daerah. Pertanyaan ini mengkaji sejauh mana kebijakan perubahan nama tersebut berdampak pada penguatan budaya daerah.
7. Dampak perubahan nama Bandara Supadio terhadap pariwisata dan kebudayaan
Komite II mengawasi kebijakan terkait pengembangan pariwisata dan budaya yang juga dapat mendongkrak citra daerah. Pertanyaan ini relevan dengan kebijakan yang mendukung upaya pengembangan pariwisata berbasis budaya.
8. Pelibatan masyarakat dalam kebijakan pelestarian budaya
Komite II dapat mengawasi implementasi kebijakan yang memastikan keterlibatan aktif masyarakat dalam pelestarian budaya daerah, serta memberikan rekomendasi terhadap pengembangan kebijakan tersebut
Pertanyaan-pertanyaan ini berhubungan erat dengan kewenangan Komite II dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan yang melibatkan pengembangan kebudayaan daerah, pelestarian sejarah, serta pengaruh kebijakan terhadap identitas dan pariwisata daerah, adapun dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
Komite II DPD RI memiliki kewenangan dan dasar hukum terkait dengan bidang pengawasan pembangunan daerah, ekonomi kerakyatan, dan kebudayaan, yang termuat dalam beberapa pasal berikut:
1. Pasal 22D UUD 1945
Pasal ini memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk memberikan masukan kepada DPR terkait dengan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan kebijakan yang berdampak pada daerah. Komite II DPD RI berperan dalam mengawasi kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan daerah, ekonomi, serta pelestarian kebudayaan,
2. Pasal 22A dan 22B UUD 1945
Pasal ini menetapkan bahwa DPD RI berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan di daerah, yang termasuk pengawasan terhadap pelestarian budaya lokal dan kebijakan pembangunan daerah. Komite II DPD RI mengemban tugas ini melalui pengawasan dan memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan kebijakan tersebut.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Pasal 22)
Dalam UU ini, Pasal 22 mengatur tentang kewenangan DPD dalam memberikan masukan dan usul kepada DPR mengenai bidang legislasi dan kebijakan yang berhubungan dengan otonomi daerah, termasuk pengembangan budaya dan ekonomi kerakyatan di daerah.
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pasal 8)
Pasal ini memberikan kewenangan kepada DPD untuk memberikan rekomendasi terhadap kebijakan yang mempengaruhi keuangan daerah, termasuk dalam pengelolaan kebudayaan dan pengembangan ekonomi lokal yang mendukung ekonomi kerakyatan.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Dalam konteks kebudayaan, pasal-pasal dalam undang-undang ini memberikan ruang bagi Komite II DPD RI untuk mengawasi dan memberikan masukan terkait kebijakan pemerintah yang mendukung pelestarian dan pemajuan kebudayaan, serta penguatan identitas budaya daerah seperti yang terjadi di Kalimantan Barat.
Dengan dasar hukum tersebut, Komite II DPD RI dapat melakukan pengawasan serta memberikan rekomendasi yang mendorong kebijakan yang mendukung pelestarian kebudayaan, pengembangan ekonomi kerakyatan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia memiliki kewenangan yang meliputi aspek pemerintahan daerah, pembangunan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Ruang lingkupnya mencakup kebijakan yang dapat memperkuat ekonomi kerakyatan, salah satunya melalui kebijakan penguatan sektor usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi, dan pelestarian budaya. Terkait dengan peraturan daerah yang mendukung ekonomi kerakyatan di Kalimantan Barat, Komite II DPD RI memiliki peran untuk mengawasi implementasi kebijakan tersebut agar sesuai dengan prinsip otonomi daerah dan keberpihakan terhadap pembangunan ekonomi masyarakat.
Peraturan daerah yang mendukung ekonomi kerakyatan, seperti Perda No. 2 Tahun 2019 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan Barat, dapat diperkuat oleh DPD untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan daerah tetap berpihak pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Komite II DPD RI dapat melakukan pemantauan atas implementasi rencana pembangunan jangka menengah, khususnya yang berkaitan dengan penguatan ekonomi lokal dan keberlanjutan pelestarian budaya yang berperan dalam perekonomian kerakyatan.
Selain itu, kewenangan Komite II DPD RI juga mencakup pengawasan terhadap kebijakan yang mendukung perbaikan infrastruktur ekonomi, seperti transportasi dan akses pasar untuk UKM dan sektor ekonomi lokal. Hal ini terkait dengan upaya mempercepat pembangunan wilayah dan mendukung masyarakat untuk meningkatkan daya saingnya. Dalam konteks kebijakan yang berkaitan dengan penguatan ekonomi kerakyatan, Komite II DPD RI bisa mendorong sinergi antara kebijakan pusat dan daerah serta memastikan bahwa regulasi daerah seperti Perda Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dapat terintegrasi dengan kebijakan nasional yang lebih luas.
Dengan demikian, Komite II DPD RI berperan penting dalam mengawal dan memastikan bahwa kebijakan daerah terkait penguatan ekonomi kerakyatan berjalan dengan efektif dan sesuai dengan prinsip otonomi daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Barat. ( Red )