Demokrasi Pancasila Diwarnai Nilai Nilai Islam Dengan Filosofi Thawaf Dalam Perisai Pancasila Lambang Negara Pada Sila Ke satu Cahaya Berbentuk Bintang Bersudut Lima
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Staf Ahli Khusus Senator Syarif Melvin AlKadrie, SH DPD RI Dapil Kalimantan Barat dan Menteri Dalam Nagari Kesultanan Kadriyah Pontianak)
BN – Teks judul diatas merujuk pada Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan, yang terkait dengan desain Lambang Negara Indonesia (Garuda Pancasila). Berikut adalah bunyi lengkap dari Pasal 48:
Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 berbunyi :
(1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.
(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:
a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
b. dasar kemanusiaan yang adil dan beradab dilambangkan dengan rantai yang terdiri atas dua bagian yang saling mengikat di bagian kiri perisai;
c. dasar persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin yang terdapat di bagian kanan perisai;
d. dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian bawah perisai;
e. dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan padi dan kapas yang terdapat di bagian bawah kanan perisai.
Pasal ini menjelaskan desain dan arti lambang negara Indonesia, yang mencakup simbol-simbol yang mewakili kelima sila dalam Pancasila.
Dalam membaca Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Lambang Negara Indonesia dengan filosofi Thawaf atau gilir balik, kita dapat menafsirkan desain Lambang Negara Indonesia, khususnya perisai yang menggambarkan lima sila Pancasila, sebagai suatu siklus atau perjalanan yang berputar, seperti yang digambarkan dalam praktik Thawaf di sekitar Ka’bah dalam ibadah haji.l
Filosofi Thawaf dalam Konteks Pasal 48 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
1. Thawaf sebagai Gerakan Berputar
Dalam Thawaf, jamaah berputar mengelilingi Ka’bah, mengulang gerakan yang memiliki makna kedekatan dengan Allah. Dalam konteks Pasal 48, filosofi ini dapat menggambarkan bagaimana kelima sila Pancasila (yang dilambangkan dalam perisai) saling berinteraksi dan berhubungan, membentuk suatu kesatuan yang utuh. Seperti gerakan Thawaf, tidak ada awal atau akhir, tetapi proses yang berkelanjutan, mencerminkan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Keterkaitan dan Keselarasan
Dalam pasal ini, masing-masing sila dilambangkan dengan simbol yang berbeda, namun memiliki satu kesatuan. Filosofi Thawaf mengajarkan bahwa setiap elemen—baik itu dalam konteks sila atau aspek kehidupan—meskipun tampak berbeda, saling terhubung dan harus bergerak dalam keselarasan.
Ketuhanan Yang Maha Esa (Nur Cahaya Bintang) adalah pusat dari perisai, menggambarkan bahwa segala hal berputar di sekitar nilai ketuhanan yang merupakan landasan utama bagi negara.
Kemanusiaan yang adil dan beradab (Rantai) dan Persatuan Indonesia (Pohon Beringin) memberikan keseimbangan dan memperkuat hubungan antar elemen negara, sebagaimana Thawaf yang mengedepankan kesatuan dalam keberagaman
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (Kepala Banteng) dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Padi dan Kapas) menggambarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi tujuan bersama.
3. Filosofi “Gilir Balik” dalam Kehidupan Sosial dan Negara
Filosofi gilir balik yang ada dalam Thawaf juga mengandung makna bahwa setiap perubahan atau perjalanan sosial harus selalu kembali kepada nilai-nilai dasar, yang dalam hal ini adalah Pancasila. Sebagaimana dalam Thawaf, jamaah yang mengelilingi Ka’bah senantiasa kembali pada titik pusat, demikian pula negara yang selalu kembali pada nilai-nilai Pancasila, dengan segala perubahan dan dinamika yang ada, agar tidak keluar dari garis pusat yang telah ditetapkan.
4. Keberlanjutan Nilai Pancasila
Seperti gerakan Thawaf yang dilakukan berulang kali, pasal ini menekankan bahwa Pancasila sebagai dasar negara harus dijaga dan diteruskan melalui simbol-simbol dalam Lambang Negara. Perputaran simbol-simbol Pancasila ini menunjukkan bahwa Pancasila bukanlah sesuatu yang statis, tetapi harus dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara secara dinamis.
Dengan demikian, dalam membaca Pasal 48 dengan filosofi Thawaf atau gilir balik, kita dapat melihat bahwa Lambang Negara Indonesia bukan hanya sekedar simbol, tetapi menggambarkan suatu proses berkelanjutan, keselarasan, dan keterhubungan antara nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana halnya dalam Thawaf yang merupakan simbol dari kedekatan, perputaran, dan kepulangan kepada nilai-nilai yang lebih tinggi.
Demokrasi Pancasila adalah sistem demokrasi yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, yang secara filosofis menggambarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah, dan keadilan sosial. Ketika dikaitkan dengan Islam dan filosofi thawaf, konsep ini dapat diperkaya dengan pendekatan spiritual dan etika Islam yang menekankan keteraturan, kepatuhan kepada Allah, serta persatuan umat manusia. Berikut adalah penjelasan detailnya:
1. Filosofi Thawaf
Thawaf adalah ritual mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dalam ibadah haji atau umrah. Secara filosofis, thawaf memiliki makna:
Kepatuhan kepada Allah: Semua aktivitas manusia berpusat pada Allah sebagai poros utama kehidupan.
Kesetaraan: Semua orang yang melakukan thawaf tidak memandang ras, suku, atau status sosial, melainkan setara di hadapan Allah.
Keteraturan dan Harmoni: Thawaf menggambarkan pergerakan yang harmonis dalam tata kosmik, menunjukkan keteraturan yang harus diikuti manusia dalam kehidupannya.
Kesadaran Kolektif: Thawaf mencerminkan kebersamaan umat manusia dalam mengarahkan tujuan hidup kepada Allah.
2. Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Islam
Demokrasi Pancasila sebagai sistem politik Indonesia berlandaskan pada Pancasila yang menekankan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Ketika diwarnai oleh nilai-nilai Islam, prinsip-prinsip demokrasi Pancasila mendapatkan dimensi moral dan spiritual yang lebih dalam:
a. Ketuhanan yang Maha Esa (Sila Pertama)
Dalam thawaf, Allah adalah pusat kehidupan, yang selaras dengan sila pertama. Dalam demokrasi Pancasila, semua keputusan harus berlandaskan moral Ketuhanan, menjaga keseimbangan duniawi dan ukhrawi.
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila Kedua)
Filosofi thawaf menekankan kesetaraan dan penghormatan terhadap semua manusia. Dalam demokrasi Pancasila, ini diterapkan dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial, tanpa diskriminasi.
c. Persatuan Indonesia (Sila Ketiga)
Thawaf menyimbolkan persatuan umat manusia dalam tujuan yang sama. Demokrasi Pancasila juga berupaya menyatukan keragaman budaya, agama, dan etnis di bawah prinsip persatuan bangsa.
d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan (Sila Keempat)
Thawaf menunjukkan keteraturan dan musyawarah alam semesta, yang bisa diterapkan dalam demokrasi Pancasila melalui musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.
Pemimpin dalam demokrasi Pancasila harus bertindak dengan hikmah dan kebijaksanaan, sebagaimana seorang Muslim yang memusatkan niat dan tindakannya kepada Allah.
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila Kelima)
Thawaf mengajarkan keadilan dan kesetaraan, yang tercermin dalam upaya mencapai keadilan sosial tanpa memandang golongan, sebagaimana diinginkan dalam demokrasi Pancasila.
3. Thawaf sebagai Metafora Demokrasi Pancasila
Poros Pusat (Allah dan Pancasila): Dalam thawaf, Allah adalah poros utama. Dalam demokrasi Pancasila, Pancasila adalah nilai dasar yang menjadi pusat dari seluruh kebijakan.
Kesetaraan Partisipasi: Seperti semua Muslim memiliki hak yang sama dalam thawaf, demokrasi Pancasila menjamin kesetaraan dalam partisipasi politik rakyat.
Keteraturan dalam Pluralisme: Thawaf menunjukkan harmoni dalam keragaman; ini serupa dengan demokrasi Pancasila yang menghormati pluralitas bangsa Indonesia.
4. Implementasi Nilai Thawaf dalam Demokrasi Pancasila
Musyawarah yang Berlandaskan Ketuhanan: Keputusan politik harus mengutamakan etika dan nilai moral yang sesuai dengan ajaran agama.
Pemimpin yang Adil dan Bijaksana: Pemimpin dalam demokrasi Pancasila diharapkan menjadi figur yang mencerminkan nilai-nilai keadilan sebagaimana kesetaraan dalam thawaf.
Pusatkan Kepentingan Umat: Seperti thawaf yang berpusat pada Allah, kebijakan negara harus berpusat pada kepentingan rakyat, tanpa terpengaruh oleh golongan tertentu.
Analisis klarifikasi hukum ketika kita mengaitkan Demokrasi Pancasila dengan filosofi thawaf memberikan dimensi spiritual yang mendalam dalam sistem politik Indonesia. Filosofi ini menekankan pentingnya keteraturan, kesetaraan, persatuan, dan ketuhanan sebagai inti dari demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Dengan demikian, Demokrasi Pancasila dapat menjadi model demokrasi yang tidak hanya menghormati nilai-nilai kebangsaan tetapi juga mengintegrasikan prinsip moral Islam sebagai landasan etis, dijabarkan secara tegas di alinea ketiga Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
Bunyi selengkapnya dari kalimat “Atas berkat Rahmat Allah dan didorong keinginan luhur” adalah bagian dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berikut ini adalah bunyi lengkapnya:
“Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Kalimat ini merupakan bagian dari Alinea I Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hasil dari keinginan luhur bangsa Indonesia untuk hidup bebas dan merdeka.
Frasa “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…” berasal dari Pembukaan UUD 1945, yang menjadi landasan filosofis dan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat ini sarat makna, baik dari perspektif keagamaan, kebangsaan, maupun moral. Berikut adalah penjelasan detailnya:
1. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”
Makna Keimanan:
Pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil perjuangan manusia, tetapi juga merupakan anugerah dari Allah Yang Maha Kuasa.
Menunjukkan sikap tauhid (keimanan kepada Allah), yang sesuai dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.
Membangun kesadaran bahwa manusia hanya berusaha, sementara hasilnya ditentukan oleh kehendak Allah.
Kesadaran Spiritual dan Syukur:
Frasa ini mengajarkan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diraih melalui perjuangan panjang.
Syukur ini tercermin dalam cara bangsa Indonesia mengelola kemerdekaan, yaitu dengan membangun negara yang adil dan sejahtera.
2. “Dengan didorong oleh keinginan luhur”
Motivasi Moral dan Kebangsaan:
Frasa ini menunjukkan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka bukan hanya didasari oleh kebutuhan praktis atau material, tetapi oleh semangat luhur yang berakar pada moral, etika, dan cinta tanah air.
Keinginan luhur ini mencakup cita-cita untuk membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.
Kesadaran Kolektif:
Kalimat ini juga mencerminkan semangat kolektivitas bangsa Indonesia yang bersatu demi tujuan bersama, yaitu kehidupan kebangsaan yang bebas.
3. “Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”
Kemerdekaan Sebagai Hak Asasi:
Kehidupan kebangsaan yang bebas berarti terbebas dari penjajahan dalam segala bentuknya. Hal ini selaras dengan Piagam PBB yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa.
Kemerdekaan yang dimaksud meliputi kebebasan politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Makna Filosofis:
Kehidupan kebangsaan yang bebas tidak hanya berarti kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Makna Keseluruhan
Kalimat ini adalah deklarasi bahwa kemerdekaan Indonesia diraih berkat rahmat Allah dan semangat luhur bangsa. Hal ini mencerminkan bahwa:
Landasan Keagamaan: Pengakuan terhadap peran Allah sebagai pemberi nikmat.
Semangat Nasionalisme: Kemerdekaan diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa demi cita-cita luhur.
Kesadaran Kolektif: Kemerdekaan bukan hasil kerja individu, melainkan perjuangan bersama.
Tanggung Jawab Moral: Kemerdekaan harus dikelola dengan baik untuk memenuhi tujuan negara, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Kalimat ini adalah pengingat bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga kemerdekaan dengan mengutamakan nilai-nilai moral, keagamaan, dan kebangsaan.
Paparan diatas hakekatnya adalah agar nilai-nilai Pancasila tidak keluar dari garis pusat edar, yaitu nilai tauhid, maka Pancasila harus selalu dijalankan berdasarkan kesadaran akan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama) sebagai landasan spiritual dan moral yang memandu seluruh sila lainnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui pendekatan filosofis dan praktis berikut:
4. Tauhid sebagai Poros Pancasila
Tauhid, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang Maha Esa, menjadi inti yang memberikan landasan moral dan spiritual bagi Pancasila. Dalam konteks ini:
Sila Pertama adalah landasan utama, yang mengajarkan bahwa seluruh kebijakan dan tindakan harus bersumber dari prinsip keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sila Kedua hingga Kelima harus diwarnai oleh nilai-nilai tauhid seperti keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama manusia.
5. Menjaga Pusat Edar Nilai Pancasila
Agar nilai-nilai Pancasila tetap berada dalam garis pusat edar nilai tauhid, diperlukan langkah-langkah berikut:
a. Menafsirkan Pancasila dalam Perspektif Tauhid
Setiap sila Pancasila harus dilihat dalam bingkai tauhid, misalnya:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Kemanusiaan yang ditanamkan adalah yang mengakui hak-hak manusia sebagai ciptaan Allah.
Persatuan Indonesia: Persatuan yang berlandaskan persaudaraan universal (ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah).
Musyawarah untuk Mufakat: Musyawarah yang dilakukan dengan mengedepankan keadilan dan kejujuran sebagai wujud ketaatan kepada Allah.
Keadilan Sosial: Mewujudkan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab kepada Tuhan.
b. Implementasi Nilai Tauhid dalam Kebijakan Publik
Seluruh kebijakan negara harus dirancang dengan mempertimbangkan nilai-nilai etis dan keadilan yang sejalan dengan prinsip Ketuhanan.
Kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya harus memperhatikan keadilan distributif, menghindari eksploitasi, dan mendukung kemaslahatan umum.
c. Pendidikan dan Sosialisasi Nilai Tauhid
Pendidikan nasional harus menanamkan nilai-nilai tauhid sebagai dasar moral Pancasila, mengajarkan integritas, kejujuran, dan kepedulian sosial.
Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa menjalankan Pancasila adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan.
6. Mengintegrasikan Tauhid dalam Pembangunan Nasional
Kebijakan Berbasis Ketuhanan: Pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan nasional tidak hanya berorientasi pada materi, tetapi juga pada kesejahteraan spiritual rakyat.
Pemimpin Berintegritas: Pemimpin harus menjadikan nilai tauhid sebagai pedoman utama dalam mengelola pemerintahan dan mengambil keputusan.
Hukum dan Keadilan: Sistem hukum harus ditegakkan berdasarkan nilai keadilan universal yang bersumber dari prinsip Ketuhanan.
7. Filosofi Garis Edar dan Thawaf
Filosofi Thawaf yang dipraktikkan dalam ibadah haji, yang menggambarkan gerakan berputar di sekitar Ka’bah, memiliki relevansi yang kuat dengan Demokrasi Pancasila, terutama dalam konteks sistem politik Indonesia. Gerakan Thawaf bukan sekadar sebuah ritual, tetapi juga menggambarkan prinsip keteraturan, kesetaraan, persatuan, dan ketuhanan, yang semuanya juga terkandung dalam Demokrasi Pancasila.
Keterkaitan Demokrasi Pancasila dengan Filosofi Thawaf:
7.1. Keteraturan dan Keberlanjutan
Dalam Thawaf, gerakan berputar mengikuti pola yang teratur dan tidak pernah berhenti. Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam Demokrasi Pancasila, sistem politik haruslah berjalan secara berkelanjutan dan teratur, dengan prinsip-prinsip Pancasila sebagai pedoman yang tidak boleh berubah meski dinamika kehidupan politik selalu bergulir. Dalam konteks ini, prinsip Pancasila sebagai dasar negara menjadi titik pusat yang harus selalu dihormati, sebagaimana Ka’bah menjadi titik pusat bagi umat Islam dalam Thawaf.
7.2. Kesetaraan dan Persatuan
Thawaf dilakukan oleh seluruh jamaah haji dengan cara yang sama, tanpa membedakan status sosial, latar belakang, atau kekayaan. Hal ini mencerminkan pentingnya kesetaraan dan persatuan dalam Demokrasi Pancasila, di mana setiap warga negara, terlepas dari status sosialnya, memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Demikian pula, meskipun Thawaf melibatkan individu, tujuannya adalah mencapai kesatuan hati dan tujuan bersama, yang juga tercermin dalam prinsip Persatuan Indonesia dalam Pancasila.
7.3. Ketuhanan
Di dalam Thawaf, jamaah haji berjalan dengan penuh pengabdian dan kesadaran akan ketuhanan. Demikian pula, dalam Demokrasi Pancasila, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti yang mengarahkan seluruh kebijakan dan tindakan negara. Demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan tidak hanya menjamin kebebasan beragama, tetapi juga mengarahkan seluruh proses demokrasi pada tujuan moral dan spiritual yang lebih tinggi, yaitu keadilan dan kebaikan untuk semua.
8.Dimensi Spiritual dalam Demokrasi Pancasila:
Demokrasi Pancasila menawarkan dimensi spiritual yang mendalam karena mengintegrasikan nilai-nilai moral yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sejalan dengan prinsip-prinsip agama, terutama Islam, yang mengajarkan keadilan, kesetaraan, dan kepedulian sosial. Hal ini menciptakan suatu harmoni antara prinsip moral Islam dan sistem politik yang berlandaskan pada Pancasila, yang menekankan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial, serta kesejahteraan umat.
Seperti yang dijabarkan dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
“Untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa Demokrasi Pancasila bukan hanya tentang pemerintahan yang sah, tetapi juga tentang mewujudkan kesejahteraan sosial, keadilan, dan perdamaian, yang merupakan nilai-nilai universal yang sesuai dengan ajaran moral agama, terutama dalam Islam. Filosofi Thawaf memberikan dimensi spiritual yang lebih dalam terhadap tujuan ini, karena dalam Thawaf, setiap langkah yang diambil mengarah kepada penyucian diri dan kedekatan dengan Tuhan, yang juga tercermin dalam cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, Demokrasi Pancasila yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Pancasila, dihubungkan dengan filosofi Thawaf, dapat menjadi model demokrasi yang tidak hanya menghormati nilai-nilai kebangsaan, tetapi juga mengintegrasikan prinsip moral agama, khususnya dalam hal ketuhanan, keadilan, dan kesejahteraan, sebagai landasan etis untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Sebagaimana dalam thawaf, semua gerakan mengelilingi pusat (Ka’bah) menggambarkan keteraturan dan kepatuhan kepada Allah, nilai-nilai Pancasila juga harus beredar mengelilingi inti, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika salah satu nilai keluar dari garis edar ini:
Risiko: Akan terjadi disorientasi moral dalam praktik politik, ekonomi, atau sosial.
Solusi: Mengembalikan semua aspek kebangsaan pada nilai-nilai keimanan kepada Tuhan yang menjadi sumber kekuatan moral dan etika.
Tauhid adalah pusat filosofi yang menjaga nilai-nilai Pancasila tetap harmonis dan relevan. Dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai poros utama, Indonesia dapat menjalankan demokrasi dan pembangunan yang berorientasi pada keadilan, kesejahteraan, dan keharmonisan sosial. Pancasila akan tetap menjadi pedoman jika dijalankan dengan kesadaran tauhid yang kokoh, sebagaimana thawaf menjaga orbit manusia dalam mengelilingi Ka’bah.
9.Korelasi Sila-Sila Pancasila dengan QS An-Nur: 34-35 Sebagai Kiblat Spiritual dan Filosofis
QS An-Nur: 34-35 memberikan panduan spiritual yang menjelaskan peran wahyu Allah sebagai pedoman hidup (ayat 34) dan perumpamaan cahaya Allah sebagai sumber petunjuk dalam kehidupan manusia (ayat 35). Ayat-ayat ini dapat menjadi dasar filosofis dan spiritual yang berkorelasi dengan sila-sila Pancasila sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.
Tauhid yang menjadi inti dari QS An-Nur ini juga selaras dengan makna Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan utama, dengan sila lainnya berada dalam orbit moral tauhid.
9.1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Korelasi dengan QS An-Nur: 34-35
Ayat 34 menegaskan pentingnya mengikuti wahyu Allah sebagai petunjuk hidup, dan ayat 35 menggambarkan cahaya Allah sebagai inti yang menerangi kehidupan manusia.
Tauhid sebagai landasan spiritual: Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pengakuan bahwa semua nilai dalam kehidupan harus berpusat pada cahaya Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 35.
Implementasi dalam Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar moral untuk seluruh sila lainnya, mengarahkan manusia pada keadilan, kemanusiaan, dan persatuan.
9.2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Korelasi dengan QS An-Nur: 34-35
Ayat 34 menekankan pentingnya pelajaran dari umat terdahulu untuk membangun ketakwaan. Ayat 35 mengisyaratkan cahaya Allah sebagai panduan untuk mencapai kehidupan yang adil dan bermartabat.
Makna spiritual: Kemanusiaan yang adil dan beradab hanya bisa dicapai jika manusia memahami posisinya sebagai makhluk Allah yang wajib berbuat baik kepada sesama, sebagaimana diajarkan dalam wahyu.
Filosofi Tauhid: Konsep keadilan berakar pada tauhid, yaitu mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki hak dan martabat yang sama.
9.3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Korelasi dengan QS An-Nur: 34-35
Ayat 35 menyebut “Allah adalah cahaya langit dan bumi,” yang melambangkan kesatuan kosmik di bawah satu kekuasaan Ilahi. Persatuan Indonesia mencerminkan kesadaran akan pentingnya persaudaraan dalam bingkai tauhid.
Makna spiritual: Persatuan adalah bagian dari manifestasi cahaya Allah yang menuntun manusia untuk menghindari perpecahan dan mengedepankan harmoni dalam kebhinekaan.
9.4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Korelasi dengan QS An-Nur: 34-35
Ayat 34 berbicara tentang pentingnya wahyu Allah sebagai panduan hidup, yang mencakup pengambilan keputusan dengan hikmah.
Prinsip spiritual: Permusyawaratan membutuhkan cahaya hikmah (ilmu dan moral) yang bersumber dari Allah untuk mencapai keputusan yang adil dan bijaksana.
Implementasi: Nilai ini mendorong pengambilan keputusan berdasarkan prinsip tauhid, yakni musyawarah untuk kemaslahatan yang lebih besar.
9.5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Korelasi dengan QS An-Nur: 34-35
Ayat 34 menekankan pembelajaran dari umat terdahulu untuk bertakwa, yang mengajarkan keadilan sebagai nilai utama. Ayat 35 menunjukkan bahwa keadilan adalah bagian dari cerminan cahaya Allah di dunia.
Makna spiritual: Keadilan sosial adalah manifestasi dari sifat Allah yang Maha Adil, yang menjadi teladan bagi manusia dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan merata.
Implementasi: Keadilan sosial hanya dapat tercapai jika manusia menjadikan tauhid sebagai pusat orbit nilai, sehingga setiap kebijakan mengedepankan keseimbangan dan kesejahteraan.
10.Filosofi Orbit dan Kiblat Tauhid dalam Pancasila
QS An-Nur: 35 sebagai Kiblat Pancasila
Perumpamaan “cahaya Allah” menggambarkan bahwa semua nilai-nilai dalam Pancasila harus tetap beredar pada poros tauhid.
Artinya jika implementasi nilai nilai Pancasila keluar dari orbit tauhid, maka akan terjadi disorientasi moral dan spiritual dalam pelaksanaannya.
Filosofi Thawaf:
Seperti dalam thawaf, nilai-nilai Pancasila harus terus bergerak mengelilingi pusat, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua sila berputar harmonis dalam garis edar yang dipandu oleh tauhid.
Korelasi QS An-Nur: 34-35 dengan sila-sila Pancasila menunjukkan bahwa:
1. Sila Pertama menjadi inti yang memandu sila-sila lainnya dengan nilai tauhid sebagai pusat orbit.
2. Sila Kedua hingga Kelima mencerminkan prinsip-prinsip yang berasal dari cahaya Allah, seperti keadilan, persatuan, dan kebijaksanaan.
3. QS An-Nur: 35 adalah filosofi spiritual yang menjadikan tauhid sebagai kiblat dalam implementasi Pancasila, memastikan nilai-nilai Pancasila tetap berada dalam orbit yang diridai Allah.
11.Asal muasal simbol Nur Cahaya bintang bersudut lima dalam Perisai Pancasila
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara memiliki kesinambungan spiritual dengan ajaran Islam, terutama dalam membangun masyarakat yang bertakwa, berkeadilan, dan beradab.
Informasi tersebut memiliki relevansi historis yang sangat penting dalam menggali hubungan antara simbolisasi Pancasila dan nilai-nilai Islam. QS An-Nur: 35 (ayat tentang Nur Ilahi atau cahaya Allah) dijadikan salah satu inspirasi spiritual bagi Mohammad Natsir ketika memberikan masukan kepada Sultan Hamid II dalam proses perancangan lambang negara Republik Indonesia, khususnya dalam representasi sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berikut adalah penjelasan berdasarkan konteks historis:
1. Masukan Mohammad Natsir kepada Sultan Hamid II
Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam dan politikus ulung, dikenal sangat mendalami konsep tauhid dan nilai-nilai Islam dalam kerangka bernegara. Dalam transkrip Sultan Hamid II yang dikutip oleh Solichin Salam (wartawan Istana), Natsir menyarankan agar simbol sila pertama Pancasila tidak sekadar menjadi lambang visual, tetapi juga menyampaikan nilai spiritual yang mendalam.
QS An-Nur: 35 sebagai inspirasi:
Natsir menyebut ayat ini untuk menggambarkan kehadiran Allah sebagai cahaya yang menerangi kehidupan manusia, sebagaimana sila pertama melandasi moralitas bangsa. Bintang bersudut lima dianggap tepat untuk melambangkan tauhid dalam konteks pluralisme, tanpa kehilangan substansi keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Cahaya sebagai simbol universal:
Nur atau cahaya dalam QS An-Nur: 35 tidak hanya menjadi simbol agama tertentu tetapi juga merepresentasikan nilai universal Ketuhanan yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia yang majemuk.
2. Implementasi dalam Lambang Negara
Bintang bersudut lima yang ditempatkan di perisai Garuda Pancasila pada bagian tengah (pasal 48 ayat 2 huruf b, UU Nomor 24 Tahun 2009) mencerminkan:
1. Tauhid: Cahaya yang bersumber dari Allah sebagai inti nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Keberagaman: Lima sudut bintang mencerminkan harmoni dan penerimaan atas keragaman kepercayaan di Indonesia, dengan tetap berpusat pada nilai Ketuhanan.
3. Pusat orbit nilai Pancasila: Seperti yang disebutkan dalam ayat, Allah adalah cahaya langit dan bumi, nilai Ketuhanan menjadi poros yang mengarahkan sila-sila lainnya.
3. Filosofi QS An-Nur: 35 pada Lambang Negara
Cahaya Allah dan Bintang Bersudut Lima:
Ayat ini mengibaratkan Allah sebagai cahaya yang menyinari seluruh kehidupan, yang sejalan dengan simbol bintang sebagai pusat panduan (iluminasi).
Bintang bersudut lima tidak hanya simbol fisik, tetapi juga refleksi nur ilahi yang mengarahkan bangsa dalam menjalankan nilai-nilai Ketuhanan.
Lampu dalam kaca dan pelita:
Dalam ayat, disebutkan perumpamaan “lampu dalam kaca, kaca itu seperti bintang yang bercahaya”. Filosofi ini relevan dengan bintang di Pancasila, yang berfungsi menerangi seluruh aspek kehidupan bangsa, terutama dalam menghadirkan keadilan sosial, kemanusiaan, persatuan, dan kebijaksanaan.
4. Kontribusi Sultan Hamid II
Sultan Hamid II, sebagai desainer lambang negara, mengakomodasi masukan dari berbagai tokoh bangsa, termasuk Mohammad Natsir. Dalam proses perancangan:
1. Bintang bersudut lima diletakkan di tengah perisai untuk menegaskan nilai Ketuhanan sebagai inti Pancasila
2. Filosofi spiritual yang terkandung dalam QS An-Nur: 35 menjadikan lambang ini lebih dari sekadar simbol, melainkan perwujudan nilai tauhid yang fundamental dalam konteks bernegara.
Kesimpulan
Masukan Mohammad Natsir berdasarkan QS An-Nur: 35 memiliki dampak signifikan dalam merumuskan simbol sila pertama Pancasila. Perwujudan konsep ini melalui bintang bersudut lima dalam lambang negara tidak hanya mengakar pada spiritualitas Islam, tetapi juga relevan secara universal.
Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 secara hukum memastikan posisi bintang sebagai simbol Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sekaligus mencerminkan filosofi orbit nilai Pancasila yang berpusat pada tauhid. Dengan demikian, bintang dalam perisai Garuda adalah refleksi dari nur ilahi yang menerangi arah hidup bangsa Indonesia.
Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai asas dan materi muatan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan penjabaran dari filosofi yang terkandung dalam Pancasila untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan keberagaman yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut adalah beberapa cara bagaimana nilai-nilai Pancasila, terutama yang terkandung dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, diterapkan dalam asas dan materi peraturan perundang-undangan Indonesia:
1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Peraturan Perundang-Undangan
Sila pertama Pancasila menekankan nilai tauhid, yaitu pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai ini menjadi dasar utama dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, yang mengatur segala aspek kehidupan baik secara individu, sosial, maupun negara.
Asas Kebebasan Beragama:
Peraturan perundang-undangan Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara, sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Misalnya, dalam UUD 1945 Pasal 29, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini mencerminkan penghormatan terhadap perbedaan agama, namun tetap berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
Dalam peraturan ini, dinyatakan bahwa pernikahan dilakukan atas dasar persetujuan kedua pihak dengan memperhatikan ajaran agama dan negara. Ini menunjukkan bahwa hukum Indonesia mengedepankan nilai spiritual dan religius yang terkandung dalam Pancasila, di mana agama menjadi pedoman dalam melaksanakan kehidupan sosial.
2. Asas Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua Pancasila mengutamakan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menekankan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan perlakuan yang adil terhadap semua individu tanpa diskriminasi.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Undang-undang ini menekankan pada perlindungan hak-hak dasar setiap warga negara, seperti hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak atas kebebasan beragama, dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum. Semua ini berakar pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, yang dijamin oleh Pancasila.
Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak:
Pancasila juga tercermin dalam peraturan yang mengutamakan perlindungan terhadap perempuan dan anak, misalnya dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Nilai ini sejalan dengan asas keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam peraturan perundang-undangan.
3. Asas Persatuan Indonesia
Sila ketiga Pancasila menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman, yaitu menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa dalam segala perbedaan yang ada.
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia:
Dalam undang-undang ini, diatur bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia berhak menjadi warga negara Indonesia tanpa memandang latar belakang etnis, agama, atau budaya. Hal ini sejalan dengan semangat persatuan Indonesia yang berlandaskan pada penerimaan terhadap keberagaman yang ada di Indonesia.
UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis:
Undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara Indonesia dari segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, etnis, agama, atau golongan, mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman yang ada di Indonesia.
4. Asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila keempat Pancasila mengajarkan bahwa kekuasaan negara dijalankan berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam musyawarah untuk mencapai mufakat, yang tercermin dalam sistem demokrasi Indonesia.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
Dalam undang-undang ini, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan melalui proses musyawarah yang melibatkan perwakilan rakyat dan lembaga negara terkait, sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat yang terkandung dalam Pancasila.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu:
Pemilu di Indonesia dilaksanakan dengan prinsip perwakilan, di mana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk menentukan kebijakan negara. Sistem ini mencerminkan prinsip kerakyatan dalam Pancasila yang mengedepankan partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara.
5. Asas Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima Pancasila mengedepankan pentingnya keadilan sosial, yaitu distribusi kekayaan dan sumber daya yang merata agar tercipta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:
Dalam undang-undang ini, diatur bahwa pembangunan nasional harus memperhatikan prinsip pemerataan dan keadilan sosial, termasuk dalam hal distribusi kekayaan dan pembangunan daerah tertinggal. Hal ini sejalan dengan sila kelima Pancasila yang menekankan keadilan sosial.
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:
Undang-undang ini mengatur tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan sosial, dan menciptakan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam peraturan perundang-undangan Indonesia memastikan bahwa dasar negara ini tidak hanya menjadi norma konstitusional, tetapi juga diterjemahkan secara praktis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam setiap kebijakan dan regulasi, nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial diupayakan untuk menciptakan negara yang adil, makmur, dan sejahtera, serta mencerminkan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Mengapa Kaum khilafah,dan kaum ideologis menolak demokrasi itu,hanya berdasarkan ijtihad mereka,tetapi bagi kami YPMA ( Yayasan Pembina Mualaf At Tauhid) tidak menolak demokrasi Pancasila, artinya YPMA tidak menolak demokrasi(menerima demokrasi)berdasarkan ijtihad,dan pemikiran serta pemahamannya YPMA..
Tentunya dengan berbagai pertimbangan:
1- al Qur’an tidak menolak sistem apa pun di dunia ini,Al Qur’an hanya bertindak sebagai Muhaiminan
2- Al Qur’an hanya ber tindak sebagai “Muhaiminan” yaitu filter,saringan, baru ujian bagi sistem,dan kitab yang lainnya..
3- Al Qur’an menerima dan membenarkan taurat, Injil Zabur dan kitab nabi Nabi yg lainnya (mushaf)dalam konteks yang sesuai dg Al Qur’an, sedangkan yg tidak sesuai dg Al Qur’an, tentunya di tolaknya, kerena al Qur’an mempunyai sifat sebagai “Muhaiminan” filter, serta batu ujian bagi kitab yg lainnya.
4- demikian juga dengan demokrasi, nilai nilai demokrasi yg baik,yg sesuai dg Al Qur’an, seperti musyawarah, kesetaraan, keadilan dll, YPMA terima
5- sedangkan nilai nilai demokrasi yg buruk, tentunya YPMA menolaknya
6- seperti voting terhadap sesuatu secara bebas, tentunya YPMA tolak..
7- YPMA tidak menolak sistem apapun di dunia, kerena YPMA menyadari, sistem buatan manusia, pasti ada baiknya, dan tentunya juga belum tentu lolos dari keburukannya,yg buruk itu di filter oleh Al Qur’an, dan YPMA menolaknya.
8- kebanyak ulama di MUI,dan ulama dunia menerima demokrasi, jadi ulama Khalaf secara ijma’ menerima demokrasi, demikian juga dg sistem monarki,dan ke emiran dll.ulama Khalaf menerimanya..
9- NU, Muhammadiyah Al Irsyad,persis dll menerima, jadi YPMA yg awam juga menerimanya..
Dan YPMA bermakmum juga kepada mereka, sebagai senior, dan sebagai mayoriti umat Islam.
Demikian pertimbangkan YPMA, dalam menerima demokrasi,dan tentunya YPMA ini komunitas manusia awam,di persilahkan anggota YPMA bebas memilih, untuk menerima dan “menolak demokrasi saat ini”, yg penting Ukhuwah Islamiyah tetap terjaga .
Pernyataan ini selaras pengurus kami yang dalam disampaikan pada Litbang kewilayahan yang menggambarkan pandangan yang berusaha mengakomodasi penerimaan terhadap demokrasi dalam konteks pemahaman keislaman, khususnya dari perspektif YPMA. Pandangan ini memperlihatkan sikap terbuka terhadap sistem demokrasi dengan berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan ijtihad, serta perspektif terhadap Al-Qur’an sebagai filter atau saringan bagi sistem-sistem buatan manusia. Berikut adalah rangkuman dari beberapa poin utama yang dapat dianalisis:
1. Al-Qur’an sebagai Muhaiminan
Al-Qur’an diakui sebagai kitab yang mengawasi dan memvalidasi sistem-sistem lain yang ada. Dalam konteks ini, Al-Qur’an tidak menolak sistem apapun di dunia, asalkan sistem tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebagai “Muhaiminan” (penjaga dan penguji), Al-Qur’an berperan untuk memfilter dan memastikan sistem yang diterima sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam.
2. Penerimaan Nilai Demokrasi yang Sesuai dengan Al-Qur’an
YPMA menerima prinsip-prinsip demokrasi yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti musyawarah, kesetaraan, dan keadilan. Ini mencerminkan prinsip Islam yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan secara kolektif dan adil.
3. Penolakan terhadap Nilai Demokrasi yang Tidak Sesuai
Dalam hal ini, YPMA menolak aspek-aspek demokrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, voting bebas yang mungkin mengarah pada keputusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam atau mengabaikan nilai moral dalam pengambilan keputusan.
4. Penerimaan Terhadap Sistem yang Dibuat Manusia
YPMA mengakui bahwa sistem-sistem yang dibuat manusia pasti memiliki baik dan buruknya. Oleh karena itu, sistem apapun, termasuk demokrasi, dapat diterima sepanjang prinsip-prinsip yang ada tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan kata lain, sistem ini adalah produk ijtihad manusia, dan dengan adanya filter dari Al-Qur’an, aspek yang tidak sesuai akan ditolak.
5. Pendapat Ulama dan Konsensus
YPMA mencatat bahwa mayoritas ulama di MUI, NU, Muhammadiyah, serta komunitas Islam lainnya menerima demokrasi dan sistem-sistem lain yang ada. Konsensus ulama ini menunjukkan bahwa sistem seperti demokrasi, monarki, atau emirat dapat diterima dalam konteks tertentu, asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
6. Ukhuwah Islamiyah sebagai Fokus Utama
Walaupun ada perbedaan pandangan tentang penerimaan demokrasi atau sistem lainnya, yang penting menurut YPMA adalah menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Hal ini menunjukkan sikap toleransi dalam komunitas, di mana perbedaan pandangan politik atau ideologi dihargai selama prinsip persatuan dan keharmonisan umat Islam tetap terjaga.
Pandangan YPMA tentang demokrasi adalah sebuah pendekatan yang pragmatis dan berlandaskan pada ijtihad yang sejalan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an. YPMA tidak menolak demokrasi secara keseluruhan, namun memilih untuk menerima aspek-aspek yang sesuai dengan ajaran Islam dan menolak yang bertentangan. Sikap ini menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi perkembangan zaman, sambil tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan mengedepankan prinsip keadilan serta kesejahteraan umat. ( Red )