
Analisis Semiotika Hukum Kasus Ijazah Negeri Konoha & Mulainya Perang “Bratayuda Hukum”
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Cerita Pengantar
Judul: Semiotika Hukum “Geger Ijazah di Negeri Konoha”
Pada suatu pagi yang cerah di Desa Konoha, suasana damai tiba-tiba berubah setelah sebuah berita heboh menyebar lewat burung ninja pos:
“Seorang Shinobi senior diduga menggunakan ijazah palsu untuk naik jabatan menjadi Jonin!”
Desas-desus ini bikin geger seluruh Konoha, terutama para petinggi desa seperti Hokage Naruto, Shikamaru sang penasihat, dan bahkan Tsunade yang sedang pensiun pun sampai balik dari liburan ke Kasino Ryokugawa.
Ternyata, si pelaku adalah… Iruka-sensei?!
Tapi tunggu dulu, bukan Iruka yang asli, melainkan seorang ninja penyamar dari desa sebelah yang pernah gagal di ujian Chuunin. Ia menyusup, mencuri data ninja akademi, dan mencetak ijazah palsu bertanda tangan Sandaime Hokage!
Naruto murka.
“Sampai nama Jiraiya-sensei dicatut segala di transkrip nilai… ini sudah keterlaluan!”
Shikamaru pun mengadakan investigasi.
Hasilnya mencengangkan: ternyata banyak ninja Konoha yang nggak tahu kalau nilai Taijutsu mereka di database aslinya cuma “C-“, tapi di ijazah palsu bisa jadi “A+”. Bahkan Rock Lee sampai curiga kenapa dia dikira pernah ikut kelas Genjutsu, padahal dia nggak bisa Genjutsu sama sekali.
Konoha pun geger.
Dibentuklah Tim Satgas Anti Ijazah Palsu, terdiri dari:
Shino (ahli pelacak jejak digital ninja),Hinata (Byakugan mode audit dokumen),Sai (menggambarkan sketsa pelaku dengan tinta canggih),Dan tentu saja, Naruto sendiri, sebagai Hokage dengan rasa keadilan tinggi.
Akhirnya, setelah penyelidikan panjang, pelaku ditangkap: seorang mantan ninja administratif yang dulu ditolak jadi Chuunin karena salah isi formulir. Ia sakit hati dan membuat startup gelap bernama “NinjaCert.co.kon” — portal penyedia ijazah kilat ninja.
Ending-nya?
Semua ijazah palsu dibakar di lapangan Konoha, dan semua ninja harus ikut “Ujian Revalidasi Nasional Shinobi” yang dibuat langsung oleh Kakashi, Tsunade, dan Guy-sensei.
Analisis Semiotika Hukum
Ijazah merupakan dokumen resmi yang memuat data pribadi seseorang, antara lain nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, nomor induk, satuan pendidikan, tahun kelulusan, serta gelar akademik yang diperoleh. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), ijazah termasuk dalam kategori data pribadi umum, yang dilindungi hak dan kerahasiaannya oleh hukum.
Dalam perspektif kategorisasi hukum, Pasal 1 angka 1 UU PDP menyatakan bahwa data pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan/atau non-elektronik. Dengan demikian, setiap elemen dalam ijazah memiliki kekuatan identifikasi terhadap pemiliknya, menjadikannya sah sebagai data pribadi. Oleh karena itu, pengelolaan ijazah wajib tunduk pada prinsip perlindungan data pribadi.
Secara klarifikasi hukum, hak atas data pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PDP berbunyi: setiap orang memiliki hak atas perlindungan data pribadinya. Hak ini diperkuat oleh Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan bahwa kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Artinya, siapa pun yang ingin menampilkan atau menyebarluaskan data dalam ijazah wajib memperoleh persetujuan dari pemiliknya. Tanpa persetujuan tersebut, tindakan itu berpotensi melanggar hak privat dan hukum.
Dalam verifikasi hukum, Pasal 28 UU PDP menyatakan bahwa pengendali data pribadi dapat memberikan data pribadi kepada pihak lain berdasarkan persetujuan subjek data pribadi atau perintah peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, verifikasi ijazah hanya dapat dilakukan oleh institusi resmi seperti lembaga pendidikan, instansi pemerintah, atau lembaga penegak hukum atas dasar permintaan pemilik data atau ketentuan undang-undang yang berlaku. Artinya, verifikasi boleh dilakukan tetapi terbatas dalam ruang lingkup tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Lebih lanjut, validasi hukum terhadap keabsahan dan penggunaan ijazah diatur dalam Pasal 33 UU PDP yang menyatakan bahwa pengendali data pribadi wajib memastikan keakuratan, kelengkapan, dan konsistensi data pribadi sesuai dengan tujuan pemrosesan. Validasi terhadap ijazah boleh dilakukan dalam konteks administratif seperti penerimaan CPNS, seleksi beasiswa, atau akreditasi, selama informasi tersebut digunakan sesuai dengan tujuan yang sah. Dalam hal ini, pemilik ijazah juga memiliki hak untuk meminta koreksi atau pembaruan data sebagaimana dijamin dalam Pasal 5 ayat (1) huruf g UU PDP.
Namun, apabila terjadi falsifikasi hukum, baik dalam bentuk pemalsuan, pengubahan, atau penyebaran ijazah palsu, maka tindakan tersebut tergolong sebagai pelanggaran hukum berat. Pasal 35 UU ITE menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memanipulasi, menciptakan, mengubah, menghilangkan, merusak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud agar dianggap seolah-olah data tersebut adalah data yang autentik, dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 48 ayat (1) UU ITE. Selain itu, Pasal 67 dan Pasal 68 UU PDP juga menyatakan bahwa penggunaan data pribadi secara melawan hukum tanpa persetujuan dapat dipidana dengan penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Dengan demikian, secara menyeluruh, ijazah adalah dokumen yang diakui sebagai data pribadi dalam sistem hukum Indonesia. Ia hanya boleh ditampilkan oleh pemiliknya secara sukarela, atau oleh lembaga tertentu dengan dasar hukum yang jelas. Penyalahgunaan atau penyebaran ijazah tanpa izin dapat berakibat hukum serius, termasuk sanksi pidana dan perdata. Hukum telah memberikan garis yang tegas dalam melindungi martabat dan identitas setiap warga negara, sebagaimana tercermin dalam regulasi terkait perlindungan data pribadi dan transaksi elektronik.
Mendekonstruksi Asas Actori Incumbit Probatio: Jalan Tengah Menuju Keadilan Substantif
Pandangan dan analisis Pierre Suteki
Syahdan, kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi kembali mencuat. Sebagaian rakyat menggugat, meminta kejelasan kepada para pihak terkait, baik pihak UGM maupun Jokowi sendiri. Ketika disambangi oleh TPUA untuk klarifikasi ijazah Jokowi, pihak Jokowi tetap berdalih pada asas actori incumbit probatio. Ijazah asli Jokowi tidak ditunjukkan oleh pihak Jokowi agar polemiknya tidak berkepanjangan. Akankah hanya satu jalan untuk menyudahi kontroversial ijazah Jokowi? Dan jalan itu adalah proses hukum di pengadilan. TUN, Perdata ataukah Pidana? Yang akan kita bicarakan berikut adalah Pengadilan Perdata, berkaitan dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan asas universal actori incumbit probatio.
Actori In Cumbit Probatio adalah asas dalam hukum acara perdata yang secara harfiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Asas ini dikenal dalam hukum acara perdata dan secara eksplisit diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1865 KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut menetapkan bahwa yang diembani kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa.
Dalil tersebut di atas juga berarti bahwa“Actori incumbit probatio” adalah pepatah hukum Latin yang berarti “beban pembuktian berada di tangan penggugat.” Prinsip ini merupakan aspek penting dari sistem hukum di yurisdiksi hukum umum seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Secara bebas, prinsip “Actori incumbit probatio” juga berarti bahwa penggugat dalam sengketa hukum memiliki tanggung jawab untuk memberikan bukti guna mendukung tuntutan mereka. Tergugat tidak diharuskan untuk membuktikan ketidakbersalahan mereka atau membantah tuntutan penggugat kecuali penggugat telah memenuhi beban pembuktian mereka. Dengan kata lain, penggugat harus memberikan bukti untuk meyakinkan pengadilan bahwa tuntutan mereka benar, dan jika mereka gagal memenuhi beban ini, kasus mereka dapat dibatalkan. Prinsip ini membantu memastikan bahwa keputusan hukum didasarkan pada bukti dan bukan hanya pada tuduhan atau dakwaan.
Dengan demikian, sebenarnya penggunaan asas “Actori incumbit probatio” proses persidangan harus menekankan pada pentingnya bukti dalam sistem hukum dan membantu memastikan bahwa sengketa hukum diselesaikan secara adil dan objektif fakta yang disangkal atau dilawan perlu dibuktikan oleh pihak lawan. Sejalan dengan hal tersebut tidak menyangkal atau membantah dianggap mengakui dalil atau fakta yang diajukan. Secara normatif, asas actori in cumbit probatio juga berkonsekuensi pada aktif pasifnya hakim. Berdasar asas tersebut maka hakim sebenarnya bersikap pasif bahkan tidak perlu terbebani dengan pembuktiannya. Beban pembuktian 100% persen ada pada pihak penggugat, bukan pada tergugat apalagi hakim.
Pertanyaannya adalah apakah asas itu berlaku mutlak untuk semua keadaan ataukah dalam keadaan tertentu dapat disimpangi? Misalnya terkait dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas dugaan adanya ijazah palsu. Haruskah beban pembuktian hanya ada pada penuduh atau penggugat, sementara tertuduh atau tergugat hanya pasif dalam proses pembuktian. Fairkah ketika para penuduh sudah berusaha mati-matian mengajukan berbagai alat bukti, sementara tertuduh diam hanya sebatas membantah tanpa menunjukkan adanya barang bukti (ijazah, surat) yang dipersoalkan?
Terkait dengan tuduhan palsu atas surat, sertifikat atau ijazah yang tidak mungkin barangnya dalam penguasaan penuduh, alangkah baiknya hakim bersikap adil dengan cara membagi beban pembuktian kepada pihak penuduh dan tertuduh. Artinya, selain penuduh atau penggugat wajib mengajukan bukti-bukti yang menunjukkan indikasi kepalsuan dokumen, maka hakim juga dapat memerintahkan agar pihak tertuduh menghadirkan dokumen yang digugat keasliannya tersebut.
Jika asas fairness yang diutamakan, maka
mekanisme pembuktian sebuah dokumen yang diragukan keasliannya, bukan hanya dengan melihat langsung, melainkan juga perlu dengan pendekatan saintifik-ilmiah yaitu dengan melakukan uji laboratorium forensik yang pada pokoknya untuk membuktikan dan memastikan apakah kertas dokumen ijazah asli, tinta dokumen ijazah asli, fontasi ijazah asli hingga spesimen tanda tangan pejabat yang dibubuhkan asli. Hasil investigasi tersebut disempurnakan dengan keterangan ahli forensik yang memiliki kepakaran dalam memberikan analisis dan kesimpulan mengenai keabsahan sebuah dokumen.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, adakah hakim yang berani melakukan terobosan hukum (rule breaking) untuk mengatasi segala kebuntuan hukum lantaran pihak tergugat berlindung di balik asas actori incumbit probatio? Mestinya ada, yakni para hakim yang mempunyai keberanian (braveness) dan pejuang (vigilante) atas kebenaran dan keadilan. Hakim itulah yang disebut hakim progresif.
Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, tampaknya tidak cukup bagi hakim bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti mesti komprehensif. Bila faset UU tidak cukup mendorong hakim untuk bertindak progresif, maka faset moral, ethics dan juga religion lah yang akan mampu mendongkrak adrenalin hakim untuk berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa hingga menyelesaikan perkara yang dihadapinya.
Hakim progresif adalah hakim yang visioner. Cara pembentukan dan bekerjanya visioner dalam arti seorang hakim progresif tentulah bukan seorang sekular melainkan seorang religius. Pemikiran, sikap dan perbuatannya dalam menyelesaikan perkara hukum yang dihadapinya tidak hanya berorientasi pada kehidupan duniawi yang serba profan melainkan juga memiliki visi ukhrowi, akherat yang serba abadi.
Hakim progresif bukan hakim yang anti UU melainkan hakim yang mampu menggunakan UU untuk mencapai keadilan sejati. Artinya, ketika penggunaan UU atau asas hukum tertentu justru mendatangkan ketidakadilan substantif maka hakim wajib mengabaikan UU atau suatu asas tertentu tersebut dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapi dengan membangun konstruksi hukum berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bercermin pada gugatan PMH sebelumnya kepada DPR dan Presiden yang berakhir pada putusan hakim berupa NO (gugatan tidak diterima karena PN setempat merasa tidak berwenang mengadili), maka atas gugatan yang diajukan oleh siapa pun seharusnya tidak bernasib sama (di-NO). Setidaknya PN harus berani menyatakan kewenangannya untuk mengadili perkara PMH atas dugaan penggunaan ijazah palsu ini. Yang penting diperiksa lebih dahulu soal PMH-nya beserta akibat hukum jika PMH yang dituduhkan terbukti.
Asas actori incumbit probatio sudah saatnya didekonstruksi dalam proses peradilan acara perdata untuk kasus tertentu, dalam hal ini tuduhan
terhadap ijazah palsu. Hakim tidak mutlak tunduk pada diterapkannya asas actori incumbit probatio yang nota benenya digunakan pada sistem hukum common law (Anglo Saxon, khususnya Amerika dan Inggris) yang menekankan beban pembuktian secara mutlak pada penuduh.
Hakim harus berani betindak progresif untuk membagi beban pembuktian baik kepada penuduh maupun kepada tertuduh. Hakim aktif untuk bringing justice and the truth to the people dengan cara memerintahkan kepada tertuduh untuk menghadirkan dokumen yang terindikasi palsu karena pihak tertuduh akan selalu berlindung di balik asas actori incumbit probatio. Maka sebagai akibat dekonstruksi asas actori incumbit probatio adalah sangat urgen diterapkan asas “siapa yang menyanggah harus membuktikan sanggahannya”. Jika anda membantah kepalsuan dokumen anda, hadirkan mana dokumen aslinya.
Jika tidak bercampur baur dengan kepentingan politik, sesimpel itu sebenarnya mengakses keadilan itu. Selebihnya, hanya dengan para penegak hukum “gendeng” dan “sableng” kadang kebuntuan hukum dapat dijebol dengan visi pencarian kebenaran dan keadilan.
*Apa Sebenarnya Gelar Akademis Jokowi? Insinyur Atau Doktorandus?* Kebetulan saat perbincangan warga Solo tentang Jokowi bakal nyalon jadi Walikota sudah menjadi buah bibir warga Solo sejak tahun 2004. Saat itu penulis “setengah” bermukim di Kerten, Solo dan Proliman Sukoharjo. Penulis sebut “setengah” bermukim karena masih bolak balik Bandung dan Solo urusan pekerjaan.
Jokowi yang ketika itu berprofesi sebagai tukang kayu seperti Jokowi sebut ia alumni Jurusan Teknologi Kayu Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada akan mencalonkan jadi Wali Kota Solo periode 2005-2010. Belakangan akademisi senior UGM, Prof. Mohammad Naiem membantah. UGM tidak punya jurusan Teknologi Kayu seperti Jokowi sebut.
Penulis ingat betul gelar akademik yang disandang Jokowi ketika nyalon jadi Walikota Solo. Doktorandus atau disingkat Drs. Joko Widodo. Tampak jelas di baliho, spanduk dan poster lainnya tertulis Drs. Joko Widodo, Calon Wali Kota Solo Periode 2005-2010.
Hal ini diperkuat foto lawas Jokowi setelah terpilih menjadi Walikota Solo saat mengunjungi pabrik tekstil yang konon terbesar di Indonesia, PT. Sritex di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sekarang PT. Sritex sudah bangkrut.
Tampak jelas foto Jokowi saat menjabat Walikota Solo. Menarik atensi penulis karena gelar Jokowi tertulis Drs. Joko Widodo. Sementara saat Jokowi ke Jakarta gelar akademiknya berubah menjadi Insinyur (Ir). Sejak itu kita tidak pernah mendengar lagi Drs. Jokowi.
Dalam potret yang dibagikan ulang oleh akun X @JosiTama27213 pada 11 Mei 2024, memperlihatkan foto ketika Jokowi berkunjung ke PT. Sritex Sukoharjo. Tertulis kunjungan Walikota Solo ke PT. Sritex Sukoharjo, Bapak Drs. Joko Widodo, Sukoharjo 20 September 2006.
Potret lawas Jokowi saat menjabat Wali Kota Solo tentu saja menarik perhatian publik karena gelar yang tertulis doktorandus (Drs) bukan Insinyur (Ir).
Dalam potret yang dibagikan ulang oleh akun X @DoankWarto seperti dilansir suara.com memperlihatkan foto yang sama. Ketika Jokowi berkunjung ke PT. Sritex Sukoharjo. Saat masih menjadi Walikota Solo.
Foto lawas Jokowi di PT. Sritex menambah keraguan validitas gelar akademik Jokowi. Doktorandus atau Insinyur? Gelar doktorandus dan Insinyur terakhir digunakan pada tahun 1993. Setelahnya diganti sesuai jurusan atau fakultas yang diambil. Misal gelar Sarjana Kehutanan menjadi S.Hut atau Sarjana Ekonomi (SE) bagi lulusan Fakultas Ekonomi.
Pertanyaannya, mengapa Jokowi tiba-tiba memiliki gelar Insinyur ketika menjadi Presiden Indonesia dua periode. Sehingga menimbulkan polemik hingga hari ini. Sementara saat menjabat Walikota Solo Jokowi bergelar Doktorandus (Drs). Inilah yang memicu keraguan publik atas keaslian ijazah Jokowi.
Kejadian lucu kemarin (16/4) ketika tiga orang pendekar hukum dari Tim Pembela Ummat dan Aktivis (TPUA) yang diwakili Rizal Fadillah, Kurnia Tri Royani dan Damai Hari Lubis bertemu Jokowi di kediaman pribadi Jokowi di kawasan Sumber, Solo. Jokowi enggan menunjukkan ijazah asli kepada tiga orang perwakilan TPUA dengan dalih tidak ada kewajiban dirinya terhadap TPUA untuk menunjukkan ijazah asli.
Anehnya, saat bertemu wartawan, Jokowi menunjukkan ijazah SD, SMP, SMA dan UGM. Entah asli atau palsu. Hanya saja wartawan dilarang memfoto ijazah Jokowi. Mungkin Jokowi takut foto ijazahnya diteliti oleh ahli forensik digital. Belum lagi Jokowi pernah bergelar doktorandus. Makin rumit bagi Jokowi dalam menghadapi masalah keaslian ijazah.
Meski UGM, Tim Hukum Jokowi maupun Jokowi sendiri mengklaim ijazahnya asli. Bahkan menantang di Pengadilan. UGM, Tim Hukum dan Jokowi yakin bakal menang di Pengadilan. Maklum jual beli vonis tengah marak. Baru-baru ini tiga hakim ditangkap karena kasus jual beli vonis. Termasuk hakim Tom Lembong yang ditangkap karena suap jual beli vonis. Tom Lembong masih terdakwa, hakim Tom Lembong sudah terlebih dulu dipenjara karena korupsi.
Jual beli vonis termasuk vonis hakim yang mengadili kasus ijazah aspal (asli tapi palsu) Jokowi. Hakim dan Pengadilan bisa Drs. Jokowi eh Ir. Jokowi atur. Ijazah Ir. Jokowi asli. Jokowi menang di Pengadilan Indonesia. Bakal kalah di Pengadilan Akhirat karena hakimnya tidak bisa Jokowi atur dan sogok.
Dalam polemik yang tak kunjung reda, dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali memantik perdebatan publik. Upaya klarifikasi oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) kepada pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Presiden Jokowi, justru direspons dengan dalih klasik dalam hukum perdata: actori incumbit probatio. Artinya, beban pembuktian dibebankan sepenuhnya pada pihak yang menggugat.
Namun, benarkah asas ini bersifat mutlak? Adakah ruang dalam sistem hukum kita untuk menafsirkan ulang, bahkan mendekonstruksinya demi keadilan substantif?
Actori Incumbit Probatio: Asas dan Asal-Usul
Secara normatif, asas actori incumbit probatio yang berarti “siapa yang menggugat, dia yang wajib membuktikan,” tertuang dalam Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg dan Pasal 1865 KUHPerdata. Ini menjadi pegangan dasar dalam hukum acara perdata, termasuk dalam konteks Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Prinsip ini sejatinya bertujuan untuk menjamin obyektivitas proses hukum: bahwa tuduhan semata tak cukup, melainkan harus ditopang bukti konkret.
Namun, dalam praktiknya, terutama dalam konteks tuduhan atas dokumen palsu seperti ijazah, asas ini kerap dimanfaatkan sebagai tameng untuk menghindar dari tanggung jawab membuktikan kebenaran versi tergugat.
Beban Pembuktian: Apakah Mutlak di Tangan Penggugat?
Pertanyaan kritis muncul: apakah prinsip beban pembuktian hanya dan selalu berada di tangan penggugat? Dalam kasus seperti tuduhan ijazah palsu, bukti utama (ijazah asli) justru berada dalam penguasaan tergugat. Jika tergugat menolak menampilkan dokumen itu, sementara penggugat sudah maksimal mengajukan indikasi kepalsuan, keadilan macam apa yang bisa diharapkan?
Di sinilah pentingnya mendekonstruksi asas actori incumbit probatio. Tidak untuk meniadakan, melainkan mengadaptasinya agar lebih adil dalam kasus-kasus tertentu. Pembagian beban pembuktian (shared burden of proof) menjadi kebutuhan mendesak. Jika penggugat mendalilkan dan memberikan bukti awal tentang ketidakwajaran, maka wajar pula tergugat diperintahkan untuk menghadirkan dokumen aslinya.
Progresifitas Hakim: Beyond State Law
Kunci utama dari dekonstruksi ini adalah keberanian hakim untuk mengambil langkah progresif. Dalam sistem hukum Indonesia, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Ini membuka ruang bagi hakim untuk tidak sekadar menjadi “corong undang-undang”, melainkan aktor aktif dalam mengungkap kebenaran dan keadilan substantif.
Hakim progresif tidak berarti mengabaikan hukum tertulis, tetapi justru memaksimalkan hukum untuk mencapai keadilan. Dalam perkara-perkara sensitif seperti dugaan pemalsuan ijazah, ketika perangkat hukum konvensional mentok, maka pendekatan multidisipliner – termasuk moral, etika, bahkan nilai religius – menjadi sangat relevan
Dekonstruksi dan Konsekuensinya
Mendekonstruksi asas actori incumbit probatio berarti menggeser paradigma pengadilan dari sekadar perdebatan formal menjadi ruang pencarian kebenaran materiil. Jika tergugat membantah tuduhan kepalsuan, maka sebagai bentuk tanggung jawab, ia wajib membuktikan keaslian dokumennya. Jika tidak, maka pengadilan berhak menyimpulkan berdasarkan presumption of falsity (praduga palsu) dan alat bukti yang tersedia.
Uji forensik atas dokumen, analisis kertas, tinta, tanda tangan, hingga testimoni ahli bisa menjadi alat bantu penting yang diperintahkan pengadilan. Semua ini hanya akan berjalan bila hakim berani membuat terobosan, memerintahkan pembuktian aktif dari kedua belah pihak
Penutup: Akses Keadilan Tidak Boleh Terkunci
Ketika kebenaran tertutup karena formalitas hukum, saatnya aparat peradilan bertindak dengan hati nurani dan visi keadilan. Jika penggugat menghadirkan indikasi kuat, tergugat harus menunjukkan dokumen asli yang dimaksud. Hakim harus bertindak tidak hanya sebagai pengadil hukum positif, tapi juga sebagai penjaga moral dan keadilan rakyat.
Sebagaimana dikatakan dalam tulisan Pierre Suteki, hanya hakim progresif—yang tidak sekadar tunduk pada teks hukum—yang dapat membuka jalan menuju keadilan sejati.
Jika tidak terkontaminasi politik, sesungguhnya sesederhana itu akses menuju keadilan. Tapi karena kita hidup di dunia yang tak ideal, kadang hanya dengan “penegak hukum gendeng dan sableng” hukum bisa dijebol demi sebuah kebenaran. ( Red )