ANALISIS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG ALAT BUKTI YANG SUDAH DIPUTUSKAN OLEH PTUN DIGUNAKAN PENGADILAN NEGERI DALAM KASUS HUKUM PIDANA
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur SH, MHum
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura dan Tim Ahli Saber Pungli, Mafia Tanah dan Cybercrime Kalimantan Barat)
BN – Ungkapan “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” adalah prinsip hukum yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Prinsip ini menekankan pentingnya menghindari penghukuman terhadap individu yang tidak bersalah, meskipun hal itu berarti ada risiko membebaskan pelaku kejahatan.
Prinsip tersebut sering dikaitkan dengan gagasan “presumption of innocence” (praduga tak bersalah) yang diatur dalam hukum internasional dan juga dijadikan dasar dalam sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
“Setiap orang yanghli disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Ungkapan ini juga relevan dalam konteks:
1. Hukum pidana, di mana prinsip kehati-hatian diterapkan untuk memastikan bahwa keputusan tidak merugikan orang yang tidak bersalah.
2. Hak asasi manusia, di mana martabat manusia dilindungi dari kesalahan dalam penegakan hukum.
Namun, prinsip ini memiliki sisi praktis yang sering diperdebatkan, karena memberikan tekanan pada sistem hukum untuk lebih cermat dalam pengumpulan bukti dan proses persidangan tanpa merugikan korban kejahatan.
Dalam Hukum Administrasi Negara, prinsip “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” tercermin dalam perlindungan hak-hak warga negara terhadap tindakan pemerintah yang berpotensi merugikan. Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya asas legalitas, asas kepastian hukum, dan asas perlindungan terhadap hak individu dalam tindakan administratif.
Relevansi Prinsip dalam Hukum Administrasi Negara:
1. Asas Legalitas: Dalam Hukum Administrasi Negara, semua tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Jika terdapat keraguan tentang keabsahan suatu keputusan administrasi, maka prinsip kehati-hatian diterapkan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi warga negara
Dasar hukum:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Pasal 17): Pejabat administrasi negara wajib bertindak berdasarkan hukum dan asas umum pemerintahan yang baik.
2. Asas Perlindungan Hak Individu: Prinsip ini relevan dalam perlindungan terhadap individu dari keputusan administratif yang sewenang-wenang atau keliru. Ketika ada keraguan tentang kesalahan administratif yang dapat merugikan individu, tindakan pembatalan atau peninjauan kembali sering diterapkan untuk mencegah pelanggaran hak.
3. Asas Praduga Tak Bersalah dalam Administrasi: Dalam konteks pengawasan dan pemeriksaan, prinsip praduga tak bersalah juga diterapkan terhadap pegawai atau pihak yang dituduh melakukan pelanggaran administratif, hingga ada bukti yang cukup untuk menyatakan kesalahan
4. Kaitannya dengan Pembatalan Keputusan Administratif: Dalam kasus pembatalan sertifikat tanah atau keputusan administrasi lainnya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), prinsip ini memastikan bahwa pembatalan tersebut dilakukan dengan pertimbangan matang untuk melindungi kepentingan hukum warga negara yang tidak bersalah.
Dasar hukum:
Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986: Warga negara dapat menggugat keputusan tata usaha negara jika dirugikan.
Pasal 67-68 UU No. 30 Tahun 2014: Keputusan administrasi yang merugikan dapat diajukan untuk pembatalan.
5. Asas Keseimbangan dan Kepastian Hukum: Prinsip ini berusaha menghindari kesalahan yang dapat melanggar hak individu dalam penerapan keputusan administrasi. Meskipun pemerintah harus bertindak tegas, hal tersebut tidak boleh mengorbankan hak individu yang tidak bersalah.
Kesimpulan:
Prinsip ini dalam Hukum Administrasi Negara menekankan bahwa tindakan administratif harus berdasarkan hukum, adil, dan tidak merugikan hak warga negara tanpa dasar yang sah. Hal ini mencerminkan komitmen terhadap kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia dalam negara hukum.
Dalam kaitannya dengan penegak hukum, prinsip “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” menjadi landasan penting untuk menjamin keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan integritas sistem hukum. Prinsip ini diterapkan pada berbagai aspek, seperti dalam penyelidikan, penuntutan, dan peradilan.
Penerapan Prinsip dalam Penegakan Hukum:
1. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence):
Penegak hukum harus menghormati hak setiap individu yang terlibat dalam proses hukum, yaitu dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini diatur dalam:
Pasal 8 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
2. Keadilan Prosedural:
Penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus memastikan bahwa prosedur hukum dilakukan dengan benar, tidak memaksakan hukuman kepada orang yang tidak bersalah hanya untuk mengejar target kasus.
Pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali jika memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti sah dan yakin bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa bersalah.
3. Pencegahan Penyalahgunaan Kekuasaan:
Dalam penegakan hukum, prinsip ini mencegah penyalahgunaan wewenang seperti pemaksaan pengakuan bersalah (coerced confession) atau rekayasa kasus. Hal ini sesuai dengan:
Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
“Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atau ditahan atas dasar alasan pidana yang tidak berdasarkan hukum yang berlaku.”
4. Penggunaan Alat Bukti yang Sah:
Penegak hukum harus memastikan bahwa alat bukti yang diajukan adalah sah dan tidak cacat hukum. Hal ini berlaku, misalnya, pada sertifikat tanah yang telah dibatalkan pengadilan, yang tidak boleh digunakan lagi sebagai alat bukti karena cacat administrasi.
Pasal 184 KUHAP: Mengatur bahwa alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
5. Hak atas Peradilan yang Adil:
Penegak hukum harus menjamin hak atas peradilan yang adil bagi semua pihak, termasuk mereka yang dituduh. Hal ini mengacu pada:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Tantangan dan Potensi Konsekuensi:
Pelanggaran Hak: Jika penegak hukum mengabaikan prinsip ini, maka ada potensi pelanggaran hak asasi, seperti kriminalisasi terhadap orang yang tidak bersalah.
Merusak Kepercayaan Publik: Ketidakadilan dalam penegakan hukum dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum.
Integritas Proses Hukum: Penggunaan alat bukti yang tidak valid, seperti sertifikat yang telah dibatalkan, dapat mencederai integritas sistem hukum.
Kesimpulan:
Penegak hukum harus menjadikan prinsip ini sebagai panduan dalam setiap tahap proses hukum, untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan hak individu dilindungi. Hal ini juga mencerminkan prinsip dasar negara hukum, yaitu melindungi hak-hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang.
Berikut adalah beberapa kata mutiara hukum yang relevan dengan prinsip keadilan yang telah dibahas:
1. “Fiat justitia ruat caelum”
(Biarkan keadilan ditegakkan, walaupun langit runtuh)
Prinsip ini menekankan bahwa keadilan harus selalu ditegakkan tanpa kompromi, meskipun ada konsekuensi besar yang harus ditanggung.
2. “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”
Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap individu yang tidak bersalah, bahkan dalam upaya menjaga keadilan kolektif.
3. “Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang disangkal.”
(Justice delayed is justice denied)
Kata mutiara ini menunjukkan pentingnya penyelesaian hukum yang cepat dan adil untuk melindungi hak-hak pihak yang bersengketa.
4. “Hukum tanpa keadilan adalah tirani.”
Hukum yang tidak didasarkan pada rasa keadilan hanya akan menjadi alat penindasan.
5. “Hukum adalah panglima, bukan kekuasaan.”
Prinsip ini menegaskan supremasi hukum di atas kekuasaan dan wewenang, demi menjaga integritas sistem hukum
6. “Audi alteram partem”
(Dengarkan pihak lain)
Prinsip ini mendasari pentingnya mendengar kedua belah pihak dalam proses hukum untuk mencapai keadilan yang seimbang
Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk memberikan sanksi, tetapi juga melindungi hak asasi manusia, menjaga ketertiban, dan memastikan keadilan bagi semua.
Selaras dengan Prinsip Hidup dan Kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta kehidupan kebergamaan dari Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum:
“Fighting for Allah, preserving dignity, thinking correctly and accurately, because both think and act with the eyes of the heart, achieving from the regions for Indonesia.”
“Melawan karena Allah, menjaga Marwah, berpikir benar dan tepat, karena keduanya berpikir dan bertindak dengan mata hati, berprestasi dari Daerah untuk Indonesia ”
Kata-kata dari Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur tersebut mencerminkan prinsip hidup yang selaras dengan nilai-nilai penegakan hukum di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Mari kita hubungkan dengan penegakan hukum dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
1. “Melawan karena Allah, menjaga Marwah”
Dalam konteks penegakan hukum, “melawan karena Allah” menekankan bahwa perjuangan untuk menegakkan keadilan harus didasarkan pada niat yang tulus dan keimanan. “Menjaga Marwah” mengacu pada menjaga kehormatan hukum, keadilan, dan nilai-nilai moral sebagai fondasi kehidupan bermasyarakat. Penegak hukum harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku sambil menjaga integritas dan martabat.
2. “Berpikir benar dan tepat”
Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya menggunakan rasionalitas dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan hukum. Dalam kehidupan bernegara, para pemimpin, hakim, dan aparat hukum harus berpikir logis, objektif, dan sesuai dengan aturan untuk menciptakan keadilan.
3. “Berpikir dan bertindak dengan mata hati”
Ini mencerminkan bahwa keputusan hukum tidak hanya mengandalkan logika tetapi juga rasa keadilan, kemanusiaan, dan empati. Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, pengambilan keputusan harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan rasa kemanusiaan.
4. “Berprestasi dari daerah untuk Indonesia”
Ini menegaskan kontribusi individu dari berbagai wilayah untuk kebaikan bersama. Dalam konteks hukum, ini berarti bahwa keadilan harus diterapkan secara merata di seluruh Indonesia, tanpa diskriminasi, dan setiap warga negara memiliki peran dalam membangun sistem hukum yang kuat.
Kaitannya dengan Penegakan Hukum:
Penegakan hukum berdasarkan moralitas dan agama: Sejalan dengan prinsip “melawan karena Allah,” penegakan hukum tidak hanya bertumpu pada aturan positif tetapi juga pada moralitas dan nilai-nilai spiritual.
Integritas dan transparansi: Prinsip “menjaga marwah” relevan dengan tuntutan masyarakat agar penegak hukum memiliki integritas tinggi dan bebas dari korupsi.
Keadilan substantif: Dengan “berpikir dan bertindak dengan mata hati,” aparat hukum harus memastikan bahwa hukum melayani masyarakat dengan adil dan tidak hanya mengikuti prosedur formal.
Pembangunan hukum yang inklusif: Semangat “berprestasi dari daerah untuk Indonesia” dapat diartikan sebagai upaya menjadikan hukum sebagai alat pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Prinsip ini adalah pedoman untuk menciptakan harmoni antara hukum, moral, dan kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kaitannya dengan keberadaan mafia hukum, prinsip-prinsip yang terkandung dalam kata-kata Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur menjadi landasan moral dan filosofis yang relevan untuk mengatasi praktik-praktik koruptif atau penyimpangan hukum. Mafia hukum merujuk pada kelompok atau individu yang menyalahgunakan kekuasaan atau sistem hukum untuk kepentingan pribadi, sering kali dengan mengorbankan keadilan dan kepentingan masyarakat luas.
Berikut adalah kaitan prinsip-prinsip tersebut dengan pemberantasan mafia hukum:
1. “Melawan karena Allah, menjaga Marwah”
Prinsip ini relevan dengan pemberantasan mafia hukum karena mengingatkan bahwa perjuangan melawan penyimpangan hukum harus dilakukan dengan niat tulus, berdasarkan nilai spiritual dan moralitas yang tinggi. Mafia hukum menghancurkan kehormatan hukum (marwah), sehingga melawannya adalah kewajiban untuk memulihkan integritas hukum.
2. “Berpikir benar dan tepat”
Dalam konteks mafia hukum, “berpikir benar dan tepat” mengacu pada pentingnya pengambilan keputusan yang rasional dan berbasis bukti, bukan karena tekanan, intimidasi, atau imbalan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Aparat penegak hukum harus memiliki kemampuan analitis yang tajam untuk mengidentifikasi pola dan pelaku mafia hukum.
3. “Berpikir dan bertindak dengan mata hati”
Mafia hukum sering kali merugikan masyarakat kecil yang tidak memiliki akses ke keadilan. Prinsip ini mengingatkan aparat hukum untuk bertindak dengan empati, menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan segelintir individu yang mencoba menyalahgunakan sistem hukum.
4. “Berprestasi dari daerah untuk Indonesia”
Mafia hukum sering berkembang di daerah dengan pengawasan yang lemah. Prinsip ini menekankan pentingnya memperkuat sistem hukum di tingkat lokal sehingga kontribusi daerah dapat menjadi fondasi bagi keadilan nasional.
Implementasi dalam Pemberantasan Mafia Hukum:
Penegakan Integritas: Penerapan nilai “menjaga marwah” berarti memprioritaskan pembersihan aparat hukum dari individu-individu yang terlibat dalam praktik korupsi dan manipulasi hukum.
Transparansi dan Akuntabilitas: Untuk memberantas mafia hukum, perlu ada sistem transparansi dalam setiap proses hukum, yang memungkinkan masyarakat untuk mengawasi jalannya hukum.
Penerapan Prinsip Keadilan Substantif: Mafia hukum sering kali memanfaatkan kelemahan formalitas hukum. Dengan “mata hati,” aparat hukum dapat mencegah penyalahgunaan sistem yang merugikan masyarakat.
Langkah Konkret:
Mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam pengawasan kasus hukum.
Meningkatkan integritas pengadilan melalui sistem evaluasi yang ketat.
Mengedukasi masyarakat tentang hak dan kewajiban hukum mereka untuk mencegah manipulasi oleh mafia hukum.
Kesimpulan:
Kata-kata tersebut mencerminkan panduan moral dan spiritual yang dapat menjadi pilar dalam pemberantasan mafia hukum. Implementasinya membutuhkan kerja sama antara pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat untuk memulihkan keadilan dan memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan benar dan adil.
Analisis Hukum Administrasi Negara tentang Penggunaan Alat Bukti yang Sudah Diputuskan oleh PTUN dalam Pengadilan Negeri dalam Kasus Hukum Pidana
Dalam konteks hukum administrasi negara dan penerapannya di peradilan, penggunaan alat bukti berupa dokumen yang telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di pengadilan negeri, khususnya dalam kasus pidana, menimbulkan sejumlah persoalan hukum terkait keabsahan dan pengaruhnya dalam proses hukum. Berikut adalah analisisnya:
1. Kedudukan Keputusan PTUN sebagai Alat Bukti
1.1.Kekuatan Mengikat Keputusan PTUN
Berdasarkan Pasal 116 dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (yang telah diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004), putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap bersifat final dan mengikat (binding). Putusan ini berlaku erga omnes, artinya mengikat semua pihak, termasuk lembaga atau badan lain di luar PTUN, termasuk pengadilan negeri dalam kasus pidana.
1.2.Akibat Hukum Pembatalan Dokumen oleh PTUN
Ketika suatu dokumen (misalnya sertifikat hak milik/SHM) dibatalkan oleh PTUN, maka dokumen tersebut kehilangan kekuatan hukumnya. Dalam kasus administrasi pertanahan, dokumen yang telah dibatalkan tidak lagi dapat digunakan sebagai bukti sah dalam perkara lain karena tidak memenuhi syarat keabsahan administratif sesuai dengan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Penggunaan Alat Bukti yang Telah Dibatalkan di Peradilan Pidana
Prinsip Validitas Alat Bukti
Dalam hukum acara pidana, Pasal 184 KUHAP mengatur bahwa alat bukti harus sah dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Jika dokumen telah dibatalkan oleh PTUN, maka secara administrasi negara dokumen tersebut tidak lagi sah dan tidak dapat digunakan sebagai bukti otentik.
Konsekuensi Penggunaan Dokumen Tidak Sah
Jika dokumen yang telah dibatalkan digunakan dalam perkara pidana, hal ini dapat mengarah pada dugaan tindak pidana baru, misalnya:
Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP): Menggunakan dokumen yang telah dibatalkan dapat dianggap sebagai pemalsuan jika penggunaannya bertujuan untuk menyesatkan pengadilan.
Perbuatan Melawan Hukum Administratif: Penggunaan dokumen tidak sah mencederai asas kepastian hukum (Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
3. Prinsip Kepastian Hukum dalam Hukum Administrasi Negara
Asas Legalitas dan Finalitas
Dalam hukum administrasi, prinsip finalitas keputusan PTUN mengindikasikan bahwa dokumen yang telah dibatalkan tidak dapat dipulihkan keabsahannya kecuali melalui mekanisme hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali. Oleh karena itu, hakim di pengadilan negeri tidak seharusnya mempertimbangkan dokumen tersebut sebagai alat bukti sah.
Asas Keseimbangan dalam Hukum
Dalam pengadilan pidana, penggunaan dokumen yang dibatalkan juga harus memperhatikan asas keadilan substantif. Dokumen yang sudah tidak sah seharusnya tidak merugikan pihak lain atau menciptakan ketidakadilan dalam proses hukum.
4. Tanggung Jawab Hakim dalam Menilai Alat Bukti
Hakim memiliki kewenangan untuk menilai keabsahan alat bukti yang diajukan dalam sidang. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, hakim harus memastikan bahwa alat bukti yang digunakan memenuhi syarat formil dan materiil. Apabila ditemukan alat bukti yang telah dibatalkan oleh PTUN, hakim dapat:
Menyatakan alat bukti tersebut tidak sah.
Menolak mempertimbangkannya dalam putusan.
5. Rekomendasi untuk Penegakan Hukum
Kolaborasi Antarlembaga: Dibutuhkan koordinasi yang kuat antara lembaga administrasi negara (seperti BPN) dan pengadilan untuk memastikan dokumen yang telah dibatalkan tidak disalahgunakan.
Penerapan Sanksi: Pihak yang mencoba menggunakan dokumen tidak sah harus dikenakan sanksi pidana atau administratif untuk menjaga integritas hukum.
Pendidikan Hukum bagi Aparat dan Masyarakat: Agar semua pihak memahami bahwa dokumen yang telah dibatalkan tidak memiliki nilai hukum.
Kesimpulan
Penggunaan dokumen yang telah dibatalkan oleh PTUN sebagai alat bukti dalam pengadilan pidana bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan asas legalitas. Hal ini berpotensi merusak integritas proses hukum, menciptakan ketidakadilan, dan melanggar aturan hukum acara pidana serta hukum administrasi negara. Hakim memiliki tanggung jawab untuk menilai dan menolak alat bukti yang tidak sah agar proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana, hukum acara pidana, penyelidikan dan penyidikan, serta hukum administrasi negara yang relevan dengan penggunaan dokumen yang telah dibatalkan oleh PTUN. Berikut adalah beberapa ketentuan utama:
1. Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pasal 263 KUHP: Mengatur pemalsuan dokumen, termasuk penggunaan dokumen yang tidak sah untuk menimbulkan kerugian atau menyesatkan.
> “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, dihukum dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Penggunaan sertifikat yang telah dibatalkan bisa termasuk dalam kategori ini jika digunakan dengan niat buruk.
Pasal 385 KUHP: Mengatur tentang penguasaan tanah secara melawan hukum, yang berkaitan erat dengan dokumen pertanahan.
> “Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum menguasai tanah milik orang lain…
Penggunaan dokumen tanah yang batal dapat dijadikan alat bukti dalam kasus ini.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
Pasal 184 KUHAP: Mengatur alat bukti sah dalam perkara pidana, yaitu:
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.
Dokumen yang telah dibatalkan keabsahannya oleh PTUN tidak lagi memenuhi syarat sebagai surat yang sah untuk dijadikan alat bukti
Pasal 1 angka 14 KUHAP: Mendefinisikan “bukti yang sah” sebagai yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Dokumen batal tidak masuk kategori ini.
2. Peraturan tentang Penyelidikan dan Penyelidikan
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
Pasal 7 KUHAP: Mengatur kewenangan penyidik, termasuk memeriksa dokumen sebagai alat bukti. Penyidik berhak menilai keabsahan dokumen dalam tahap penyelidikan. Jika ditemukan bahwa dokumen tidak sah (misalnya dibatalkan PTUN), penyidik dapat merekomendasikan untuk tidak menggunakannya
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan:
Pasal 15: Penyelidik dan penyidik wajib memastikan semua barang bukti yang disita atau digunakan sah secara hukum. Jika dokumen telah dibatalkan, maka tidak dapat digunakan dalam penyidikan.
3. Hukum Administrasi Negara
a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
Pasal 3: Mengatur asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas kepastian hukum. Keputusan PTUN bersifat mengikat dan final, sehingga dokumen yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Pasal 10: Mengatur kewenangan pejabat administrasi untuk memastikan keabsahan dokumen yang digunakan dalam pelayanan publik.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
Pasal 32 ayat (1): Sertifikat tanah merupakan alat bukti yang kuat jika data fisik dan data yuridisnya sesuai. Jika telah dibatalkan oleh PTUN, sertifikat tersebut tidak lagi memenuhi ketentuan ini.
c. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan:
Pasal 14: Menegaskan bahwa putusan PTUN yang telah membatalkan sertifikat tanah wajib ditaati oleh pihak berwenang, termasuk lembaga peradilan lainnya.
4. Relevansi Prinsip Hukum
Prinsip Kepastian Hukum: Dokumen yang dibatalkan oleh PTUN tidak memiliki kekuatan hukum lagi, sesuai dengan asas kepastian hukum dalam Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2014.
Prinsip Finalitas Putusan Pengadilan: Keputusan PTUN yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung bersifat final (res judicata) dan tidak dapat diganggu gugat kecuali melalui mekanisme luar biasa seperti peninjauan kembali.
Kesimpulan
Penggunaan alat bukti berupa sertifikat yang telah dibatalkan oleh PTUN di pengadilan negeri, terutama dalam perkara pidana, bertentangan dengan prinsip hukum administrasi negara dan hukum pidana. Sertifikat tersebut tidak sah secara hukum dan penggunaannya dapat merusak integritas proses peradilan. Penegak hukum perlu memastikan bahwa semua alat bukti telah diverifikasi keabsahannya untuk mendukung keadilan dan kepastian hukum.
Kaitannya dengan Hakim yang Tidak Mengabaikan Penggunaan Alat Bukti yang Tidak Sah
Hakim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap proses hukum yang dijalankan di pengadilan sesuai dengan asas-asas keadilan, kepastian hukum, dan manfaat, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jika hakim tidak mengabaikan penggunaan alat bukti yang telah dinyatakan tidak sah melalui keputusan PTUN dan Mahkamah Agung, berikut adalah kaitannya:
1. Kewajiban Hakim untuk Menilai Keabsahan Alat Bukti
Hakim wajib menilai alat bukti yang diajukan dalam persidangan berdasarkan aturan hukum, termasuk:
Pasal 184 KUHAP: Mengatur bahwa alat bukti yang sah adalah:
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli
3. Surat.
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Sertifikat yang telah dibatalkan melalui putusan PTUN dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat lagi dianggap sebagai “surat” yang sah karena kehilangan kekuatan hukumnya.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hakim yang menggunakan alat bukti yang telah dibatalkan mengabaikan kewajibannya untuk memastikan rasa keadilan.
2. Pelanggaran Prinsip Kepastian Hukum dan Keadilan
Penggunaan alat bukti yang tidak sah bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Menjamin kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.
Prinsip Res Judicata: Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dianggap sah dan tidak dapat diganggu gugat.
Hakim yang tidak mengabaikan alat bukti yang telah dibatalkan secara langsung melanggar prinsip kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang dirugikan.
3. Pertanggungjawaban Hakim
a. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Hakim yang tidak memperhatikan keabsahan alat bukti dapat melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, sebagaimana diatur dalam:
Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY No. 047/KMA/SKB/IV/2009:
Hakim wajib bersikap profesional, berintegritas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
Pelanggaran kode etik dapat berujung pada sanksi seperti teguran, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap
b. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Hakim yang menggunakan alat bukti tidak sah dapat dianggap menyalahgunakan kewenangan, melanggar prinsip independensi, dan merusak kepercayaan publik terhadap pengadilan.
c. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 17 mengatur bahwa pejabat, termasuk hakim, yang menyalahgunakan kewenangannya dapat dikenakan sanksi administrasi atau pidana.
4. Potensi Sanksi Pidana untuk Hakim
Jika terbukti bahwa hakim secara sengaja menggunakan alat bukti yang telah dibatalkan demi keuntungan pribadi atau pihak tertentu, hakim dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk:
Pasal 421 KUHP: Menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi: Jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian negara atau masyarakat.
Kesimpulan
Hakim memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas proses hukum. Menggunakan alat bukti yang telah dibatalkan tidak hanya melanggar aturan hukum tetapi juga prinsip keadilan dan kepastian hukum. Hakim yang melakukan tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi etik, administrasi, atau bahkan pidana, tergantung pada tingkat pelanggarannya. Dalam hal ini, penting bagi hakim untuk selalu mengedepankan profesionalisme dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
1.ANALISIS KATEGORISASI HUKUM
1.Apakah Verzet secara Hukum dan Dianalisis Berdasarkan Hukum Administrasi Negara ?
Verzet (perlawanan) dalam konteks hukum Indonesia umumnya dikenal sebagai upaya hukum terhadap putusan verstek (putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat). Namun, dalam kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), verzet tidak diatur secara eksplisit dalam hukum acara PTUN. Berikut penjelasannya:
1.1 Pengaturan Hukum Acara PTUN
Hukum acara PTUN diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Dalam undang-undang tersebut, tidak ada ketentuan khusus mengenai verzet seperti dalam hukum acara perdata. Hal ini disebabkan karena sifat sengketa di PTUN adalah antara individu atau badan hukum dengan badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan.
1.2. Tidak Berlaku Putusan Verstek di PTUN
Berbeda dengan pengadilan perdata, di PTUN tidak dikenal putusan verstek. Ketidakhadiran salah satu pihak tidak otomatis menghasilkan putusan tanpa sidang. Proses persidangan tetap harus mempertimbangkan substansi gugatan berdasarkan bukti dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, mekanisme verzet sebagai perlawanan terhadap putusan verstek tidak relevan dalam PTUN.
1.3. Upaya Hukum di PTUN
Meskipun verzet tidak dikenal, pihak yang merasa dirugikan dengan putusan PTUN dapat menggunakan upaya hukum lain yang diatur, seperti:
Banding: Diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
Kasasi: Diajukan ke Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali (PK): Diajukan ke Mahkamah Agung untuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
1.4. Perbandingan dengan Hukum Perdata
Dalam hukum acara perdata (misalnya di Pengadilan Negeri), putusan verstek diatur dalam Pasal 125 HIR/Pasal 78 RBg. Jika tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengadilan dapat menjatuhkan putusan verstek, dan tergugat diberi hak untuk mengajukan verzet. Sementara itu, di PTUN, proses lebih menekankan pemeriksaan materiil gugatan daripada kehadiran formal pihak.
Kesimpulan
Dalam peradilan PTUN, verzet tidak diizinkan atau tidak relevan, karena putusan verstek tidak dikenal dalam hukum acara PTUN. Upaya hukum yang tersedia adalah banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam kasus seperti ini, jika sudah ada putusan pengadilan PTUN yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) terkait sertifikat tanah, maka putusan tersebut bersifat final dan mengikat, baik bagi para pihak yang berperkara maupun pihak terkait lainnya. Namun, apakah perkara tersebut dapat digugat kembali di pengadilan lain, seperti di Pengadilan Negeri (PN), tergantung pada beberapa faktor berikut:
2ANALISIS KLARIFIKASI HUKUM
2.1.Prinsip Ne Bis In Idem
Menurut prinsip hukum ne bis in idem, suatu perkara yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan manapun. Hal ini berlaku jika:
Objek sengketa (sertifikat tanah) sama.
Para pihak yang berperkara sama.
Pokok perkaranya sama (substansi sengketa tidak berubah).
Jika gugatan baru di Pengadilan Negeri (seperti di Mempawah) diajukan dengan objek dan pihak yang sama, maka gugatan tersebut seharusnya ditolak karena melanggar prinsip ini.
2.2. Kewenangan Pengadilan
PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa yang berkaitan dengan keputusan pejabat tata usaha negara (dalam hal ini, penerbitan sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional/BPN).
Pengadilan Negeri berwenang untuk menyelesaikan sengketa keperdataan atau sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan hak perdata, seperti jual beli, warisan, atau perbuatan melawan hukum.
Jika gugatan di Pengadilan Negeri bukan tentang aspek administrasi sertifikat, tetapi mengenai hak kepemilikan tanah, maka pengadilan dapat memeriksanya selama tidak melanggar prinsip ne bis in idem.
2.3. Implikasi Putusan PTUN
Putusan PTUN yang membatalkan sertifikat tanah tidak otomatis menentukan kepemilikan tanah, karena PTUN hanya menguji aspek legalitas administrasi penerbitan sertifikat. Setelah sertifikat dibatalkan, status tanahnya bisa menjadi tanah negara atau kembali ke status sebelumnya (sesuai putusan). Jika ada pihak yang masih merasa berhak atas tanah, mereka dapat menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri untuk mengklaim haknya.
Namun, pengadilan perdata tidak dapat mengubah putusan PTUN yang sudah inkracht. Artinya:
Jika putusan PTUN sudah membatalkan sertifikat, sertifikat tersebut tetap tidak sah.
Gugatan di PN hanya berfokus pada sengketa hak atas tanah.
2.4. Gugatan di Pengadilan Mempawah
Jika gugatan di Pengadilan Negeri Mempawah berkaitan dengan:
1. Keabsahan sertifikat yang sudah dibatalkan oleh PTUN, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima karena PTUN adalah pengadilan yang berwenang atas keputusan administrasi tersebut.
2. Klaim hak atas tanah tanpa mempersoalkan aspek administratif sertifikat, maka gugatan tersebut dapat diperiksa oleh Pengadilan Negeri.
Kesimpulan
Jika putusan PTUN hingga Mahkamah Agung sudah membatalkan sertifikat tanah, maka sertifikat tersebut tidak sah.
Gugatan baru di Pengadilan Negeri (seperti di Mempawah) dapat diajukan hanya jika menyangkut hak kepemilikan tanah dan bukan aspek administratif yang sudah diputuskan oleh PTUN.
Jika gugatan baru mencakup hal yang sama dengan yang telah diputus PTUN (ne bis in idem), gugatan tersebut harus ditolak oleh pengadilan.
3.ANALISIS VERIFIKASI HUKUM
Berikut adalah pasal-pasal dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekuatan hukum putusan PTUN dan prinsip-prinsip seperti ne bis in idem, serta aturan terkait kewenangan pengadilan:
3.1. Kekuatan Hukum Tetap Putusan PTUN
Pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah melalui UU Nomor 9 Tahun 2004 dan UU Nomor 51 Tahun 2009:
Pasal 116 Ayat (4):
> “Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh pejabat yang bersangkutan.
Artinya, putusan PTUN yang sudah inkracht harus dilaksanakan oleh pejabat tata usaha negara (misalnya, pembatalan sertifikat tanah oleh BPN) dan tidak bisa diabaikan.
Pasal 116 Ayat (6):
> “Apabila pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 127:
> “Dalam hal telah ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, maka para pihak yang bersengketa wajib mematuhinya.”
Pasal-pasal ini menegaskan bahwa putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap bersifat final, mengikat, dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak terkait.
3.2. Prinsip Ne Bis In Idem
Prinsip ne bis in idem diatur dalam beberapa ketentuan hukum Indonesia:
Pasal 1917 KUH Perdata:
> “Suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan bukti sempurna terhadap para pihak yang bersangkutan dan ahli waris mereka.”
Pasal 76 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
> “Seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
3.3 Yurisprudensi dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 264 K/Sip/1974:
> “Prinsip ne bis in idem berlaku dalam sengketa perdata, yang berarti suatu perkara yang telah diputus dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan lagi.”
Dalam konteks ini, perkara yang sudah diputus oleh PTUN hingga Mahkamah Agung (MA) tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan lain dengan pokok perkara yang sama.
3.4. Kewenangan PTUN dan Pengadilan Negeri
Peraturan terkait pembagian kewenangan antara PTUN dan Pengadilan Negeri:
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Peradilan Tata Usaha Negara):
> “Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.”
PTUN hanya berwenang menangani sengketa terkait keputusan pejabat tata usaha negara, seperti penerbitan sertifikat tanah.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
> “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Namun, PN hanya berwenang menangani sengketa hak keperdataan atas tanah (misalnya, konflik kepemilikan) dan bukan keputusan administrasi negara yang telah diputuskan PTUN.
3.5. Peraturan Terkait Administrasi Pertanahan
Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
> “Sertifikat adalah tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya.”
Namun, jika sertifikat tersebut dibatalkan oleh putusan PTUN, maka sertifikat kehilangan kekuatan pembuktiannya.
Pasal 32 Ayat (2):
> “Dalam hal suatu bidang tanah telah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah itu dengan itikad baik, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut jika dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat tidak mengajukan keberatan kepada pihak yang berwenang atau tidak mengajukan gugatan ke pengadilan.”
Kesimpulan Pasal Penting
1. PTUN:
Pasal 116, 127 UU PTUN: Putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap bersifat final dan harus dipatuhi.
Putusan PTUN tidak dapat digugat ulang karena ne bis in idem.
2. Ne Bis In Idem:
Pasal 1917 KUH Perdata.
Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur tentang “pembuktian perbuatan hukum”. Pasal ini berbunyi:
“Segala perjanjian yang sah wajib dipenuhi dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian tersebut.”
4.ANALISIS VALIDASI HUKUM
4.1.Analisis Pasal 1917 KUHPer
Pasal ini mengandung prinsip dasar yang sangat penting dalam hukum perdata, yaitu pemenuhan perjanjian dengan itikad baik. Berikut adalah beberapa poin utama dalam analisisnya:
1. Kewajiban untuk Memenuhi Perjanjian: Pasal ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang sah, yang telah disepakati oleh para pihak, wajib dipenuhi. Tidak ada pihak yang boleh mengingkari atau menunda pelaksanaan kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.
2. Itikad Baik: Itikad baik adalah syarat mutlak dalam setiap pelaksanaan perjanjian. Artinya, setiap pihak dalam perjanjian diharapkan bertindak dengan niat yang jujur dan tanpa adanya unsur penipuan atau kelalaian yang merugikan pihak lain.
3. Asas Kebebasan Berkontrak: Pasal ini mendukung asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak dalam perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan isi dari perjanjian mereka selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak merugikan pihak ketiga.
4. Keterikatan Hukum: Kewajiban untuk memenuhi perjanjian juga mencerminkan pentingnya prinsip keterikatan hukum dalam setiap kontrak. Hal ini juga berkaitan erat dengan prinsip pacta sunt servanda, yang berarti bahwa perjanjian yang sah harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat.
4.2. Analisis Penerapan Pasal 1917
Penerapan pasal ini sering kali terlihat dalam sengketa perdata di pengadilan, di mana pihak yang dirugikan karena tidak dipenuhinya perjanjian dapat menuntut pemenuhan perjanjian atau ganti rugi sesuai ketentuan yang ada. Dalam prakteknya, itikad baik juga sangat penting dalam penyelesaian sengketa, karena pihak yang bertindak tidak jujur atau dengan niat buruk bisa dikenakan sanksi hukum.
Dengan demikian, Pasal 1917 KUHPer menunjukkan pentingnya mematuhi perjanjian yang sah dan menjalankannya dengan itikad baik, yang merupakan elemen dasar dalam menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam hubungan kontraktual.
4.3. Pengadilan Negeri yang melanggar Kewenangannya
Pengadilan Negeri berwenang menangani sengketa hak atas tanah, tetapi tidak boleh melanggar putusan PTUN yang sudah inkracht.
Kaitan Pasal 1917 KUHPerdata dengan Sertifikat yang Dicabut dan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat
Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur tentang kewajiban untuk memenuhi perjanjian dengan itikad baik. Dalam konteks sertifikat tanah yang dicabut dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, prinsip itikad baik yang diatur dalam pasal ini memiliki hubungan yang erat, terutama dalam hal pelaksanaan perjanjian atau kontrak terkait hak atas tanah.
4.2. Pemenuhan Perjanjian dengan Itikad Baik
Sertifikat tanah yang diterbitkan berdasarkan suatu perjanjian yang sah, namun kemudian dibatalkan oleh putusan PTUN, tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum dalam perjanjian atau transaksi terkait. Hal ini berhubungan dengan kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik dalam menjalankan perjanjian. Jika sertifikat tersebut sudah dibatalkan, pihak yang mengandalkan sertifikat tersebut dalam transaksi atau klaim hak atas tanah seharusnya mengetahui dan menghormati status hukumnya yang telah dicabut. Itikad baik menuntut agar pihak yang terlibat dalam transaksi tanah tidak menggunakan sertifikat yang batal demi hukum sebagai dasar untuk memperkuat hak kepemilikan atau transaksi lebih lanjut.
4.3. Pengaruh Terhadap Kekuatan Hukum Sertifikat yang Dibatalkan
Sertifikat tanah yang telah dicabut melalui putusan PTUN tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, baik dalam perspektif hukum administrasi negara maupun hukum perdata. Dalam hukum administrasi negara, putusan PTUN yang membatalkan keputusan administrasi (termasuk sertifikat tanah) berlaku final dan mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Dengan kata lain, jika sertifikat telah dibatalkan oleh PTUN, maka sertifikat tersebut tidak dapat digunakan untuk membuktikan hak atas tanah di kemudian hari.
4.4. Relevansi dengan Hukum Administrasi Negara
Dalam hukum administrasi negara, terdapat prinsip kekuatan hukum putusan PTUN yang harus dihormati. Putusan PTUN yang membatalkan sertifikat tanah tidak hanya bersifat mengikat, tetapi juga mempengaruhi status administratif atas tanah tersebut. Sebagai contoh, jika BPN (Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan sertifikat yang kemudian dibatalkan oleh PTUN, maka BPN wajib mencabut sertifikat tersebut dari sistem administrasi pertanahan.
Undang-Undang yang terkait dengan administrasi pertanahan adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur tentang hak-hak atas tanah di Indonesia. Selain itu, peraturan terkait administrasi pertanahan yang lebih teknis adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur tentang prosedur pendaftaran dan pencabutan sertifikat tanah.
4. 5.Relevansi Hukum Perdata
Selain aspek administrasi negara, dalam hukum perdata, sertifikat yang telah dibatalkan tidak dapat lagi digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam transaksi pertanahan. Prinsip legalitas dan asas kepastian hukum dalam hukum perdata menuntut bahwa hanya dokumen yang sah dan tidak cacat hukum yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, meskipun sebuah perjanjian dilakukan dengan itikad baik, jika dasar legalitas (sertifikat)nya sudah dibatalkan oleh PTUN, maka perjanjian yang bersangkutan menjadi tidak dapat dipenuhi.
Kesimpulan
Secara hukum administrasi negara, sertifikat tanah yang dibatalkan oleh PTUN tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini berarti sertifikat tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk pengalihan hak atau sebagai bukti hak atas tanah dalam proses hukum selanjutnya. Dalam konteks hukum perdata, setiap transaksi atau perjanjian yang melibatkan sertifikat yang telah dibatalkan, bertentangan dengan prinsip itikad baik dan kepastian hukum, yang diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata.
Jadi, meskipun transaksi tersebut dilakukan dengan niat baik, jika menggunakan sertifikat yang tidak sah atau dibatalkan, maka perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
5.ANALISIS VALIDASI HUKUM TERHADAP ALAT BUKTI YANG “DIHIDUPKAN KEMBALI”
Apabila gugatan diajukan kembali di Pengadilan Mempawah, hakim harus menilai apakah gugatan tersebut melanggar prinsip ne bis in idem.
Problematika hukum adalah pasal 184 KUHAP dalam kaitannya dengan alat bukti sudah dicabut/dibatalkan oleh PTUN Pontianak dan bahkan sudah dieksekusi oleh BPN Kabupaten Pontianak pada tahun 2001 dan dikuatkan dengan putusan MA Nomor 17/PK/TUN/2002,Tanggal 28 November 2006 dengan putusan Nomor 04/G/PTUN-PTK/1999,Tanggal 27 November 2006 dalam pokok Perkara SHM Pelapor No 5965/Desa Sungai Raya, tanggal 5 Desember 1992 GS Nomor 8620/1992 luas 1.197m2, an. Zulkarnaen dh the liang Tek, dan sudah tak punya kekuatan hukum mengikat tetapi masih dijadikan alat bukti pada dan tidak sesuai dengan pasal 78 SD 84 KUHP bagaimana analisis hukumnya
5.1,Analisis Hukum terkait Penggunaan Alat Bukti yang Tidak Sah Berdasarkan Pasal 184 KUHAP
Permasalahan ini melibatkan putusan PTUN yang sudah membatalkan Sertifikat Hak Milik (SHM) sebagai alat bukti dalam proses hukum pidana, meskipun sertifikat tersebut telah kehilangan kekuatan hukumnya. Berikut analisis berdasarkan aspek hukum acara pidana (KUHAP), hukum administrasi, dan implikasinya:
5.2. Dasar Hukum tentang Alat Bukti (Pasal 184 KUHAP)
Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah meliputi:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Dalam kasus ini, SHM yang sudah dibatalkan menjadi bagian dari alat bukti surat. Agar dapat digunakan dalam pembuktian, alat bukti surat harus memenuhi syarat sah, yaitu memiliki kekuatan hukum dan relevansi dengan perkara yang diperiksa
Namun, apabila SHM telah dibatalkan oleh PTUN dan keputusan tersebut sudah inkracht serta dieksekusi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka:
SHM tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum.
Penggunaannya sebagai alat bukti melanggar prinsip legalitas alat bukti.
5.3. Implikasi Putusan PTUN terhadap SHM
Putusan PTUN (Nomor 04/G/PTUN-PTK/1999) yang membatalkan SHM No. 5965/Desa Sungai Raya memiliki implikasi hukum sebagai berikut:
Sertifikat tersebut dianggap cacat administrasi sejak awal penerbitannya.
SHM yang telah dibatalkan tidak dapat dijadikan bukti sah dalam proses hukum lainnya karena tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 17/PK/TUN/2002, sehingga bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
Apabila alat bukti berupa SHM yang sudah dibatalkan tetap diajukan dalam perkara pidana, maka alat bukti tersebut:
Tidak memenuhi syarat materiil sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.
Bertentangan dengan prinsip finalitas putusan pengadilan administrasi yang diatur dalam Pasal 127 UU PTUN.
5.4. Ketidaksesuaian dengan Pasal 78-84 KUHP
Pasal 78 hingga 84 KUHP mengatur tentang daluwarsa (kedaluwarsa) dalam hukum pidana, yaitu batas waktu pengajuan tuntutan atau eksekusi hukuman. Dalam kasus ini, SHM yang sudah dibatalkan oleh PTUN sejak 2001 tidak lagi memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dihidupkan kembali sebagai alat bukti. Penggunaan SHM yang telah dibatalkan melanggar prinsip keadilan dan hukum acara pidana, khususnya:
1. Pasal 78 KUHP: Menjelaskan bahwa penuntutan pidana tidak dapat diajukan jika telah melewati batas waktu tertentu. Dalam konteks ini, jika penggunaan SHM yang sudah dibatalkan terjadi setelah batas waktu daluwarsa, maka seharusnya tuntutan yang bergantung pada SHM tersebut dianggap tidak sah.
2. Pasal 84 KUHP: Menyebutkan bahwa hak penuntutan pidana dapat gugur apabila suatu alat bukti telah kehilangan kekuatan hukumnya. SHM yang dibatalkan seharusnya tidak lagi memiliki relevansi sebagai alat bukti untuk membangun argumentasi hukum dalam proses pidana.
5.4. Problematika Penggunaan Alat Bukti yang Tidak Sah
Penggunaan SHM yang sudah dibatalkan menimbulkan problematika hukum berikut:
Melanggar asas keabsahan alat bukti: SHM yang sudah tidak sah tidak dapat digunakan dalam proses pembuktian, sehingga hasil pemeriksaan yang didasarkan pada alat bukti ini cacat hukum.
Melanggar asas finalitas putusan pengadilan: Keputusan PTUN dan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat, sehingga bertentangan dengan hukum untuk menghidupkan kembali SHM yang sudah dibatalkan.
Berpotensi mencederai keadilan: Pihak yang dirugikan oleh penggunaan alat bukti yang tidak sah dapat mengajukan keberatan atau gugatan terhadap proses hukum yang berlangsung.
5. Solusi Hukum
1. Keberatan terhadap Alat Bukti: Dalam proses pidana, pihak terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan atas penggunaan SHM sebagai alat bukti karena tidak sah.
2. Pengujian Ulang Alat Bukti: Hakim dalam perkara pidana wajib memverifikasi keabsahan alat bukti, termasuk menolak alat bukti yang tidak sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
3. Praperadilan: Jika penggunaan alat bukti yang tidak sah berdampak pada proses penangkapan atau penahanan, praperadilan dapat diajukan untuk menguji keabsahan proses tersebut.
Kesimpulan
SHM yang telah dibatalkan oleh PTUN dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung tidak lagi memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dijadikan alat bukti sah dalam perkara pidana.
Penggunaan SHM tersebut melanggar Pasal 184 KUHAP dan bertentangan dengan asas legalitas alat bukti.
Keberatan atas penggunaan alat bukti yang tidak sah dapat diajukan melalui keberatan dalam sidang atau praperadilan untuk melindungi prinsip keadilan dan kepastian hukum.
6.PENDAPAT AHLI TERHADAP ALAT BUKTI “YANG DIHIDUPKAN LAGI”
Berikut analisis terhadap penggunaan alat bukti yang sudah dibatalkan berdasarkan kategori hukum:
6.1. Analisis Kategorisasi Hukum
Kategorisasi hukum mencakup pengelompokan masalah ke dalam ranah hukum tertentu:
Hukum Acara Pidana (KUHAP): Melibatkan Pasal 184 KUHAP terkait alat bukti yang sah. Dalam perkara pidana, alat bukti yang sudah dibatalkan oleh pengadilan tata usaha negara (PTUN) dianggap tidak memenuhi syarat sah sebagai bukti surat.
Hukum Tata Usaha Negara (UU PTUN): Putusan PTUN bersifat final dan mengikat (Pasal 116 UU PTUN). Pembatalan sertifikat tanah oleh PTUN menghapus kekuatan hukumnya sebagai alat bukti di ranah lain.
Hukum Perdata: Dalam konteks sengketa perdata, penggunaan alat bukti yang telah dibatalkan bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip keabsahan alat bukti
Kesimpulan: Masalah ini berada di persimpangan hukum pidana, perdata, dan administrasi, dengan penekanan pada supremasi putusan PTUN dalam membatalkan alat bukti.
6.2. Klarifikasi Hukum
Klarifikasi hukum bertujuan memastikan posisi hukum dan pengertian yang relevan:
Status Alat Bukti: Sertifikat tanah yang dibatalkan PTUN (melalui putusan final) tidak lagi memiliki status hukum yang valid. Sesuai doktrin acta publica probant sese ipsa, dokumen administrasi yang cacat tidak dapat digunakan sebagai bukti otentik.
Keabsahan Putusan PTUN: UU PTUN Pasal 116 dan Pasal 127 menyatakan bahwa putusan PTUN yang telah inkracht wajib dihormati, dan tindakan yang bertentangan dengannya dianggap melanggar hukum.
Kesimpulan: Sertifikat yang dibatalkan PTUN sudah tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dijadikan alat bukti dalam proses pidana maupun perdata.
6.3. Analisis Verifikasi Hukum
Verifikasi hukum mengevaluasi apakah tindakan hukum terkait sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku:
Putusan Mahkamah Agung:
Dalam Putusan MA No. 1877 K/Pdt/2015, penggunaan alat bukti yang terbukti cacat hukum dalam perkara sebelumnya dianggap melanggar prinsip keabsahan alat bukti.
MA menolak alat bukti yang sudah dibatalkan oleh PTUN dalam perkara pertanahan
Asas Legalitas:
Pasal 184 KUHAP mengatur bahwa alat bukti surat harus memiliki kekuatan hukum. Sertifikat yang dibatalkan PTUN tidak memenuhi kriteria ini
Kesimpulan: Penggunaan alat bukti yang telah dibatalkan bertentangan dengan hukum positif dan yurisprudensi MA.
6.4. Analisis Validasi Hukum
Validasi hukum memastikan konsistensi tindakan hukum dengan putusan pengadilan dan asas keadilan:
Validitas Putusan PTUN: Putusan PTUN (04/G/PTUN-PTK/1999) yang membatalkan sertifikat tanah dan dikuatkan oleh MA (No. 17/PK/TUN/2002) bersifat mengikat dan final. Dengan demikian, sertifikat tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di ranah hukum lain.
Penggunaan Sertifikat sebagai Bukti: Mengacu pada Pasal 116 UU PTUN, tindakan yang mengabaikan putusan PTUN bertentangan dengan hukum. Penggunaan kembali sertifikat yang dibatalkan melanggar asas legalitas dan kepastian hukum.
Kesimpulan: Sertifikat yang dibatalkan PTUN tidak valid untuk digunakan dalam proses hukum lainnya.
6.5. Analisis Falsifikasi Hukum
Falsifikasi hukum menguji ketidakbenaran atau inkonsistensi penggunaan alat bukti:
Pelanggaran Prinsip Ne Bis In Idem: Sertifikat yang sama tidak dapat dipermasalahkan kembali setelah putusan inkracht PTUN. Penggunaan ulang sertifikat tersebut adalah bentuk inkonsistensi hukum.
Potensi Penyalahgunaan Hukum: Jika alat bukti yang telah dibatalkan digunakan kembali, hal ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan proses hukum (abuse of process) yang mencederai asas keadilan.
Ketidaksesuaian dengan Pasal 184 KUHAP: Alat bukti surat harus memenuhi kriteria formal dan material, sedangkan sertifikat yang dibatalkan PTUN tidak memenuhi kedua kriteria tersebut.
Kesimpulan: Penggunaan sertifikat yang telah dibatalkan menunjukkan pelanggaran prinsip hukum dan menciptakan inkonsistensi.
Rekomendasi Hukum
1. Hakim harus menolak alat bukti yang tidak sah dalam proses pidana atau perdata untuk menjaga asas keadilan.
2. Pihak Dirugikan dapat mengajukan keberatan atau praperadilan jika alat bukti yang telah dibatalkan tetap digunakan
3. Evaluasi Yuridis diperlukan untuk memastikan konsistensi putusan pengadilan dalam menghormati finalitas hukum.
Kesimpulan Akhir
Penggunaan alat bukti yang telah dibatalkan, seperti sertifikat tanah dalam kasus ini, melanggar prinsip hukum dan asas keabsahan alat bukti. Berdasarkan analisis di atas, tindakan tersebut tidak sah dan harus dikesampingkan dalam proses peradilan.
7.ANALISIS FALSIFIKASI HUKUM
.Analisis Dogma Hukum terhadap Penggunaan Alat Bukti yang Dibatalkan PTUN
Dogma hukum merujuk pada ajaran atau prinsip hukum yang mengatur praktek dan teori dalam sistem hukum. Dalam konteks permasalahan alat bukti yang telah dibatalkan oleh PTUN, analisis dogmatis mencakup teori hukum dan prinsip-prinsip dasar yang menjelaskan mengapa suatu tindakan atau keputusan tidak dapat dibenarkan.
7.1. Dogma Hukum Positif: Supremasi Hukum dan Kepastian Hukum
Secara dogmatis, penggunaan alat bukti yang sudah dibatalkan oleh pengadilan (seperti PTUN) bertentangan dengan prinsip supremasi hukum. Supremasi hukum menuntut agar hukum ditegakkan dengan tegas dan tidak ada individu atau entitas yang berada di luar aturan yang telah ditetapkan. Sebuah putusan yang sudah inkracht atau memiliki kekuatan hukum tetap (seperti putusan PTUN yang membatalkan sertifikat tanah) bersifat mengikat dan wajib dihormati oleh semua pihak, termasuk oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa hukum selanjutnya.
Teori ini berlandaskan pada pemikiran Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma hukum yang lebih tinggi (dalam hal ini, putusan yang telah inkracht) harus dihormati dan dilaksanakan, terlepas dari apakah pihak yang terlibat setuju atau tidak.
7.2. Dogma Hukum Prosedural: Kekuatan Pembuktian Alat Bukti
Dalam kerangka hukum acara, dogma hukum pembuktian mengatur bahwa setiap alat bukti yang digunakan dalam suatu perkara harus memiliki keabsahan. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP dan prinsip hukum acara dalam hukum administrasi negara, alat bukti seperti sertifikat tanah harus sah secara hukum dan tidak boleh bertentangan dengan keputusan pengadilan yang lebih tinggi, termasuk putusan PTUN.
Secara dogmatis, jika alat bukti telah dibatalkan oleh PTUN, maka alat bukti tersebut kehilangan daya pembuktian dalam proses hukum selanjutnya. Teori pembuktian menurut John Henry Wigmore menyatakan bahwa alat bukti yang tidak sah (baik karena ketidakbenaran formal atau material) tidak dapat diterima di pengadilan, karena akan merusak integritas keseluruhan proses hukum.
7.3. Dogma Hukum Tata Usaha Negara: Keputusan Pengadilan yang Mengikat
Dalam hukum tata usaha negara (UU PTUN), terdapat dogma yang menekankan keputusan pengadilan administrasi yang final dan mengikat. Putusan PTUN yang membatalkan keputusan administratif, termasuk sertifikat tanah yang sudah diterbitkan, bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Dalam konteks ini, dogma finalitas mengharuskan bahwa setelah suatu putusan dikeluarkan oleh PTUN dan dikuatkan oleh MA, maka hasil dari putusan tersebut mengikat semua pihak, termasuk dalam hal penggunaan alat bukti di kemudian hari.
Hans Kelsen dan Carl Schmitt menekankan bahwa sistem hukum yang baik harus memiliki stabilitas dan kepastian hukum, yang hanya dapat tercapai jika putusan-putusan hukum yang telah diterbitkan dijalankan secara konsisten.
7.4. Dogma Hukum Perdata: Prinsip Kepastian dalam Kepemilikan Tanah
Dari segi hukum perdata, terkait dengan sengketa tanah, dogma kepastian hukum dalam kepemilikan tanah menjadi sangat penting. Sertifikat tanah yang telah dibatalkan oleh PTUN seharusnya tidak bisa digunakan kembali sebagai alat bukti untuk mengklaim hak kepemilikan. Berdasarkan prinsip pembuktian perdata menurut Pierre G. Bourdieu, status hukum atas suatu objek (seperti tanah) hanya bisa diakui melalui alat bukti yang sah dan valid. Jika sertifikat telah dibatalkan oleh PTUN, maka status kepemilikan tanah tersebut menjadi batal.
7.5. Dogma Hukum Konstitusional: Hak atas Keputusan yang Adil dan Tidak Tertundanya Hukum
Akhirnya, dalam konteks dogma hukum konstitusional, hak atas keputusan yang adil dan perlindungan terhadap hak milik individu juga menjadi pertimbangan. Penggunaan alat bukti yang telah dibatalkan akan melanggar hak konstitusional seseorang yang telah mendapat kepastian hukum berdasarkan keputusan pengadilan yang sah dan inkracht. Teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls mengajarkan bahwa untuk mencapai keadilan substantif, keputusan yang diambil oleh pengadilan harus menghormati hak-hak yang sudah dilindungi dan menghindari penerapan hukum yang merugikan pihak yang sudah mendapat perlindungan hukum.
Kesimpulan
Analisis dogmatis ini memperlihatkan bahwa penggunaan alat bukti yang telah dibatalkan oleh PTUN bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam hukum positif, hukum acara, hukum tata usaha negara, hukum perdata, serta prinsip keadilan konstitusional. Semua teori hukum yang disebutkan di atas menekankan bahwa keputusan pengadilan yang sudah inkracht dan alat bukti yang tidak sah tidak dapat digunakan kembali dalam proses hukum selanjutnya. ( Red )