Analisis Konstruksi Hukum Administrasi Negara Terhadap Kasus Putusan PTUN dan Eksekusi Yang Telah Dilakukan Oleh Pejabat TUN Yang Berwenang

Analisis Konstruksi Hukum Administrasi Negara Terhadap Kasus Putusan PTUN dan Eksekusi Yang Telah Dilakukan Oleh Pejabat TUN Yang Berwenang

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura,Tim Ahli Saber Pungli , Cybercrime , Mafia Tanah Kalimantan Barat)

BN – Dalam tataran hukum administrasi negara, khususnya terkait dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), kategorisasi hukum merujuk pada pembagian atau pengelompokan norma hukum berdasarkan karakteristik dan fungsi masing-masing.
Berikut adalah kategorisasi hukum yang digunakan untuk menganalisis kasus yang ajukan, yaitu tentang eksekusi putusan PTUN yang telah dilaksanakan dan kemudian diikuti dengan putusan perlawanan TUN (penundaan atau non-eksekutabilitas):
1. Kategorisasi Hukum Putusan yang Telah Dieksekusi
a. Kategori Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde)
1. Definisi:
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) adalah putusan yang tidak lagi dapat diubah atau dibatalkan melalui upaya hukum biasa, baik itu banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Dalam konteks ini, putusan PTUN Nomor 04/G/PTUN-PTK/1999 dan 05/G/PTUN-PTK/1999 serta putusan Mahkamah Agung Nomor 3335K/Pdt/1999 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 17/PK/TUN/2002 telah memiliki kekuatan hukum tetap.
2. Klasifikasi Kekuatan Mengikat Putusan:
Setelah inkracht, putusan tersebut memiliki kekuatan mengikat bagi semua pihak terkait, termasuk pihak yang kalah pada khususnya dan pejabat yang melaksanakan eksekusi.
Dalam hal ini, eksekusi yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Pontianak berdasarkan putusan tersebut adalah sah dan wajib dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang (BPN), sesuai dengan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Kategori Eksekusi Putusan
1. Definisi Eksekusi:
Eksekusi adalah pelaksanaan fisik dari keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi ini dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini oleh BPN, sesuai dengan amanat putusan.
2. Klasifikasi Tindakan Administratif yang Telah Selesai:
Eksekusi yang telah dilakukan berdasarkan putusan inkracht (baik putusan PTUN maupun yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung) tetap sah dan dilindungi oleh prinsip kepastian hukum.
Berdasarkan Pasal 116 dan Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986, pejabat wajib melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan tindakan eksekusi oleh BPN adalah sah.

2. Kategorisasi Hukum Putusan yang Mengatur Penundaan atau Non-Eksekutabilitas
a. Kategorisasi Putusan Baru yang Menyatakan Penundaan atau Non-Eksekutabilitas
1. Definisi Non-Eksekutabilitas dan Penundaan:
Non-eksekutabilitas berarti bahwa objek atau tindakan administratif yang diatur dalam putusan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan karena alasan hukum atau teknis tertentu.
Penundaan berarti pelaksanaan suatu tindakan administratif atau keputusan ditangguhkan hingga ada putusan baru yang memutuskan status objek tersebut.
2. Klasifikasi Putusan Perlawanan atau Penundaan:
Putusan baru yang menyatakan bahwa objek putusan terdahulu non-eksekutabel atau ditunda memiliki kekuatan mengikat, tetapi hanya untuk tindakan yang akan datang.
Putusan tidak berlaku surut (non-retroaktif), sehingga tidak dapat membatalkan atau mengubah status hukum eksekusi yang telah dilaksanakan sebelumnya., Oleh karena itu, putusan penundaan atau non-eksekutabilitas hanya mengatur pelaksanaan di masa depan, bukan pada eksekusi yang telah dilakukan dan selesai.
Putusan ini lebih bersifat deklaratif (menyatakan status hukum) daripada perintah (imperatif) pembatalan atas eksekusi yang telah berlangsung.
b. Kategorisasi Hukum Perlawanan (Verzet)
1. Definisi Perlawanan (Verzet):
Perlawanan dalam konteks hukum administrasi negara biasanya merujuk pada upaya hukum untuk membatalkan atau menunda eksekusi putusan yang dianggap tidak sah atau tidak dapat dilaksanakan.
Jika suatu putusan dianggap tidak lagi relevan atau tidak bisa dilaksanakan secara sah, pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlawanan ke pengadilan negeri dalam obyek hukum keperdataan.
2. Klasifikasi Kekuatan Hukum Perlawanan atau Penundaan:
Putusan perlawanan yang menyatakan bahwa objek putusan terdahulu non-eksekutabel atau ditunda hanya akan mengatur pelaksanaan di masa depan.
Prinsip non-retroaktif memastikan bahwa keputusan administratif yang telah dilakukan sebelumnya (seperti eksekusi putusan PTUN) tetap sah, dan putusan baru tidak dapat mengubah keadaan hukum tersebut.
3. Kategorisasi Hukum Berdasarkan Prinsip-Prinsip yang Terlibat
a. Prinsip Kepastian Hukum
Eksekusi yang telah dilakukan berdasarkan putusan yang inkracht harus dihormati, dan pihak yang melaksanakan eksekusi (BPN) tidak dapat digugat untuk tindakan tersebut, kecuali ada keputusan baru yang secara sah membatalkan tindakan tersebut.
Pasal 116 UU Nomor r5 Tahun 1986 dan prinsip kepastian hukum mengharuskan semua tindakan administratif yang telah dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan yang sah dan berkekuatan hukum tetap untuk tetap dihormati.
b. Prinsip Non-Retroaktif
Prinsip ini memastikan bahwa suatu putusan pengadilan tidak dapat diberlakukan untuk mengubah keadaan hukum yang sudah terjadi, kecuali secara eksplisit dinyatakan dalam amar putusan.
Dalam kasus ini, putusan baru yang menyatakan non-eksekutabilitas atau penundaan tidak dapat membatalkan eksekusi yang telah selesai, karena tidak ada perintah hukum yang jelas yang mengarah pada pembatalan atau perubahan status eksekusi yang sudah dilakukan.
c. Prinsip Finalitas dan Kekuatan Mengikat Putusan
Putusan yang sudah inkracht dan telah dilaksanakan memiliki kekuatan mengikat, sehingga eksekusi yang sudah dilakukan tidak bisa dibatalkan kecuali ada perintah eksplisit dalam amar putusan baru untuk mengembalikan keadaan semula.
Putusan perlawanan yang menyatakan bahwa objek tersebut non-eksekutabel atau penundaan tidak akan menggugurkan eksekusi yang telah selesai, melainkan hanya berlaku pada pelaksanaan yang akan datang.
4. Kesimpulan Kategorisasi Hukum
1. Eksekusi yang Telah Dilakukan Berdasarkan Putusan Inkracht:
Eksekusi yang sudah dilakukan berdasarkan putusan PTUN yang telah inkracht dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung adalah sah secara hukum.
Eksekusi tersebut dilindungi oleh kekuatan hukum mengikat dan prinsip kepastian hukum.
Tidak ada mekanisme yang memungkinkan pembatalan atau perubahan eksekusi tersebut, kecuali ada putusan yang eksplisit mengubah keadaan tersebut
2. Putusan Baru yang Menyatakan Penundaan atau Non-Eksekutabilitas:
Putusan ini hanya berlaku untuk pelaksanaan yang akan datang, dan tidak berlaku surut untuk membatalkan eksekusi yang telah dilakukan sebelumnya.
Putusan tersebut tetap memiliki kekuatan hukum mengikat, tetapi tidak dapat membatalkan eksekusi yang telah selesai dilaksanakan.
3. Prinsip-prinsip yang Mendasari Analisis:
Prinsip kepastian hukum, finalitas putusan, dan non-retroaktif memastikan bahwa tindakan administratif yang telah dilaksanakan berdasarkan putusan yang sah dan inkracht tidak dapat dibatalkan oleh putusan baru, kecuali ada perintah eksplisit yang mengatur pembatalan tersebut
Secara keseluruhan, putusan penundaan atau non-eksekutabilitas yang muncul setelah eksekusi tetap memiliki kekuatan hukum mengikat, namun hanya mengatur pelaksanaan ke depan, sementara eksekusi yang telah dilakukan tetap sah dan tidak dapat dibatalkan oleh putusan tersebut.
Dalam hukum administrasi negara, khususnya terkait dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), kategorisasi hukum merujuk pada pembagian atau pengelompokan norma hukum berdasarkan karakteristik dan fungsi masing-masing. Berikut adalah kategorisasi hukum yang digunakan untuk menganalisis kasus yang Anda ajukan, yaitu tentang eksekusi putusan PTUN yang telah dilaksanakan dan kemudian diikuti dengan putusan perlawanan TUN (penundaan atau non-eksekutabilitas):
1. Kategorisasi Hukum Putusan yang Telah Dieksekusi
a. Kategori Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde)
1. Definisi: UU
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) adalah putusan yang tidak lagi dapat diubah atau dibatalkan melalui upaya hukum biasa, baik itu banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Dalam konteks ini, putusan PTUN Nomor 04/G/PTUN-PTK/1999 dan 05/G/PTUN-PTK/1999 serta putusan Mahkamah Agung Nomor 3335K/Pdt/1999 dan 17/PK/TUN/2002 telah memiliki kekuatan hukum tetap.
2. Klasifikasi Kekuatan Mengikat Putusan:
Setelah inkracht, putusan tersebut memiliki kekuatan mengikat bagi semua pihak terkait, termasuk pihak yang kalah dan pejabat yang melaksanakan eksekusi.
Dalam hal ini, eksekusi yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Pontianak berdasarkan putusan tersebut adalah sah dan wajib dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang (BPN), sesuai dengan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Kategori Eksekusi Putusan
1. Definisi Eksekusi:
Eksekusi adalah pelaksanaan fisik dari keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi ini dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini oleh BPN, sesuai dengan amanat putusan.
2. Klasifikasi Tindakan Administratif yang Telah Selesai:
Eksekusi yang telah dilakukan berdasarkan putusan inkracht (baik putusan PTUN maupun yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung) tetap sah dan dilindungi oleh prinsip kepastian hukum.
Berdasarkan Pasal 116 dan Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986, pejabat wajib melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan tindakan eksekusi oleh BPN adalah sah.
2. Kategorisasi Hukum Putusan yang Mengatur Penundaan atau Non-Eksekutabilitas
a. Kategori Putusan Baru yang Menyatakan Penundaan atau Non-Eksekutabilitas
1. Definisi Non-Eksekutabilitas dan Penundaan:
Non-eksekutabilitas berarti bahwa objek atau tindakan administratif yang diatur dalam putusan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan karena alasan hukum atau teknis tertentu.
Penundaan berarti pelaksanaan suatu tindakan administratif atau keputusan ditangguhkan hingga ada putusan baru yang memutuskan status objek tersebut.
2. Klasifikasi Putusan Perlawanan atau Penundaan:
Putusan baru yang menyatakan bahwa objek putusan terdahulu non-eksekutabel atau ditunda memiliki kekuatan mengikat, tetapi hanya untuk tindakan yang akan datang.
Putusan tidak berlaku surut (non-retroaktif), sehingga tidak dapat membatalkan atau mengubah status hukum eksekusi yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Oleh karena itu, putusan penundaan atau non-eksekutabilitas hanya mengatur pelaksanaan di masa depan, bukan pada eksekusi yang telah dilakukan dan selesai.
Putusan ini lebih bersifat deklaratif (menyatakan status hukum) daripada perintah pembatalan atas eksekusi yang telah berlangsung.
a.Kekuatan Mengikat Putusan Baru
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa putusan pengadilan tetap memiliki kekuatan mengikat selama belum dibatalkan oleh putusan lain. Dengan demikian, putusan perlawanan TUN yang menyatakan objek non-eksekutabel atau menunda pelaksanaan memiliki kekuatan hukum mengikat karena dikeluarkan oleh lembaga peradilan yang sah.
Namun, putusan baru tersebut hanya berlaku untuk masa mendatang (prospektif), bukan secara otomatis membatalkan pelaksanaan yang telah dilakukan sebelumnya.
b. Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur (Putusan Pengadilan Harus Dianggap Benar)
Pelaksanaan putusan terdahulu yang sudah dieksekusi dianggap sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sepanjang dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap pada saat itu.
Putusan perlawanan TUN yang muncul pada ruang waktu dua tahun kemudian tidak serta-merta membatalkan apa yang telah dilaksanakan, kecuali terdapat perintah eksplisit dalam putusan tersebut untuk membatalkan hasil pelaksanaan sebelumnya.
Berikut adalah penjelasan mengenai prinsip-prinsip tersebut beserta rujukan buku dan pasal terkait:
a. Kekuatan Mengikat Putusan Baru
Pendapat bahwa putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum mengikat selama belum dibatalkan oleh putusan lain berakar pada prinsip kepastian hukum dan supremasi hukum. Hal ini juga diatur dalam beberapa ketentuan hukum, seperti:
Rujukan Buku:
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Buku ini menekankan bahwa putusan pengadilan administrasi yang telah berkekuatan hukum tetap harus dihormati karena mencerminkan supremasi hukum. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara.
c. Kategori Hukum Perlawanan (Verzet)
1. Definisi Perlawanan (Verzet):
Perlawanan dalam konteks hukum administrasi negara biasanya merujuk pada upaya hukum untuk membatalkan atau menunda eksekusi putusan yang dianggap tidak sah atau tidak dapat dilaksanakan.
Jika suatu putusan dianggap tidak lagi relevan atau tidak bisa dilaksanakan secara sah, pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlawanan ke pengadilan.
2. Klasifikasi Kekuatan Hukum Perlawanan atau Penundaan:
Putusan perlawanan yang menyatakan bahwa objek putusan terdahulu non-eksekutabel atau ditunda hanya akan mengatur pelaksanaan di masa depan.
Prinsip non-retroaktif memastikan bahwa keputusan administratif yang telah dilakukan sebelumnya (seperti eksekusi putusan PTUN) tetap sah, dan putusan baru tidak dapat mengubah keadaan hukum tersebut.
3. Kategorisasi Hukum Berdasarkan Prinsip-Prinsip yang Terlibat
a. Prinsip Kepastian Hukum
Eksekusi yang telah dilakukan berdasarkan putusan yang inkracht harus dihormati, dan pihak yang melaksanakan eksekusi (BPN) tidak dapat digugat untuk tindakan tersebut, kecuali ada keputusan baru yang secara sah membatalkan tindakan tersebut.
Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 dan prinsip kepastian hukum mengharuskan semua tindakan administratif yang telah dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan yang sah dan berkekuatan hukum tetap untuk tetap dihormati.
b. Prinsip Non-Retroaktif
Prinsip ini memastikan bahwa suatu putusan pengadilan tidak dapat diberlakukan untuk mengubah keadaan hukum yang sudah terjadi, kecuali secara eksplisit dinyatakan dalam amar putusan.
Dalam kasus ini, putusan baru yang menyatakan non-eksekutabilitas atau penundaan tidak dapat membatalkan eksekusi yang telah selesai, karena tidak ada perintah hukum yang jelas yang mengarah pada pembatalan atau perubahan status eksekusi yang sudah dilakukan.
c. Prinsip Finalitas dan Kekuatan Mengikat Putusan
Putusan yang sudah inkracht dan telah dilaksanakan memiliki kekuatan mengikat, sehingga eksekusi yang sudah dilakukan tidak bisa dibatalkan kecuali ada perintah eksplisit dalam amar putusan baru untuk mengembalikan keadaan semula.
Putusan perlawanan yang menyatakan bahwa objek tersebut non-eksekutabel atau penundaan tidak akan menggugurkan eksekusi yang telah selesai, melainkan hanya berlaku pada pelaksanaan yang akan datang.
4. Kesimpulan Kategorisasi Hukum
1. Eksekusi yang Telah Dilakukan Berdasarkan Putusan Inkracht:
Eksekusi yang sudah dilakukan berdasarkan putusan PTUN yang telah inkracht dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung adalah sah secara hukum.
Eksekusi tersebut dilindungi oleh kekuatan hukum mengikat dan prinsip kepastian hukum.
Tidak ada mekanisme yang memungkinkan pembatalan atau perubahan eksekusi tersebut, kecuali ada putusan yang eksplisit mengubah keadaan tersebut.
2. Putusan Baru yang Menyatakan Penundaan atau Non-Eksekutabilitas:
Putusan ini hanya berlaku untuk pelaksanaan yang akan datang, dan tidak berlaku surut untuk membatalkan eksekusi yang telah dilakukan sebelumnya.
Putusan tersebut tetap memiliki kekuatan hukum mengikat, tetapi tidak dapat membatalkan eksekusi yang telah selesai dilaksanakan.
3. Prinsip-prinsip yang Mendasari Analisis:
Prinsip kepastian hukum, finalitas putusan, dan non-retroaktif memastikan bahwa tindakan administratif yang telah dilaksanakan berdasarkan putusan yang sah dan inkracht tidak dapat dibatalkan oleh putusan baru, kecuali ada perintah eksplisit yang mengatur pembatalan tersebut.
Secara keseluruhan, putusan penundaan atau non-eksekutabilitas yang muncul setelah eksekusi tetap memiliki kekuatan hukum mengikat, namun hanya mengatur pelaksanaan ke depan, sementara eksekusi yang telah dilakukan tetap sah dan tidak dapat dibatalkan oleh putusan tersebut.
Analisis Klarifikasi Hukum Berdasarkan Asas-Asas dalam Hukum Administrasi Negara
Dalam konteks hukum administrasi negara, berbagai asas atau prinsip hukum memainkan peran penting dalam menguatkan dan menjelaskan paparan di atas mengenai eksekusi putusan yang sudah dilaksanakan dan keberlakuan putusan yang muncul setelahnya. Berikut adalah beberapa asas yang relevan dalam hukum administrasi negara yang menguatkan penjelasan tersebut:
1. Asas Kepastian Hukum (Rechtszekerheid)
Definisi Asas Kepastian Hukum:
Asas kepastian hukum merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum administrasi negara yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum dan keputusan administrasi yang sah harus memberikan jaminan terhadap kestabilan hukum dan ketertiban.
Kepastian hukum memastikan bahwa setiap individu atau badan hukum dapat merujuk pada keputusan yang telah sah dan dilaksanakan untuk mengatur hak dan kewajiban mereka.
Kaitan dengan Paparan:
Dalam konteks kasus ini, eksekusi yang telah dilaksanakan berdasarkan putusan yang inkracht memberikan kepastian hukum terhadap semua pihak yang terlibat
Jika eksekusi sudah dilaksanakan sesuai dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka hasil eksekusi tersebut harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat oleh putusan yang muncul setelahnya.
Putusan yang sudah inkracht memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksanaan keputusan yang telah ada dan memastikan tidak ada ketidakpastian hukum bagi pihak yang telah melaksanakan keputusan tersebut.
Landasan Hukum:
Pasal 116 dan 118 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dilaksanakan, dan pihak yang melaksanakan eksekusi dilindungi oleh hukum.
Putusan yang telah dieksekusi sesuai dengan hukum yang berlaku tidak bisa dibatalkan atau diubah oleh keputusan baru yang hanya bersifat penundaan atau non-eksekutabilitas tanpa dasar yang jelas.
2. Asas Legalitas (Rechtsstaat)
Definisi Asas Legalitas:
Asas legalitas mengharuskan semua tindakan pemerintah dan pejabat administrasi untuk selalu didasarkan pada hukum yang berlaku. Artinya, setiap tindakan yang diambil oleh pejabat publik harus memiliki dasar hukum yang sah dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas
Kaitan dengan Paparan:
Eksekusi putusan PTUN yang telah dilakukan oleh BPN Kabupaten Pontianak berdasarkan keputusan pengadilan yang inkracht jelas berlandaskan pada hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang diatur dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara serta prosedur eksekusi yang sesuai.
Eksekusi yang telah dilaksanakan oleh pejabat publik berdasarkan putusan yang sah menunjukkan bahwa tindakan tersebut sah dan sesuai dengan asas legalitas.
Oleh karena itu, meskipun ada putusan baru yang menyatakan non-eksekutabilitas atau penundaan, putusan yang telah dieksekusi tidak dapat dianggap batal, karena eksekusi tersebut dilakukan berdasarkan keputusan yang sah menurut hukum yang berlaku pada saat itu.
Landasan Hukum:
Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa eksekusi terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah wajib dan harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
3. Asas Finalitas (Rechtskracht)
Definisi Asas Finalitas:
Asas finalitas menyatakan bahwa suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak bisa dibatalkan atau diubah lagi melalui prosedur hukum biasa. Asas ini penting untuk menjamin adanya kestabilan dan kepastian dalam penyelesaian sengketa hukum.
Kaitan dengan Paparan:
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah keputusan yang sudah final dan mengikat, yang tidak dapat diganggu gugat lagi melalui upaya hukum biasa (banding, kasasi, atau perlawanan).
Eksekusi yang dilakukan oleh BPN berdasarkan putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah final dan harus dihormati oleh semua pihak.
Ketika ada putusan baru yang menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas, keputusan tersebut tidak berlaku surut dan hanya berlaku untuk masa depan. Dengan kata lain, asas finalitas melindungi eksekusi yang telah dilakukan berdasarkan putusan yang sudah pasti dan mengikat.
Landasan Hukum:
Pasal 116 dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa eksekusi yang dilakukan berdasarkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah sah dan wajib dilaksanakan.
4. Asas Non-Retroaktif (Non-Retroactiviteit)
Definisi Asas Non-Retroaktif:
Asas non-retroaktif mengatur bahwa keputusan atau peraturan baru tidak dapat diterapkan pada keadaan yang telah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, keputusan atau peraturan baru hanya berlaku untuk kejadian-kejadian yang terjadi di masa depan, bukan untuk masa lalu.
Kaitan dengan Paparan:
Dalam kasus ini, meskipun ada putusan baru yang menyatakan bahwa objek putusan sebelumnya non-eksekutabel atau memerintahkan penundaan, asas non-retroaktif menguatkan bahwa putusan baru tersebut tidak dapat membatalkan eksekusi yang telah dilaksanakan.
Eksekusi yang telah dilakukan sebelumnya berdasarkan putusan yang inkracht tidak bisa diubah atau dibatalkan oleh keputusan baru yang muncul setelahnya.
Asas non-retroaktif memberikan perlindungan bagi tindakan yang sudah dilaksanakan dan menjaga kestabilan hukum yang sudah ada.
Landasan Hukum:
Prinsip ini dapat dihubungkan dengan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986, yang mengharuskan putusan yang sudah inkracht untuk dilaksanakan dan tidak bisa diubah oleh keputusan lain yang bersifat deklaratif atau hanya memberikan penundaan pelaksanaan ke depan.
5. Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia (Rechtsbescherming)
Definisi Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Asas perlindungan hak asasi manusia (HAM) mengharuskan setiap tindakan atau keputusan hukum yang diambil oleh negara atau pejabat publik untuk tidak merugikan hak-hak dasar warga negara, serta menjamin adanya upaya hukum untuk melindungi hak-hak tersebut.
Kaitan dengan Paparan:
Eksekusi yang telah dilakukan oleh pejabat administrasi negara sesuai dengan putusan yang sah dan inkracht merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang memperoleh hak berdasarkan putusan tersebut.
Jika eksekusi tersebut diubah atau dibatalkan tanpa alasan yang sah, maka hal itu dapat merugikan pihak yang telah melaksanakan haknya berdasarkan keputusan pengadilan yang sah, yang bertentangan dengan asas perlindungan hak asasi manusia
Landasan Hukum:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum.
Kesimpulan Klarifikasi Hukum:
Paparan di atas didukung oleh berbagai asas dalam hukum administrasi negara, yang secara keseluruhan mengarah pada perlindungan kepastian hukum dan finalitas keputusan.
Asas Kepastian Hukum memastikan bahwa keputusan yang sudah sah dan dilaksanakan tidak dapat dibatalkan oleh keputusan baru yang bersifat penundaan atau non-eksekutabilitas.
Asas Finalitas menguatkan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diganggu gugat atau dibatalkan.
Asas Non-Retroaktif menghindari penerapan keputusan baru pada masa lalu, dan Asas Perlindungan HAM memastikan hak-hak yang sudah diakui melalui putusan pengadilan tetap dihormati dan dilindungi.
Dengan demikian, putusan yang telah dieksekusi berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya tetap sah dan mengikat, sementara putusan baru yang hanya bersifat penundaan atau non-eksekutabilitas tidak dapat membatalkan eksekusi yang sudah dilaksanakan.
Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur dalam Hukum Administrasi Negara
Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur adalah salah satu asas fundamental dalam sistem peradilan, yang menyatakan bahwa suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dianggap benar dan sah secara hukum. Dengan kata lain, setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diganggu gugat kecuali ada pembatalan melalui mekanisme hukum yang sah.
1. Penjelasan Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur
Asas ini mengandung makna bahwa:
Putusan yang sudah inkracht dianggap telah final dan tidak dapat diubah atau dibatalkan oleh putusan lain, kecuali melalui upaya hukum yang sah.
Kekuatan hukum putusan inkracht mengikat semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, termasuk instansi pemerintah atau badan hukum negara yang terlibat dalam pelaksanaan keputusan tersebut.
Asas ini memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang telah melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga hak-hak mereka te

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia dan Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa asas res judicata mengikat semua pihak yang terlibat dalam perkara, dan tidak dapat dibatalkan kecuali dengan prosedur hukum yang berlaku.
Pasal 1917 KUHPerdata: “Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dianggap benar dan tidak dapat diganggu gugat kecuali dibatalkan melalui upaya hukum yang sah.”
Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN: Menyatakan bahwa putusan PTUN yang telah inkracht tidak dapat dikesampingkan atau dibatalkan, melainkan hanya bisa diubah atau dibatalkan melalui mekanisme hukum yang berlaku, seperti melalui kasasi, perlawanan, atau PK (Peninjauan Kembali).
2. Implikasi dalam Konteks Eksekusi Putusan PTUN yang Sudah Dilaksanakan
Jika merujuk pada kasus yang problematika hukum disebutkan, di mana putusan pengadilan TUN telah dieksekusi dan mendapatkan kekuatan hukum tetap, maka berdasarkan asas res judicata pro veritate habetur, pelaksanaan eksekusi tersebut harus dihormati dan dianggap sah. Eksekusi yang sudah dilaksanakan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan atau diganggu gugat oleh putusan baru yang hanya bersifat non-eksekutabel atau penundaan.
Poin Penting:
Putusan yang sudah inkracht memberikan kepastian hukum dan melindungi pihak yang sudah melaksanakan keputusan tersebut. Oleh karena itu, meskipun ada putusan baru yang menyatakan bahwa objek dari putusan tersebut adalah non-eksekutabel atau penundaan, hal itu tidak bisa menghapus atau membatalkan pelaksanaan eksekusi yang telah dilakukan sebelumnya.
Asas res judicata pro veritate habetur memperkuat bahwa eksekusi yang sudah dilaksanakan berdasarkan keputusan yang inkracht adalah benar dan sah secara hukum, dan tidak bisa dibatalkan oleh putusan baru yang hanya menunda atau menyatakan non-eksekutabilitas.
3. Asas Res Judicata dan Kepastian Hukum
Asas ini juga menekankan pada kepastian hukum, yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum administrasi negara. Kepastian hukum memberi jaminan bahwa keputusan pengadilan yang telah diambil tidak bisa dibatalkan secara sepihak atau tanpa dasar hukum yang kuat.
Kepastian hukum memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam eksekusi putusan yang sudah inkracht tidak akan dirugikan oleh keputusan yang datang kemudian yang bertentangan dengan keputusan yang telah sah.
Keamanan hukum yang diberikan oleh asas res judicata memberikan perlindungan terhadap pihak yang telah memperoleh hak atau keputusan berdasarkan putusan yang sah dan inkracht.
4. Putusan Baru yang Non-Eksekutabel atau Menunda Eksekusi
Dalam konteks putusan baru yang menyatakan non-eksekutabilitas atau penundaan eksekusi, asas res judicata pro veritate habetur tetap menguatkan bahwa eksekusi yang sudah dilakukan berdasarkan putusan inkracht harus dihormati. Putusan baru tersebut, yang hanya memberikan penundaan eksekusi atau menyatakan objek keputusan tersebut non-eksekutabel, hanya berlaku untuk masa depan dan tidak dapat merubah status eksekusi yang telah dilaksanakan.
Kesimpulan:
1. Putusan yang sudah inkracht berdasarkan asas res judicata pro veritate habetur memiliki kekuatan hukum mengikat dan dianggap sah, sehingga eksekusi yang telah dilakukan tetap sah dan tidak dapat dibatalkan meskipun ada putusan baru yang menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas.
2. Putusan baru yang menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas tidak dapat menghapus pelaksanaan eksekusi yang telah dilakukan sebelumnya.
3. Asas ini mendukung pentingnya kepastian hukum dan perlindungan hak-hak pihak yang telah menjalani eksekusi berdasarkan keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap, menjaga kestabilan hukum dalam sistem peradilan.
Dengan demikian, asas res judicata pro veritate habetur dan prinsip-prinsip hukum lainnya memperkuat bahwa putusan yang sudah inkracht tetap berlaku dan dihormati meskipun ada upaya hukum baru yang tidak secara langsung membatalkan pelaksanaan putusan yang telah eksekusi.
Analisis Validasi Hukum: Yurisprudensi MA sebagai Rujukan dalam Kasus yang Diberikan
Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) memiliki peran penting dalam pengembangan hukum dan penyelesaian sengketa hukum, karena ia dapat menjadi pedoman dalam menginterpretasikan dan menerapkan hukum terhadap masalah-masalah yang serupa atau yang belum secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, yurisprudensi MA dapat digunakan sebagai rujukan dasar hukum yang dapat memberikan kepastian hukum dalam kasus yang berhubungan dengan putusan pengadilan TUN yang telah dieksekusi dan kemudian dihadapkan dengan putusan yang menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas.
1. Yurisprudensi MA terkait Kepastian Hukum Putusan TUN yang Telah Inkracht
Dalam kasus yang Anda sebutkan, ada putusan pengadilan TUN yang sudah dieksekusi dan mendapatkan kekuatan hukum tetap (inkracht), tetapi setelah dua tahun muncul putusan baru yang menyatakan objek dari putusan sebelumnya non-eksekutabel atau ada penundaan eksekusi. Dalam konteks ini, kita dapat melihat prinsip-prinsip yang sudah diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam beberapa yurisprudensi terkait eksekusi putusan yang sudah inkracht.
Contoh Yurisprudensi yang Bisa Dijadikan Rujukan:
1. Putusan MA Nomor 17/PK/TUN/2002 (yang Anda sebutkan sebelumnya):
Putusan ini memperjelas bahwa setelah suatu putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut harus dilaksanakan dan tidak bisa dibatalkan kecuali dengan upaya hukum yang sah seperti kasasi atau perlawanan.
Yurisprudensi ini menguatkan bahwa eksekusi yang telah dilaksanakan berdasarkan putusan yang telah inkracht tidak bisa dibatalkan oleh keputusan lain yang hanya menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas, karena eksekusi tersebut sudah sah dan tidak dapat dibatalkan dengan alasan yang bersifat prospektif.
2. Yurisprudensi Terkait Eksekusi Putusan yang Telah Inkracht:
Dalam beberapa kasus lainnya, Mahkamah Agung juga telah menegaskan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dihormati, dan bahwa eksekusi yang dilakukan sesuai dengan putusan tersebut tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain, termasuk oleh putusan baru yang bersifat menunda atau menyatakan non-eksekutabilitas.
Sebagai contoh, dalam beberapa putusan kasasi dan PK yang menyatakan bahwa setelah eksekusi dilakukan sesuai dengan putusan yang inkracht, maka status eksekusi tersebut tetap sah, dan hanya bisa dibatalkan atau diganggu gugat jika ada putusan baru yang jelas dan sah dengan prosedur hukum yang berlaku.
2. Prinsip-Pinsip yang Ditekankan dalam Yurisprudensi MA:
Asas Res Judicata: Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dianggap benar dan sah selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa putusan tersebut melanggar hukum.
Eksekusi Putusan yang Telah Inkracht: Eksekusi yang dilakukan berdasarkan putusan yang sudah inkracht tetap sah dan tidak bisa dibatalkan oleh putusan baru yang hanya menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas, kecuali ada pembatalan melalui prosedur hukum yang sah.
Kepastian Hukum: Dalam banyak yurisprudensi, MA menekankan bahwa kepastian hukum harus dijaga, dan tindakan hukum yang diambil oleh pejabat administrasi negara berdasarkan putusan yang sah harus dihormati untuk menjaga kestabilan hukum.
3. Yurisprudensi yang Relevan dalam Menyelesaikan Kasus ini:
Sebagai contoh yurisprudensi yang bisa menjadi rujukan dalam mengatasi masalah ini, dapat merujuk pada putusan-putusan MA yang menegaskan bahwa setelah suatu putusan pengadilan, terutama dalam peradilan tata usaha negara, memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), maka putusan tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat dan pelaksanaannya tidak dapat dibatalkan kecuali ada upaya hukum yang sah, seperti kasasi atau perlawanan.
Contoh Kasus MA yang Relevan:
1. Putusan MA Nomor 17/PK/TUN/2002 Tanggal 28 November 2006 yang menyatakan bahwa putusan PTUN yang telah inkracht dan telah dieksekusi tetap harus dihormati dan tidak dapat dibatalkan oleh keputusan lain yang bersifat penundaan atau non-eksekutabilitas, kecuali ada alasan yang sah melalui mekanisme hukum yang berlaku.
2. Putusan MA Nomor 3335 K/Pdt/1999 yang terkait dengan eksekusi keputusan yang telah sah dan tidak bisa dibatalkan oleh putusan baru yang bersifat prospektif, karena prinsip kepastian hukum dan finalitas keputusan harus dihormati oleh semua pihak.
4. Kesimpulan Validasi Hukum:
Berdasarkan yurisprudensi MA dan asas-asas hukum yang berlaku, dapat disimpulkan bahwa:
1. Putusan pengadilan yang telah inkracht dan telah dieksekusi, tidak dapat dibatalkan atau diubah oleh putusan baru yang menyatakan penundaan atau non-eksekutabilitas, kecuali ada mekanisme hukum yang sah, seperti kasasi, perlawanan, atau PK.
2. Yurisprudensi MA menguatkan bahwa putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap harus dihormati dan eksekusinya tidak bisa diganggu gugat oleh putusan baru yang hanya menunda atau mengubah status eksekusi secara prospektif.
3. Prinsip kepastian hukum dan asas res judicata menjadi dasar yang kuat untuk menjaga stabilitas hukum dan tidak memperkenankan pembatalan eksekusi berdasarkan alasan yang tidak sah atau tidak jelas.
Dengan demikian, yurisprudensi MA yang relevan dapat menjadi rujukan yang sah dan kuat dalam menghadapi masalah hukum yang serupa, dan memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan eksekusi putusan yang telah inkracht.
Putusan MA yang Menguatkan Verzet sebagai Alat Bukti untuk Membatalkan Putusan Perlawanan
Pada dasarnya, verzet dalam konteks hukum Indonesia merujuk pada upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah inkracht namun tetap dianggap tidak sah oleh pihak yang merasa dirugikan. Verzet dapat digunakan untuk membatalkan atau mengubah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan alasan tertentu yang bersifat substantif atau procedural.
Namun, untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan bahwa verzet dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk membatalkan putusan perlawanan, berikut adalah beberapa hal yang perlu dipahami secara lebih mendalam:
1. Pengertian dan Fungsi Verzet dalam Sistem Hukum Indonesia
Verzet merupakan salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, baik itu di tingkat pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) maupun di pengadilan perdata. Dalam hukum acara PTUN, verzet bisa diartikan sebagai upaya hukum yang digunakan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh putusan yang dianggap sudah tidak sah lagi atau ada kekeliruan yang perlu diperbaiki.
Namun, verzet bukanlah upaya hukum yang secara langsung membatalkan putusan. Verzet lebih berfungsi sebagai pengajuan alasan tertentu untuk memulai pemeriksaan ulang, yang dapat menghasilkan putusan baru yang berbeda, jika diputuskan sebaliknya.
2. Apakah Verzet Dapat Digunakan untuk Membatalkan Putusan Perlawanan?
Verzet dalam hukum administrasi negara dan hukum acara perdata berbeda dengan perlawanan. Perlawanan adalah upaya hukum yang diajukan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang dianggap tidak sah atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Verzet lebih berfokus pada membatalkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau untuk mendapatkan peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Dalam hal ini, verzet bisa dijadikan alat hukum untuk membatalkan suatu putusan, tetapi bukan untuk membatalkan putusan perlawanan.
Dengan kata lain, verzet lebih mengarah pada upaya hukum untuk mengoreksi atau membatalkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan bukan untuk menanggapi putusan perlawanan terkait eksekusi suatu keputusan.
3. Apakah Ada Putusan MA yang Menguatkan Verzet sebagai Alat Bukti untuk Membatalkan Putusan Perlawanan?
Secara eksplisit, Mahkamah Agung (MA) tidak pernah secara langsung menyatakan bahwa verzet digunakan sebagai alat bukti untuk membatalkan putusan perlawanan. Sebaliknya, verzet merupakan jalan hukum yang lebih bersifat substantif dan formal yang dapat digunakan untuk membatalkan putusan yang telah inkracht, tetapi tidak mengarah langsung pada pembatalan putusan perlawanan.
Beberapa putusan MA terkait verzet lebih cenderung mengarah pada keabsahan atau kelengkapan prosedural suatu perkara dan peninjauan kembali terhadap suatu putusan. Misalnya, verzet dapat diajukan jika terdapat kesalahan prosedural atau kesalahan dalam penerapan hukum, namun itu lebih kepada substansi dari putusan yang ingin dibatalkan, bukan untuk membatalkan keputusan eksekusi atau putusan perlawanan.
4. Penggunaan Verzet dalam Sistem Hukum Indonesia:
Pasal 1917 KUHPerdata menyebutkan bahwa putusan yang sudah inkracht dianggap sah dan tidak dapat diganggu gugat, kecuali ada alasan kuat yang bisa digunakan dalam proses verzet atau melalui upaya hukum lain.
Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN juga menyatakan bahwa putusan yang telah inkracht dalam peradilan tata usaha negara dapat diajukan untuk peninjauan kembali melalui proses yang berlaku, tetapi verzet lebih merujuk pada hal yang bersifat korektif terhadap kesalahan substantif dalam keputusan sebelumnya.
Kesimpulan:
Verzet merupakan upaya hukum yang dapat digunakan untuk membatalkan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan alasan tertentu yang dianggap sah.
Putusan perlawanan adalah upaya hukum terhadap eksekusi putusan yang tidak relevan dengan verzet.
Yurisprudensi MA lebih banyak memberikan panduan terkait verzet sebagai upaya hukum yang sah terhadap keputusan yang telah inkracht, tetapi verzet tidak secara eksplisit digunakan untuk membatalkan putusan perlawanan.
Sebagai referensi lebih lanjut, apabila Anda mencari contoh yurisprudensi yang relevan, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan putusan terkait verzet, namun lebih mengarah pada koreksi terhadap putusan yang telah inkracht, bukan pembatalan terhadap keputusan eksekusi atau perlawanan.
Analisis Kaitan Yurisprudensi dan Peraturan Terkait dalam Konteks Hukum Administrasi Negara dan Sengketa Pertanahan
Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai kaitan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 264 K/Sip/1974, kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta peraturan terkait administrasi pertanahan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, mari kita telaah secara sistematis bagaimana prinsip hukum ini bekerja dalam konteks sengketa administrasi negara, khususnya yang berkaitan dengan keputusan pejabat tata usaha negara dan pembatalan sertifikat tanah.
1. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 264 K/Sip/1974 – Prinsip “Ne Bis In Idem”
Yurisprudensi ini menegaskan prinsip “ne bis in idem” yang berlaku dalam sengketa perdata, yang artinya bahwa suatu perkara yang sudah diputus dengan putusan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan kembali dengan pokok perkara yang sama. Prinsip ini berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari duplikasi proses hukum pada pokok perkara yang sudah diputus secara final oleh pengadilan.
Dalam konteks sengketa administrasi negara dan pertanahan, ini berarti jika PTUN sudah memutuskan suatu sengketa terkait keputusan pejabat tata usaha negara (misalnya terkait dengan penerbitan sertifikat tanah), dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan lain atau melalui upaya hukum yang sama.
2. Kewenangan PTUN dan Pengadilan Negeri (PN)
Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, PTUN berwenang untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa yang timbul akibat keputusan pejabat tata usaha negara, termasuk yang berkaitan dengan masalah pertanahan seperti penerbitan sertifikat tanah. Jika PTUN sudah memutuskan suatu sengketa terkait keputusan pejabat yang berkaitan dengan sertifikat tanah, maka keputusan tersebut bersifat final untuk perkara administratif tersebut.
Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan, kecuali jika perkara tersebut sudah diputuskan secara final oleh pengadilan yang berwenang. Oleh karena itu, PTUN berwenang untuk menyelesaikan sengketa administratif terkait pertanahan, sedangkan Pengadilan Negeri (PN) berwenang untuk menangani sengketa hak keperdataan atas tanah yang bukan merupakan keputusan administrasi negara.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Dalam Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat tanah dianggap sebagai tanda bukti hak yang sah dan berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap data fisik dan yuridis yang tercantum dalam sertifikat tersebut. Namun, jika suatu sertifikat tanah dibatalkan oleh putusan PTUN, sertifikat tersebut kehilangan kekuatan pembuktian.
Pasal 32 Ayat (2) memberikan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang diterbitkan dengan itikad baik. Jika sertifikat tanah telah diterbitkan sah atas nama seseorang, maka pihak lain yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi mengajukan keberatan atau gugatan jika lebih dari 5 tahun sejak penerbitan sertifikat tersebut. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat yang sah, namun tetap memberikan ruang bagi pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat melalui jalur hukum yang berlaku dalam waktu yang telah ditentukan.
4. Kaitannya dengan Prinsip “Ne Bis In Idem” dan PTUN
Jika kita menghubungkan prinsip “ne bis in idem” dengan proses pertanahan dan putusan PTUN, maka dapat disimpulkan bahwa jika PTUN telah memutuskan suatu sengketa yang berkaitan dengan keputusan pejabat tata usaha negara tentang sertifikat tanah, dan putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka sengketa tersebut tidak bisa diajukan kembali ke pengadilan lain atau dengan alasan yang sama.
Verifikasi Sertifikat Tanah: Jika PTUN mengeluarkan putusan yang membatalkan sertifikat tanah, maka sertifikat tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti dalam sengketa hukum lainnya terkait kepemilikan tanah, dan pihak yang merasa dirugikan harus menerima keputusan tersebut, kecuali jika ada upaya hukum yang sah (seperti peninjauan kembali atau verzet) yang diajukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Perlindungan bagi Pemegang Sertifikat dengan Itikad Baik: Di sisi lain, jika sertifikat diterbitkan dengan itikad baik, maka pihak yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut harus mengajukan gugatan ke pengadilan dalam waktu 5 tahun setelah sertifikat diterbitkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997. Dengan demikian, pihak yang dirugikan oleh keputusan PTUN tetap memiliki kesempatan untuk menggugat sertifikat tanah yang telah dikeluarkan dengan dasar klaim keperdataan.
5. Kesimpulan Kaitan:
Yurisprudensi MA (264 K/Sip/1974) menguatkan prinsip “ne bis in idem” yang berlaku terhadap sengketa yang telah diputuskan dan memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga putusan PTUN yang telah inkracht tidak dapat diajukan kembali dengan pokok

perkara yang sama.
Kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara, termasuk sengketa terkait dengan keputusan pejabat tata usaha negara tentang sertifikat tanah, memberikan kepastian hukum bagi keputusan tersebut selama tidak ada upaya hukum lain yang sah yang membatalkan keputusan tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 memperjelas bahwa sertifikat yang telah diterbitkan dengan itikad baik dan tidak digugat dalam waktu 5 tahun akan memiliki kekuatan pembuktian yang sah. Namun, jika putusan PTUN membatalkan sertifikat, sertifikat tersebut kehilangan kekuatan pembuktian dan tidak dapat digunakan untuk membuktikan kepemilikan atau hak atas tanah.
Dengan demikian, dalam konteks keputusan PTUN yang telah inkracht, prinsip ne bis in idem memberikan kepastian hukum bahwa putusan yang telah final terkait sengketa pertanahan tidak bisa diajukan kembali, kecuali dengan upaya hukum yang sah sesuai dengan prosedur yang berlaku.

 

CURICULUM VITAE
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum
1. Identitas diri:
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum adalah seorang ahli hukum dengan kontribusi luas di bidang pemerintahan, keilmuan, dan budaya serta sejarah hukum. lahir di Pontianak pada 8 Desember 1962, dan memiliki latar belakang pendidikan Hukum dari Universitas Tanjungpura (S1) 10 Desember, 1982 serta Hukum dan Kehidupan Kenegaraan dari Universitas Indonesia (S2) 11 Juni, 1999, Peneliti Tesis satu satunya Di Indonesia: Sejarah Hukum Perancangan Lambang Negara’ Republik Indonesia dan Pendidikan Lemhanas, 14.Februari 2001. Selain itu menjadi pembina Yayasan Sultan Hamid II 1991-sd sekarang, dan Institut Sultan Hamid II Jakarta, dan aktif dalam organisasi komunitasIslam (1) Yayasan Pembina Mualaf At Tauhid Wilayah IV Kalimantan, Koordinator Pusat Kajian Keilmuan Struktur Al-Qur’an Digital Kalbar,2009 -sd sekarang. Jabatan keahlian menjabat sebagai Tim Ahli di berbagai bidang, termasuk Tim Saber Pungli, Tim Cyber Crime, danTim Mafia Tanah Polda Kalimantan Barat. Ia juga memegang posisi sebagai Menteri Dalam Negari Kesultanan Pontianak sebagai Tengku Mulia Dilaga, gelar kehormatan dari Sultan ke VIII, Syarif Abubakar AlKadrie, sebagai kebangsawanan Kerabat Dalam di Kesultanan Kadriyah Pontianak, 24 Oktober 2015 (11 Muharam 1437 Hijriah), Staf Ahli Khusus Senator Syarif Melvin Alkadrie DPD RI Dapil Kalimantan Barat.
2. Profesi: Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, dan Universitas Muhammadiyah
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum, juga dikenal sebagai seorang pendidik di bidang hukum dan sejarah hukum, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagai dosen di Fakultas Hukum, beliau memiliki keahlian dalam berbagai cabang ilmu hukum, termasuk hukum tata negara, hukum administrasi negara , dan isu-isu kontemporer seperti cyber crime dan pemberantasan mafia tanah dan Analis Semiotika Hukum masalah problematika hukum dan HAM. Selain mengajar, beliau aktif memberikan pandangan sebagai tim ahli dalam kebijakan hukum dan pemerintahan daerah dan Pemerintahhan desa, saksi ahli hukum Tata Negara dan hukum Tata Usaha Negara/Hukum Administrasi Negara, serta berkontribusi dalam Nara sumber kajian ilmiah yang relevan dengan konteks hukum dan sejarah hukum di Indonesia. Pengalaman dan wawasan beliau memperkaya dunia akademik dan praktisi hukum, juga sebagai Mediator, Arbitrase DSI Kalimantan Barat.
3.Personal Branding, Sebagai Dosen Pendidik Ilmu Hukum:
1.Pemamfaatan Media sosial digital: website dan blogger Rajawali Garuda Pancasila, Youtuber : Turiman Corner, Titoker: dua akun : Turiman Corner dan Tengku Turiman Fachturahman Nur, 12 ribu lebih, dan 23 ribu lebih penonton.
4. Pengalaman Pembelajaran Pendidikan Hukum: Konsep Digitalisasi Pembelajaran Ilmu Hukum Lintas Perguruan Tinggi
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum, sebagai seorang pendidik hukum, memanfaatkan platform media sosial seperti TikTok dan YouTube untuk menyederhanakan dan menyebarkan pembelajaran hukum kepada khalayak luas. Pendekatan ini memadukan teori hukum dengan strategi komunikasi modern untuk menjangkau generasi muda digital dan masyarakat umum. Dalam model pendekatannya, menggunakan lima analisis ilmiah Semiotika Hukum untuk mengkaji problematika berhukum secara mendalam:1. Analisis Kategorisasi Hukum, 2. Analisis Klarifikasi Hukum:,3. Analisis Verifikasi Hukum: 4. Analisis Validasi Hukum: Analisis Falsifikasi Hukum, memperkenalkan Grand Teori Berthawaf Semiotika Hukum Pancasila.
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum, sebagai seorang akademisi dan pendidik. Ilmu hukum, menggunakan model pembelajaran BCL (Based Collaborative Learning) sejak tahun 2019 dalam mengajar ilmu hukum. Model ini mendorong interaksi aktif antara mahasiswa untuk memahami Konsep hukum pendekatan analisis semiotika Hukum Pancasila melalui diskusi kelompok Terfokus penyelesaian kasus, dan simulasi dengan menfaatkan flatform Media Sosial, Titok dan YouTube. Analisis Model BCL yang Digunakan Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, M Pengembangan Ilmu Hukum Modern :
4.1. Kolaborasi: Mahasiswa diajak untuk bekerja sama dalam menganalisis kasus hukum, dsn fakta problematika hukum untuk memupuk dan penguatan pemahaman serta penalaran kolektif secara benar, tepat,dan smart serta paradimatig terhadap ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu hukum berdasarkan nilai nilai Pancasila.
4.2. Kontekstualisasi: Pembelajaran berbasis kasus nyata, seperti cyber crime atau konflik tanah dan problematika hukum terkini, menjembatani teori dan praktik, pendekatan normatif dan empirik ilmu hukum khususnya ilmu hukum Tata Negara, hukum administrasi negara dalam kehidupan berhukum dan kehidupan kenegaraan.

4.3. Penguatan Keterampilan Analitis: Diskusi kelompok Terfokus secara live flatform Titok, membantu mahasiswa mempraktikkan analisis Kategorisasi hukum klarifikasi hukum, verifikasi hukum, dan validasi hukum serta falsifikasi hukum dengan analisis ilmiah ilmu hukum, melalui pendekatan Semiotika Hukum dan Sejarah hukum serta ilmu hukum tata negara.
4.4. Teknologi Digital: Turiman Fachturahman Nur memanfaatkan media sosial dan platform YouTube dan digital Titok live untuk melibatkan mahasiswa lintas perguruan tinggi dan alumni fakultas hukum berpartisipasi kolaborasi live media sosial titoklive , menjadikan hukum lebih inklusif dan menarik serta smart pada generasi digital
4.5. Hasil: Metode ini meningkatkan pemahaman hukum berbasis masalah serta keterampilan berpikir ilmiah kritis pengembangan penalaran hukum dari mahasiswa.
Pengembangan Ilmu Pengetahuan hukum melalui pemanfaatan Teknologi Digital, dengan memadukan keilmuan hukum lintas disiplin keilmuan dengan pemanfaatan teknologi untuk menciptakan proses pembelajaran ilmu hukum yang relevan dan adaptif era globalisasi yang bersandar literasi digital. Berdasarkan pendekatan akademik dan inovasi pendidikan ilmu hukum yang diterapkan oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum, berikut: model pembelajaran perkuliahan terpilih yang diterapkan:
Pertama: Problem-Based Learning (PBL), Deskripsi: Mahasiswa diajak menganalisis kasus hukum nyata, seperti konflik tanah atau cyber crime, problematika hukum dimensi sosial berhukum masyarakat pada dunia pendidikan hukum Indonesia untuk menemukan solusi berbasis teori hukum. Manfaat: Meningkatkan kemampuan analisis hukum secara praktis dan teoritis.
Kedua: Based Collaborative Learning (BCL), Deskripsi: Mengutamakan kerja kelompok diskusi Terfokus dalam menyelesaikan tugas analisis hukum model pro, kontra dan Penyelaras Model Mediasi, Manfaat: Mendorong kolaborasi dan keterampilan komunikasi antar mahasiswa melalui Live Titok, serta memotivasi mahasiswa membentuk personal branding mahasiswa sebagai Man Of Analisis menjadi intelektual muda dan analis fakta problematika hukum.
Ketiga: Flipped Classroom: Deskripsi: Memberikan materi hukum secara digital sebelum perkuliahan, dan motivasi, dimulai berdoa bersama, sehingga diskusi di kelas lebih terfokus pada pendalaman materi, melalui live titok Manfaat: Mengoptimalkan waktu kelas untuk analisis mendalam diskusi Terfokus setelah UTS (Ujian Tengah Semester)
Keempat: Integrasi Teknologi Digital: Deskripsi: Menggunakan platform media sosial seperti TikTok live atau tautan aplikasi interaktif lainnya, memperkenalkan isu dan problematika hukum dengan cara yang mudah dipahami serta penggunaan absensi mahasiswa secara digital melalui live titok live terpaut dengan admin media sosial dosen .Manfaat: Mendekatkan konsep hukum kepada generasi digital.
Kelima: Experiential Learning: Deskripsi: Mahasiswa dilibatkan langsung simulasi sidang atau penelitian hukum lapangan, dan live Titok: membangun silaturahmi digital dengan alumni fakultas hukum, orang tua mahasiswa. Manfaat: Memperkuat keterampilan praktis dalam dunia hukum.Pendekatan ini mencerminkan perpaduan teori, praktik, dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan pendidikan hukum modern.
5.Prinsip Hidup dan Kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta kehidupan kebergamaan: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum:
“Fighting for Allah, preserving dignity, thinking correctly and accurately, because both think and act with the eyes of the heart, achieving from the regions for Indonesia.”
“Melawan karena Allah, menjaga Marwah, berpikir benar dan tepat, karena keduanya berpikir dan bertindak dengan mata hati, berprestasi dari Daerah untuk Indonesia ”

Pontianak, 28 November 2024, Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum

CATEGORIES
TAGS
Share This