Bandar Narkotika, Terbahak-Bahak Kalau Penyalahguna Dipenjara
Oleh : Komisaris Jenderal (pur) Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H.
BN – Beberapa hari yang lalu dalam sebuah forum group discussion, saya mendapat pertanyaan dari seorang penegak hukum.
Pertanyaannya: “Apa, tidak akan tambah banyak yang coba-coba, kalau hanya dihukum rehabilitasi? Dihukum penjara saja, masih banyak yang tidak jera.”
Ia berpendapat, penjara lebih cocok bagi penyalahguna, agar kapok.
“
Kalau penyalah guna narkotika, yang terdiri dari korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna untuk diri sendiri. Dan, pecandu yang menjalani proses penegakan hukum ditahan dan dijatuhi hukuman penjara. Maka, bandar narkotika akan tertawa terbahak-bahak.
Mengapa begitu? Karena mereka, merasa diuntungkan. Permintaan narkotika illegal dari tahun ke tahun, akan meningkat.
Bagi penyalah guna narkotika, hukuman rehabilitasi terasa lebih berat dari pada hukuman penjara. Ini benar, meskipun bagi kita, rehabilitasi tidak terasa sebagai bentuk hukuman.
Tidak ada terminologi, coba-coba menggunakan narkotika. Karena pengguna pertama itu, menurut UU Narkotika, disebut korban penyalahgunaan narkotika. Setelah menjadi korban, maka selanjutnya masuk tahap kecanduan ringan, sedang dan berat.
Meskipun bandar narkotika banyak yang ditangkap, akan muncul bandar narkotika generasi baru untuk mengisi permintaan akan narkotika illegal, yang tumbuh dengan baik.
“
Ketika itu, saya langsung berondong dengan pertanyaan, tahukan Anda: “Siapakah penyalah guna narkotika itu?”
Pertanyaan saya berikut, “Apakah Anda tahu, penyalah guna itu adalah orang sakit adiksi dan gangguan kejiwaan?”
“Apakah Anda tahu, penyalah guna kalau dipenjara itu justru menjadii residivis, tidak jera dan akan berkarier sebagai pecandu?”
“Apakah Anda, tahu kalau penyalah guna dipenjara menyebabkan Indonesia menjadi negara darurat narkotika?”
“Apakah Anda tahu, bahwa model penegakan hukum dengan menahan dan memenjarakan penyalah guna yang diuntungkan adalah bandar narkoba?”
“Apakah Anda tahu, ditempatkan dimana uang hasil penjualan narkotika?”
Penyalahguna Narkotika Termasuk Kejahatan Bersarat
Secara yuridis arti penyalah guna itu adalah, orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum. Maksudnya, tidak semua orang yang menggunakan narkotika melanggar hukum.
Ada loh, yang berhak menggunakan narkotika atas pentunjuk dokter. Yang begini, bukan sebagai pelanggar hukum.
Oleh karena itu, kejahatan penyalahguna narkotika termasuk kejahatan bersarat. Apabila kepemilikan dan penggunaannya atas petunjuk dokter, tergolong “bukan” kejahatan. Tapi, apabila kepemilikan dan penggunaan tidak atas petunjuk dokter tergolong kejahatan.
Demikian pula tujuan kepemilikannya. Kalau tujuan kepemilikannya untuk dijual atau digunakan untuk untuk mendapatkan keuntungan. Maka, yang bersangkutan, tergolong “pengedar”. Sedangkan kalau kepemilikannya untuk diri sendiri, tergolong “penyalah guna”.
Pengedar sebagai penjual narkotika niat jahatnya jelas. Ia mendapatkan keuntungan, dengan cara menebarkan penyakit adiksi, ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan. Ini yang harus diberantas!
Berbeda dengan penyalah guna narkotika perannya sebagai pembeli. Meskipun mereka kriminal, tapi tidak memiliki niat jahat. Mereka menggunakan untuk diri sendiri, mereka adalah korban kejahatan karena mereka yang menderita sakit adiksi dan mendapatkan gangguan mental kejiwaan.
Penyalah guna inilah, yang menurut Konvensi Internasional diberikan alternatif penghukuman berupa rehabilitasi dimana indonesia menyakini dan mengamini.
Itu sebabnya, negara melalui Presiden atas persetujuan DPR menetapkan UU khusus tentang narkotika. Dimana hukuman rehabilitasi, sebagai bentuk hukuman pokok, sekaligus sebagai alat pemaksa penyalah guna kapok alias jera. Agar yang bersangkutan, tidak mengkonsumsi narkotika lagi.
Hukuman Rehabilitasi Statusnya Sama Dengan Hukuman Penjara.
Dalam UU narkotika, hakim diberi kewenangan Absolut, untuk menghukum rehabilitasi terhadap perkara penyalahgunaan narkotika.
Bila mereka, terbukti bersalah dan menetapkan menjalani rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah. Jadi, hakim tidak berhak menjatuhkan hukuman penjara.
Narkotika sendiri secara yuridis adalah obat untuk menghilangkan rasa sakit. Akan tetapi, dapat menyebabkan sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan.
Dimana spektrum penyalah guna narkotika dalam UU narkotika mulai dari :
Pertama, penyalah guna narkotika untuk perkama kali, disebut sebagai korban penyalah gunaan narkotika. Ini karena yang bersangkutan dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya dan dipaksa menggunakan narkotika.
Kedua, penyalahguna untuk diri sendiri. Penyalahguna atas kemauan diri sendiri, menggunakan narkotika secara periodik.
Mereka menggunakan narkotika karena tuntutan sakit adiksi. Ketergantungan narkotika kalau tidak terpenuhi dapat menyebabkan sakau, yaitu sakit gangguan fisik dan mental kejiwaan.
Ketiga, pecandu yaitu penyalah guna untuk diri sendiri dan secara fisik maupun psykis-nya sudah dalam keadaan ketergantungan berat akan narkotika. Sehingga, hidupnya “tergantung” pada narkotika.
Sebagai orang sakit, penyalah guna narkotika diancam dengan pidana penjara. Akan tetapi, kalau dipenjara justru akan menderita sakau dan menjadi residivis.
Oleh karena itu, UU mengatur secara khusus bahwa: “Penyalahguna dijamin, mendapatkan upaya rehabilitasi secara medis dan sosial agar sembuh atau pulih seperti sedia kala.”
Apabila penyalah guna berhubungan dengan masalah penegakan hukum, maka tujuan UU dalam penanggulangan masalah narkotika secara limitatif.
Apa Itu Limitatif?
Ada tercantum dalam pasal 4 yaitu: memberantas peredaran gelap narkotika dan menjamin penyalah guna narkotika di rehabilitasi.
Karena tujuannya menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, maka orang tua penyalah guna dalam keadaan ketergantungan (pecandu) dan pecandu sendiri serta penegak hukum oleh UU diberi kewajiban untuk mengambil langkah bersifat rehabilitatif, terhadap penyalah guna narkotika.
Orang tua penyalahguna narkotika dalam keadaan kecanduan. Dan, pecandu diwajibkan melakukan “wajib Lapor” ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).
IPWL yaitu rumah sakit yang ditunjuk menteri kesehatan, untuk mendapatkan penyembuhan melalui proses rehabilitasi (pasal 55)
Kalau orangtua dengan sengaja tidak melaporkan ke IPWL, agar anaknya mendapatkan rehabilitasi?
Maka, orang tua penyalah guna atau pecandu digolongkan sebagai pelaku tindak pidana dan diancam dengan hukuman kurungan 6 bulan (pasal 128)
Kalau orangtua melaporkan ke IPWL, berdasarkan ketentuan UU diberi unsur pemaaf. Berupa perubahan status pidana semula diancam dengan pidana, menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128).
Selain orang tua, hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika baik sebagai korban penyalah gunaan narkotika, penyalah guna untuk diri sendiri dan pecandu, diberikan kewajiban sebagai berikut:
#Hakim wajib untuk memperhatikan kondisi penyalah guna apakah tergolong korban penyalah guna atau pecandu (pasal 54).
#Hakim wajib untuk memperhatikan apakah orang tua penyalah guna atau pecandunya sudah melaporkan ke IPWL untuk mendapatkan rehabilitasi sebagai unsur pemaaf (pasal 55).
Selanjutnya, #Hakim wajib memperhatikan kewenangan absolut yang diberikan undang sesuai pasal 103/1 untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi bila terbukti bersalah.
Kenyataannya?
Jenniver Dunn, Sammy Simorangkir, Polo, Tessy, Tio Pakusadewo, Ridho Roma dihukum penjara. Meskipun perannya, hanya sebatas sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.
Padahal, hakim diberi kewajiban UU dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi secara absolut alias mutlak.
Yang lebih memprihatikan sekarang ini, berdasarkan penjelasan Dirjend lapas, ada 42 ribu lebih warga binaan yang dijatuhi hukuman penjara padahal mereka adalah penyalah guna narkotika.
Saran pertama, pemerintah membentuk peradilan khusus seperti drug courd-nya Amerika.
Yang tugasnya menjamin penyalah guna, mendapatkan hukuman rehabilitasi dan membatalkan putusan penjara bagi penyalah guna yang dilakukan oleh peradilan umum.
Saran kedua, menatar seluruh hakim; baik hakim Peradilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Hakim Agung di Indonesia, agar bersatu dalam memahami UU no 8 tahun 1976 dan UU no 35 tahun 2009 yang dibuat atas dasar pendekatan kesehatan dan pendekatan hukum.
Bersambung……