Cak Inam Rangkul Eks Napi di Kedai Kopi
BN – MUHAMMAD M In’am Amin (44) mengabdikan hidupnya untuk napi teroris (napiter). Pria asal Sleman ini tumbuh di lingkungan yang tak jauh dari para pelaku terorisme.
Ia pun memiliki hubungan spesial dengan sosok terpidana mati bom Bali 1, Amrozi dkk. Pasalnya, In’am sempat merawat anak Amrozi ketika menjalani masa tahanan di Nusakambangan.
Bahkan, terpidana mati bom Bali 2002, Ali Gufron juga ialah keluarga besar Ni’am.
“Dulu anaknya Amrozi dulu ikut saya saat masih SMP-SMA, saat Amrozi di Nusakambangan tahun 2005/2006 kalau nggak salah,” ucap pria yang akrab disapa Cak In’am itu saat ditemui di warung Kopi Gandroeng, Nologaten, Caturtunggal, Depok, Sleman, Jumat (21/5).
Cak In’am mulai merangkul eks napiter saat mengetahui adiknya terpapar paham radikal saat berada di Timur Tengah pada 2011 silam.
“Adik saya ke Mesir 2011 kuliah satu tahun masih seperti biasa, tahun kedua hilang. Pamit jihad bilang sama orang tua kalau mau sahid di sana,” ungkapnya.
Padahal, Cak In’am sudah menyuruh adiknya untuk pulang agar tak semakin terpapar paham radikal di usianya yang masih 17 tahun.
Tak dinyana, saat kuliah di Mesir itu, ia bertemu dengan orang Eropa Timur kemudian pergi ke Suriah hingga akhirnya membawa senjata api AK47 setiap hari.
“Akhirnya 2012 dapat kabar jadi pelaku bom bunuh diri,” ucap pria berkacamata itu dengan lirih.
Tak ingin semakin terpuruk, ia pun bangkit dan menyebut ada kesalahpahaman di balik pilihan orang-orang yang menjadi teroris.
Dari situlah momentum Cak In’am untuk merangkul para napi teroris dalam hidupnya. Bak gayung bersambut, Ali Fauzi yang merupakan adik Amrozi mengajak untuk membuat Yayasan Lingkar Perdamaian yang berpusat di Lamongan.
Kemudian, ia membuka Warung Kopi Gandroeng yang menjadi wadah para napiter untuk meditasi dan kembali mencintai Tanah Air.
Kedai kopi yang dibangun sejak 2015 itu silih-berganti dipenuhi oleh eks napi teroris.
“Awal tempat kopi dibuka ada dua (napiter), setelah setahun ada yang ingin pengalaman lain lalu pindah juga ada,” tuturnya.
“Lalu ada baru (napiter) lagi, saya tidak maksa, kalau mau di sini kita carikan tempat lain alternatif. Kita tidak merubah mereka secara frontal. Kita ibaratkan kebun merawat tanaman, mencabuti rumput-rumputnya,” tambahnya.
Kini, kedai kopi miliknya tidak hanya menangani eks napiter saja. Lebih dari itu, para keluarga eks napiter, seperti istri, anak hingga keponakan juga turut berkonsultasi di kedainya.
“Iya ada (napiter) di sini, istrinya di sini juga anak-anaknya di sini juga, kurang stabil kejiwaannya kita bantu,” ujarnya.
Sementara itu, eks napiter Bom Buku 2011, Fajar (34) memilih kota Yogyakarta untuk menjalani kehidupan baru. Fajar sendiri ialah salah satu jebolan kedai kopi milik Cak In’am yang telah bisa hidup mandiri beserta keluarganya.
Adapun Fajar menjadi napiter karena masa remajanya yang kelam saat tinggal di Bogor Jawa Barat.
Saat masih berusia 26 tahun, Fajar berkumpul dan dikenalkan oleh temannya dengan seorang pria bernama Pepi Fernando sekitar awal tahun 2011.
Adapun Pepi merupakan otak teror bom buku yang sedianya dikirim untuk Ulil Abshar Abdalla, namun melukai seorang perwira polisi. Menurut Fajar, Pepi kini masih menjalani hukuman atas ganjaran 20 tahun penjara.
“Sekarang saya hidup dari ternak sapi yang diberi pemerintah dan juga polisi Yogyakarta,” pungkasnya. ( sri )