Dewan Pers Mangkir di Sidang Ke-7 PMH, Wilson : Dewan Pers Tidak Beradab
Jakarta – Hari ini, Rabu, 18 Juli 2018, hasil sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dewan Pers berlangsung singkat namun alot dan menemui jalan buntu. Agenda utama persidangan, yakni mediasi antara penggugat dengan tergugat tidak berhasil dilakukan. Hal itu disebabkan oleh sikap pembangkangan pengurus Dewan Pers terhadap permintaan hakim mediasi untuk hadir langsung di persidangan kali ini.
“Pengurus Dewan Pers beralasan bahwa berdasarkan pleno para pengurus, Dewan Pers memutuskan untuk tidak bersedia bernegosiasi atas gugatan PMH terhadapnya yang dilayangkan oleh PPWI dan SPRI ke pengadilan ini,” jelas kuasa hukum Dewan Pers, Fransiskus Natalis Lakaseru, SH.
Ketua Dewan Pers, lanjut Fransiskus, mengatakan bahwa ada beberapa pertimbangan Dewan Pers dalam memutuskan perkara ini akhirnya harus dilanjutkan ke proses persidangan berikutnya dan mengabaikan kesempatan mediasi. “Dewan Pers berpendapat bahwa jika tuntutan para wartawan dikabulkan Dewan Pers, hal itu akan mengganggu jalannya pelaksanaan tugas Dewan Pers yang selama ini sudah berjalan. Hal itu sudah sesuai dengan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers,” imbuh Fransiskus yang akhirnya mendapat julukan ‘penasehat hukum no comment’ karena enggan memberikan keterangan kepada para wartawan yang meminta keterangannya seusai sidang.
Sementara itu, penasehat hukum penggugat Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH, sangat menyayangkan sikap Dewan Pers yang ‘mati rasa’ alias tidak peka terhadap situasi darurat pers belakangan ini. Dipastikan bahwa masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan perkara gugatan PMH terhadap Dewan Pers, hingga mencapai keputusan hakim nanti.
Sesuai aturan hukum acara perdata, sebelum dilanjutkan ke penyampaian gugatan di muka hakim, para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan mediasi oleh hakim mediasi. Sayangnya, upaya mediasi tersebut gagal, Dewan Pers menolak mediasi.
“Kita menawarkan mediasi kepada tergugat, namun melalui kuasa hukumnya, tergugat menyatakan tidak menerima tawaran damai dari penggugat yang meminta dilakukan pencabutan terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat Dewan Pers selama ini,” ujar Rompas kepada wartawan, 18 Juli 2018.
Di persidangan tadi, lanjut Rompas, kuasa hukum Dewan Pers menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan yang digugat oleh penggugat menyebabkan pihak Dewan Pers merasa sangat keberatan untuk mediasi dan berdamai. “Mereka berdalih semua kebijakan yang diambil selama ini merupakan hak substansi Dewan Pers,” imbuh Rompas yang merupakan lulusan sarjana bidang jurnalistik saat diwawancarai di luar ruang persidangan.
Selaku pihak yang mewakili para penggugat, Rompas berharap agar persoalan ini secepatnya terselesaikan secara arif dan bijaksana, salah satunya melalui upaya perdamaian antar penggugat dengan tergugat. “Kami sangat menyayangkan dengan sikap dari Dewan Pers yang menunjukkan bahwa para pejabat Dewan Pers tidak peka terhadap hak-hak wartawan yang juga merupakan warga negara Indonesia. Terutama belakangan ini, maraknya kawan-kawan dari kalangan wartawan menjadi korban tindak kriminalisasi jurnalis akibat rekomendasi Dewan Pers. Malahan ada yang sampai meninggal dunia. Dewan Pers tutup mata,” jelasnya dengan nada menyesalkan pihak tergugat.
Menyikapi kenyataan itu, Rompas menyimpulkan bahwa sebagai penggugat, pihaknya akan terus berjuang melalui persidangan agar gugatan PMH, yang sampai saat ini sudah memasuki sidang yang ketujuh dapat diputus dengan seadil-adilnya. ”Karena upaya mediasi tidak membuahkan hasil, maka kami selaku penggugat berharap kepada Majelis Hakim yang menyidangkan perkara PMH Dewan Pers dapat memutuskan,” imbuhnya lagi.
Dari pantauan media, pada saat para pemburu berita sedang berkumpul di lantai 3 PN Jakarta Pusat, dan melihat kuasa hukum Dewan Pers keluar dari ruang sidang dengan tergesa-gesa, para kuli digital itu segera mencegatnya untuk dikonfirmasi tentang ketidakhadiran pengurus Dewan Pers. Namun, para wartawan harus kecewa karena Fransiskus selaku kuasa hukum tergugat tidak memberikan tanggapan memadai. “No comment, no comment, no comment”, hanya kalimat pendek ini yang keluar dari mulut pengacara itu. Akhirnya sang penasehat hukum Dewan Pers ini diberikan julukan “penasehat hukum no comment” oleh para jurnalis yang meliput persidangan yang berlangsung sejak pukul 11.00 wib ini. Sang kuasa hukum Dewan Pers itu bergegas turun dari lantai 3 untuk menghindari cecaran pertanyaan para wartawan.
Di kesempatan yang sama, Ketua Umum PPWI Nasional, Wilson Lalengke saat dikonfirmasi wartawan menyampaikan bahwa Dewan Pers kurang beradab dan dinilai telah melakukan penghianatan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. “Dewan Pers tidak beradab. Mereka adalah penghianat terhadap konstitusi, melakukan pelanggaran UUD Negara Republik Indonesia, khususnya pasal 28 F, dan UU No. 40 tahun 1999 terkait Kemerdekaan Pers,” tegas alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Wilson menilai penghianatan yang dilakukan oleh Dewan Pers itu dalam bentuk peraturan-peraturan, penerbitan rekomendasi-rekomendasi, dan edaran Dewan Pers yang akhirnya membatasi kemerdekaan setiap wartawan untuk melakukan tugas-tugas jurnalistiknya. “Penghianatan oknum-oknum pengurus Dewan Pers dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti peraturan-peraturan, penerbitan rekomendasi-rekomendasi dan edaran ke Pemda di seluruh republik ini, yang pada akhirnya berdampak pada pengekangan kemerdekaan pers para wartawan dalam menjalankan tugasnya di lapangan. Kesemuanya itu bertentangan dengan fungsi Dewan Pers yang tertuang dalam Pasal 15 UU Pers,” imbuh Wilson.
Dari hasil sidang ketujuh hari ini, jelas terlihat bahwa Dewan Pers tidak menghargai dan menghormati pengadilan. “Kita lihat sendiri hari ini, ada kesempatan yang dapat digunakan untuk melakukan mediasi, tetapi pengurus Dewan Pers tidak hadir, hanya kuasa hukumnya saja, sehingga gagal dalam mencapai kesepakatan,” jelas Wilson.
Ketua Umum PPWI yang sangat gigih memperjuangkan nasib wartawan itu menilai bahwa ada kekuatan kapitalisme dan politik kekuasan yang berada di belakang Dewan Pers, sehingga pihak Dewan Pers sangat percaya diri dan merasa yang paling benar, serta tidak mungkin dapat diganggu-gugat kebijakannya. Untuk itu, Wilson menghimbau kepada Pemerintah Republik Indonesia agar turun ke lapangan, melihat kondisi para pekerja pers di tanah air saat ini yang sudah sangat parah. “Saya berharap agar pemerintah dapat memahami dengan baik dan benar bahwa wartawan/wartawati selalu berusaha mengumpulkan dan menyampaikan informasi berdasarkan fakta lapangan, yang tentunya seringkali akan menimbulkan ketidaksenangan pihak tertentu. “Karena ada yang tidak senang dengan pemberitaan, dilaporkan ke polisi, terjadilah kriminalisasi wartawan. Sayangnya, hingga saat ini, Pemerintah seakan tutup mata dengan semua kejadian yang menimpa para pekerja pers, seakan itu suatu hal yang tidak penting,” sesal Wilson.
Oleh karena itu, dirinya tidak henti-hentinya menghimbau Pemerintah, termasuk legislatif dan yudikatif untuk memberi perhatian serius terhadap masalah tersebut. “Sekali lagi saya berharap agar kiranya Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo untuk dapat memberikan perhatian atas persoalan ini, paling tidak membantu mengevaluasi dan mengembalikan pers ke rel yang semestinya mengacu kepada UU No. 40 tahun 1999. Alternatif maksimalnya, bubarkan saja Dewan Pers itu,” ujar Wilson menutup wawancara. ( JML/Red )