GENOSIDA SEBUAH TRAGEDI KEMANUSIAN DI BUMI BORNEO BARAT Yang diabadikan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
(Menteri Dalam Negari Kesultanan Kadriyah Pontianak)
BN – Genosida Mandor, dikenal juga sebagai Peristiwa Mandor Berdarah, adalah tragedi besar yang terjadi di Kalimantan Barat selama pendudukan Jepang pada Perang Dunia II. Tragedi ini merupakan tindakan pembantaian sistematis oleh militer Jepang, terutama dilakukan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menguasai wilayah tersebut.
Latar Belakang
Pada tahun 1942, Jepang menduduki Kalimantan Barat, termasuk Pontianak dan wilayah sekitarnya. Pendudukan ini diikuti oleh penguatan kontrol Jepang terhadap sumber daya ekonomi dan politik lokal. Jepang mencurigai adanya gerakan perlawanan atau konspirasi di antara para pemimpin lokal, terutama dari kalangan bangsawan, tokoh adat, dan pemimpin agama, yang dianggap berpotensi melawan kekuasaan mereka.
Peristiwa Pembantaian
Pada pertengahan tahun 1943 hingga 1944, militer Jepang melancarkan operasi pembersihan yang dikenal sebagai “Penumpasan Kaum Elite”. Mereka menahan ribuan tokoh masyarakat, termasuk:
1. Sultan-sultan dari Kesultanan di Kalimantan Barat.
2. Ulama, tokoh agama, dan pemimpin adat.
3. Cendekiawan, politisi lokal, dan guru.
Para tahanan ini ditangkap tanpa proses hukum yang jelas. Mereka kemudian dibawa ke kawasan Mandor, sekitar 88 kilometer dari Pontianak. Di sana, lebih dari 21.037 orang dibantai secara brutal. Para korban dibunuh dengan berbagai cara, termasuk dipenggal, ditembak, atau ditikam, lalu dikubur dalam kuburan massal.
Motif dan Kekejaman Jepang
Kecurigaan terhadap Gerakan Anti-Jepang: Jepang berusaha menghancurkan jaringan perlawanan di Kalimantan Barat, meski sebagian besar tokoh lokal tidak terlibat dalam kegiatan subversif.
Pemusnahan Elite Lokal: Jepang ingin melemahkan struktur sosial dan politik lokal dengan menghancurkan para pemimpin yang memiliki pengaruh di masyarakat.
Penguatan Kolonialisme Jepang: Dengan membantai para pemimpin, Jepang berharap dapat mengendalikan masyarakat Kalimantan Barat tanpa perlawanan
Pembantaian ini juga menunjukkan tingkat kebrutalan militer Jepang yang menggunakan taktik intimidasi untuk menaklukkan masyarakat.
Dampak Genosida Mandor
1. Kehancuran Strata Sosial Lokal: Banyak keluarga bangsawan dan tokoh adat kehilangan pemimpin mereka.
2. Kekosongan Kepemimpinan: Hilangnya tokoh penting menyebabkan masyarakat Kalimantan Barat kehilangan figur panutan selama bertahun-tahun.
3. Trauma Kolektif: Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Kalimantan Barat, yang dikenang hingga hari ini.
Peringatan Genosida Mandor
Untuk mengenang tragedi ini, dibangun Taman Makam Juang Mandor, tempat kuburan massal para korban. Setiap tanggal 28 Juni, masyarakat Kalimantan Barat memperingati tragedi Mandor Berdarah sebagai hari berkabung daerah. Peringatan ini menjadi pengingat atas kejahatan perang yang dilakukan Jepang dan penghormatan kepada para korban.
Genosida Mandor, dikenal juga sebagai Peristiwa Mandor Berdarah, adalah tragedi besar yang terjadi di Kalimantan Barat selama pendudukan Jepang pada Perang Dunia II. Tragedi ini merupakan tindakan pembantaian sistematis oleh militer Jepang, terutama dilakukan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menguasai wilayah tersebut.
Pada tahun 1942, Jepang menduduki Kalimantan Barat, termasuk Pontianak dan wilayah sekitarnya. Pendudukan ini diikuti oleh penguatan kontrol Jepang terhadap sumber daya ekonomi dan politik lokal. Jepang mencurigai adanya gerakan perlawanan atau konspirasi di antara para pemimpin lokal, terutama dari kalangan bangsawan, tokoh adat, dan pemimpin agama, yang dianggap berpotensi melawan kekuasaan mereka.
Peristiwa Pembantaian
Pada pertengahan tahun 1943 hingga 1944, militer Jepang melancarkan operasi pembersihan yang dikenal sebagai “Penumpasan Kaum Elite”. Mereka menahan ribuan tokoh masyarakat, termasuk:
1. Sultan-sultan dari Kesultanan di Kalimantan Barat.
2. Ulama, tokoh agama, dan pemimpin adat.
3. Cendekiawan, politisi lokal, dan guru.
Para tahanan ini ditangkap tanpa proses hukum yang jelas. Mereka kemudian dibawa ke kawasan Mandor, sekitar 88 kilometer dari Pontianak. Di sana, lebih dari 21.037 orang dibantai secara brutal. Para korban dibunuh dengan berbagai cara, termasuk dipenggal, ditembak, atau ditikam, lalu dikubur dalam kuburan massal.
Motif dan Kekejaman Jepang
Kecurigaan terhadap Gerakan Anti-Jepang: Jepang berusaha menghancurkan jaringan perlawanan di Kalimantan Barat, meski sebagian besar tokoh lokal tidak terlibat dalam kegiatan subversif.
Pemusnahan Elite Lokal: Jepang ingin melemahkan struktur sosial dan politik lokal dengan
menghancurkan para pemimpin yang memiliki pengaruh di masyarakat.
Penguatan Kolonialisme Jepang: Dengan membantai para pemimpin, Jepang berharap dapat mengendalikan masyarakat Kalimantan Barat tanpa perlawanan.
Pembantaian ini juga menunjukkan tingkat kebrutalan militer Jepang yang menggunakan taktik intimidasi untuk menaklukkan masyarakat.
Dampak Genosida Mandor
1. Kehancuran Strata Sosial Lokal: Banyak keluarga bangsawan dan tokoh adat kehilangan pemimpin mereka.
2. Kekosongan Kepemimpinan: Hilangnya tokoh penting menyebabkan masyarakat Kalimantan Barat kehilangan figur panutan selama bertahun-tahun.
3. Trauma Kolektif: Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Kalimantan Barat, yang dikenang hingga hari ini.
Peringatan Genosida Mandor
Untuk mengenang tragedi ini, dibangun Taman Makam Juang Mandor, tempat kuburan massal para korban. Setiap tanggal 28 Juni, masyarakat Kalimantan Barat memperingati tragedi Mandor Berdarah sebagai hari berkabung daerah. Peringatan ini menjadi pengingat atas kejahatan perang yang dilakukan Jepang dan penghormatan kepada para korban.
Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat pada 28 Juni diperingati untuk mengenang tragedi Mandor Berdarah, pembantaian massal oleh tentara Jepang pada tahun 1944 yang menewaskan sekitar 21.037 orang, termasuk tokoh masyarakat, pemimpin adat, dan pejabat lokal. Peringatan ini didasarkan pada Surat Edaran Gubernur Kalimantan Barat Nomor 003.1/1584/ORG tahun 2022, yang mengimbau masyarakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda duka.
Peristiwa Mandor, yang terjadi pada 28 Juni 1944, dikenal sebagai pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Jepang di Kalimantan Barat. Peristiwa ini menyebabkan ribuan korban, yang berasal dari berbagai latar belakang etnis dan sosial. Para korban, termasuk masyarakat lokal dan anggota komunitas Cina, dituduh terlibat dalam rencana perlawanan terhadap Jepang, meskipun banyak dari mereka adalah orang biasa yang tidak terlibat dalam kegiatan politik. Pembantaian ini dilakukan oleh pasukan Jepang yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, dan dimulai sejak Oktober 1943, dengan penangkapan dan penyiksaan yang diikuti oleh eksekusi massal.
Sebagai bentuk penghormatan dan untuk mengenang tragedi tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menetapkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007, yang menjadikan 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah. Selain itu, kompleks makam korban di Mandor juga diresmikan sebagai monumen pada 28 Juni 1977, dengan tambahan diorama yang menggambarkan peristiwa tersebut melalui Keputusan Bupati Nomor 430/224/HK-2016 pada 14 April 2016.
Peraturan Daerah Kalimantan Barat yaitu Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007, yang menetapkan Hari Berkabung Daerah dan Makam Juang Mandor bertujuan untuk menghormati pengorbanan masyarakat Kalimantan Barat dalam perjuangan melawan pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Peraturan ini menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah yang diperingati setiap tahun dengan serangkaian kegiatan seperti upacara, pengibaran bendera setengah tiang, dan pendidikan publik mengenai pentingnya peristiwa tersebut.
Peraturan Daerah Kalimantan Barat Nomor 5 Tahun 2007 mengatur tentang peringatan Hari Berkabung Daerah dan penetapan Makam Juang Mandor sebagai Monumen Daerah. Berikut adalah beberapa bunyi pasal yang relevan dalam peraturan tersebut:
Pasal 2 menjelaskan maksud penetapan Peristiwa Mandor sebagai Hari Berkabung Daerah, yaitu untuk menghargai dan menghormati jasa pejuang dan masyarakat Kalimantan Barat dalam melawan pendudukan Jepang.
Pasal 3 mengatur tujuan dari penetapan tersebut, antara lain agar masyarakat Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat, mengetahui peran serta rakyat Kalimantan Barat dalam perjuangan kemerdekaan
Pasal 4 menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat dan Makam Juang Mandor sebagai Monumen Daerah
Pasal 5 mengatur kegiatan yang harus dilaksanakan pada Hari Berkabung Daerah, termasuk upacara dan ziarah di Makam Juang Mandor serta pengibaran bendera setengah tiang.
Pasal 6 dan Pasal 7 mengatur pengelolaan dan pelestarian Makam Juang Mandor sebagai Monumen Daerah oleh Pemerintah Daerah serta masyarakat
Peraturan ini juga mencakup pembiayaan yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kegiatan terkait..
Peraturan ini juga menetapkan Makam Juang Mandor sebagai Monumen Daerah yang wajib dilestarikan sebagai situs sejarah. Pemerintah daerah bertanggung jawab atas pengelolaan dan perlindungan situs tersebut, serta untuk memastikan generasi mendatang memahami perjuangan tersebut.
Pemerintah juga diwajibkan untuk mempublikasikan catatan sejarah terkait peristiwa tersebut, dengan pembiayaan yang ditanggung oleh anggaran daerah (APBD). Gubernur bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan peraturan ini
Peringatan ini biasanya dilaksanakan dengan upacara resmi di Makam Juang Mandor, melibatkan pejabat pemerintah, veteran, keluarga korban, dan masyarakat umum. Tujuannya adalah untuk menghormati para korban serta memperingati salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Kalimantan Barat.
Genosida Mandor merupakan salah satu bukti nyata kekejaman Jepang selama Perang Dunia II di Kalimantan Barat. Kekejaman ini tidak hanya menghancurkan ribuan nyawa tetapi juga meluluhlantakkan struktur sosial dan budaya lokal. Hingga kini, tragedi ini menjadi simbol perjuangan, pengorbanan, dan keteguhan masyarakat Kalimantan Barat.
Berikut adalah beberapa judul terkait insiden Pontianak dan peran Sultan Hamid II yang dilaporkan dalam media luar negeri:
1. “Pontianak Incidents: Japan’s Forgotten Atrocities in Borneo”
Artikel ini mengulas tentang kekejaman yang dilakukan oleh Jepang di Kalimantan, termasuk pembantaian massal yang terjadi selama pendudukan Jepang.
2. “The Legacy of Sultan Hamid II: Federalism and Reconciliation in Post-War Indonesia”
Artikel ini membahas peran Sultan Hamid II setelah perang dalam usaha rekonsiliasi serta pemulihan ingatan sejarah tentang insiden-insiden yang terjadi di bawah pendudukan Jepang.
3. “Syarif Hamid II of Pontianak”
artikel ini dalam bahasa Inggris mengulas tentang kehidupan Sultan Hamid II, termasuk kontribusinya terhadap pengakuan dan pemulihan korban insiden Pontianak dan perjuangannya dalam mengadvokasi keadilan.
Sumber-sumber ini bisa ditemukan dalam literatur sejarah tentang pendudukan Jepang di Hindia Belanda, dengan fokus pada Kalimantan dan tindakan Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II memiliki peran penting dalam mengenang tragedi Mandor, salah satunya melalui kontribusinya dalam pembentukan Monumen Makam Juang Mandor di Kalimantan Barat. Monumen ini dirancang untuk menghormati para korban kebiadaban Jepang pada masa Perang Dunia II, termasuk tokoh-tokoh penting yang menjadi martir dalam perjuangan melawan penjajahan. Monumen ini juga mengingatkan generasi muda akan pentingnya persatuan dan semangat perjuangan nasional berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ikautuh informasi tambahan, saya dapat membantu mencari lebih rinci!
Sultan Hamid II memiliki peran signifikan dalam menginisiasi pembangunan monumen untuk mengenang para korban tragedi Mandor Berdarah di Kalimantan Barat. Tragedi ini merupakan peristiwa genosida yang dilakukan tentara Jepang pada tahun 1943–1944, di mana lebih dari 21.000 orang, termasuk tokoh masyarakat, pemimpin adat, dan kaum intelektual, dieksekusi. Pembantaian ini terjadi sebagai bagian dari upaya Jepang untuk memberangus semangat perlawanan masyarakat lokal selama masa pendudukan.
Sultan Hamid II tidak hanya mendukung penggalangan ingatan sejarah atas tragedi ini, tetapi juga berperan dalam diplomasi dengan pihak luar negeri untuk mendapatkan perhatian atas kejadian tersebut. Salah satu media Jepang yang relevan pada masa itu, Boruneo Shinbun, memberitakan rencana Jepang di Kalimantan Barat, yang menjadi bukti dokumentasi dari dimensi internasional tragedi tersebut. Sultan Hamid II dan para tokoh lainnya secara aktif memperjuangkan pengakuan atas penderitaan korban.
Sultan Hamid II memiliki peran penting dalam upaya mengingat dan memulihkan ingatan sejarah terkait tragedi pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, khususnya Peristiwa Mandor. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Sultan Hamid II kehilangan 28 anggota keluarga, termasuk ayahnya, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, yang dieksekusi oleh Jepang dalam peristiwa yang dikenal sebagai “Insiden Pontianak” atau “Pembantaian Mandor.” Tentara Jepang, terutama dari Angkatan Laut Kekaisaran, menargetkan para pemimpin lokal, akademisi, dan tokoh budaya untuk menghapus perlawanan, yang mengakibatkan sekitar 21.000 kematian di wilayah tersebut
Setelah perang, Sultan Hamid II memimpin upaya mendokumentasikan kekejaman Jepang dan membangun memorial untuk mengenang korban. Sebagai Sultan Pontianak sejak 1945, ia bekerja sama dengan pasukan Sekutu dan otoritas Belanda di Kalimantan untuk memastikan bahwa kejahatan ini tidak dilupakan. Salah satu kontribusi pentingnya adalah pendirian Situs Makam Juang Mandor untuk menghormati para korban yang dibunuh selama pendudukan Jepang.
Media internasional, terutama setelah perang, memberitakan tragedi Mandor sebagai bagian dari kejahatan perang Jepang yang lebih luas. Publikasi dari Belanda dan negara-negara Sekutu menyoroti advokasi Sultan Hamid II untuk keadilan dan upayanya dalam rekonsiliasi pasca-perang. Sebagai pemimpin federalis terkemuka, ia juga menarik perhatian dunia atas perjuangannya dalam memperjuangkan otonomi dan pengakuan untuk wilayah Kalimantan Barat dalam sistem federal Indonesia, yang kemudian diintegrasikan ke dalam negara kesatuan
Kisah ini menunjukkan kompleksitas warisan Sultan Hamid II sebagai penyintas kejahatan kolonial dan perang, sekaligus sebagai pemimpin yang berusaha menjaga ingatan mereka yang gugur dalam genosida Mandor.
Insiden Pontianak selama pendudukan Jepang di Borneo (1942-1945) merujuk pada serangkaian kekejaman yang dilakukan oleh Tentara Kekaisaran Jepang. Insiden ini terutama terjadi di Kalimantan, dengan sasaran utama adalah kelompok Melayu, Jawa, dan kelompok pribumi lainnya, serta sejumlah kecil orang Tionghoa, Arab, dan India. Diperkirakan sekitar 21.000 orang tewas akibat tindakan kejam ini, termasuk eksekusi massal dan bentuk kekerasan lainnya.
Sultan Hamid II, yang merupakan pemimpin berpengaruh di Kalimantan pada masa tersebut, memainkan peran penting dalam mendokumentasikan kejahatan-kejahatan ini setelah perang. Keluarganya sendiri menderita selama pendudukan, dengan ayahnya dan beberapa anggota keluarga lainnya dieksekusi oleh Jepang. Dalam upayanya memastikan bahwa kekejaman ini tidak terlupakan, Sultan Hamid II berkontribusi dalam mencari pengakuan dan keadilan bagi para korban pembantaian tersebut. Tindakannya ini bagian dari upaya lebih luas untuk melestarikan memori sejarah kekejaman ini dan untuk menghormati para korban.
Komisi II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memiliki kewenangan untuk mengawasi kebijakan daerah, termasuk dalam hal kebijakan yang terkait dengan peringatan Hari Berkabung Daerah dan pengelolaan Makam Juang Mandor. Secara umum, tugas Komisi II DPD RI mencakup pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah yang berhubungan dengan hak asasi manusia, keberagaman, serta pembentukan dan pengelolaan monumen bersejarah seperti yang ada di Kalimantan Barat, sebagai bagian infra struktur pendukung fakta sejarah peradaban.
Komisi II memiliki peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan daerah yang diambil oleh pemerintah daerah, seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kalimantan Barat Nomor 5 Tahun 2007, berjalan sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pengawasan ini meliputi pemantauan atas pelaksanaan kegiatan peringatan, pengelolaan situs bersejarah, serta pembiayaan yang digunakan dalam kegiatan tersebut.
Kewenangan pengawasan Komisi II mencakup:
1. Mengevaluasi Kebijakan Daerah: Komisi II dapat melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Perda yang berkaitan dengan kebijakan peringatan dan pelestarian Makam Juang Mandor.
2. Menjaga Kesesuaian dengan Undang-Undang: Komisi II memastikan kebijakan daerah tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku, termasuk terkait dengan penggunaan anggaran daerah untuk kegiatan tersebut.
3. Pemberian Rekomendasi: Komisi II dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah jika ditemukan ketidaksesuaian dalam pelaksanaan atau pengelolaan kebijakan tersebut.
Melalui fungsi pengawasan ini, DPD RI membantu memastikan bahwa kebijakan daerah yang berhubungan dengan sejarah dan warisan budaya, seperti yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kalimantan Barat, dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarif Melvin Alkadrie, SH, Senator DPD RI Kalimantan Barat, telah menyampaikan pentingnya perhatian terhadap pemeliharaan bangunan infrastruktur di Makam Juang Mandor. Beliau menekankan bahwa situs bersejarah ini bukan hanya tempat untuk mengenang perjuangan rakyat Kalimantan Barat, tetapi juga memiliki nilai strategis sebagai simbol kehormatan bagi pahlawan yang telah gugur melawan penjajahan Jepang. Syarif Melvin menyatakan bahwa peningkatan infrastruktur di sekitar Makam Juang Mandor sebagsi warisan sejarah,perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh penghormatan terhadap nilai sejarah yang terkandung di dalamnya.
Dia juga menyarankan agar pengelolaan dan perawatan situs ini melibatkan kerjasama antara pemerintah daerah, pusat, dan masyarakat. Infrastruktur yang baik tidak hanya akan mempermudah akses masyarakat untuk berziarah, tetapi juga akan mendukung upaya edukasi dan pelestarian sejarah perjuangan bangsa.
Lebih lanjut, beliau berharap agar keberadaan Makam Juang Mandor sebagai Monumen Daerah terus dijaga dan diperkenalkan kepada generasi muda agar mereka memahami pentingnya pengorbanan para pahlawan, serta meningkatkan rasa kebangsaan dan nasionalisme.
Pesan ini mencerminkan komitmen Syarif Melvin Alkadrie terhadap pelestarian warisan sejarah Kalimantan Barat serta pentingnya pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap menghargai nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam situs tersebut.
Lebih digagas secara profesional tentang Peringatan Hari Berkabung Daerah di Kalimantan Barat dilaksanakan setiap tanggal 28 Juni. Tanggal ini dipilih untuk mengenang peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, khususnya di Makam Juang Mandor. Perayaan ini tidak hanya mengingatkan tentang pengorbanan para pejuang, tetapi juga sebagai sarana untuk memupuk rasa kebangsaan dan penghargaan terhadap jasa pahlawan.
Selain upacara bendera, berbagai kegiatan peringatan lainnya, termasuk ziarah ke Makam Juang Mandor, juga diadakan pada hari tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. ( Red )