Gibrain, Bobby, JokowiI, dan Mengapa Dinasti Politik Hal yang Biasa di Dunia Demokrasi
Oleh: Denny JA
BN – Setiap warga negara berhak berpolitik. Hak itu dijamin oleh konstitusi, prinsip hak asasi, dan prinsip demokrasi. Tak ada pula prinsip etika politik yang dilanggar oleh hak berpolitik setiap warga negara dewasa.
Hak berpolitik itu juga tidak gugur jika warga negara itu kebetulan anak dan menantu presiden yang sedang berkuasa.
Prinsip di atas yang segera berdering di kepala saya. Terutama setelah membaca ramainya kontroversi yang memasalahkan mengapa Jokowi membiarkan bahkan mendorong anak dan menantunya maju menjadi kepala daerah.
Diskusi menjadi lebih ramai ketika, sang Anak: Gibran Rakabuming Raka menang di Solo. Dan Bobby Nasution, sang menantu menang di Medan.
Baiklah. Kita mulai saja dengan contoh di dunia. Lalu masuk ke dalam perdebatan yang lebih konseptual.
Di Amerika Serikat, Dinasti Kennedy dalam politik kini sudah sampai pada generasi ketiga.
Politik Amerika Serikat sejak tahun 1961 mulai diwarnai oleh Dinasi Kennedy. Itu ketika John F Kennedy (JFK) terpilih sebagai presiden. Muda. Cerdas. Tampan. Provakatif. Berprestasi.
Wafatnya JFK karena ditembak di tahun 1963, dan kharisma JFK ketika menjadi presiden, segera membuat nama “Kennedy” melambung. Nama itu menjadi mantera. Ia getaran politik dalam memori kolektif populasi di Amerika Serikat.
Lebih kuat lagi getaran Kennedy itu ketika adik kandung John F Kennedy juga maju sebagai capres USA di tahun 1968, lima tahun kemudian. Robert memiliki kharisma yang sama. Ia pun diprediksi akan terpilih sebagai presiden.
Tapi sebelum terpilih, Robert Kennedy tertembak mati. Hanya dalam rentang 5 tahun, dua politisi paling populer saat itu tewas tertembak. Terbunuh. Dua duanya menyandang nama Kennedy.
Kennedy Clan diperkuat lagi dengan tampilnya Ted Kennedy, adik bungsu John F kennedy.
Ted (Edward) Kennedy menjadi senator dari Massachuset selama 50 tahun sejak tahun 1962. Ia tepilih kembali sebagai senator sebanyak 7 kali.
Ia terkenal sebagai senator yang sangat berpengaruh. Sebanyak 300 bills (undang undang) yang ditulis oleh Ted Kennedy. Ia menggoalkan kebijakan isu besar mulai dari AIDS, Immigrant hingga Health Care.
Termasuk sentuhan politiknya yang mutakhir sebelum wafat, Ia berkampanye intensif untuk Obama. Ujar Ted, baik untuk tradisi politik Amerika Serikat jika kita pernah memiliki presiden berkulit hitam.
Kini keluarga Kennedy dalam politik Amerika Serikat sudah sampai pada generasi ketiga.
Josep P Kennedy III adalah cucu Robert Kennedy. Ia tengah mempersiapkan diri maju menjadi senator. Ia sudah menjadi anggota Konggres sejak tahun 2013. (1)
Christ Kennedy adalah putra Robert Kennedy. Ia juga berpolitik maju sebagai gunernur Ilinois, AS.
Ted Kennedy Jr adalah putra Ted Kennedy. Ia sudah menjadi senator kedua kalinya di wilayah Connecticut.
Tapi tak ada yang lebih bangga soal politik dibanding Barbara Bush. Suaminya George H.W Bush adalah presiden Amerika Serikat.
Putranya George W Bush juga presiden Amerika Serikat. Putranya yang lain: Jeb Bush pernah menjadi Gubernur Florida. Barbara adalah istri dan ibu dari dua presiden Amerika Serikat.
Tradisi dinasti politik juga menjadi praktek biasa di negara demokrasi lain.
Nestor Kirchner Presiden Argentina di tahun 2003-2007. Ketika selesai jabatannya, istrinya Kristina Fernandes de Kirchner terpilih mengganti sang suami (2007-2010).
Negara demokrasi Jepang juga diwarnai banyak dinasti politik. Satu yang menonjol adalah The Fukuda Family. Takeo Fukuda menjadi Perdana Menteri Jepang di tahun 1976-1978). Anaknya Yoseu Fukuda juga menjadi Perdana Menteri Jepang, di tahun 2007-2008.
Juga demokrasi di Eropa. Giscard D’esteing Presiden Perancis di tahun 1974-81. Pamannya dan kakeknya juga politisi ternama di Perancis (Jacques Bardoux, Agennor Bardoux).
Mengapa dinasti politik menjadi praktek politik yang biasa saja tak hanya di Amerika Serikar, tapi juga di benua Eropa, Asia dan Amerika Latin?
Negara modern dibangun berdasarkan prinsip konstitusi, hak asasi manusia, demokrasi dan juga etika politik.
Setiap warga negara tak bisa dikurangi haknya berpolitik semata karena ia keluarga dari penguasa. Ini prinsip hak asasi manusia. Ia berlaku universal.
Setiap warga negara juga harus diberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ini prinsip demokrasi. Ia juga berlaku universal.
Hak warga negara itu tak bisa dihapus semata karena ia anak atau menantu atau istri atau keluarga besar dari Presiden yang berkuasa. Atau dari kepala daerah yang berkuasa.
Bahkan dalam konstitusi Indonesia, tertulis dengan jelas dalam konstitusi pasal 28 D ayat 3: “Setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Tak ada satu pasalpun dalam konstitusi, atau dalam undang undang yang lebih rendah menyatakan perkecualian. Tak ada bunyi: anak dan menantu presiden dilarang maju menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota anggota DPR, DPRD, dan sebagainya.
Toh, di ujung pemilihan, adalah rakyat banyak penentu kemenangan. Apakah mereka memilih keluarga pejabat, itu sudah sepenuhnya hak rakyat. Itu sudah sepenuhnya pertarungan kampanye.
Dalam pilkada 2020, anak dan menantu Jokowi menang. Di tahun yang sama, anak Wapres Ma’ruf Amin kalah di Tangsel.
Jangankan keluarga presiden atau wapres. Bahkan presiden yang sedang berkuasa pun belum tentu menang jika maju. Megawati misalnya, presiden yang sedang berkuasa, kalah di tahun 2004.
Tak ada yang salah dengan anak dan menantu Jokowi berpolitik. Bahkan keluarga presiden Indonesia sebelumnya juga memiliki tradisi politik pemilihan.
Soekarno diteruskan oleh Megawati (Presiden) dan Puan Maharani (Ketua DPR). SBY diteruskan oleh Ibas (Edhie Baskoro) sebagai anggota DPR. Juga dilanjutkan oleh Agus Harimurti yang kini ketum Demokrat, dan pernah maju sebagai Kandidat Gubernur DKI Jakarta.
Juga Suharto dilanjutkan oleh Tommy Suharto dengan mendirikan Partai Berkarya yang juga bertarung dalam pemilu.
Bagaimana dengan etika politik? Adakah ketentuan dalam etika politik atau etika pada umumnya yang melarang keluarga pejabat berpolitik? (2)
Tak ada kode etik tertulis, baik di Indonesia ataupun di negara demokrasi lainnya, di negara maju, yang mereduksi hak berpolitik keluarga pejabat.
Mustahil pula ada kode etik tertulis di negara demokrasi yang bertentangan dengan aturan tertinggi konstitusi, prinsip hak asasi manusia dan prinsip demokrasi.
Bagaimana dengan prinsip etika yang tak tertulis? Adakah prinsip etika yang melarang keluarga pejabat berpolitik?
Segala hal yang tak tertulis, yang tak ada dalam hukum positif, yang tak ada dalam kode etik tertulis, itu lapangan terbuka.
Itu, jika pun ada, hanyalah pilihan dan selera para pemikir atau aktivis. Prinsip baik dan buruk, benar dan salah dalam moral itu sama banyaknya dengan jumlah para pemikir itu sendiri.
Selera etika itu sepenuhnya sah saja. Ia bisa dipeluk oleh siapa saja. Tapi ia tak bisa dihujatkan untuk mematahkan hak konstitusional, dan legal.
Selera etika tak tertulis itu tak pula bisa dilawankan dengan hak asasi dan demokrasi: semua warga berhak berpolitik. Termasuk keluarga pejabat.
Tapi apa itu sebenarnya etika politik? Atau apa itu etika yang lebih umum? Etika adalah panduan moral yang memberi arah, kisi- kisi, rambu, apa yang benar dan salah, patut dan tak patut.
Namun bukankah benar dan salah itu tergantung perspektif. Dan perspektif di era post-modern, di era revolusi industri keempat ini bukan main beragamnya.
Etika sendiri bersandar pada meta etika. Apa yang sebenarnya menjadi sandaran, basis dari salah dan benar?
Bahkan untuk tingkat meta etika, ada tiga aliran yang sudah berbeda. Yaitu pendekatan Normatif, Konsekuensialis dan Kontraktual (legal, written down).
Sesuatu itu menjadi etis, menjadi benar dan salah, boleh atau tidak, baik atau buruk, tergantung dari norma tertinggi. Jika ia menentang norma tertinggi, ia salah. Jika ia sesuai dengan norma tertinggi, ia benar.
Persoalannya: mana norma tertinggi itu? Tak ada jawaban tunggal. Apa itu norma tertinggi, setiap filsuf bisa memberi pandangan berbeda- beda pula.
Oh tidak! Ini ujar kaum konsekuensialis. Sesuatu itu menjadi baik atau buruk, etis atau tidak, itu tak tergantung pada norma. Tapi itu tergantung dari konsekwensi sebuah tindakan.
Jika konsekwensinya bagus, walau Ia melanggar norma, Ia menjadi bagus. Seseorang yang berbohong (melanggar norma kejujuran), justru bisa menjadi baik, boleh, bermoral, jika kebohongannya menyelamatkan nyawa manusia yang tak berdosa.
Tapi apa itu yang dimaksud dengan konsekwensi baik dan buruk? Seperti biasa, setiap pemikir bisa mengembangkan seleranya masing masing.
Oh tidak! Ini ujar aliran ketiga. Baik dan buruk tidak tergantung dari norma. Ia juga tidak tergantung dari konsekwensi sebuah tindakan.
Sumber baik dan buruk harus digantungkan semata kepada kesepakatan sebuah komunitas. Ia tergantung dari kontrak tertulis para warga.
Karena itu baik dan buruk jangan dibiarkan mengawang-ngawang multi tafsir. Ia harus dimono- tafsirkan dalam hukum positif. Ia bisa pula dimono-tafsikan dalam kode etik yang tertulis.
Yang legal adalah yang etikal ! Jika tak dilarang oleh hukum positif. Jika tak dilarang oleh kode etik yang disepakati. Itu boleh belaka. Sah. Baik. Bermoral.
Begitu banyak aliran etika.
Tak bisa aliran etika tak tertulis itu digunakan untuk menghujat Gibran atau Bobby, atau siapa saja keluarga pejabat, yang hak berpolitiknya dijamin konstitusi, hak asasi, prinsip demokrasi, teori dan praktek.
Bagaimana jika penguasa menyalah gunakan kekuasaan untuk memenangkan anak dan menantu? Itu topik yang sudah berbeda.
Tapi penyalah gunaan kekuasaan itu salah untuk semua kasus. Tak ada keistimewaan untuk keluarga presiden.
Kembali ke laptop. Itu sebabnya mengapa dinasti politik adalah bunga yang bisa saja tumbuh di taman demokrasi. Anak gaul bilang, itu B. Biasa.
Menggunakan satu aliran etika tak tertulis untuk menghujat hak berpolitik warga (termasuk keluarga pejabat), yang dijamin konstitusi, hak asasi, prinsip demokrasi, itu sama dengan menggunakan obeng manual untuk merobohkan gunung yang tinggi.
Des 2020
CATATAN
1. Dinasti politik keluarga Kennedy di Amerika Serikat sudah sampai pada generasi yang ketiga
2. Yang berminat mendalami etika politik dapat membaca dua buku ini yang baku: etika proses politik dan etika kebijakan publik
Hampshire, Stuart (ed.). Public and Private Morality (Cambridge University Press, 1978). ISBN 9780521293525; and Thompson, Dennis F. Political Ethics and Public Office (Harvard University Press, 1987). ISBN 9780674686069
Gutmann, Amy, and Dennis Thompson. Ethics and Politics: Cases and Comments, 4th edition (Nelson-Hall, 2006). ISBN 978-0534626457; Bluhm, William T., and Robert A. Heineman. Ethics and Public Policy: Method and Cases (Prentice Hall, 2007). ISBN 978-0131893436; and Wolff, Jonathan. Ethics and Public Policy: A Philosophical Inquiry (Routledge, 2011). ISBN 978-0-415-66853-8
Sumber tulisan: Facebook DennyJA_World https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3489107617852029/?d=n