Jelang MEA, Tenaga Kerja Indonesia Dapat Ancaman Dari Vietnam
Jakarta – Vietnam punya upah yang lebih rendah, pasar tenaga kerja lebih stabil, dan jumlah jam kerja per minggunya lebih panjang
Ribuan buruh berunjuk rasa di luar istana kepresidenan di Jakarta menuntut upah layak dan hak untuk mogok kerja.
“Kondisi buruh Indonesia sekarang ini kan mayoritas jaminan kepastian kerjanya belum ada. Karena dari sekitar 112 juta buruh, yang formal hanya sekitar 40 juta yang lainnya non-formal. Artinya tidak memiliki kepastian kerja. Yang formal juga yang berserikat itu baru 4-5 juta,” kata Sekretaris Jenderal Konfederasi Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno.
Tapi ironisnya aksi unjuk rasa seperti ini bisa mengurangi lapangan kerja di Indonesia. Banyaknya aksi unjuk rasa oleh buruh membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengancam akan memindahkan bisnis mereka ke Vietnam. Ini merupakan bagian dari tren yang lebih besar, karena bisnis mulai bergerak lebih bebas di sekitar ASEAN.
Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN Atau MEA yang akan efektif pada akhir tahun ini, perputaran tenaga kerja, barang, dan jasa di antara 10 negara anggota akan lebih bebas. Ini membuat kompetisi di pasar tenaga kerja regional makin kompetitif dan Vietnam tampak menarik karena beberapa alasan.
“Ya, kita tahulah kondisi kepastian hukum di Indonesia ini amburadul. Kalau dikaitkan dengan ketenagakerjaan kan masalah pengupahan, upah UMR ribut terus. Terus kenaikannya unpredictable. Terkait masalah produktivitas yang tidak bisa kita bandingkan misalnya di Vietnam jam kerjanya 48 jam per minggu sementara Indonesia 40 jam,” kata perwakilan APINDO, Anthony Hilman.
Berbeda dengan Indonesia yang lebih demokratis, Vietnam dikendalikan oleh satu partai.
Menurut Huynh Quan, yang mengelola lembaga konsultan sumber daya manusia, NVM di Vietnam, mogok kerja jarang terjadi sana.
“Negara kita adalah negara komunis. Mereka melindungi atau punya mekanisme yang bagus untuk mengontrol pemogokan dan memastikan buruh tidak melanggar aturan partai. Karena aksi ini bisa menggangu pemerintahan,” kata Huynh Quan.
Jarangnya pemogokan dan aturan satu partai memberikan kepastian kepada pengusaha dan mengurangi resiko ekonomi, kata Presiden Kamar Dagang Australia, Brian O’Reilly.
“Ini menciptakan stabilitas. Anda bisa lihat masalah di Filipina atau Indonesia. Murni dari perspektif bisnis, bisnis tidak ingin ada risiko. Vietnam secara politik adalah negara yang stabil. Negara ini tidak punya masalah terorisme dan saya pikir itu hal yang positif bagi Vietnam,” kata O’Reilly.
O’Reilly dan yang lainnya mengatakan Vietnam punya kelebihan yaitu tenaga kerja murah. Upah minimumnya di sana sekitar 150 USD per bulan atau sekitar 2 juta. Sementara upah buruh di Indonesia sekitar 250 USD atau 3,4 juta per bulan.
Usia tenaga kerja di Vietnam juga lebih muda dan mereka mau belajar lagi dan mendapat pelatihan agar bisa dapat pekerjaan yang lebih baik.
Selain itu, Vietnam juga adalah anggota Kemitraan Trans-Pasifik atau TPP. Jika disetujui, TPP akan menjadi kesepakatan perdagangan terbesar dalam sejarah. Karena Indonesia belum menjadi anggota, kesepakatan itu akan membuat ekspor Vietnam ke Amerika Serikat lebih murah, termasuk pakaian dan sepatu.
Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Hanif Dhakiri, ingin membantu perusahaan dalam situasi sulit ini. Dia mendorong untuk menerapkan sertifikasi nasional yang membuktikan kualitas karyawan mereka di setiap sektor.
“Sehingga berbekal pada kompetensi dan sertifikasi profesi maka tenaga kerja kita bisa berdaya saing, bisa kompetitif. Bicara kompetensi ada dua based. Satu, based pendidikan formal, yang kedua pada skill. Ya, itu sertifikat kompetensi sebenarnya. Nah, kalau sertifikat kompetensi ini tidak dilakukan nantinya mereka-mereka yang ahli tapi bukan keluaran pendidikan formal ngga bisa bersaing,” kata Hanif.
Indonesia harus melewati jalan berliku untuk bisa mengalahkan Vietnam dalam bidang investasi. Tapi jika bisnis menjadi lebih produktif, maka Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA mungkin akan berdampak seperti yang direncanakan penggagasnya.
Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR