Kasus Natuna Dalam Sisi Hukum Internasional
Oleh : Dr Evi Purwanti, S.H., LL.M
BN – Bagaimana kedudukan Hukum Internasional terhadap klaim Natuna oleh Cina berikut ini tanggapan Dosen Hukum Iinternasional Fakultas Hukum UNTAN Pontianak, Dr Evi Purwanti, S.H., LL.M yang berhasil mempertahankan desertasinya pada ujian terbuka promosi doktornya, Para penguji mengapresiasi topik yang diangkat menarik dan aktual. Hal ini dikarenakan Evi membahas penarikan garis batas laut antar negara yang sampai sekarang masih memiliki banyak masalah. Equitable principle menjadi bahasan utama dalam desertasinya yang berjudul “Equitable Principle dalam Penentuan Delimitasi Perbatasan Indonesia dengan Negara-Negara Lain di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen”.
Equitable principle penting untuk dikaji mengingat Pasal 74 ayat (1) terkait zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan Pasal 83 ayat (1) terkait landas kontinen dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 menyebutkan bahwa penetapan garis batas ZEE dan landas kontinen antara negara yang pantainya berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai equitable solution.
Sayangnya, dalam praktik masih banyak sengketa dalam hal penentuan batas ZEE dan landas kontinen. Menutut Evi, hal ini terjadi karena terdapat tiga masalah mendasar. Pertama, secara filosofis belum ada definisi yang valid yang menjabarkan apa itu equitable principle. Kedua, secara normatif belum ada patokan cara dalam menentukan delimitasi untuk mencapai equitable solution. Kemudian dari pada itu, tanpa definisi dan cara yang jelas, secara implementasinya negara-negara dalam melakukan negosiasi delimitasi sulit untuk mencapai equitable solution. Bagaimana dalam kaitannya dengan masalah klaim Natuna oleh Cina, beliau berpendapat, bahwa tanggapan pemerintah RI sudah benar karena RRT sudah tidak memiliki dasar klaim semenjak keluarnya putusan arbitrase Filipina vs RRT, klaim sepihak RRT sudah dibantah dalam putusan arbitrase internasional tsb.. Sebenarnya RI berbatasan ZEE di natuna dg Vietnam. Berkaitan dengan masalahnya klaim atas pulau para el dn spratly juga sepihak dan itu tumpang tindih dengan 6 negara. Sehingga tindakan RRT tidakk dapat dibenarkan karena klaim sepihak tidak diakui dalam hukum internasional sampai ada kesepakatan antar negara yang bersangkutan.
Bagaimana dampak putusan mahkamah?
Menurut Bill Hayton, penulis buku berjudul South China Sea: The struggle for power in Asia, pengajuan kasus di Mahkamah Arbitrase ini sejatinya mempertanyakan kepada Mahkamah Arbitrase apa saja unsur daratan di Laut Cina Selatan. Imbasnya, negara-negara di kawasan Laut Cina Selatan dapat mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut.
Sebab, dalam hukum laut internasional, unsur daratan dapat dibagi ke dalam beberapa bagian:
Pulau. Agar bisa disebut pulau, sebuah daratan di tengah laut harus bisa “menunjang habitat manusia atau kehidupan ekonomi secara mandiri”. Jika sebuah negara memiliki pulau, negara itu berhak atas zona ekonomi eksklusif, alias hak memanfaatkan sumber daya alam (termasuk menangkap ikan atau mengeksplorasi gas dan minyak), di sekitar pulau dalam radius 200 mil laut.
Karang. Unsur daratan ini didefinisikan sebagai bebatuan di atas permukaan laut ketika air pasang, terlepas berapapun besarnya. Sebuah negara yang memiliki karang berhak atas wilayah dalam radius 12 mil laut dari karang tersebut.
Terumbu. Unsur daratan ini hanya bisa terlihat saat air laut surut. Sebuah negara yang menguasai terumbu tidak memiliki hak atas sumber daya alam atau wilayah perairan apapun di sekitarnya.
Cina membangun landasan udara di pulau buatan yang berada di Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.
Dari ketiga unsur daratan tersebut, Cina menguasai sejumlah terumbu di Laut Cina Selatan dan mereklamasinya menjadi pulau. Pulau-pulau buatan itu kemudian dilengkapi dengan pelabuhan dan landasan udara.
Masalahnya, dalam hukum laut internasional,apakah pulau buatan diakui dalam hukum internasional dan Tradisional fishing ground tidak diakui dan dalam UNCLOS 82 pulau buatan tidak diakui oleh karena itu claim cina tidak berdasar. Jika dari ketentuan UNCLOS 82 jika cina menerapkannya maka juga tidak akan sampai ke wilayah natuna Indonesia.
Tindakan cina ini adalah tindakan arogan sepihak yang tidak berdasar dan tidak ada dalilnya, bahkan sudah dibantah dlm putusan arbitrase. Harapannya untuk Indonesia harus lebih menjaga wil ZEEnya secara intensif dan memperkuat armada coast guard.