Keputusan PBB Tentang Klasifikasi Ganja Bukan Legalisasi
Oleh: Komjen Pol ( Purn ). Dr. H. Anang Iskandar,SH.MH
BN – PBB dalam Sidang Comission on Narcotic Drug (CND) yang berpusat di Wina, menetapkan reklasifikasi ganja dan turunannya dari klasifikasi daftar obat terlarang paling berbahaya (UN News, 2 December 2020)
Keputusan tersebut bukan berarti PBB melegalisasi ganja.
Akan tetapi, merubah ganja yang tadinya masuk daftar obat terlarang dengan klasifikasi paling berbahaya. Kini, menjadi daftar obat terlarang dengan klasifikasi di bawahnya.
Arti keputusan PBB tersebut menyatakan bahwa, ganja tetap dilarang untuk digunakan untuk kepentingan pribadi dan diperdagangkan. Hanya saja, terbuka kemungkinan untuk dilakukan penelitian tentang kemanfaatannya.
Semula, ganja dan turunannya dinyatakan sebagai jenis narkotika yang dilarang dan paling berbahaya. Bahwa atas keputusan ini, menjadi jenis narkotika yang tetap dilarang namun dapat diteliti untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Ke depan, bagi negara negara di dunia yang meratifikasi keputusan PBB tersebut, dapat melakukan penelitian ganja bagi kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan dan tehnologi, yang selama ini penelitian ganja tidak pernah diijinkan.
Di Indonesia tidak berpengaruh secara spontan. Karena yuridiksi hukum narkotika di Indonesia, ganja berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tetap dilarang dimiliki, dikonsumsi atau diperdagangkan masuk dalam narkotika golongan 1.
Ganja diklasifikasikan menjadi narkotika golongan berapapun tetap dilarang dimiliki, dikonsumsi atau diperdagangkan.
UU narkotika no 35 tahun 2009 tentang narkotika tersebut memang bersumber dari UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya.
Kalau klasifikasi ganja dalam UU no 8 tahun 1976 berubah tentu tidak spontan merubah UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika karena masuk dalam kedaulatan hukum pidana Indonesia.
Jika Pemerintah Indonesia meratifikasi hasil Konvensi PBB tentang reklasifikasi ganja menjadi UU. Maka Pemerintah Indonesia akan merubah ganja yang selama ini menjadi gol 1 menjadi golongan 2 atau gol 3.
Ini tergantung kajian yang dilakukan Kementerian Kesehatan dimana Menteri Kesehatan sebagai regulator yang bertanggung jawab tentang aturan dan penerapan UU narkotika.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap ganja tetap dilarang secara pidana. Bedanya kalau sudah diratifikasi oleh pemerintah, klasifikasi ganja menjadi turun tidak lagi masuk narkotika golongan 1 dan ancaman pidananya menjadi lebih ringan.
Kalau Pemerintah Indonesia tidak meratifikasi hasil Konvensi PBB tentang reklasifikasi ganja. Maka ganja tetap masuk dalam narkotika golongan 1 yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan kesehatan Ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Pengalaman Indonesia dalam berkonvensi tentang narkotika, pengakuan kesepakatan konvensi tergantung pada pada nuansa kebatinan pemerintah dan kepentingan Indonesia.
Sebagai contoh, konvensi tunggal narkotika 1961 tidak diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, sampai konvensi tersebut dirubah dengan protokol 1972. Indonesia tetap tidak segera meratifikasi.
Baru tahun 1976 Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya menjadi UU no 8 tahun 1976. Yang kemudian dijadikan semacam UU dasarnya UU narkotika di Indonesia.
Keputusan PBB tentang reklasifikasi ganja tersebut, akan ditelaah oleh pemerintah cq Kementrian Kesehatan sebagai regulator aturan narkotika di Indonesia.
Selama waktu penelaahan pemerintah, keputusan PBB tersebut tidak berpengaruh terhadap berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Ganja Ada Manfaatnya, Ada Bahayanya
Ganja di Indonesia sejak dulu terkenal bermanfaat sebagai bumbu masak.
Beberapa penelitian secara tidak resmi juga menyimpulkan bahwa ganja bermanfaat bagi kesehatan, tetapi banyak juga penelitian yang menyimpulkan ganja berbahaya.
Penggunaan ganja untuk kepentingan pribadi berbahaya karena dapat menyebabkan sakit ketergantungan dan gangguan mental.
Itu sebabnya di Indonesia ganja dilarang. Secara pidana dan penggolongannya didasari UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang merubahnya.
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku sekarang ini, melarang secara pidana kepemilikan ganja / jenis narkotika lainnya untuk penggunaan pribadi dan melarang keras digunakan sebagai komoditas untuk diperdagangkan.
Penyalah guna dengan kepemilikan narkotika untuk penggunaan pribadi, diancam secara pidana (pasal 127/1). Di sisi lain, penyalah guna narkotika dengan kepemilikan untuk penggunaan pribadi dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial oleh tujuan UU nya (pasal 4d).
Ini yang yang dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya, dikenal sebagai dekriminalisasi penyalah guna narkotika.
Dekriminalisasi penyalah guna narkotika di Indonesia diartikan bahwa, penyalah guna narkotika diancam secara pidana. Kalau perbuatan tersebut telah dilakukan, sanksinya keluar dari sanksi pidana, berupa menjalani rehabilitasi (Anang Iskandar 2014).
Hakim diberi berbagai kewajiban berdasarkan pasal 127/2 untuk menjamin agar tujuan UU terwujud yaitu mendekriminalisasi penyalah guna narkotika.
Hakim juga diberi kewenangan “dapat” memutuskan dan menetapkan untuk memerintahkan terdakwa penyalah guna bagi diri sendiri untuk menjalani rehabilitasi (pasal 103).
Roh UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam menanggulangi kejahatan penyalahgunaan narkotika adalah mendekriminalisasi penyalah guna narkotika sebagai misi penegak hukum.
Sedangkan roh dalam menanggulangi kejahatan perdagangan gelap narkotika adalah memberantas pelaku peredaran gelap narkotika. Dengan hukuman minimum yang ditentukan UU dan dilakukan perampasan aset pengedarnya serta dilakukan pembuktian terbalik di pengadilan.
Penulis adalah seorang purnawirawan polisi dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) dan Kepala Badan Narkotika Nasional yang kini menjadi dosen, kolumnis dan penulis buku.