Ketahanan Nasional, Negara & Generasi Ibra
Oleh: DR Anang Iskandar (Aktivis Anti Narkoba)
BN – Tak bermaksud pesimistik, dengan judul: “Ketahanan Nasional Rapuh Karena Negara Memproduksi Generasi Ibra.”
Justru sebaliknya, semangatnya adalah kita semua berpikir jernih dan logis, agar kita semua tak masuk dalam kesesatan. Bersama-sama, dengan inspirasi, kita konsisten.
Hikayat Ketahanan Nasional Indonesia yang dimaksud, ditinjau dari segi sumber daya manusia. Dimana saat ini, kita telah memasuki ke dalam era revolusi industri 4.0.
Sebuah kondisi, dimana banyak sekali gangguan dan perubahan yang mendadak hadir dan sangat mempengaruhi kondisi kita, mencapai prestasi.
Esensinya, di tengah situasi ini, kalau semua pihak tak melakukan self motivation. Maka, kita akan terganggu dan rapuh karena digerogoti oleh meningkatnya masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Akibatnya?
Indonesia memasuki kondisi darurat narkotika yang berkepanjangan.
Indikasi rapuhnya ketahanan nasional adalah:
Pertama, besarnya permintaan narkotika illegal yang dibutuhan oleh penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disupply oleh sindikat narkotika Internasional.
Hal ini bisa diikuti melalui keberhasilan aparat atau penyidik dalam menangkap pengedar dengan barang bukti dalam jumlah sangat besar.
Sebagai contoh, pada tahun 2017 Polri melakukan penangkapan di Anyer Banten dengan barang bukti 1 ton sabu dilakukan oleh sindikat tiongkok.
Di tahun 2018 penangkapan sabu seberat 1 ton di kapal ikan berbendera singapura, MV Sunrise Glore oleh Angkatan Laut.
Sebelumnya tahun 2015 BNN juga melakukan penangkapan sindikat Taiwan diteluk naga dengan barang bukti sabu sebesar 860 kg.
Penangkapan sindikat pengedar narkotika dengan barang bukti yang sangat besar tersebut adalah fenomena gunung es.
Artinya apa?
Permintaan akan narkotika yang dibawah permukaan jauh lebih besar dari pada yang kelihatan.
Kedua, lapas over capacity, dimana 70 % penghuni lapas adalah pelaku kejahatan narkotika. Menurut teori Pareto 20 % dari 70 % penghuni lapas adalah pengedar, sedangkan 80 % adalah penyalah guna.
Berdasarkan penjelasan Dirjen Lapas, penyalah guna yang dipenjara pada akhir tahun 2019 berjumlah 48 ribu lebih warga binaan alias nara pidana penyalah guna narkotika.
Penyalah guna dipenjara ini kemudian menjadi masalah tersendiri di Lapas, yang membuat lapas seperti makan buah simalakama.
Apabila pengawasan oleh petugas dilaksanakan sesuai aturan, narkotika tidak bisa masuk ke dalam penjara.
Dampaknya, penyalah guna dalam penjara mengalami sakau bareng, mereka menjadi beringas yang membahayakan petugas dan sarana prasarana lapas.
Sedangkan apabila pengawasan petugas longgar, dampaknya narkotika beredar di dalam lingkungan penjara. Namun, berdampak positif bagi penyalah guna dalam penjara.
Mereka, tidak mengalami putus obat yang mengakibatkan sakau, karena permimntaan akan narkotika mereka selama dipenjara tercukupi.
Dalam kondisi dilematis ini, petugas lapas pasti mengambil keputusan yang menguntungkan bagi institusi dan pribadi petugas itu.
Apa itu? Ya, mereka “terpaksa mentolelir” penyalahgunaan dan peredaran narkotika didalam penjara.
Ketiga, timbulnya residivisme dari para penyalah guna narkotika setelah selesai menjalani hukuman penjara.
Ini yang membuat ketahanan sumber daya manusia kita menjadi rapuh dari segi mental dan spritual.
Keempat, banyak aparat yang terlibat masalah narkotika khususnya abuse of power yang kaitannya dengan gratifikasi.
Fakanya, banyak yang mengambil keuntungan dari kondisi dimana secara de jure penyalah guna ditempatkan di Lembaga Rehabilitasi, dengan keputusan hakim dihukum rehabilitasi dan secara defacto penyalahguna ditahan, dengan keputusan hakim dihukum penjara.
Kondisi tersebut diatas, tanpa disadari menegaskan bahwa negara memproduksi generasi sakit, baik masyarakat maupun aparatnya secara sistemik. Yang, tentu saja, ini dapat menggoyahkan ketahanan nasional kita.
Hal tersebut disebabkan, karena kekeliruan dalam menafsirkan strategi melawan penyalahgunaan narkotika.
Penyalah guna narkotika kalau ditahan dan dihukum penjara bagi pemerintah, tidak ada manfaatnya bahkan menjadi masalah.
Apa masalahnya ?
Masalahnya adalah, penyalahgunaan dan peredaran narkotika menjadi tumbuh subur, karena penyalah guna tidak disembuhkan.
Padahal, pokok permasalah narkotika adalah bagaimana cara agar penyalahguna sembuh dan berhenti mengkonsumsi narkotika.
Dengan tujuan agar pengedarnya gulung tikar karena tidak ada yang membeli dagangannya.
Masalah lain adalah tumbuhnya residivisme penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami Jenniver Dunn dan Ibra.
Dimana, secara tidak disadari negara memproduksi generasi seperti Jenniver dan Ibra yaitu generasi sakit adiksi dan gangguan mental kejiwaan secara berkesinambungan yang dapat menggangu ketahanan nasional.
Strategi implementasi penegakan hukum terhadap perkara narkotika saat ini menurut saya, melenceng dari tujuan UU narkotika yang dibuat secara khusus oleh Pemerintah dan DPR.
UU itu, untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4).
Tujuan UU narkotika tersebut berarti pelaku penyalahgunaan narkotika direhabilitasi supaya sembuh, agar tidak menjadi penyalah guna lagi dan pengedarnya diberantas supaya jera.
Kalau implementasinya penyalah guna saat ini dipenjara, maka untuk merubahnya, tidak sulit kok, tidak perlu menunggu selesai UU direvisi. Sudah ada putusan hakim berupa hukuman rehabilitasi sebut saja perkara Nunung dan Jefri Nichol.
Untuk merubahnya penegak hukum hanya melakukan putar haluan, penyalah guna tidak ditahan selama proses penegakan hukum dan tidak juga dijatuhi hukuman penjara.
Kemudian haluannya diputar bahwa perkara penyalah guna selama proses penegakan hukum tidak lagi ditahan dan dihukum penjara diganti menjadi ditempatkan di Lembaga rehabilitasi dan dihukum rehabilitasi.
Tidak ada yang salah bagi penegak hukum. Dan, juga tidak ada yang dirugikan kalau penyalah guna ditempatkan di Lembaga Rehabilitasi selama proses penegakan hukum dan dijatuhi hukuman rehabilitasi.
Kenapa?
Karena memang, itu menjadi maksud dan tujuan pembuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Dan yang terpenting ketahanan nasional kita tidak terganggu dengan masalah penegakan hukum narkotika.
penulis adalah mantan Kepala Badan Narkotika Nasional dan Bareskrim Polri, kini dosen di beberapa Universitas Swasta