Ketua KPK Dorong Efek Jera Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi & Hak Politik
Jakarta – Dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif, dibutuhkan sebuah penegakan hukum yang bisa memberikan efek jera bagi para pelakunya.
“Sehingga kita bisa benar-benar menurunkan tingkat korupsi di Indonesia, karena pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi,” kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, Rabu (30/8).
Oleh karena itu, menurut dia instrumen hukum dalam pemidanaan tindak pidana korupsi selain adanya penjara badan sebagai pidana pokok, juga adanya pidana tambahan.
“Pidana tambahan dalam pemberantasan korupsi diantaranya berupa pembayaran uang pengganti, yang menjadi bagian dari upaya optimalisasi asset recovery dan pencabutan hak politik,” ucapnya.
Ia melanjutkan, pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku. Yang bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan.
Dalam UU Pemilu ditentukan bahwa salah satu syarat bakal calon Anggota DPR, DPD dan DPRD Prov/Kab/Kota adalah tidak pernah dipidana berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap dengan ancaman pidana 5 tahun atau lebih.
Terhadap ketentuan tersebut, MK melalui beberapa Putusan Pengujian UU (judicial review) menyatakan bahwa bagi mantan terpidana, dapat dicalonkan/mencalonkan dengan beberapa ketentuan:
1. Harus telah selesai menjalani pidana (bebas murni).
2. Membuat pernyataan bahwa ybs pernah dipidana dan telah selesai menjalani pidana dan diserahkan kpd KPU.
3. Membuat pengumuman di media massa bahwa dirinya pernah dipidana dan telah selesai menjalani pidana.
4. Memenuhi masa jeda 5 tahun terhitung sejak telah selesai menjalani pidana (bebas murni).
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan tidak ada ketentuan tertulis yang melarang mantan terpidana korupsi untuk dicalonkan atau mencalonkan diri.
“Namun, yang perlu diperhatikan bahwa seorang mantan terpidana sebagaimana dimaksud harus menyatakan dan mengumumkan status hukum dirinya, dan dengan demikian publik menjadi tahu status caleg,” terangnya.
Untuk itu, kata dia, pernyataan dan pengumuman caleg sebagai mantan terpidana kepada publik, dapat dijadikan pertimbangan bagi pemilih untuk menentukan pilihan dalam pemilu.
“Maka masyarakat penting memahami bahwa pemilu sebagai pesta rakyat adalah untuk memilih para pemimpin, yang nantinya akan mengemban amanah dari rakyat. Yaitu melalui amanah jabatannya membawa masyarakat pada gerbang kemakmuran dan kesejahteraan, sehingga yang dibutuhkan adalah calon-calon pemimpin yang jujur dan berintegritas,” bebernya.
Ia berharap masyarakat tidak hanya bertindak sebagai pemilih saja, namun juga turut mengawasi pelaksanaan pemilu. Termasuk secara cermat memilih para calon bupati, walikota, DPR/DPRD/DPD, bahkan presiden/wakil presiden yang berintegritas. ( red )