KSBSI Menang Gugatan Upah Padat Karya, Kalau Lanjut Siap Ladeni Gubernur Jabar
Jakarta – Berdasarkan keterangan pers yang disampaikan kepada wartawan, Federasi Serikat Buruh Garteks, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (FSB KSBSI) mengabarkan baru saja memenangkan gugatan “Upah Padat Karya”. Hal itu disampaikan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSB Garteks-KSBSI, Ary Joko Sulistyo, Trisnur Priyanto SH, bersama Elly Rosita Silaban (DEN KSBSI), waktu dialog tanya jawab di kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta Timur, Selasa 6 Februari 2018. Kebijakan upah padat karya asalnya dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat, bulan Juni tahun lalu, di sektor perusahaan garmen/pakaian jadi. Kebijakan upah padat karya itu diterapkan seperti di kota Depok, Bogor, Bekasi dan Purwakarta. Bagi serikat buruh, kebijakan itu dinilai sangat merugikan upah buruh. Pasalnya, sejak diberlakukannya kebijakan upah padat karya, justru terjadi penurunan upah terhadap buruh yang bekerja di sektor garmen dan tekstil.
Trisnur Priyanto, ketua tim hukum FSB Garteks KSBSI, menyampaikan kemenangan yang baru saja diraih di PTUN Bandung, merupakan awal perjuangan bukan akhir dari perjuangan buruh.
“Semoga kemenangan gugatan ini bisa menjadi yurisprudensi untuk kedepannya dalam penentuan upah buruh. dan pasca kemenangan ini kami akan terus melakukan konsolidasi dan merancang strategi untuk mengantisipasi respon dari lawan,” tandasnya, Selasa, 6 Februari 2017.
Lanjutnya, setelah dilakukan bedah kasus oleh tim advokasi Garteks KSBSI, disimpulkan bahwa terbitnya SK Upah Minimum Padat Karya banyak melanggar regulasi ketenagakerjaan, seperti dalam Pasal 88 ayat (1), ayat (2) dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
“Kebijakan upah padat karya juga kami nilai sangat bertentangan dengan PP No. 78 tahun 2015, Tentang Pengupahan dan melanggar pasal 5, pasal 10 ayat UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan AUPB),” bebernya.
Akhirnya, diputuskan tanggal 17 Oktober 2017, tim advokasi Garteks KSBSI resmi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait kebijakan SK Gubernur Nomor : 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 Tentang Upah Minimum Industri Padat Karya Tertentu Jenis Industri Pakaian Jadi/Garmen khusus di Kabupaten Bogor Tahun 2017 tertanggal 28 Juli 2017.
Tepatnya, tanggal 01 Februari 2017 kemarin, Majelis Hakim PTUN Bandung memutuskan bahwa dengan Nomor Putusan 133/G/2018/PTUN.BDG, dalam amar putusan dan eksepsi, bahwa dalam eksepsi Majelis Hakim menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya.
Kemudian, dalam pokok perkara, Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan batal dan atau tidak sah Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor : 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 Tentang Upah Minimum Industri Padat Karya Tertentu Jenis Industri Pakaian Jadi/Garmen di Kabupaten Bogor Tahun 2017;
Lalu Majelis Hakim memutuskan menghukum Tergugat untuk mencabut Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor : 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 Tentang Upah Minimum Industri Padat Karya Tertentu Jenis Industri Pakaian Jadi/Garmen di Kabupaten Bogor Tahun 2017.
Dalam pembacaannya, Majelis Hakim juga memutuskan menghukum pihak tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara.
“Sekarang kami menunggu sikap Gubernur Jawa Barat, apakah ada niatan melakukan upaya hukum lebih lanjut atau tidak. Kalau Gubernur Jawa Barat melakukan upaya hukum ke tingkat PT TUN, kami sudah siap meladeni kalau ada upaya Banding,” ujarnya.
Namun kalau dalam waktu yang sudah ditentukan oleh undang-undang, pihak gubernur Jawa Barat tidak menggunakan hak Banding dan tenggat waktu untuk banding telah terlampaui, maka pihak tim advokasi Garteks KSBSI akan melayangkan surat kepada gubernur untuk segera melaksanakan isi putusan tersebut.
“Nah kalau gubernur Jawa Barat tidak mau melaksanakan isi putusan, kami akan meminta upaya paksa kepada PTUN Bandung sesuai dengan ketentuan Pasal 116 ayat (4) UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu, dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif,” tutupnya. (Agus)