Kuliah Umum di Universitas Trisakti, Kapolda Metro Ingatkan Waspadai Penyebaran Radikalisme Sasar Mahasiwa
JAKARTA – Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono mengatakan perlu kewaspadaan terhadap penyebaran radikalisme yang dapat menyasar masyarakat terutama para mahasiswa baru di berbagai universitas.
“Mereka baru lulus, jadi anak-anak ini yang mencari jati diri dapat dipengaruhi oleh siapa pun,” kata dia di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Minggu, saat memberikan kuliah umum.
Peran mahasiswa, kata dia, cukup besar dalam merawat keberagaman karena tantangan bangsa Indonesia ke depan yang paling besar adalah masalah intoleransi, radikalisme, terorisme dan dikaitkan dengan media sosial.
Jika masyarakat khususnya mahasiswa tidak bisa mengelola media sosial dengan baik maka paham-paham tersebut masuk dan kemudian generasi muda terpengaruh.
“Keberagaman kita yang ada ini bisa terganggu, oleh karena itu tadi saya mengimbau ayo terus kita semaikan toleransi, keberagaman, jaga persatuan dan kesatuan bangsa ini,” katanya.
Ia menjelaskan jika masyarakat mulai mengangkat perbedaan yang ada maka itulah cikal bakal hancurnya bangsa Indonesia. Namun, apabila mengangkat kebersamaan dalam perbedaan sekalipun esok kiamat Indonesia akan tetap ada.
“Besok bumi ini kiamat, H-1 bangsa Indonesia akan tetap ada. Itu yang kita sampaikan pada generasi muda karena mereka calon pemimpin bangsa ini,” ujar dia.
Kebhinnekaan yang dimiliki bangsa Indonesia mulai dari suku, agama, budaya, bahasa dan sebagainya rentan dirusak oleh pihak yang tidak senang dengan Ibu Pertiwi.
Ancaman tersebut bersumber dari dua faktor yaitu internal dan eksternal. Dari luar negeri ancaman bisa saja datang dari negara-negara lain. Hal itu terjadi karena ketidaksenangan kepada Indonesia.
“Jika Indonesia menjadi negara besar apakah negara lain senang? Tentu saja tidak,” kata Kapolda kelahiran Solok Sumatera Barat tersebut.
Beragam cara yang dilakukan mereka mulai dari ‘soft’ dan perlahan hingga invasi militer secara terang-terangan. Awalnya, musuh dari luar mencoba mencari persoalan besar yang dihadapi bangsa yang akan dijajah.
Misalnya, terdapat persoalan agama, suku, etnis dan sebagainya maka mereka akan mencoba mengangkat konflik di media sosial. Jika cara ini tidak berhasil maka selanjutnya mereka melaksanakan invasi militer.
Sedangkan faktor internal lebih mengarah pada persoalan yang muncul dari dalam negeri. Sebagai contoh pada 1998 Indonesia menetapkan dan memilih jalur demokrasi untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebelum itu, Indonesia dihadapkan beragam persoalan dalam negeri mulai dari pemberontakan hingga runtuhnya orde baru yang digantikan era reformasi.
Demokrasi idealnya diterapkan di masyarakat yang didominasi oleh kelas menengah karena mereka lebih rasional, kritis, dan menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik.
Tapi pada kenyataannya, ujar dia, masyarakat Indonesia masih didominasi masyarakat ‘low class’ dari sisi ekonomi dan pendidikan dimana demokrasi yang harusnya mandat untuk rakyat ternyata dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mereka. ( sri )