Lion Air Gunakan Kontrak Kerja Untuk Sandera dan Eksploitasi Pilot
BN – JAKARTA, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan bantuan hukum gratis terhadap 14 pilot Lion Air yang dipecat manajemen terkait delay berjam-jam pada 10 Mei 2016 lalu, dalam melakukan perlawanan terhadap manajemen Lion Air.
Para pilot saat itu tengah mengalami gangguan emosi dan psikis sehingga mereka tidak bisa terbang, akibat hak-hak pilot sebagai pekerja tidak diabaikan oleh menajemen perusahaan. Jika dipaksakan terbang bisa membahayakan keselamatan penumpang dan penerbangan.
“Yang dilakukan oleh para pilot pada 10 Mei 2016 lalu adalah keputusan untuk menunda terbang demi keselamatan penerbangan karena terganggunya kondisi emosi dan psikis pilot akibat diabaikannya hak-hak pilot sebagai pekerja oleh manajemen perusahaan,” ujar Ketua Serikat Pekerja – Asosiasi Pilot Lion Group (SP – APLG) Eki Adriansyah, dalam keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (7/8/2016).
Menurut dia, tindakan ini sudah sesuai konvensi ICAO Annex 6 yang diadopsi Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Indonesia (CASR 121) dan sudah diadopsi Lion Air dalam Operasional Manual yang dibuat.
Karena itu, Eki menegaskan, sikap manajemene Lion Air tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Adanya tuduhan penghasutan pun juga dinilai salah alamat dan mengada-ada. Sebab, apa yang dilakukan pilot dalam konteksnya sebagai serikat pekerja yang keberadaan dan hak-haknya dilindungi dan dijamin oleh undang-undang.
Sehingga sikap manajemen Lion Air yang tidak mengakui keberadaan SP APLG dinilai sebagai upaya untuk memberangus keberadaan serikat pekerja, yang juga merupakan hak berserikat para pilot Disamping itu, hingga kini belum ada surat resmi dari manajemen Lion Air terkait pemecatan ini.
“SP APLG memandang tindakan manajemen Lion Air yang melaporkan SP APLG ke Polri adalah upaya kriminilasi dan intimidasi kepada pilot. SP APLG percaya Polri akan bertindak obyektif dan professional , serta tidak memanipulasi hukum demi kepentingan segelintir orang,” katanya.
Eki menambahkan, kontrak kerja yang dibuat oleh manajemen Lion Air dinilai sebagai alat sandera dan eksploitasi pekerja terutama terhadap para pilot. Manajemen menilai kontrak kerja yang dibuat dengan para pilot, bukanlah ranah
perjanjian ketenagakerjaan, melainkan perjanjian perdata.
Padahal dalam kontrak tersebut jelas tercantum peruasahaan Lion Air adalah pemberi kerja dan pilot sebagai pekerja yang menerbangkan pesawat sehingga mendapatkan gaji dan tunjangan. Hal itu secara jelas merupakan ketentuan dalam perjanjian ketenagakerjaan yan diatur dalam UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
“Permasalahan lain dari kontrak kerja adalah ganti rugi atau pinalti yang harus dibayarkan para pilot jika yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir. Pinalti yang harus dibayarkan sangat fantastis dari kisaran Rp 500 juta hingga miliaran rupiah. Klausul ini yang dikemudian digunakan manajemen lion air untuk menyandera dan mengekspolitasi para pilotnya,” kata Ketua SP APLG ini.
Hal inilah yang kemudian mendasari para pilot membentuk SP APLG guna mewakili kepentingan para pilot dengan perusahaan selaku stakeholder agar kebijakan dan operasional berjalan sesuai kaidah dan tata kelola perusahaan yang baik dan benar.
“Hak pekerja sering diabaikan, pilot dipaksa bekerja melebihi batasan maksimun jam terbang. Lalu, kebijakan sering berubah-ubah dan dilakukan sepihak. Dan terakhir yang cukup menggangu adalah adanya data penghasilan yang dilaporkan pihak manajemen ke BPJS Ketenagakerjaan , dimana nilai jauh lebih rendah dari faktanya,” ungkap Eki.
Berakibat fatal
Di tempat yang sama, salah satu pilot Mario Hasiholan yang sudah 10 tahun di maskapai itu menjelaskan, kalau mereka memaksakan terbang pada 10 Mei itu, maka bisa berakibat fatal untuk diri mereka dan penumpang.
“Misalnya Anda kalau naik taksi tapi sopirnya marah-marah apakah mau turun. Kalau di bawah masih bisa turun tapi kalau di atas nggak bisa turun,” ujarnya.
Hanya menurutnya, itu tidak dipahami oleh manajemen. Malah membuat keputusan dengan memecat 14 pilot itu dan melaporkan ke pihak Bareskrim Mabes Polri.
Kemarahan para pilot itu, karena uang transportasi yang harusnya diberikan justru tidak diberikan. Sementara kerja mereka, bahkan tetap dan bertambah.
“Kalau dia marah atau stres dia wajib tidak terbang. Ini dalam rangka keselamatan penerbangan,” ujarnya menambahkan.
Mario menegaskan, mengenai delay sebenarnya kerugian bukan saja dialami oleh penumpang. Tapi juga kru-kru di dalamnya seperti pilot dan pramugari.
“Kalau seiring delay pilot dan pramugari juga capek. Dampaknya jam kerja bertambah dan jam istrahat kami kurang,” katanya.
Ditambah lagi dengan tidak dibayarkannya uang transportasi, membuat para pilot emosional dan kondisi itu mengganggu penerbangan. “Mengganggu jelas secara psikis,” katanya.
Sebelumnya, manajemen Lion Air melakukan pemecatan terhadap 14 pilot yang dituding membangkang dan melakukan pemogokan pada 10 Mei 2016 lalu. Penghentian kerja itu juga disertai dengan pelaporan kepada polisi dengan tuduhan mereka telah melakukan tindakan penghasutan.
Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait mengatakan, pelaporan ke ranah hukum tersebut diperlukan pihaknya guna memberikan kepastian hukum untuk kepentingan bagi para investor dan mitra kerja Lion Air.
Edward juga mengatakan Lion Air tidak mengakui keberadaan SP APLG, sehingga sebalikknya, jika ada nama tersebut maka hal itu merupakan pemalsuan dan penipuan.
Majemen Lion Air juga telah mempublikasikan nama-nama pilot yang telah diberhentikan tersebut antara lain Eki Andriansjah (Ketua Serikat Pekerja Asosiasi Pilot Lion Group), lalu ada pula nama Yuda, Mario, Lakies, Rizky Agustino, Aulia Nugroho, Amsal, Warsono, Ade, Beni, Airlangga, Hasan Basri, Hartono, Gatot.
Terkait pelaporan manajemen Lion Air terhadap 14 pilot ke Bareskim ini, LBH Jakarta memberikan bantuan hukum gratus kepada 14 pilot dalam menghadapi pelaporan ke ranah hukum yang dilapokan manajemen Lion Air.