Mantan Kepala BNN Colek Ketua MA Tentang Wewenang Hakim
BN – Komjen Pol. (purn) DR. Anang Iskandar, SH, MH, Kepala Badan Narkotika Nasional tahun 2012-2015, mamaparkan wewenang dan kewajiban hakim menjatuhkan hukuman terhadap perkara penyalah guna narkotika.
Menurutnya, itu sudah diatur dan tercantum dalam UU Narkotika dengan jelas, terbukti salah atau tidak bersalah, hakim dalam menjatuhkan hukuman yaitu berupa menjalani rehabilitasi. Selama ini, vonis penjara terhadap perkara penyalah guna narkotika yang digunakan untuk diri sendiri, menjadi penyebab utama kelebihan muatan (over capacity) dan berbagai masalah di lembaga pemasyarakatan, tegasnya.
Di samping itu, vonis penjara juga menyebabkan penyalah guna narkotika tidak mendapatkan hak untuk sembuh dari kecanduan narkotika, bahkan justru berkarir sebagai pecandu narkotika. Akibatnya Indonesia menjadi demand/pasar peredaran narkotika.
“Itu sebabnya penyalah guna seperti Sammy, Tessy, Rhido, Andi Arif, Jenniver Dunn, Tio Pakusadewo, Sipulan dan siapa saja yang memiliki narkotika jumlah terbatas untuk pemakaian sehari, digunakan untuk diri sendiri, hakim berwenang dan berkewajiban memvonis hukuman rehabilitasi, baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah, silahkan baca pasal 103 undang-undang narkotika”, ungkapnya.
Wewenang dan kewajiban menjatuhkan hukuman rehabilitasi, lanjut Anang, adalah amanat kepada hakim pada semua tingkatan, baik hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan banding maupun hakim tingkat kasasi.
Hal itu berlandaskan pada tujuan dibuatnya UU (pasal 4), wewenang menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103/1) dan kewajiban hakim (pasal 127/2). Hukuman rehabilitasi tersebut statusnya sama seperti dihukum penjara (pasal 103/2) dan lebih bermanfaat untuk penyembuhan penyakit adiksi yang diderita penyalah guna.
“Itulah kekhususan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di mana tujuan dan misi penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif terhadap perkara penyalah guna dan bersifat represif terhadap pengedar. Hakim diberi kewenangan menjatuhkan hukuman rehabilitasi kepada siapa saja yang menjadi terdakwa yang terbukti atau tidak terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri”, jelas Anang yang turut dalam pertarungan politik 2019 Partai PPP di Jawa Timur.
Kemudian Anang Iskandar menerangkan, bahwa kondisi lapas yang sudah over capacity sesuai data ditjend lapas 2019. Pertanyanya, akankah hakim melanjutkan “salah kaprah” memvonis penjara bagi penyalah guna narkoba yang digunakan untuk diri sendiri?
Jawaban pertanyaan tersebut tergantung pada Ketua MA sebagai pejabat diberi mandat tertinggi dan bertanggung jawab di bidang yudikatif. Apa benar tujuan dan misi penegakan hukum bersifat rehabilitatif terhadap perkara penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri ?
“Mari kita bedah kontruksi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang bersifat “khusus” di mana tujuan penanganan penyalah guna dan pengedar dibedakan meskipun sama-sama pelanggar hukum”, imbuhnya.
Tujuan dibuatnya UU Narkotika membedakan penanganan penyalah guna dan pengedar. Terhadap penyalah guna adalah mencegah, melindungi, menyelamatkan dan menjamin penyalah guna mendapatkan pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Terhadap pengedar adalah memberantas pengedar baca di pasal 4.
Oleh karena itu, Anang Iskandar menjelaskan bahwa misi penegakan hukumnya berbeda terhadap penyalah guna, yakni lebih besifat rehabilitative, sebaliknya pengedar bersifat represif.
Penegakan hukum bersifat rehabilitatif dapat dilihat pada ketentuan ketentuan yang ada pada batang tubuh UU narkotika sebagai berikut: Pertama, pasal 127/1 penyalah guna untuk diri sendiri diancam dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara, des tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan baik pada proses penyidikan, penuntutan maupun pengadilan (pasal 21 KUHAP).
Kedua, perkara penyalah guna untuk diri sendiri tidak dapat disidik, diberkas, dituntut dengan pasal pengedar (pasal 111, 112, 113, 114) baik secara komulatif maupun subsidiaritas karena beda tujuan tadi.
Ketiga, untuk melaksanakan tujuan penegakan hukum bersifat rehabilitatif maka penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan untuk mencapai tujuan yaitu kewenangan yang bersifat wajib untuk menempatkan tersangka/terdakwa ke dalam lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya berdasarkan PP 25/2011 pasal 13.
Keempat, hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna untuk diri sendiri yaitu perkara kepemilikan secara terbatas untuk pemakaian sehari, hakim wajib memperhatikan ketentuan ketentuan mengenai rehabilitasi (baca: pasal 127/2) antara lain :
a. Kalau penyalah guna untuk pertama kali mengkonsumsi narkotika, wajib dibuktikan apakah terdakwanya sebagai korban penyalahgunaan narkotika (pasal 127/3). Korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54). Korban penyalah gunaan narkotika ini adalah mereka yang menggunakan narkotika untuk pertama kali dimana mereka secara tidak sengaja menggunakan narkotika akibat dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya bahkan ada yang dipaksa menggunakan narkotika (baca: penjelasan pasal 54. Penyalah guna pertama kali dapat dipastikan adalah korban penyalah gunaan narkotika.
b. Kalau penyalah guna untuk diri sendiri yang frekwensi menggunakan narkotikanya rutin dan dinyatakan oleh ahli dalam keadaan ketergantungan narkotika disebut pecandu (pasal 1 angka 13). Pecandu juga wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54). Penyalah guna yang sudah terbiasa mengkonsumsi narkotika secara rutin dapat dipastikan adalah pecandu.
c. Kalau penyalah guna untuk diri sendiri, menggunakan narkotika secara rekreasional dengan frekwensi menggunakan tidak teratur ini yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara (pasal 127/1). Dalam perkara tersebut hakim berwenang dan wajib menggunakan kewenangannya memvonis hukuman rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah (pasal 103/1).
Tiga golongan penyalah guna tersebut diatas berdasarkan ketentuan tersebut diatas kalau bermasalah dengan penegak hukum maka penjatuhan hukumnya wajib menjalani rehabilitasi
Kelima, bentuk hukuman bagi penyalah guna untuk diri sendiri adalah hukuman rehabilitasi dimana status hukuman rehabilitasi sama dengan hukuman penjara dinyatakan secara jelas masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).
Keenam, tempat menjalani hukuman rehabilitasi adalah rumah sakit atau tempat rehabilitasi yang ditunjuk oleh menteri kesehatan yang tersebar diseluruh indonesia.
Tugas Menteri Kesehatan untuk membuka layanan rehabilitasi bagi penyalah guna baik bersumber putusan hakim maupun yang berasal dari wajib lapor (pasal 56).
Ketujuh, adanya ketentuan wajib lapor pecandu sebagai unsur pemaaf dari UU no 35/2009 tentang narkotika. Yang diwajibkan untuk lapor adalah pecandu yang sudah dewasa dan keluarga / orang tua pecandu yang belum dewasa untuk melaporkan diri ke IPWL (Istitusi Penerima Wajib Lapor) agar mendapatkan penyembuhan melalui rehabilitasi (pasal 55).
Kedelapan, orang tua justru diancam kurungan selama 3 bulan apabila tidak menyembuhkan anaknya yang jadi pecandu (pasal 128/1) melalui wajib lapor ke IPWL.
Kesembilan, pecandu yang sudah lapor status kriminalnya berubah menjadi tidak dituntut pidana. Apabila dalam status tidak dituntut pidana kemudian relap / kambuh selama 2 kali masa perawatan tetap tidak ditutut pidana (pasal 128/2/3)
Kesimpulannya, penyalah guna berdasarkan UU Narkotika wajib diperlakukan secara khusus, disidik, diberkas, dituntut dan diadili sebagai penyalah guna untuk diri sendiri tidak dikomulatifkan/di yunto-kan dengan pasal pengedar. Dan penjatuhan hukumannya wajib menjalani rehabilitasi bila terbukti bersalah, bila tidak terbukti bersalah juga dihukum menjalani rehabilitasi, tutup Anang Iskandar. (sri/rinaldo)