Memudahkan Mahasiswa Membuat Narasi Hukum Terhadap Karya Ilmiah & Penelitian Skripsi Ilmu Hukum
Oleh: Turiman, SH, MHum
(Dosen Fakultas Hukum UNTAN)
BN – Mahasiswa Hukum ketika masuk ke fakultas hukum mereka tidak langsung pembagian bidang hukum tetapi diberikan dasar-dasar ilmu hukum, kemudian pada tahap selanjutnya diberikan dasar dasar yang lebih khusus sesuai bidang hukum pada mata kuliah wajib, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum perdata, hukum internasional, hukum Islam dst.
Hakekatnya adalah dimaksudkan agar mahasiswa hukum memahami konsep konsep dasar dan teori-teori dasar dari ilmu hukum, yang kelak ketika membuat karya ilmiah yang ditugaskan oleh dosen maupun karya akhir skripsi, tesis dan disertasi menjadi mudah menuangkan, walaupun untuk hal ini ada mata kuliah sendiri Metode Penulisan atau Penelitian Hukum, yang sebenarnya hanya satu bagian teknis menulis dan menarasikan sebuah karya ilmiah. Berikut ini dipaparkan sebuah tahapan sederhana untuk memudahkan ketika membuat narasi ilmiah ilmu hukum maupun melatih mahasiswa hukum melakukan diskusi terfokus berkaitan dengan masalah masalah hukum atau membuat karya tulis hukum.
Sebuah hukum tertulis yang selanjutnya dinamakan peraturan perundang-undangan jika kita meminjam analogi teknologi digital, adalah hardware, sedangkan bentuk jabaran yang berupa bentuk peraturan perundangan mulai bentuknya berserta materi muatannya dari level tertinggi sampai pada level terendah yang ada di negara itu adalah softwarenya, sedangkan model penegakannya, implementasinya adalah perangkat aplikasinya, sedangkan manusia yang membuatnya, yang menegakannya atau menggunakannya adalah brainware.
Untuk memudahkan mahasiswa, kita membagi lima tahapan, yakni: 1.Tahap Kategorisasi Hukum, 2.Klarifikasi, 3 Verifikasi Hukum, 4.Validasi Hukum, Falsifikasi Hukum.
Tahap Pertama KATEGORISASI HUKUM
Kategorisasi dalam arti klasik mulai tersedia dalam konteks filsafat ilmu, yakni dalam karya-karya Plato yang memperkenalkan pendekatan mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan kesamaan fitur dalam dialog filsafat ilmu. Pendekatan ini diselami lagi dan disistemkan oleh Aristoteles dalam karya Kategori, yang mana beliau mengupas perbedaan antara kelas dan objek. Aristoteles juga menerapkan skema kategorisasi klasik secara intensif dalam pendekatannya kepada klasifikasi sesuatu, misalnya apakah sesuatu itu bersifat umum atau bersifat khusus.
Menurut pandangan paham Aristoteles yang klasik, bahwa kategori adalah entitas detail yang memiliki sekumpulan sifat tertentu yang dimiliki oleh anggotanya. Dalam filsafat analitik, sifat-sifat ini dianggap sebagai menentukan syarat-syarat yang perlu dan cukup untuk menangkap makna. Menurut pandangan klasik, kategori seharusnya didefinisikan dengan jelas, saling menyisihkan dan menyeluruh secara kolektif. Dengan ini, setiap entitas dari sesuatu obyek yang akan dianalisis, maka dilakukan penjelasan tertentu, tanpa diragukan lagi hanya tertinggal satu kategori yang diusulkan. Dalam dunia modern kategorisasi adalah kita melakukan klasifikasi terhadap obyek yang masih bersifat umum/general yang akan dijadikan obyek analisis yang bersifat khusus.
Berdasarkan pemahaman tentang kategorisasi diatas ketika diaplikasikan dalam bidang hukum, maka kita dapat melakukan kategorisasi hukum, bahwa secara klasik kategorisasi klasik hukum terklasifikasi kedalam hukum publik atau hukum privat, dalam klasifikasi bidang hukum modern bisa multi dimensi, karena dibidang hukum publikpun ada dimensi hukum privatnya, artinya dengan melakukan klasifikasi pada bidang hukum tertentu yang akan kita kaji dan atau riset, misalnya hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dst, perlunya skema kategorisasi hukum.
Ketika sudah dilakukan klasifikasi terhadap kategorisasi hukum, apapun klasifikasi yang dipilih terhadap obyek yang dikaji atau menjadi bahan analisis, selanjutnya kita melakukan skema kategorisasi hukum, sebagaimana kita ketahui bahwa hukum terbagi dua klasifikasi hukum tertulis dan hukum tidak terlulis, ketika kita memilah hukum tertulis dalam kategorisasi hukum, maka proposisinya harus jelas dahulu dan disepakati bersama, bahwa hukum tertulis itu dikonsepkan sebagai peraturan perundang-undangan, itulah hukum yang sudah dikonsepsi dalam norma-norma hukum didalam formulasi norma teks didalam hukum tertulis yang tertera pada salah satu komponennya pasal-pasal dan penjelasannya di dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.
Masih dalam tahap kategorisasi hukum, berkaitan dengan klasifikasi hukum tertulis, yakni peraturan perundang-undangan, maka yang perlu dipahami oleh peminat kajian hukum adalah perlu melakukan pemetaan terhadap pengertian dasar peraturan perundang-undangan dengan memahami terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam proposisi hukum tertulis di Indonesia, konsepsi peraturan peraturan perundang-undangan telah diberikan batasan pengertian. Norma hukum tertulis adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme dan atas dasar kewenangan tertentu. Artinya, norma hukum tertulis diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan norma hukum tertulis.
Berdasarkan teks Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan secara tegas: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, maka dalam melakukan kategorisasi hukum kita melakukan pengelompokan, yang dimaksud pengelompokan disini adalah dihasilkan dari upaya untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan umum digambarkan. Dalam pendekatan ini, kelas-kelas (gugusan atau entitas) mula-mula merumuskan pemberian konsepsinya, kemudian mengklasifikasikan entitas itu menurut pemberian klasifikasi tersebut.
Pada tataran tahap kategorisasi hukum pemberian klasifikasi adalah melakukan struktur hukum tertulis, yakni peraturan perundang-undangan distruktur agar memudahkan ketika membuat konstruksi hukum tertulis dari peraturan perundang-undangan. Pengelompokan dimaksud melalui pemahaman terhadap struktur hukum tertulis dengan memahami terlebih dahulu konsep dan teori hirarki peraturan perundang-undangan yang dibangun konsepsi dari kategorisasi teori norma hukum.
Sistem perundang-undangan dikenal di Indonesia struktur hukum terdapat didalamnya ada suatu hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Jadi hadirnya struktur hukum tertulis-Peraturan Perundang-undangan tentu ada sistemnya yang terstruktur. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam teks Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya terstruktur sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, terdapat peraturan perundangan-undangan yang diluar hierarki sebagaimana dimaksud dalam teks Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Klasul “jenis Peraturan-Perundangan-undangan selain” memberikan makna bahwa diluat pasal 7 terdapat jenis perraturan perundang-undangan walaupun bentuknya tidak terdapat didalam jenis dan hirarki peraturan perundangan, artinya dengan melakukan kategorisasi hukum tertulis/peraturan perundang-undangan, maka dapat diklasififikasi hukum tertulis di Indonesia, yakni ada peraturan perundang-undangan yang kategorinya terdapat didalam hirarki peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang ketagorisasi diluar hirarki peraturan perundang-undangan. Terhadap dua klasifikasi tersebut memiliki kekuatan hukum masing-masing yang berbeda, peraturan perundang-undangan yang kategori terdapat didalam hirarki peraturan perundang-undangan kekuatan hukumnya adalah sesuai dengan hirarki (Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) sedangkan peraturan perundang-undangan kategorinya diluar hirarki kekuatan hukumnya sesuai dengan yang keberadaan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diatasnya dan sesuai kewenangan yang dimiliki oleh pembentuknya (Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
Jadi mahasiswa hukum melakukan klasifikasi apakah mau melakukan konstruksi hukum kategori yang terdapat dalam hirarki atau kategori diluar hirarki peraturan perundang-undangan, agar mudah ketika membuat konstruksi hukum tertulis-peraturan perundang-undangan. Kegiatan apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa hukum adalah pemetaan peraturan perundang-undangan dan secara digital tersedia cukup luas tinggal download dilaman google peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan bahan kajian atau obyek penelitian. Kemudian klasifikasikan sesuai ketegorinya, yakni termasuk kategori pada teks pasal 7 atau kategori pada teks pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, karena kekuatan hukum keberlakukanya berbeda diantara keduanya.
Peraturan Perundang-Undangan
Kategorisasi Pertama
Kategorisasi kedua
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011
Jenis Peraturan Perundang-undangan didalam Hirarki
Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011
Jenis Peraturan Perundang-undangan diluar Hirarki
Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011
Setelah melakukan kategorisasi berdasarkan dua klasifikasi Kategorisasi Hukum Tertulis tersebut di atas, maka kita melakukan model cara pada tahapan kedua, yaitu Klarifikasi hukum, berikut ini.
Tahap Kedua, KLARIFIKASI HUKUM
Makna klarifikasi di KBBI adalah: penjernihan, penjelasan, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya (misalnya tentang komponen karya ilmiah dsb), Pengertian klarifikasi adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan dan penjernihan terhadap masalah tertentu. Definisi klarifikasi adalah suatu tindakan untuk menjelaskan sesuatu secara lebih jelas dan mudah dipahami yang berguna untuk membebaskan sesuatu hal dari ambiguitas.
Tahap klarifikasi dalam hukum dalam hal ini hukum tertulis, yakni peraturan perundang-undangan, maka penjernihan atau kejelasan terhadap bentuk peraturan perundangan dahulu sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan, apakah bentuknya UUD, UU, PP atau Peraturan Presiden, atau Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau yang diluar hirarki peraturan perundang-undangan, apakah bentuknya peraturan menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati, atau peraturan desa. atau yang lebih spesifik misalnya keputusan pejabat yang berwenang, keputusan Presiden, Keputusan menteri, keputusan Gubernur, Keputusan Bupati, Walikota atau keputsuan Kepala Desa atau keputusan badan atau komisi tertentu yang diakui negara. Setelah kita pilih bentuknya, maka klarifikasi terhadap fokus materi muatannya, misalnya pasal ke berapa serta penjelasannya, bagian ke berapa, BAB ke berapa didalam Peraturan Perundang-undangan dan dipahami subtansinya materi norma mengatur tentang sesuatu hal, dan patut dipahami bahwa sebuah pasal didalam peraturan perundang-undangan tidak berdiri sendiri tetapi terhubung dengan materi muatan pasal pasal lain, dan patut dipahami dalam klarifikasi hukum tertulis ini kita tak boleh abaikan penjelasan dari pasal-pasal tersebut.
Perlu diingat, bahwa penjabaran pasal-pasal dalam materi muatan peraturan perundang-undangan disusun dari latar belakang konsideran dan biasanya latar belakang dari suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tertentu dijelaskan latar belakang terhadap tujuan dibuatnya. Untuk memahami baca di bagian Penjelasan Umum sebelum penjelasan pasal pasal setelah ketentuan penutup dipaparkan latar belakang dari sebuah regulasi yang telah diberlakukan, artinya mahasiswa memahami mengapa peraturan perundang-undangan ini dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Bahasa yang dinarasikan atau dipaparkan dalam penjelasan umum sebenarnya memudahkan mahasiswa hukum membuat prolog didalam bagian latar belakang karya tulis ilmiah hukum atau memudahkan menarasikan untuk paparan dari latar belakang penulisan atau penelitian, karena diksinya terpilih sebagai narasi sudah bentuk bahasa hukum. Kemudian dalam tahap klarifikasi ini, untuk penjernihan suatu terminologi yang dipilih menjadi fokus masalah mahasiswa bisa mengambil pengertian yang telah disediakan dalam BAB Ketentuan Umum biasa dicantumkan secara limitative pada pasal 1 dengan point angka, dan patut diketahui, bahwa definisi yang terdapat didalam ketentuan umum itulah dalam ilmu perundang-undangan kelak dijabarkan didalam materi muatan peraturan perundang-undangan atau dirumuskan dalam pasal-pasal yang berada dibatang tubuh peraturan perundang-undangan dan kemudian jika tidak jelas, dimuat dalam penjelasan pasal.
Misalnya kita akan membahas otonomi daerah, maka definisi otonomi daerah sudah tersedia didalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, yakni bisa dilihat di ketentuan umum peraturan perundang-undangan.
Klarifikasi ini menjadi penting, dan berguna untuk menyusun konstruksi hukum tertulis yang menjadi fokus, dengan maksud kajiannya agar terfokus untuk menghindari ambiguitas, jika perlu membuat tabel norma peraturan perundang-undangan sesuai dengan struktur hirarki peraturan perundang-undangan maupun yang diluar hirarki peraturan perundang-undangan,seperti tabel diatas, sehingga memperoleh penjelasan dan penjernihan terhadap masalah tertentu yang akan dijadikan obyek analisis kajian atau riset penelitian hukum. Inilah yang disebut struktur konstruksi hukum, karena asumsi ilmiahnya satu pasal tidak mungkin berdiri sendiri tetapi terhubung dengan pasal-pasal lain, bahkan bisa terjadi lintas pasal antar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Struktur Konstruksi hukum akan mudah ditelusuri oleh mahasiswa hukum, dengan melihat konsideran, menimbang dan mengingat yang menjadi dasar terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan itu dibentuk atau asal muasalnya. Konstruksi Hukum tentu dibuat berdasarkan hirarki peraturan perundangan-undangan, tetapi jika yang akan diacu jenis peraturan perundang-undangan diluar hirarki, misalnya jenisnya atau bentuknya Peraturan Menteri, atau Peraturan Presiden, maka perlu ditelusuri lebih dahulu peraturan tersebut dibentuk atas amanah atau perintah peraturan perundang-undangan yang menjadi sumbernya. Inilah pentingan membuat struktur konstruksi hukum.
Tabel pasal sebenarnya bisa dibuat oleh mahasiswa hukum dari norma yang umum yang terdapat diketentuan umum, maupun norma yang khusus di dalam pasal-pasal serta penjelasannya dibatang tubuh peraturan perundang-undangan, dengan memperhatikan kategorisasi bentuk peraturan perundang-undangan, misalnya pasal-pasal Undang-Undang dengan pasal Undang-Undang, pasal Peraturan Pemerintah dengan pasal Peraturan Pemerintah dst, sehingga tersusun struktur konstruksi hukum tertulis secara terstruktur.
Tahap Ketiga, VERIFIKASI HUKUM
Verifikasi merupakan proses membangun kebenaran, akurasi atau validitas sesuatu. Verifikasi juga bisa diartikan sebagai perbandingan dua atau lebih item, atau penggunaan tes tambahan, untuk memastikan keakuratan, kebenaran, atau kebenaran informasi. Proses verifikasi ini biasanya diperlukan untuk mengukur kebenaran dan kompatibilitas satu sama lain.
Pada tataran verifikasi hukum, yang dimaksudkan verifikasi adalah menghubungkan tataran normatif peraturan perundang-undangan dengan fakta atau realitas peristiwa hukum atau tindakan hukum tertulis dalam penegakannya atau implementasinya. Jadi materi muatan yang terumuskan dalam pasal-pasal didalam peraturan perundangan, sejatinya teks yang dikategorisakan secara ilmiah dalam filsafat ilmu sebagai Das Sollen, yang seharusnya atau tataran fiksi yang belum tiba fakta hukum didalam realitasnya atau disebut Das Sein, selanjutnya Das Solen dihubungkan dengan tataran realitas Das Sein terhadap teks pasal-pasal dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Realitas tersebut dikategorikan secara filsafat ilmu sebagai das sein atau kenyataannya atau fakta hukum, dan ketika ada kesenjangan, bertentangan, ketidak sesuaian atau belum terlaksana, belum terimplementasi itulah yang disebut masalah dari fakta hukum tertulis, karena ada masalah antara das solen dengan das sein.
Tentu untuk ini mahasiswa hukum melakukan tahap verifikasi hukum, tentunya juga perlu ada data yang bisa diverifikasi kebenarannya, akurasinya dan validitasnya dengan suatu proses dengan ukuran atau tolok ukur yang digunakan baik ukuran yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan atau ukuran berdasarkan doktrin yang tersedia didalam ilmu hukum yang kelak dipilih menjadi pisau analisis pada tahapan selanjutnya yaitu tahapan validasi, patut dipahami tahap verifikasi hukum ini dibangun dari proses dua tahap terdahulu yakni tahap kategorisasi hukum atau tahap klasifikasi hukum, sehingga pada tahap verifikasi hukum ini sudah bisa dirumuskan dalam bentuk rumusan masalah hukumnya baik dalam rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan apa, bagaimana, atau mengapa atau pernyataan.
Verifikasi hukum ini bisa berangkat asalnya dari hasil penelitian hukum dengan fokus masalah yang berbeda dengan yang akan diteliti oleh penulis/peneliti, atau problematika hukum baru berdasarkan pra penelitian, atau sebuah kasus hukum yang menjadi perbincangan publik, atau keputusan peradilan atau hasil seminar dan diskusi terfokus dari nara sumber. Yang terpenting ada problematika antara tataran normatif didalam peraturan perundang-undangan dengan fakta yang diketemukan, artinya ada data pra penelitian.
Tahap Keempat, VALIDASI HUKUM
Pada tataran hukum tertulis, yakni peraturan perundang-undangan, maka validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument hukum dalam hal ini teks peraturan perundangan yang sudah dilakukan pada tahap sebelumnya, sehingga dikatakan atau dianggap valid apabila mampu mengukur antara das solen yang terdapat dalam teks peraturan prundang-undangan dengan das sein, kenyataan dari realitas teks norma tersebut atau fakta hukum. Untuk mengukurnya tergantung kajian atau penelitiannya diklasifikasi lebih dahulu apakah akan melakukan analisis normatif dalam arti tataran das solen atau analisis empirik tataran das sein atau kombinasi keduanya, oleh karena konstruksi hukumnya harus detail dan jelas serta sistimatis.
Validasi hukum tertulis tentunya terlebih dahulu struktur peraturan perundang-undangan akan disusun menjadi konstruksi hukum tertulis secara hirarki didalam peraturan perundang-undangan dan atau konstruksi hukum tertulis diluar hirarki peraturan perundang-undangan, atau gabungan keduanya, sehingga jelas konstruksi hukum tertulisnya,guna memudahkan untuk menggunakan ukuran untuk melakukan validasi hukum terhadap suatu fakta hukum dihubungkan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan.
Untuk melakukan validasi dibutuhkan data primer dan data sekunder yang didapat dari prosedur metodologi penelitian ataupun teknik pengumpulan data-data tersebut dan apakah akan dilakukan analisis pola deduktif dari umum ke khusus atau pola induktif dari khusus ke umum dalam rancangan analisis karya ilmiahnya. Pada umumnya penulisan karya ilmu hukum menggunakan model kualitatif dengan analisis deduktif, walaupun ada ditampilkan angka angka dalam tabel yang didapat dari data empirik hanyalah terfokus pada deskripsi dari hasil data di lapangan, namun ketika menarasikan data-data tabel perlu dihubungkan atau dikorelasikan dengan norma-norma didalam teks yang terdapat didalam materi muatan peraturan perundang-undangan, artinya data yang sudah dideskripsikan oleh penulis harus dianalisis dengan teks-teks norma yang tertulis dari pemaknaan terhadap pasal-pasal yang sudah dibuat konstruksi hukum pada tahap sebelumnya. Pada tahapan ini diperlukan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kelak dilakukan pada tahap falsifikasi berikut ini. Yang sering terjadi dalam narasi hasil penelitian mahasiswa hukum adalah hanya sekedar mendeskripsikan materi yang terdapat ditabel kemudian menyusun hubungan antara tabel-tabel, tetapi tidak melakukan analisis hukum dan analisis teori yang sudah dipilih pada kerangka teoritik, jadi terkesan sekedar “ditempelkan: saja teori tersebut, tetapi tidak digunakan ketika melakukan analisis fakta hukumnya, walaupun data-data yang ditampilkan valid, oleh karena itu perlu melakukan tahap kelima, yakni falsifikasi hukum.
Tahap Kelima, FALSIFIKASI HUKUM
Falsifikasi adalah kebalikan dari verifivikasi, yaitu pengguguran teori teori lewat fakta fakta atau menguaatkan teori-teori tersebut dengan cara terlebih dahulu menentukan kerangka teoretik yang digunakan dalam penelitian atau narasi ilmiah. Artinya teori yang digunakan adalah menjadi pisau analisis terhadap teks normatif yang telah disandingkan dengan fakta yang telah didapatkan didalam proses tahap validasi hukum, gunakan untuk membuktikan fakta hukum dihadapkan dengan teks norma hukum tertulis yang sifat fiktif, ingat asumsi umum dalam dunia ilmu hukum berlaku teori fiksi hukum, karena faktanya belum tiba. Bahwa teks norma tersebut bisa saja pada tataran realitas belum selaras, belum terimplementasi, belum terlaksana dan atau memang didalam teks norma tersebut terdapat masalah pada tataran sinkronisasi horizontal atau vertikal didalam materi muatan peraturan perundang-undangan antar teks antara pasal atau antara asas asas maupun fakta hukum, bahwa teks normatif peraturan perundang-undangan belum dipatuhi dalam tataran realitas ketika diimplementasikan, diterapkan.ditegakan, dilaksanakan oleh institusi pelaksana,yakni pemegang kewenangan atau penegak hukum.
Perlunya tahap falsifikasi dalam hukum tertulis, dikarenakan teori teori bisa saja sudah tidak relevan perlunya dibangun asumsi-asumsi baru terhadap teori tersebut atau tetap bertahan dengan asumsi asumsi lama dari teori-teori tersebut. Sehingga kerangka teori tidak sekedar dipaparkan atau “ditempel” dalam karya ilmiah, tetapi tidak atau belum digunakan untuk menganalisis yang telah dipaparkan di dalam proses pada tahapan validitas hukum sebelumnya. Biasa data atau fakta hukum tersedia tetapi analisis “tak bunyi “ hanya sekedar deskripsi data dan fakta, artinya sekedar menggambarkan adanya fakta hukum yang berupa data dan fakta hukum yang sudah divalidasi, namun belum dilakukan analisis melalui struktur konstruksi hukum yang sudah disusun dan analisis dengan teori yang sudah ditetapkan oleh mahasiswa, peneliti, penulis karya ilmiah hukum.
Apabila ada analisis biasanya yang terjadi pada tahapan falsifikasi ini para peneliti atau narasi hukum yang dibuat oleh mahasiswa fakultas hukum kurang tajam dalam melakukan analisis baik itu analisis kualitatif atau analisis kuantitatif. Sering terjadi kerangka Teori “tak bunyi” atau “sekedar ditempelkan dikarya tulis” tetapi tak digunakan hanya sekedar narasi teoretik. Mengapa terjadi demikian, karena empat tahap sebelumnya, yaitu kategorisasi hukum, klarifikasi hukum, verifikasi hukum dan validasi hukum belum dilakukan secara detail dan terstruktur atau sistimatis, atau bangunan struktur konstruksi hukum yang disusun tidak atau belum jelas karena terjadi “lompatan tahapan” sehingga menjadi “kendala” melakukan falsifikasi hukum atau bisa jadi teori hukum yang digunakan belum tepat terhadap masalah hukum yang diajukan, disinilah pentingan penalaran hukum, membaca dibalik tersurat dan tersirat dibalik teks hukum tertulis dan fakta hukum yang didapatkan terhadap obyek yang menjadi fokus kajian atau penelitian hukum.
Lima tahap tersebut sangat penting bagi mahasiswa fakultas hukum, ketika menulis karya Ilmiah atau diskusi terfokus masalah hukum tertulis, oleh karena itu sering ditemukan pada latar belakang karya ilmiah identifikasi masalah atau fokus atau obyek penelitian atau yang akan dikaji belum jelas, akibatnya ketika membuat perumusan masalah belum selaras dengan identifikasi masalah hukumnya. Sering terjebak dengan mencari “ Judul dahulu” dalam membuat karya ilmiah padahal yang penting adalah topik dan fokus yang akan dijadikan analisis dan deskripsi problematika hukumnya, karena judul sejatinya adalah proposisi dari sebuah problematika antara teks norma yang sifatnya fiktif hukum, karena fakta hukumnya belum tiba baru mau diteliti atau dikaji pada narasi hukum didalam tahapan verifikasi hukum. Baru mendapatkan fakta hukum setelah tahapan validasi hukum dan baru menjadi deskripsi analisis ketika melakukan paparan narasi hukum sebelum masuk pada tahapan falsifikasi hukum, oleh karena pemahaman terhadap teori-teori hukum menjadi penting dan sangat mendasar oleh mahasiswa hukum pada semester-semester awal dan ketika mata kuliah wajib ilmu hukum. Ketika lima tahap ini dilakukan dengan smart oleh mahasiswa hukum dalam diskusi terfokus atau membuat karya ilmiah berupa makalah, skripsi, tesis dan disertasi, maka penarikan kesimpulan dan saran-saran menjadi mudah untuk dirumuskan, karena sesungguhnya kesimpulan hanya menegaskan proposisi judul dan menjawab rumusan masalahnya dan saran saran sesungguhnya menegaskan proposisi dari tujuan dan maksud penelitian dari sebuah makalah terhadap sebuah karya ilmiah hukum. ( red )