MENCEGAH TKI NONPROSEDURAL
JAKARTA – Dirjen Imigrasi Kemenkumham Dr. Ronny F Sompie mengatakan Untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) telah menjadi pilihan dari sebagaian masyarakat Indonesia di penjuru tanah air sejak 1980-an di tengah keterbatasan lapangan kerja dan himpitan kebutuhan ekonomi. Bekerja tanpa keahlianpun (unskill) pada era tersebut tidak menjadi masalah. Asal mau bekerja dan telaten, tidak sedikit para pekerja unskill ini berhasil, pulang membawa rezeki keluarga dan sebagian modal bagi kehidupan selanjutnya di Indonesia selepas tidak menjadi TKI lagi.
Tak heran, mau menjadi pembantu dan sopir di negara Timur Tengah dan sebagian Asia, pekerja perkebun dan peladang serta tukang di Semenanjung Malaysia dan Brunai menjadi pilihan era tahun 1980an.
Sedikit bergeser kemudian pada tahun 1990 s.d. 2000an, era pekerja TKI telah memasuki midlle skill yang ditandai dengan minat bekerja pada sektor industri seperti pabrik di Jepang, Korea Selatan dan lainnya. Meski telah memasuki era mengirim TKI dengan latar belakang pendidikan dan juga keahlian yang lebih baik dari sebelumnya (era 1980an), masih juga tidak mengurangi minat bekerja dengan bekal keahlian apa adanya di negara orang. Ini tak lepas dari demand and supply yang terus ada, dan tidak kalah penting adalah bisnis mengirim tenaga kerja adalah bisnis yang menguntungkan dan amat gurih bagi para pelaku terkait. Tumbuhnya perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) dan perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) cukup marak dapat diindikasikan hal terkait ini. Pengiriman TKI dilakukan tidak lagi dengan pendekatan kesejahteraan tetapi dapat dikatakan cukup dominan dengan pendekatan bisnis menguntungkan bagi pelaku.
Tiada heran karenanya tahapan pengiriman TKI seperti seleksi keahlian, pembekalan dan pelatihan seperti hanya menjadi formalitas belaka dan tidak menjadi prioritas sebagai bekal dan alat perlindungan mereka di luar negeri. Karenanya selain keterbatasan keahlian, saat ditanya isi perjanjian kerja (PK) berapa gaji, hak dan kewajiban hanya terjawab oleh “pengeritan dahi dan mengangkat bahu” menandakan tak memahami hal ini.
Pendekatan penting untuk “bisa berangkat dan bekerja”oleh pengerah TKI beserta iming-iming gaji saat bekerja di luar negeri serta imbalan sejumlah uang menjadi cara membujuk rayu untuk seseorang mau menjadi TKI yang pada akhirnya menjadi keuntungan si pengirim/pengerah tenaga kerja. Identitas sebagai pilar perlindungan vital sesorang menjadi tidak berharganya. Demi bisa memberangkatkan seorang TKI, data dan identitas diri diubah, seperti menjadi hal yang biasa sekali dan dirasakan tidak akan menjadi masalah.
Sehingga tidak heran dapat dikatakan umumnya bahwa TKI kita khususnya sektor informal, selain amat rentan untuk dieksploitasi, intimidasi dan diskriminasi, juga sulit mendapatkan perlindungan yang optimal di luar negeri dikarenakan data yang tidak akurat. Bahkan ketika wafatjenazah para TKI tersebut sulit untuk dikembalikan ke tanah air, Karena alamat dan identitas yang sudah tidak sesuai dengan sebenarnya.
Pengerahan TKI beberapa tahun terakhir 2016 dan di era akhir tahun 2000an secara umum banyak perbaikan dari instansi terkait, namun juga tidak kalah pintar PJKTI/PPTKIS ilegal mencari celah pengiriman yang tidak berbelit, mudah dah memberikan keuntungan dari pengiriman TKI yang sebetulnya tidak sedikit bernuansa memperdagangkan orang atau menyelundupkan manusia.
Lalu Muhammad Iqbal Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri menyampaikan ada lebih 600 TKI bermasalah yang ditampung oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri setiap harinya, dan sebanyak 90 persen dari mereka yang ditampung di Shelter dalam dua tahun terakhir adalah buruh migran non prosedural (sumber: Tempo.com, 17 Maret 2017). Indikator ini sedikit banyak mencerminkan wajah penanganan TKI kita bermasalah yang secara kuantitatif bisa dikatakan tinggi.
Faktanya yang ada pengiriman seseorang untuk bekerja di luar negeri tidak hanya melalui jalur bekerja resmi di Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Salah satu modus adalah melalui umroh ke Saudi Arabia yang ditempuh khusus. Keberadaan dua kota suci Makkah dan Madinah adalah salah satu pull factor (factor penarik) bagi WNI yang beragama Islam untukbekerja di Saudi Arabia dan melakukan ibadah haji sebagai salah satu kewajiban (rukun). Tentunya cara ini tidak melalui mekanisme bekerja resmi pada instansi terkait namun melalui jalur perusahaan pengerah ibadah umrah (PPIU) ilega yang belum terdaftar secara resmi oleh Kementerian terkait. Pelaku pengerah ibadah umrah berdalih tidak bisa melarang seseorang untuk beribadah dan wajib hukumnya membantu, walau di sisi lain mereka juga paham jaringan mana di Saudi Arabia khususnya Makkah dan Madinah sekitarnya yangmemanfaatkannya untuk mempekerjakan mereka.
Para korban ini kemudian menjadi bagian dari pekerjaan rumah Perwakilan Republik Indonesia di Saudi Arabia baik KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah. KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah terkesan hanya menjadi Perwakilan Republik Indonesia yang hari-harinya memproses pendeportasian/pemulangan WNI Bermasalah (WNI-B).Berdasarkan data pendeportasian/pemulangan WNI-B di KJRI Jeddah pada tahun 2006 dipulangkan 23,151 orang, 2007 dipulangkan 24,834 orang dan 2008 dipulangkan 23.921. Sedangkan pada periode 3 tahun terakhir yaitu 2014 dipulangkan 20,274 orang, 2015 dipulangkan 12,408 dan 2016 dipulangkan yaitu 8.162. Dilihat dari trend yang ada terdapat penurunan jumlah pemulangan TKI bermasalah sejak tahun 2014 salah satu sebabnya adalah kebijakan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, namun demikian tetap saja masih terjadi modus penggunaan jalur umrah yang diketahui bekerja ilegal atau nonprosedural. Penyebab lainnya adalah adanya kebijakan dari Pemerintah Saudi Arabia tahun 2016 terkait sanksi SR 15.000 (lima belas Saudi Riyal) atau sekitar Rp. 51.000.000,- (lima puluh satu juta rupiah) kepada warga negara asing yang akan meninggalkan Saudi Arabia setelah visanya habis berlaku dan dideportasi. Dampak lain dari kebijakan tersebut adalah para WNI overstayer yang bekerja ilegal ini berupaya mengamankan dirinya masing-masing untuk tidak tertangkap dan dideportasi dengan cara bersembunyi dari kejaran petugas imigrasi Kerajaan Saudi Arabia.
Maraknya TKI non prosedural mengutip definsi dari instansi terkait ketenagakerjaan, yang dimaksud Tenaga Kerja Indonesia non-prosedural adalah setiap warga negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri tanpa melalui mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud ketentuan ini antara lain adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri beserta peraturan teknis lainnya baik oleh Kementerian Ketenagakerjaan maupun BNP2TKI.Mendasarkan definisi ini maka siapapun WNI yang akan bekerja di luar negeri wajib memiliki Perjanjian Kerja (PK), perusahaan yang mempekerjakan di luar negeri memiliki job order, terdaftar dalam e-KTKLN, dan ketentuan ketenagakerjaan serta penempatan dan perlindungan lainnya.
Setelah sekian waktu pemasalahan ketenagakerjaan TKI yang dipenuhi warna sejumlah kasus kekerasan, perlakukan tidak sewenang-wenang majikan baik fisik, psikis, gaji tidak terbayar hingga hak cuti terabaikan, dan masalah pidana dari ringan hingga berat (ket: pidana mati/=Qishas), Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan moratorium penghentian dan pelarangan penempatan tenaga kerja Indonesia pada pengguna perseorangan rumah tangga ke 21 negara di Timur Tengah yang mulai diberlakukan pada 1 Juli 2015 melaluiKeputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015.Sebelumnya Pemerintah juga telah mengeluarkan moratorium yang sama untuk Malaysia (2009) dan Saudi Arabia (2011) atas pertimbangan yang sama, dikarenakan banyaknya jumlah kasus kekerasan yang dialami TKI di negara penempatan, sehingga moratorium yang dikeluarkan adalah untuk tujuan melakukan perlindungan TKI di negara-negara yang kerap bermasalah, merendahkan kemanusiaan dan martabat Indonesia di dunia Internasional.
Cukupkah moratorium ini menghentikan datangnya TKI non prosedural? Pertanyaan mengemukan yang terus dikaitkan perkembangan temuan masuknya TKI non prosedural ke luar negeri. Temuan kasus banyaknya WNI pemegang Visa Ziarah yang dipekerjakan di wilayah akreditasi KBRI Riyadh yang bermasalah atau diketahui saat akan memohon penggantian Paspor, serta temuan hampir 2000 TKI diketahui dipekerjakan Syarikah ”T” dengan visa kerja sebagai Cleaning Servicetanpa adanya job order dan dipekerjakan di sektor rumah tangga, serta menghilangnya atau tidak kembalinya sejumlah jamaah umrah pada batas waktu akhir visa dan diduga dipekerjakan ilegal merupakan antara lain indikasi masih adanya TKI yang dikirim secara non prosedural. Ibarat hukum ekonomi, “makin langka yang dicari akan makin mahal pula harganya, makin banyak cara dan upaya mendapatkannya”.Si penggunapun tidak segan akan membayar harga mahal yang penting mendapatkannya, dan si pengirim makin menjual harga.
Pola baru visa Ziarah diyakini bukan hanya di Timur Tengah saja, tetapi juga negara pengguna TKI lainnya dalam kebijakan moratorium. Pengurusan tidak lagi terpusat di negara Indonesia namun sudah tersebar melalui negara ketiga. Si calon TKI terlebih dahulu dikirim ke negara ketiga, transit dan pengurusan visa baru kemudian ke negara tujuan. Selain memudahkan pengurusan dokumen perjalanan pada awalnya dengan alasan kunjungan keluarga atau turis, juga untuk menghilangkan jejak rekam perlintasan keimigrasian dan juga upaya menghindarkan jejak pelaku atas jeratan hukum negara Indonesia dan/atau penangkapan pejabat berwenang. Adapun pola jamaah umrah menghilang atau tidak kembali pada batas waktu akhir visa dan diduga dipekerjakan ilegal dalam waktu tertentu merupakan pola lama yang memanfaatkan kebijakan terbukanya kesempatan beribadah umrah bagi warga negara manapun di Saudi Arabia.
TKI non prosedural bukan hanya di negara Timur Tengah, tetapi juga negara tetangga yang amat memanfaatkan. Kalaupun sulit melalui jalur resmi, dengan memanfaatkan panjangnya geografis perbatasan negara dan karakteristik negara berpulau yang berbatasan dengan negara tetangga, jalan tikuspun seolah disediakan untuk jaringan ini.
Untuk penanganan terpadu yaitu Beberapa waktu lalu Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur berhasil menggagalkan pengiriman 45 calon buruh migran perempuan ke luar negeri oleh PJTKI illegal di Kediri (Tempo, 3 Maret 2017), disusul Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM yang merilis upaya pencegahan TKI non prosedural dalam periode Januari hingga minggu I Maret 2017 melalui penolakan pemberian Paspor RI di Kantor Imigrasi seluruh Indonesia bagi WNI yang diduga akan bekerja non prosedural sejumlah 1387 kasus, dan pencegahan keberangkatan keluar negeri untuk dugaan WNI juga bekerja secara non prosedural di perlintasan Tempat Pemeriksaan Imgrasi (TPI) baik udara, laut dan darat untuk sejumlah 248 kasus. Tidak hanya itu pencanangan pencegahan TKI Non prosedural ini menjadi program prioritas serempak melalui kebijakan pengetatan pengawasan keimigrasian pada proses penerbitan Paspor RI dan pemeriksaan perlintasan keberangkatan WNI keluar negeri dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-0277.GR.02.06 Tahun 2017 tanggal 24 Februari 2017 tentang Pencegahan Tenaga Kerja Indonesia Non Prosedural. Seiring itu Kementerian Agama melalui Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah juga menerbitkan Surat Edaran Nomor B-7001/DJ.II/Hk.005/03/2017 tanggal 7 Maret 2017, dan juga Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melalui Deputi Penempatan menerbitkan surat Nomor B.79/PEN-KVPD/III/2017 tanggal 03 Maret 2017 hal Permohonan Layanan Paspor RI untuk CTKI. Menariknya ketiga institusi ini melakukan pendekatan bersama untuk mencegah terjadinya TKI Non Prosedural, yang artinya adanya kesadaran prinsip bahwa permasalahan TKI Non Prosedural ini sudah dalam taraf yang membahayakan, bisa masuk dari celah lini bahkan melalui ibadah agama. Menjadi positif pula sebuah kesadaran bahwa penanganan ini tidak dapat dilakukan terpisah atau masing-masing tanpa keterpaduan satu dengan lainnya antar Kementerian Lembaga (K/L)
Terlepas saat ini pro kontra mengenai adanya tambahan ketentuan dalam proses wawancara permohonan Paspor RIuntuk meminta kelengkapan kemampuan keuangan dalam bentuk rekening bank dengan saldo sekurang-kurangnya Rp. 25 juta bagi WNI yang diduga kuat akan bekerja keluar negeri tidak sesuai ketentuan dengan alasan wisata mendapatkan kritikan. Elok Dyah Messawati pendiri Backpaker Dunia (BD) menilai kebijakan merugikan bagi mereka yang akan menyalurkan hobby ke luar negeri dan Tulus Abadi Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutnya sebagai kebijakan kontradiktif (Republika, 19 Maret 2017).Perlu dipahami latar belakang kebijakan ini yang secara mendasar dilandasi keinginan melindungi WNI untuk tidak menjadi korban dalam jaringan pengiriman TKI non prosedural ini yang saat memohon Paspor beralasan hanya untuk sekedar berwisata atau ziarah. “Secara prinsip kebijakan ini hanya ditujukan bagi mereka yang dicurigai, tidak berlaku umum”, tegas Agung Sampurno Kepala Bagian Humas DIrektorat Jenderal Imigrasi (nasional.kompas.com, 18 Maret 2017). Hal senada disampaikan Muhammad Hanif Dakhiri Menteri Ketenagakerjaan, “kebijakan ini bertujuan untuk mencegah perdagangan manusia dan TKI non prosedural, dan ini hanya bagi yang terindikasi saja” (regional.kompas.com, 17 Maret 2017). Satu hal terkait ini adalah rasa kekompakan bersama semangat upaya mencegah TKI nonprosedural tersebut pada tahapan proses Paspor RI.
Semangat pencegahan dan penanganan ini kemudian dikuatkan dalam wujud kongkrit dengan akan formulasikannya Perjanjian Kerja Sama antar instansi, yang terdiri dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, Kepolisian RI dan TNI. Lingkup kerjasama strategis dibangun dalam pertukaran data dan informasi, kerjasama pengembangan kesisteman dan integrasi, sosialisasi/diseminasi/publikasi, verifikasi dan validasi dokumen, pengawasan keberangkatan TKI nonproseduraluntuk keperluan ibadah haji khusus/umrah/ziarah/kunjungan, penanganan tindak lanjut atas temuan kasus/permasalahan dan penegakan hukum. Memang belum usai penyusunan kerjasama antar K/L ini, namun positif adanya visi dan misi untuk satu tujuan yaitu tidak lagi ada WNI yang dipekerjakan non prosedural di luar negeri (sumber: Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, 07 Maret 2017).
Selain penanganan terpadu ini, tidak juga dilupakan menjadikan program edukasi masyarakat dalam pencegahan TKI non prosedural yang dilaksanakan K/L dan dapat menggandeng Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang mempunyai Penyuluh Hukum di semua provinsi.
Perubahan Mindset Penanganan TKI non Prosedural
Penanganan terbaik adalah pencegahan di hulu, begitu semangat rembugan instansi terkait yang saat ini tengah memformulasikan konsep pencegahan TKI non prosedural antar K/L dan terpadu. Sudah cukup lama beban penanganan ketika permasalahan TKI non prosedural dan dampak lainnya terjadi ketika sudah di luar negeri oleh Perwakilan Republik Indonesia. Pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri tidak sedikit menganggarkan dalam APBN maupun APBNP pemulangan TKI non prosedural ini melalui kerangka pemulangan WNI Bermasalah (WNI-B) tiap tahunnya, khususnya untuk negara yang menjadi titik rentan TKI bermasalah khususnya seperti Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Qatar dan lainnya). Melindungi segenap bangsa memang merupakan amanat Konstitusi Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dan memberikan perlindungan WNI dalam kondisi apapun merupakan perintah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sangat disadari betul oleh negara ini. Namun ironisnya di sisi lain para pengirim TKI non prosedural tidak sedikit yang menikmati betul dengan memanfaatkan perhatian bangsa atau pemerintah untuk melindungi WNI-nya termasuk mereka yang terjerat sebagai TKI non prosedural.
Para sindikat perdagangan orang seolah tahu dan paham, bahwa tiap tahunnya dan kapan waktunya Pemerintah RI akan turun tangan untuk membiayai pemulangan WNI-B kita, sehingga tahu kapan juga mereka harus bergerak dan meloloskan bagaimanapun caranya untuk TKI nonproseduralini dan segera mendapatkan bayaran keuntungan dari negara yang dituju. Setelah itu apabila ada masalah, “serahkan saja kepada Perwakilan RI dan Pemerintah”, mungkin begitu pikirnya.
Harapan
Strategi menanggulangi di hulu, di dalam negeri akan sangat jauh lebih baik dari pada jika sudah terjadi di luar negeri. Lebih baik anggaran penanggulangan dan/atau pemulangan WNI-B ini kemudian dapat dialihkan pada sektor mikro untuk membuka lapangan kerja baru di Indonesia, atau pemberdayaan untuk menjadi eks TKI mandiri.
Cukup sudah cerita 21 TKI asal NTT yang mana 19 ilegal dan hanya 2 yang sah meninggal saat bekerja di Malaysia dalam 2 bulan ini (Intisari dan Tribunnews, 19 Maret 2017), atau kisah Sarafiah TKI asal Dompu, NTB pemegang Paspor pelancong dan menjadi korban perdagangan manusia atau trafficking yang dibunuh majikannya di Dubai, UEA (Tempo.co, 16 Maret 2017). Jangan lagi biarkan para pelaku menari ditengah derita para TKI nonprosedural yang dikirim atau sulitnya pemerintah memberikan perlindungan bagi mereka. Lalu Muhammad Iqbal Direktur Pelindungan WNI dan BHI mengingatkan bahwa “Keberangkatan buruh migran tanpa prosedur yang tepat bisa membahayakan keselematan. Selain rentan eksploitasi, juga Kementerian Luar Negeripun kesulitan membantu penyelesaian masalah para buruh nonprosedural”.
Kementerian Luar Negeri dalam minggu ini di Bandung tanggal 17-20 Maret 2017 menginisiasikan Forum Group Discussion (FGD) membahas Tinjauan Implementasi Kebijakan Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah serta Praktek Pengiriman TKI secara Non Prosedural ke Kawasan Timur Tengah yang diikuti K/L terkait dan Perwakilan Republik Indonesia di Timur Tengah. Kita berharap upaya seperti ini dapat segera memberikan kontribusi percepatan permasalahan dan pencegahan TKI non prosedural.(Sri S)