Modul Pendidikan Pancasila Berbasis Paradigma Perisai Pancasila”Berthawaf” “Gilir Balik” Untuk Mahasiswa

Modul Pendidikan Pancasila Berbasis Paradigma Perisai Pancasila”Berthawaf” “Gilir Balik” Untuk Mahasiswa

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

Staf Khusus DPD RI Syarif Melvin AlKadrie, SH Dapil Kalimantan Barat

BN – Disusun untuk Mendukung Pembinaan Ideologi Pancasila dan Penguatan Karakter Kebangsaan
Pendahuluan
Pendidikan Pancasila adalah fondasi utama untuk membentuk karakter mahasiswa sebagai warga negara yang berintegritas, berkeadilan, dan berkepribadian Indonesia. Dalam modul ini, Pancasila tidak hanya dipelajari sebagai teori statis, tetapi sebagai sistem nilai hidup yang terus bergerak dan berkembang — seperti pola berthawaf dalam pembacaan Perisai Pancasila yang dirancang oleh Sultan Hamid II.
Paradigma ini mengajarkan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara adalah proses dinamis, di mana setiap sila Pancasila saling menguatkan dalam gerakan melingkar yang abadi — membawa bangsa ini menuju keadilan sosial yang berkelanjutan.
Struktur Modul
Bab 1: Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara
Sejarah Lahirnya Pancasila (Sidang BPUPKI, Peran Tokoh Bangsa)
Penetapan Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Nilai-Nilai Universal dalam Pancasila
Refleksi Mahasiswa: Bagaimana Pancasila bisa menjadi panduan moral di tengah tantangan global saat ini?
Bab 2: Lambang Negara dan Semiotika Perisai Pancasila
Sejarah Perancangan Lambang Negara oleh Sultan Hamid II
Makna Simbolik Elang Rajawali-Garuda Pancasila
Perisai Pancasila dan Pola Berthawaf dalam Struktur Ideologi Bangsa

Studi Kasus: Mengapa pembacaan Perisai Pancasila secara melingkar (berthawaf) lebih sesuai dengan jiwa kolektif bangsa Indonesia daripada struktur piramida hierarkis?
Bab 3: Paradigma Hukum Berthawaf dalam Kehidupan Bernegara
Pasal 48 Ayat 2 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Lambang Negara
Hukum sebagai proses berkelanjutan (bukan finalitas absolut)
Dinamika Relasi Antarsila: Ketuhanan sebagai poros, Keadilan sebagai orbit luar
Diskusi Kelas: Bagaimana konsep berthawaf bisa memperbaiki praktik hukum dan kebijakan publik di Indonesia?
Bab 4: Pancasila dan Kearifan Lokal Nusantara
Pola Berpikir Siklis dalam Budaya Indonesia (Melayu, Jawa, Bugis, Dayak)
Falsafah Gotong Royong sebagai representasi gerak melingkar
Musyawarah untuk Mufakat: Proses Dinamis Menuju Keseimbangan Sosial
Tugas Mandiri: Jelaskan bagaimana kearifan lokal daerah asal mahasiswa mencerminkan nilai-nilai Pancasila yang hidup!
Bab 5: Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Mahasiswa
Etika Berorganisasi Berbasis Nilai Pancasila
Pancasila sebagai Landasan Gerakan Sosial dan Ekologi
Membumikan Paradigma Berthawaf dalam Aktivisme Kampus
Proyek Akhir: Buat kampanye kreatif yang mengajak masyarakat memahami makna filosofis Perisai Pancasila dan relevansinya bagi persatuan bangsa.
Penutup: Menuju Generasi Berthawaf
Mahasiswa adalah agen perubahan yang memegang peran penting dalam melestarikan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Melalui paradigma hukum berthawaf, generasi muda Indonesia diajak untuk selalu kembali ke nilai-nilai dasar Pancasila — menjadikannya kompas moral dan intelektual dalam setiap langkah perjuangan mereka membangun bangsa.
Lampiran:
Transkrip Penjelasan Sultan Hamid II tentang Perisai Pancasila
UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara
Modul Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi dengan pendekatan 5 analisis hukum:
1. Analisis Kategorisasi Hukum
2. Analisis Klarifikasi Hukum
3. Analisis Verifikasi Hukum
4. Analisis Validasi Hukum
5. Analisis Falsifikasi Hukum
Setiap bab akan dilengkapi dengan contoh konkret agar mahasiswa dapat memahami bagaimana nilai-nilai Pancasila dan paradigma berthawaf dapat dikaji secara hukum. Mari kita susun satu per satu!
Modul Pendidikan Pancasila Berbasis Paradigma Berthawaf
Disusun untuk Mendukung Penguatan Karakter Kebangsaan dan Pembinaan Ideologi Pancasila
Disusun oleh:
(Tim Penyusun & Dukungan Akademik BPIP, Universitas, Yayasan Sultan Hamid II)
BAB 1: Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara
Materi Pokok
Sejarah Lahirnya Pancasila
Penetapan sebagai Ideologi Terbuka
Nilai-Nilai Universal dalam Pancasila
Analisis Hukum:
1. Kategorisasi Hukum: Pancasila dikategorikan sebagai hukum dasar negara (staatfundamentalnorm) yang bersifat ius constituendum (hukum yang dikehendaki).
Contoh: Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi.
2. Klarifikasi Hukum: Pancasila bukan sekadar falsafah, tetapi memiliki daya ikat hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Contoh: UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
3. Verifikasi Hukum: Pancasila diuji sebagai kaidah hukum publik melalui praktik konstitusional dan yurisprudensi MK.
Contoh: Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar kawin yang mengutamakan nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4. Validasi Hukum: Pancasila sebagai sumber hukum sah secara konstitusional dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Contoh: Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 — Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum.
5. Falsifikasi Hukum: Tantangan muncul saat interpretasi ideologi berbeda dengan praktik hukum positif.
Contoh: Kasus diskriminasi agama yang bertentangan dengan Sila Ke-1.
BAB 2: Lambang Negara dan Semiotika Perisai Pancasila
Materi Pokok:
Sejarah Rancangan Garuda Pancasila
Simbolik Perisai dan Pola Berthawaf
Pasal 48 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009
Analisis Hukum:
1. Kategorisasi Hukum: Lambang Negara dikategorikan sebagai simbol hukum negara yang wajib dihormati.
Contoh: Pasal 57-69 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Lambang Negara.
2. Klarifikasi Hukum: Perisai Pancasila memiliki makna dinamis, bukan sekadar hiasan, tetapi konsep hukum hidup yang melingkar (berthawaf).
Contoh: Penjelasan Sultan Hamid II tentang arah baca Perisai yang mengikuti nilai kolektif Nusantara.
3. Verifikasi Hukum: Keabsahan Lambang Negara diverifikasi melalui sidang kabinet RIS (1950).
Contoh: Keputusan Kabinet RIS 11 Februari 1950.
4. Validasi Hukum: Rancangan Sultan Hamid II telah divalidasi negara dan ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya Nasional (SK Mendikbud No. 204/M/2016).
5. Falsifikasi Hukum: Masih ada narasi historis yang menyudutkan perancang lambang negara, bertentangan dengan prinsip kejujuran sejarah hukum.
Contoh: Stigma politis terhadap Sultan Hamid II yang mulai terkikis berkat kajian akademik.
BAB 3: Paradigma Hukum Berthawaf dalam Kehidupan Bernegara
Materi Pokok:
Dinamika Relasi Antarsila
Konsep Berthawaf sebagai Pola Hukum Alamiah
Hukum Berkelanjutan dan Berproses
Analisis Hukum:
1. Kategorisasi Hukum: Paradigma berthawaf dikategorikan sebagai pendekatan hermeneutika hukum yang kontekstual.
Contoh: Musyawarah untuk Mufakat sebagai proses hukum dinamis.
2. Klarifikasi Hukum: Sila-sila Pancasila tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguatkan dalam sirkulasi nilai.
Contoh: Sila 4 (Musyawarah) memperkuat Sila 5 (Keadilan Sosial).
3. Verifikasi Hukum: Konsep ini sesuai dengan teori hukum progresif yang digagas Satjipto Rahardjo.
Contoh: Putusan MA tentang Restorative Justice yang mengedepankan kemanusiaan.
4. Validasi Hukum: Dikuatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 — Negara Hukum yang berlandaskan keadilan substansial.
5. Falsifikasi Hukum: Tantangan muncul saat praktik birokrasi lebih cenderung ke hierarki kekuasaan daripada keseimbangan nilai.
Contoh: Diskriminasi hukum terhadap masyarakat adat.
Kesimpulan & Rekomendasi
Paradigma berthawaf dalam Perisai Pancasila adalah warisan hukum Nusantara yang mampu memperkaya pendidikan hukum modern. Melalui pendekatan 5 analisis hukum, mahasiswa diajak untuk memahami bahwa Pancasila bukan hanya ideologi, tetapi juga sistem hukum hidup yang fleksibel, berproses, dan terus bergerak menuju keadilan sosial.
Rekomendasi:
Integrasi Modul ke MKWU Pendidikan Pancasila
Kolaborasi dengan BPIP dan Universitas
Kajian Akademik Berkelanjutan
Contoh Sejarah Hukum berikut ini :
” kal bar sejak 27 Desember 1949 bergabung dengan negara Republik Indonesia atau negara 17 Agustus 1945 dalam wadah RIS, namun Dibawah Undang Undang Dasar Sementara 1950 , 17 Agustus 1950 sesuai dengan fakta integritas M Natsir, Kalimantan Barat bentuk negara kembali Kesatuan dan ini fakta sejarah hukum, bahwa Kalimantan Barat pernah menjadi Daerah istimewa Kalimantan Barat atau DIKB sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri sesuai protokol PBB atau sesuai pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 ini adalah fase ketatanegaraan Indonesia yang merupakan starting point DIKB bergabung dengan Negara Republik Indonesia atau Negara 17 Agustus 1945
Betul sekali! Sejarah ketatanegaraan Kalimantan Barat, khususnya status sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), merupakan bagian penting dari dinamika konstitusional Indonesia pasca-kemerdekaan.
Mari kita rangkum lebih jelas:
1. Bergabungnya Kalimantan Barat ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS)
Pada 27 Desember 1949, Kalimantan Barat secara resmi bergabung ke dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai Daerah Istimewa yang diakui sebagai satuan kenegaraan tersendiri. Ini sesuai dengan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949, yang mengakui keberadaan negara-negara bagian, termasuk DIKB.
Proses ini diakui dalam protokol PBB, yang menjadi landasan hukum internasional pengakuan kedaulatan Indonesia.
2. Transisi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Melalui Fakta Integritas M. Natsir pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Ini mengakhiri struktur federal RIS dan mengintegrasikan daerah-daerah bagian ke dalam NKRI.
Dalam konteks ini, DIKB kehilangan status istimewanya sebagai satuan kenegaraan, meskipun sejarah hukum mengakui bahwa DIKB pernah berdiri secara legal dalam kerangka RIS
3. Implikasi Sejarah dan Huku
DIKB sebagai starting point dalam hubungan ketatanegaraan Kalimantan Barat dengan Republik Indonesia menjadi fondasi penting dalam memahami hak historis dan kedaulatan lokal.
Pergeseran dari status daerah istimewa ke provinsi administratif pada 1 Januari 1957 menunjukkan adanya inkonsistensi hukum, terutama dengan penerapan Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950 yang berlaku surut dan menghapus status istimewa DIKB tanpa pengaturan transisi yang jelas.
4. Peluang Reinterpretasi
Sejarah hukum DIKB ini bisa menjadi dasar kajian lebih lanjut untuk merekonstruksi posisi historis dan konstitusional Kalimantan Barat dalam NKRI.
Dialog publik dan kajian akademik bisa menjadi jalan untuk mengangkat kembali narasi ini, sebagaimana terjadi pada daerah lain dengan status khusus seperti DIY Yogyakarta dan Aceh.
Jika kita telaah lebih dalam, ini bisa menjadi landasan kuat untuk memperjuangkan rekognisi sejarah hukum DIKB dalam konteks keistimewaan daerah berbasis warisan sejarah dan kontribusi Kalimantan Barat dalam pembentukan Indonesia modern.
contoh yang perlu diluruskan dan direkontruksi kembali.
Pernyataan Dedeh Al-sintangi: kalau sejarah sintang mrk tidak pernah ikut berjuang dan malah sebaliknya mrk bersekutu dgn Belanda,di katakan Nangkot krn mrk ketika ada perang mrk selalu lari ke dalam hutan bersembunyi utk mengamankan diri dan mrk tidak bisa masuk dlm pusat kota kerajaan sintang kecuali mrk masuk Islam atau ada yg menjamin atau menjadi budak.. bahasa Nangkot bahasa kami Melayu sintang bukan bahasa penjajah dan mrk Dayak di sini paham benar arti NANGKOT krn itu stempel abadi buat mrk dari kami Melayu di sini bukan cm di Sintang..ada pepatah kami di sini berbunyi BERANI UCUK AI PENAKOT UCUK NANGKOT yg artinya Berani cucunya kakek PENAKOT cucunya NANGKOT dan Dayak di sini paham benar bahasa ini..dalam sejarah sintang para leluhur ana yg ngajari mrk cara berpakaian,menempa besi, bercocok tanam dan lainnya..mrk sampai sekarang di pedalaman masih ada yg perempuannya bertelanjang dada dan berpakaian ala kadarnya,mrk juga numpang buat sekolah di keluarga besar kita Melayu
[7/3, 09.04] Dedeh Al-sintangi: Org asli di sini malah masih ada yg tidak mau di panggil org Dayak tp mrk mau di panggil org DARAT dan memang bahasa Dayak bahasa yg baru bagi mrk..
Utk bahasa adil katalino itu bukan bahasa mereka di sini tp bahasa mereka ahe Dan sebagian dr mrk tdk menyukai bahasa ini
[7/3, 09.17] Dedeh Al-sintangi: Mrk ndak punya sejarah Tengku krn yg mencatat sejarah ada yg bisa baca tulis saat itu dan org2 yg bisa membaca dan menulis saat itu hanyalah org2 tertentu dan mrk baru bisa baca tulis setelah adanya sekolah rakyat dan itupun msh org2 tertentu
[7/3, 09.58] Dedeh Al-sintangi: Kenapa mrk banyak yg benci sm ana..? Krn salah satunya ana termasuk yg menggagalkan mrk utk mengklaim bhw nama pulau Kalimantan mrk ubah menjadi nama pulau Dayak dlm pertemuan internasional di Australia tahun 2017
Topik ini sangat sensitif, karena menyangkut hubungan antar-etnis yang kaya akan sejarah panjang dan dinamika sosial yang kompleks, khususnya di wilayah seperti Sintang dan Kalimantan Barat secara keseluruhan. Sebagai peneliti sejarah hukum dan budaya, penting untuk mendekati isu ini dengan kehati-hatian dan berlandaskan pada fakta sejarah serta semangat rekonsiliasi.
Mari kita coba bahas secara objektif:
1. Sejarah Hubungan Melayu dan Dayak di Sintang
Kesultanan Sintang adalah salah satu kerajaan Melayu tua yang berdiri sejak abad ke-13, dan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan budaya, pemerintahan, dan Islamisasi di wilayah itu.
Sementara masyarakat Dayak merupakan penduduk asli pedalaman Kalimantan yang memiliki kebudayaan, hukum adat, dan kearifan lokal sendiri jauh sebelum interaksi intensif dengan kerajaan-kerajaan Melayu.
Dalam perjalanan sejarah, interaksi antara kedua kelompok ini bersifat dinamis: ada fase konflik, tetapi juga banyak fase kerja sama dan asimilasi budaya. Misalnya:
Islamisasi dan Jaminan Keamanan: Memang benar, dalam beberapa konteks, kerajaan Melayu memberikan perlindungan kepada masyarakat Dayak yang masuk Islam atau tunduk pada kekuasaan kerajaan. Ini adalah pola umum di banyak kerajaan Islam di Nusantara, seperti di Sumatra dan Jawa.
Transfer Pengetahuan: Ada bukti bahwa keterampilan tertentu (misalnya menempa besi, pendidikan formal) memang lebih dulu berkembang di pusat-pusat kerajaan, yang kemudian menyebar ke pedalaman. Namun, ini bukan berarti masyarakat Dayak sepenuhnya tertinggal, melainkan mereka punya model pengetahuan lokal yang berbeda, misalnya dalam hal pengobatan tradisional, navigasi sungai, dan sistem hukum adat.
2. Bahasa dan Identitas
“Nangkot” sebagai istilah lokal mungkin memiliki makna historis tertentu, tetapi penting untuk memahami konteks dan dampaknya pada hubungan antaretnis saat ini. Label semacam itu bisa memperpanjang jarak psikologis antarkelompok, padahal rekonsiliasi budaya lebih penting untuk masa depan Kalimantan Barat yang harmonis.
Bahasa Adil Katalino adalah bagian dari semboyan Dayak Kanayatn, tetapi Kalimantan kaya akan keberagaman bahasa dan dialek. Tidak semua sub-suku Dayak merasa terwakili oleh satu bahasa atau semboyan tertentu, ini wajar dalam masyarakat multikultural.
3. Polemik Penggantian Nama Pulau Kalimantan
Upaya mengubah nama Pulau Kalimantan menjadi Pulau Dayak memang sempat menjadi wacana dalam forum-forum tertentu, tetapi gagasan ini menuai pro dan kontra. Kalimantan sebagai nama sudah berakar kuat dalam sejarah, dan penggantian nama pulau bisa mengabaikan keberagaman etnis lainnya (Melayu, Tionghoa, Bugis, Banjar, dsb.).
Namun, penting juga untuk memahami latar belakang psikologis di balik wacana ini: mungkin ini adalah ekspresi perjuangan identitas setelah lama merasa terpinggirkan dalam narasi sejarah resmi. Menggagalkan klaim ini bisa dilihat sebagai langkah menjaga keutuhan nama Kalimantan, tapi dialog lintas budaya tetap diperlukan agar semua pihak merasa dihargai.
4. Pentingnya Rekonsiliasi dan Pengakuan Sejarah Bersama
Sejarah Kalimantan Barat adalah sejarah bersama yang dibangun oleh banyak entitas: Kesultanan Melayu, komunitas Dayak, diaspora Tionghoa, dan kelompok-kelompok lain. Mengangkat narasi keunggulan satu pihak sambil merendahkan pihak lain justru memperlebar sekat-sekat sosial.
Kalau ada ketegangan, solusi terbaik adalah membuka ruang dialog antarbudaya untuk merajut kembali memori kolektif yang lebih adil dan inklusif. Melalui kajian sejarah yang jujur, kita bisa merayakan keunikan masing-masing etnis, sambil memperkuat rasa persatuan sebagai anak bangsa Kalimantan yang bersaudara.
Apakah  ingin kita bahas lebih lanjut soal proses asimilasi budaya di Sintang, atau bagaimana hukum adat Melayu dan Dayak saling berinteraksi dalam sejarah? Saya siap membantu menyusun narasi yang berimbang dan berkeadilan. Bagaimana pendapat Saudara?
Tentu! Ada banyak literatur yang bisa menjadi pegangan untuk menjaga persatuan dan merawat warisan budaya di Kalimantan Barat maupun Indonesia secara keseluruhan. Saya akan coba rekomendasikan beberapa buku dan kajian yang relevan:
1. Sejarah dan Budaya Kalimantan
“Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat” — Menceritakan perjuangan masyarakat berbagai etnis dalam melawan penjajahan, menunjukkan bahwa persatuan lintas suku sudah lama ada.
“Tradisi dan Identitas Budaya Dayak” oleh Bernard Sellato — Mengupas tuntas kearifan lokal Dayak, yang sebenarnya memiliki banyak nilai persatuan dan harmoni dengan alam dan sesama manusia.
“Kesultanan Kadriah Pontianak: Sejarah dan Peranannya dalam Perkembangan Islam di Kalimantan Barat” — Menggali kontribusi kesultanan dalam menyebarkan Islam, pendidikan, dan menjaga stabilitas daerah.
2. Nilai-Nilai Persatuan dan Kebangsaan
“Negara Paripurna” oleh Yudi Latif — Mengupas pemikiran tentang Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana keberagaman adalah kekuatan bagi Indonesia.
“Rekonstruksi Sejarah Kebangsaan” oleh Anhar Gonggong — Mengajak kita melihat sejarah sebagai alat pemersatu, bukan pemecah belah.
Al-Qur’an dan Tafsir tentang Ukhuwah Islamiyah — Mengajarkan pentingnya persaudaraan sesama umat manusia, relevan untuk membangun dialog antarbudaya.
3. Karya Sastra yang Menginspirasi Persatuan
“Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer — Meski berlatar Jawa, novel ini mengajarkan semangat kebersamaan melawan ketidakadilan.
“Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata — Mengangkat keberagaman dan pentingnya pendidikan sebagai alat pemersatu.
4. Kajian Hukum dan Kearifan Lokal
Penelitian Hukum Adat Kalimantan — Menggali bagaimana hukum adat Dayak dan Melayu sebenarnya bisa saling melengkapi dan menjadi dasar harmoni sosial.
“Lambang Negara dan Integrasi Bangsa” — Bisa dikaitkan dengan penelitian Abah tentang Sultan Hamid II, menunjukkan bagaimana simbol-simbol persatuan dirancang untuk merangkul seluruh elemen bangsa.
1. Sejarah Perjuangan dan Kebersamaan Masyarakat Kalimantan
Persatuan dalam Melawan Kolonialisme: Rakyat Kalimantan, baik Melayu, Dayak, Tionghoa, dan suku lainnya, bersatu melawan penjajah. Perlawanan ini membuktikan bahwa ketika ada ancaman dari luar, identitas sebagai sesama anak Kalimantan lebih kuat daripada perbedaan etnis.
Peran Kesultanan sebagai Perekat Sosial: Kesultanan seperti Kadriah Pontianak, Sambas, dan Sintang menjadi pusat diplomasi dan pendidikan. Mereka mengakomodasi keberagaman dan menjadi jembatan dialog antara budaya lokal dan dunia luar.
Hukum Adat sebagai Kekuatan Lokal: Hukum adat Dayak dan Melayu punya banyak nilai persamaan, seperti musyawarah, penghormatan pada leluhur, dan konsep keadilan restoratif. Ini bisa jadi fondasi kebersamaan berbasis kearifan lokal.
2. Nilai-Nilai Kebangsaan dan Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pedoman Hidup: Kalimantan adalah miniatur Indonesia — kaya suku, bahasa, dan agama. Nilai persatuan dalam keberagaman ini harus terus dijaga sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Simbol dan Lambang Negara sebagai Perekat Bangsa: Garuda Pancasila yang dirancang Sultan Hamid II adalah lambang pemersatu. 17 helai bulu melambangkan tanggal kemerdekaan, sementara cakar Garuda menggenggam pita Bhinneka Tunggal Ika mengingatkan kita bahwa persatuan adalah amanah sejarah.
Rekonsiliasi sebagai Jalan Tengah: Dalam sejarah, gesekan antarbudaya sering terjadi. Tapi rekonsiliasi dan dialog budaya adalah cara terbaik untuk melangkah maju, daripada terus hidup dalam luka sejarah.
3. Peran Pendidikan dan Literasi untuk Mempererat Persatuan
Pendidikan Sebagai Pengangkat Martabat: Akses pendidikan yang merata akan memutus rantai diskriminasi dan ketimpangan. Ini penting agar semua kelompok merasa punya hak yang sama dalam membangun daerahnya.
Sastra dan Seni sebagai Jembatan Budaya: Karya sastra, film, dan seni tradisional bisa menjadi alat untuk memahami perspektif satu sama lain. Misalnya, mengangkat cerita rakyat Dayak dan Melayu dalam bentuk film dokumenter atau teater bisa membangun empati lintas budaya.
Sekolah Kebangsaan dan Kurikulum Lokal: Mengintegrasikan sejarah lokal Kalimantan Barat ke dalam kurikulum sekolah akan menumbuhkan kebanggaan daerah sekaligus menghargai keberagaman budaya.
4. Mengangkat Kearifan Lokal Sebagai Identitas Bersama
Falsafah Hidup Dayak: Konsep “Adil Katalino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” mengajarkan keseimbangan hidup, yang sebenarnya sejalan dengan nilai-nilai Islam dan tradisi Melayu. Ini bisa jadi nilai universal pemersatu masyarakat Kalimantan Barat.
Tradisi Melayu sebagai Warisan Nusantara: Adat istiadat Melayu, seperti pantun, silat, dan seni tari zapin, adalah warisan berharga yang bisa menyambung tali silaturahmi antar-etnis lewat seni budaya.
Gotong Royong sebagai Tradisi Bersama: Baik Melayu maupun Dayak punya tradisi gotong royong dalam membangun rumah panjang atau mendirikan surau. Ini bisa dijadikan contoh bahwa kebersamaan adalah bagian dari DNA budaya Kalimantan.
5. Langkah Nyata untuk Merawat Warisan dan Persatuan
Dialog Lintas Budaya dan Agama: Mengadakan forum budaya rutin yang melibatkan tokoh adat Dayak, pemuka agama Islam, Kristen, dan Budha untuk membahas sejarah bersama dan mencari titik temu.
Festival Budaya Bersama: Menggelar festival tahunan yang memadukan seni Melayu, Dayak, dan komunitas lain sebagai simbol persatuan dalam keberagaman.
Museum Sejarah Kalimantan Barat: Membangun atau memperkaya museum yang mengabadikan sejarah perjuangan semua etnis sebagai pengingat bahwa Kalimantan dibangun bersama-sama.
Menurut saya, jika sejarah diceritakan dengan jujur dan utuh, dan ruang dialog selalu terbuka, maka persatuan akan lebih mudah dirajut. Mengingat sejarah bukan untuk menyimpan dendam, melainkan untuk mengambil hikmah dan menghindari kesalahan yang sama di masa depan.
Abah, apakah poin-poin ini sudah cukup? Atau Abah ingin saya perdalam salah satu aspek? Misalnya, kita bisa buat lebih rinci tentang sejarah DIKB, peran Sultan Hamid II, atau tradisi hukum adat sebagai jalan rekonsiliasi. Saya siap membantu lebih jauh!
Pada 22 Februari 2025, Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, melakukan kunjungan resmi ke Istana Kadriah Pontianak, sebuah cagar budaya nasional yang berusia 254 tahun.  Kunjungan ini menekankan pentingnya pelestarian warisan budaya sebagai fondasi identitas bangsa.
Fadli Zon menekankan bahwa pelestarian budaya dan sejarah Nusantara, khususnya di Kalimantan Barat, yang kaya akan warisan budaya dan akulturasi berbagai etnis, sangat penting.  Beliau juga mengapresiasi kontribusi Sultan Syarif Hamid II, Sultan ketujuh Kesultanan Pontianak, yang dikenal sebagai perancang lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Sebagai Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak, peran Abah sangat strategis dalam menjaga persatuan dan melestarikan warisan budaya di Kalimantan Barat. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
1. Revitalisasi Istana Kadriah: Mendukung program pemugaran istana untuk menjadikannya pusat ekspresi seni dan budaya, sehingga dapat menjadi magnet bagi wisatawan dan pusat edukasi budaya bagi generasi muda.
2. Pendidikan dan Literasi Budaya: Mengintegrasikan sejarah dan budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan, serta mengadakan workshop dan seminar untuk meningkatkan kesadaran generasi muda tentang pentingnya warisan budaya.
3. Festival Budaya Bersama: Menyelenggarakan festival tahunan yang menampilkan seni dan budaya berbagai etnis di Kalimantan Barat, sebagai wujud nyata Bhinneka Tunggal Ika.
4. Dialog Lintas Budaya dan Agama: Mengadakan forum rutin yang melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat umum untuk membahas dan merumuskan langkah-langkah konkret dalam menjaga harmoni sosial.
5. Perlindungan Kekayaan Intelektual: Bekerja sama dengan instansi terkait untuk melindungi hak kekayaan intelektual atas warisan budaya, seperti motif batik khas, musik tradisional, dan kuliner lokal.
…dan memperkuat identitas sejarah Kalimantan Barat sebagai bagian penting dari narasi kebangsaan Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, Menteri Fadli Zon bertemu dengan Sultan Syarif Melvin Alkadrie dan para pemangku adat, termasuk Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, untuk membahas langkah-langkah konkret dalam memperkuat pelestarian budaya dan memperkenalkan sejarah Kesultanan Pontianak ke generasi muda.
Menteri Fadli Zon juga menyampaikan apresiasinya terhadap upaya penelitian dan dokumentasi sejarah yang dilakukan oleh para akademisi dan budayawan lokal, termasuk kajian tentang Sultan Hamid II dan perannya dalam merancang lambang negara Indonesia. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa keberagaman budaya di Kalimantan Barat adalah kekayaan nasional yang harus dijaga melalui pendidikan, festival budaya, dan revitalisasi situs bersejarah.
Sebagai tindak lanjut, Kementerian Kebudayaan akan menginisiasi program “Jejak Sejarah Kalimantan” yang melibatkan sekolah-sekolah lokal dalam tur edukasi ke situs-situs bersejarah, termasuk Istana Kadriah, Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, dan Museum Sultan Hamid II. Program ini diharapkan dapat memperkuat rasa bangga terhadap sejarah lokal sekaligus membangun harmoni antaretnis melalui pemahaman sejarah yang lebih mendalam.
Dari pembahasan yang kaya dan mendalam di atas, saya akan coba merangkum rekomendasi strategis yang bisa menjadi pedoman untuk memperkuat persatuan, merawat warisan budaya, dan membangun harmoni sosial di Kalimantan Barat. Ini bisa menjadi bahan untuk dialog budaya, penyusunan kebijakan lokal, atau program edukasi masyarakat.
Mari kita susun rekomendasi dalam beberapa aspek utama:
1. Penguatan Dialog dan Rekonsiliasi Antarbudaya
Forum Budaya Kalimantan Barat
Mengadakan pertemuan berkala yang melibatkan tokoh adat Dayak, pemuka agama, kesultanan Melayu, akademisi, dan perwakilan etnis lain untuk membahas sejarah bersama, meluruskan narasi, dan merumuskan solusi kebersamaan.
Dialog Sejarah Bersama
Menggali dan mendokumentasikan sejarah hubungan Melayu, Dayak, Tionghoa, dan etnis lain secara objektif. Bisa melalui seminar, publikasi ilmiah, atau serial dokumenter yang menyoroti baik fase konflik maupun kerja sama dalam sejarah Kalimantan Barat.
Mediasi Budaya Berbasis Hukum Adat
Mendorong penyelesaian ketegangan sosial lewat pendekatan hukum adat yang mengutamakan musyawarah dan perdamaian, dengan melibatkan lembaga adat dan tokoh masyarakat sebagai mediator
2. Pelestarian dan Edukasi Warisan Budaya
Revitalisasi Istana dan Situs Bersejarah
Memperkuat pelestarian situs bersejarah seperti Istana Kadriah dan Kesultanan Sintang sebagai pusat edukasi budaya, lengkap dengan museum dan pusat kajian sejarah Kalimantan Barat.
Integrasi Sejarah Lokal dalam Pendidikan
Mengembangkan kurikulum yang mengajarkan sejarah Kalimantan Barat secara utuh, termasuk peran Kesultanan Melayu, perjuangan rakyat Dayak, kontribusi komunitas Tionghoa, dan simbol-simbol pemersatu seperti Lambang Negara karya Sultan Hamid II.
Festival Budaya Kalimantan Bersatu
Menggelar festival tahunan yang merayakan keberagaman budaya: tarian zapin Melayu, musik sape’ Dayak, kuliner khas, dan pameran karya seni lintas etnis. Ini akan mempererat hubungan masyarakat lewat apresiasi seni dan tradisi masing-masing
3. Rekonstruksi Narasi Sejarah yang Inklusif
Penulisan Ulang Sejarah Bersama
Menginisiasi penulisan buku atau modul sejarah Kalimantan Barat yang mengakomodasi berbagai perspektif etnis, agar setiap komunitas merasa diakui dan dihargai dalam narasi sejarah daerah.
Monumen Persatuan Kalimantan Barat
Mendirikan monumen atau taman sejarah yang mengabadikan perjuangan kolektif seluruh etnis dalam melawan penjajahan, sebagai simbol bahwa Kalimantan Barat dibangun atas kontribusi bersama.
Literasi Sejarah Melalui Media Digital
Menggunakan media sosial, podcast, dan platform digital untuk menyebarkan konten edukatif yang mengangkat nilai-nilai persatuan dan kebijaksanaan lokal, untuk menjangkau generasi muda secara lebih efektif
4. Penguatan Identitas Bersama sebagai Anak Kalimantan
Merajut Filosofi Lokal Sebagai Perekat
Mengangkat nilai-nilai seperti Adil Katalino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata dan semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan membangun identitas Kalimantan yang bersatu dalam keberagaman.
Simbol Persatuan Berbasis Sejarah
Memperkuat pemahaman tentang Lambang Negara Garuda Pancasila karya Sultan Hamid II sebagai bukti historis bahwa Kalimantan punya peran besar dalam merajut persatuan Indonesia.
Pemberdayaan Generasi Muda sebagai Agen Perdamaian
Membentuk komunitas pemuda lintas etnis yang aktif mengadakan dialog, diskusi, dan aksi sosial bersama untuk mempererat hubungan masyarakat dari akar rumput.
Kesimpulan dan Langkah Lanjut
Merawat keberagaman Kalimantan Barat memerlukan sinergi antara pemangku adat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat luas. Kuncinya adalah membuka ruang dialog yang tulus, memperkuat pendidikan sejarah, dan merayakan warisan budaya sebagai aset bersama.
Dengan langkah-langkah ini, Kalimantan Barat bisa menjadi contoh keberhasilan dalam membangun harmoni sosial tanpa melupakan akar sejarah dan identitas lokal.
Mari kita kaitkan rekomendasi tadi dengan falsafah adat Melayu yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Falsafah ini menjadi fondasi dalam merawat harmoni sosial, memperkuat identitas, dan menyelaraskan keberagaman budaya. Saya akan coba hubungkan rekomendasi tersebut dengan prinsip-prinsip adat Melayu yang relevan!
1. Penguatan Dialog dan Rekonsiliasi Antarbudaya
Korelasi Filosofis: “Bertingkah laku dengan budi, bersandar kepada adab, bersuluh kepada agama.”
Dialog Budaya sebagai Wujud Musyawarah
Menghidupkan kembali tradisi bermesyawarah sebagai bentuk kearifan lokal. Dalam adat Melayu, musyawarah bukan sekadar perundingan, melainkan proses menemukan titik temu dengan mengutamakan budi bicara dan saling menghargai. Ini bisa menjadi metode efektif untuk merajut kembali relasi antar-etnis.
Mediasi Berbasis Hukum Adat
Menggunakan hukum adat Melayu yang berlandaskan prinsip keadilan dan kemaslahatan sebagai panduan dalam penyelesaian sengketa sosial. Konsep ini sejalan dengan ajaran adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah, di mana penyelesaian konflik harus selaras dengan nilai-nilai moral dan agama
2. Pelestarian dan Edukasi Warisan Budaya
Korelasi Filosofis: “Adat diangkat, budaya dijunjung, warisan dijaga, pusaka dipelihara.”
Revitalisasi Istana dan Situs Bersejarah
Menghidupkan kembali istana dan situs kesultanan sebagai pusat pendidikan budaya adalah bentuk nyata mengamalkan prinsip adat tak lapuk di hujan, tak lekang di panas. Dengan melestarikan fisik dan makna simbolis warisan leluhur, generasi muda akan terus terhubung dengan akar sejarahnya.
Integrasi Sejarah Lokal dalam Pendidikan
Memasukkan sejarah lokal ke dalam pendidikan adalah wujud pengamalan falsafah Tak Kenal Maka Tak Sayang. Dengan mengenal sejarah dan kontribusi semua etnis, anak-anak Kalimantan Barat akan lebih menghargai keberagaman dan merasa memiliki warisan budaya bersama.
3. Rekonstruksi Narasi Sejarah yang Inklusif
Korelasi Filosofis: “Yang tua dihormati, yang muda disayangi, yang lemah dilindungi, yang kuat bertanggung jawab.”
Penulisan Ulang Sejarah Bersama
Prinsip ini mengajarkan pentingnya menghormati semua elemen masyarakat. Dalam konteks sejarah, setiap komunitas harus diberi tempat yang layak dalam narasi kolektif. Ini selaras dengan nilai saling mengakui dan memuliakan keberagaman sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Monumen Persatuan Kalimantan Barat
Mendirikan monumen sebagai simbol persatuan sejalan dengan falsafah sebatang lidi mudah dipatahkan, segenggam lidi tak mudah diputuskan. Mengabadikan sejarah perjuangan bersama mengingatkan masyarakat bahwa kekuatan lahir dari persatuan, bukan perpecahan.
4. Penguatan Identitas Bersama sebagai Anak Kalimantan
Korelasi Filosofis: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Mengangkat Filosofi Lokal sebagai Perekat
Mengajarkan kembali makna Adil Katalino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata sebagai penyeimbang nilai Melayu dan Dayak. Ini menciptakan harmoni karena mengingatkan bahwa semua etnis di Kalimantan Barat punya nilai luhur yang saling melengkapi.
Simbol Persatuan Berbasis Sejarah
Mengedukasi masyarakat tentang peran Sultan Hamid II dalam merancang Lambang Negara adalah bentuk penghormatan kepada tokoh lokal yang mengamalkan falsafah Berkhidmat kepada nusa dan bangsa. Ini mempertegas bahwa Kalimantan Barat punya kontribusi besar dalam persatuan Indonesia.
Pemberdayaan Generasi Muda sebagai Agen Perdamaian
Memberdayakan pemuda lintas etnis selaras dengan nilai Pelita dalam gelap, penawar dalam luka. Anak muda adalah cahaya harapan yang bisa menerangi masa depan Kalimantan Barat jika dibekali pemahaman sejarah, budaya, dan semangat kebersamaan
Kesimpulan
Ketika adat Melayu yang melembaga dipadukan dengan langkah-langkah konkret untuk merajut keberagaman, Kalimantan Barat berpotensi menjadi model daerah yang harmonis, berkeadaban, dan kuat dalam identitas lokalnya. Falsafah Melayu bukan sekadar warisan lisan, melainkan pedoman hidup yang bisa menjadi landasan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Mari kita kaitkan rekomendasi tersebut dengan nilai filosofis Pancasila Berthawaf dan filosofi Dayak Gilir Balik. Ini akan memperkaya pendekatan kita, menghubungkan falsafah lokal yang hidup dengan nilai-nilai kebangsaan dan spiritualitas Nusantara.
1. Penguatan Dialog dan Rekonsiliasi Antarbudaya
Pancasila Berthawaf: Prinsip Ketuhanan sebagai pusat orbit kehidupan mengajarkan bahwa semua manusia bersaudara karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Dialog antarbudaya menjadi bentuk aktualisasi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, di mana perbedaan dihargai sebagai anugerah, bukan ancaman.
Dayak Gilir Balik: Filosofi ini mengajarkan siklus hidup yang berputar, menekankan keseimbangan dan keharmonisan. Dalam konteks sosial, ini menjadi simbol bahwa konflik adalah bagian dari dinamika, tetapi selalu ada ruang untuk kembali ke titik harmoni melalui mediasi dan musyawarah adat
Rekomendasi
Membentuk forum budaya yang secara rutin mengadakan diskusi lintas etnis sebagai simbol thawaf kebudayaan untuk terus mengelilingi nilai persatuan dan ketuhanan.
Menghidupkan kembali tradisi Pepancur dalam budaya Dayak, yaitu ritual pemurnian hubungan sosial, untuk menyucikan kembali relasi yang retak akibat konflik.
2. Pelestarian dan Edukasi Warisan Budaya
Pancasila Berthawaf: Prinsip Persatuan mengajarkan bahwa keberagaman budaya adalah kekayaan bangsa. Melestarikan warisan budaya menjadi bentuk ibadah sosial, karena dengan menjaga tradisi, kita menjaga jati diri bangsa sebagai satu kesatuan.
Dayak Gilir Balik: Konsep ini mengajarkan bahwa segala sesuatu akan kembali ke asalnya. Melestarikan budaya berarti menjaga siklus kehidupan komunitas agar tidak terputus, menghubungkan generasi tua dan muda dalam satu mata rantai nilai yang berkesinambungan.
Rekomendasi
Mengembangkan kurikulum lokal yang mengajarkan nilai-nilai Pancasila dalam konteks budaya Melayu dan Dayak, sehingga anak-anak memahami makna persatuan secara kontekstual.
Membuat festival budaya tahunan sebagai bentuk ritual thawaf mengelilingi nilai-nilai kearifan lokal, di mana masyarakat dapat merayakan keberagaman sebagai harmoni ilahi.
3. Rekonstruksi Narasi Sejarah yang Inklusif
Pancasila Berthawaf: Prinsip Keadilan Sosial mengingatkan bahwa sejarah harus menjadi milik semua, bukan monopoli segelintir pihak. Meluruskan narasi sejarah berarti mewujudkan keadilan historis, agar setiap komunitas mendapat tempat yang layak dalam ingatan kolektif bangsa.
Dayak Gilir Balik: Falsafah ini mengajarkan bahwa hidup adalah proses berputar — kebenaran bisa tersembunyi, tetapi pada waktunya akan kembali ke permukaan. Merevisi sejarah yang bias adalah bentuk mengembalikan roda kebenaran ke porosnya.
Rekomendasi:
Membentuk tim peneliti sejarah lokal yang melibatkan tokoh adat Melayu dan Dayak untuk menulis ulang narasi sejarah Kalimantan Barat secara utuh dan adil.
Mengembangkan program edukasi sejarah yang memadukan metode semiotika hukum dan pengetahuan adat untuk menggali makna simbolik dari peristiwa-peristiwa masa lalu.
4. Penguatan Identitas Bersama sebagai Anak Kalimantan
Pancasila Berthawaf: Prinsip Kemanusiaan dan Persatuan mengajarkan bahwa meskipun kita berbeda, kita tetap satu keluarga besar Indonesia. Berthawaf melambangkan orbit spiritual yang mengikat manusia dalam satu putaran cinta kasih Tuhan, di mana semua manusia setara.
Dayak Gilir Balik: Siklus hidup yang berputar mencerminkan kesadaran bahwa kita semua saling terhubung. Konsep ini mengajarkan bahwa keberadaan satu kelompok tidak bisa dipisahkan dari kelompok lain, karena semua bagian dari satu ekosistem sosial yang sama
Rekomendasi:
Mengembangkan simbol persatuan Kalimantan Barat yang menggabungkan elemen lambang Kesultanan Pontianak (Melayu) dan simbol Dayak sebagai representasi titik temu budaya.
Menciptakan program anak angkat budaya, di mana pemuda Melayu belajar budaya Dayak, dan sebaliknya, untuk membangun empati dan rasa memiliki terhadap budaya lain.
Kesimpulan
Ketika nilai-nilai Pancasila Berthawaf dan filosofi Dayak Gilir Balik dikorelasikan, kita menemukan pola harmoni yang sangat kuat. Pancasila Berthawaf mengajarkan bahwa manusia harus terus berputar mengelilingi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan, sedangkan Gilir Balik mengingatkan bahwa kehidupan adalah siklus yang akan selalu kembali ke titik keseimbangan.
Menghubungkan dua filosofi ini dapat menjadi strategi rekonsiliasi yang ampuh:
Thawaf sebagai orbit persatuan, di mana semua elemen masyarakat terus bergerak mengelilingi nilai-nilai kebangsaan tanpa pernah tercerai-berai.
Gilir Balik sebagai siklus pemulihan, di mana konflik dilihat sebagai fase sementara yang akan berakhir dengan kembali ke harmoni melalui rekonstruksi kebenaran dan keadilan.
Dengan mengamalkan kedua falsafah ini, Kalimantan Barat dapat menjadi model daerah yang merangkul keberagaman sebagai kekuatan, bukan keretakan.
Saya akan coba korelasikan nilai-nilai filosofis Pancasila Berthawaf, Gilir Balik, dan makna pidato Bung Karno pada 22 Juli 1958 tentang Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian dikristalisasi dalam pita pada lambang negara.
Mari kita hubungkan ini dengan implementasi sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia!
1. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Orbit Berthawaf
Pidato Bung Karno (1958): “Berjenis-jenis tetapi tunggal, dan yang tunggal itu berjenis-jenis.” Ini mencerminkan dialektika kesatuan dan keberagaman yang tak terpisahkan. Keanekaragaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan yang harus terus berputar mengelilingi pusat nilai persatuan.
Pancasila Berthawaf: Thawaf melambangkan orbit spiritual yang tak pernah terputus, di mana manusia mengelilingi nilai ketuhanan sebagai pusat kehidupan. Dalam konteks kebangsaan, keberagaman etnis, budaya, dan agama menjadi partikel yang terus mengitari poros Persatuan Indonesia.
Korelasi:
➡️ Keberagaman adalah energi yang menggerakkan persatuan, sama seperti putaran thawaf yang tak berhenti mengelilingi Ka’bah sebagai simbol ketuhanan. Persatuan Indonesia menjadi titik pusat yang terus-menerus dirajut oleh putaran keberagaman yang harmonis.
Rekomendasi:
Membangun Ritual Kebangsaan Berthawaf — misalnya, acara budaya yang melibatkan semua elemen masyarakat, melingkar sebagai simbol bahwa keberagaman terus mengorbit pada satu nilai: Indonesia yang satu.
2. Gilir Balik: Siklus Keberagaman yang Kembali ke Kesatuan
Pidato Bung Karno (1958): Keanekaragaman akan selalu berujung pada kesatuan, dan kesatuan akan melahirkan keanekaragaman baru. Ini sejajar dengan filosofi Gilir Balik yang memandang hidup sebagai siklus berulang — perbedaan dan kesatuan adalah dua sisi mata uang yang terus berputar.
Gilir Balik Dayak: Masyarakat Dayak memandang keberagaman sebagai bagian dari hukum alam. Kehidupan berputar seperti roda, dan saat konflik atau perpecahan terjadi, alam akan mengembalikan keseimbangan melalui siklus pemulihan sosial.
Korelasi:
➡️ Persatuan dalam keberagaman adalah bentuk Gilir Balik kebangsaan — saat keberagaman terasa menegangkan, bangsa ini selalu kembali pada titik kesatuan sebagai rumah bersama.
Rekomendasi:
Menghidupkan Ritual Penyatuan Gilir Balik — misalnya, upacara adat lintas budaya sebagai simbol bahwa meski berbeda, semua akan kembali ke titik keseimbangan sebagai satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.
3. Pita Bhinneka Tunggal Ika sebagai Simbol Kunci Persatuan

Lambang Negara (Garuda Pancasila): Pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika menjadi kunci simbolik yang mengikat keberagaman menjadi satu kesatuan. Pita ini seakan menjadi simpul persatuan yang mengunci keberagaman agar tidak tercerai-berai.
Filosofi Thawaf & Gilir Balik: Berthawaf mengajarkan orbit yang terus berputar, sedangkan Gilir Balik mengajarkan roda yang kembali ke asal. Kedua filosofi ini saling melengkapi — thawaf menjaga keberagaman tetap berputar harmonis, sementara gilir balik mengembalikan persatuan saat ada potensi perpecahan.
Korelasi:
➡️ Pita Bhinneka Tunggal Ika adalah kunci pengunci orbit thawaf dan siklus gilir balik — artinya, keberagaman bisa terus bergerak dinamis, tetapi tidak akan pernah terlepas dari simpul persatuan Indonesia.
Rekomendasi:
Membuat Simbol Kebudayaan Pita Persatuan — misalnya, selendang adat Kalimantan yang disatukan dalam satu simpul besar pada acara kebudayaan, sebagai manifestasi fisik dari pita Bhinneka Tunggal Ika.
Kesimpulan: Menyatu dalam Putaran Keberagaman
Pidato Bung Karno tahun 1958 menjadi fondasi kuat bahwa keberagaman dan kesatuan adalah entitas yang saling melengkapi. Ketika kita korelasikan ini dengan Pancasila Berthawaf dan Gilir Balik, kita menemukan pola yang indah:
Thawaf menjaga keberagaman tetap bergerak, mengorbit pada nilai persatuan.
Gilir Balik mengingatkan bahwa konflik hanyalah fase, dan roda akan selalu kembali ke titik keseimbangan.
Pita Bhinneka Tunggal Ika menjadi simpul yang mengikat orbit dan siklus ini agar tidak pernah pecah.
Implementasi Sila Ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia) menjadi lebih hidup: persatuan bukan berarti seragam, tetapi keberagaman yang terus berputar dalam orbit cinta tanah air dan bangsa.
Kalau kita wujudkan ini dalam program konkret — seperti ritual budaya, pendidikan sejarah, dan forum lintas budaya — saya yakin, Kalimantan Barat bisa menjadi role model nasional dalam mengamalkan Persatuan Indonesia secara nyata!
Ini pemikiran yang sangat mendalam! Kalau kita tarik benang merahnya, pidato Bung Karno pada 22 Juli 1958 tentang Bhinneka Tunggal Ika sebagai “yang beraneka ragam satu itu, dan yang satu itu beraneka ragam” sangat relevan dalam konteks hubungan Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat. Filosofi ini bukan hanya jadi semboyan, tapi fondasi yang mengikat keanekaragaman menjadi kekuatan kolektif.
Mari kita coba korelasikan lebih dalam:
1. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Simbol Persatuan Dayak-Melayu
Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan bahwa perbedaan budaya, adat, dan keyakinan bukan alasan untuk terpecah, melainkan kekayaan yang harus dirawat bersama.
Masyarakat Dayak dan Melayu, meski punya akar budaya yang berbeda, sebenarnya sudah hidup berdampingan secara harmonis selama berabad-abad. Relasi ini bisa kita maknai sebagai implementasi nyata dari semboyan negara.
2. Persatuan dalam Keanekaragaman sebagai Implementasi Sila Ketiga Pancasila
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, terwujud dalam cara masyarakat Kalimantan Barat mengelola keberagaman mereka. Perbedaan adat dan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk saling membantu dan menjaga ketertiban sosial, mirip dengan falsafah “Adil Katalino, Bacuramin ka Saruga, Basengat ka Jubata.”
3. Menghapus Stigma Kolonial sebagai Upaya Merajut Kembali Kemanusiaan
Seperti , stigma seperti “nangkot” kemungkinan besar adalah warisan politik devide et impera. Mengikis stigma ini berarti membebaskan diri dari belenggu narasi kolonial dan kembali ke semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Meluruskan sejarah dan mengangkat kembali kearifan lokal Dayak dan Melayu adalah bagian dari rekonsiliasi budaya untuk memperkokoh persaudaraan.
4. Pita dalam Lambang Negara sebagai Simbol Penyatuan Identitas
Dalam lambang Garuda Pancasila, pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika bisa kita maknai sebagai tali pengikat yang merangkul semua elemen bangsa, termasuk etnis Dayak dan Melayu.
Pita ini ibarat “simpul” yang mengunci keanekaragaman dalam satu kesatuan, sama seperti hubungan historis antara Dayak dan Melayu yang, meski pernah diuji oleh konflik, selalu punya jalan untuk bersatu kembali atas dasar kekeluargaan.
5. Rekonstruksi Identitas dan Rekonsiliasi Budaya
Langkah-langkah seperti memperkenalkan sejarah perjuangan bersama Dayak-Melayu melawan penjajah, mengadakan festival budaya lintas etnis, dan menghidupkan kembali narasi lokal yang positif bisa menjadi cara efektif untuk memperkuat kohesi sosial.
Dengan begitu, masyarakat Kalimantan Barat bisa menjadi contoh nyata bagaimana filosofi Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan cara hidup yang terus relevan hingga kini.
Jadi, inti dari semua ini adalah bahwa keberagaman bukan sesuatu yang perlu diseragamkan, melainkan dirayakan. Persatuan sejati lahir bukan dari menghapus perbedaan, tetapi dari kemampuan menerima dan menghargai keberagaman sebagai bagian utuh dari identitas bangsa.
Pendekatan semiotika sejarah hukum terhadap pembacaan Perisai Pancasila dengan konsep “berthawaf” atau “gilir balik” telah dibahas dalam beberapa sumber yang relevan. Salah satu sumber utama adalah tulisan di blog Rajawali Garuda Pancasila yang mengulas konsep tersebut.
Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa Prof. Dr. Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga tanggal 10 November 1955, mengemukakan bahwa susunan Pancasila bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal. Namun, Sultan Hamid II dalam transkripnya tanggal 13 April 1967 menyatakan bahwa arah simbolisasi ide dalam Perisai Pancasila mengikuti gerak “berthawaf” atau “gilir balik”, yaitu berlawanan arah jarum jam, dimulai dari sila pertama ke sila berikutnya. Hal ini menekankan bahwa sebagai bangsa, kita harus menelusuri kembali akar sejarah dan menentukan arah masa depan Indonesia agar tidak kehilangan makna semangat dan jati diri saat menjabarkan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa.
Lebih lanjut, tulisan tersebut mengaitkan konsep ini dengan Pasal 48 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang menjelaskan bahwa perisai dalam lambang negara memiliki lima ruang yang mewakili dasar Pancasila. Pembacaan perisai tersebut mengikuti alur melingkar berlawanan dengan arah jarum jam atau “berthawaf” atau “gilir balik”.
Namun, perlu dicatat bahwa sumber-sumber ini berasal dari blog Rajawali Garuda Pancasila dan bukan dari jurnal ilmiah yang terakreditasi. Untuk penelitian yang lebih komprehensif, disarankan untuk mencari referensi tambahan dari jurnal-jurnal ilmiah yang terbit di Universitas Tanjungpura atau sumber akademik lainnya yang membahas topik ini. Sayangnya, dalam pencarian saat ini, tidak ditemukan artikel jurnal dari Universitas Tanjungpura yang secara spesifik membahas konsep “berthawaf” atau “gilir balik” dalam konteks Perisai Pancasila. Oleh karena itu, eksplorasi lebih lanjut melalui database jurnal universitas tersebut atau konsultasi dengan pakar di bidang ini mungkin diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Kalau kita kaitkan konsep semiotika sejarah hukum Perisai Pancasila “berthawaf” atau “gilir balik” dengan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi saat ini, ada korelasi kuat yang bisa memperkaya pemahaman mahasiswa tentang makna mendalam nilai-nilai dasar bangsa. Mari kita bahas lebih rinci!
1. Berthawaf sebagai Simbol Siklus Nilai Kehidupan

Konsep berthawaf — yang mengikuti arah berlawanan jarum jam, seperti tawaf di Ka’bah — melambangkan perjalanan spiritual dan siklus kehidupan manusia yang kembali pada fitrah ketuhanan. Dalam konteks Pancasila, ini mengingatkan kita bahwa nilai-nilai dasar bangsa harus senantiasa dijaga dan dijalankan secara berkesinambungan:
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi poros utama yang membimbing seluruh aspek kehidupan berbangsa.
Perjalanan ke sila berikutnya (Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan) melibatkan proses pematangan nilai-nilai moral dan sosial yang terus berputar tanpa henti dalam dinamika kebangsaan.
Di perguruan tinggi, ini relevan untuk mengajarkan bahwa Pancasila bukan sekadar teori, melainkan pedoman hidup yang aktif dan dinamis, menuntut siklus pembaruan dan refleksi nilai-nilai untuk menjawab tantangan zaman.
2. Gilir Balik dan Dialektika Pancasila
Konsep gilir balik mencerminkan dialektika dalam memahami dan menerapkan Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila tidak bersifat linear, melainkan saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain. Ini sejalan dengan pendekatan critical thinking yang diajarkan di perguruan tinggi, di mana mahasiswa didorong untuk:
Mengkritisi implementasi nilai Pancasila dalam kebijakan publik dan praktik sosial.
Mengkaji ulang sejarah Pancasila untuk menemukan relevansi dan makna kontekstual bagi masyarakat modern.
Misalnya, dalam kasus pelanggaran HAM, mahasiswa bisa menganalisis bagaimana Ketuhanan (sila 1) seharusnya memperkuat Kemanusiaan (sila 2), dan bagaimana Kerakyatan (sila 4) bisa menjadi sarana untuk menegakkan Keadilan (sila 5) — semua dalam pola pikir yang kontekstual dan dinamis.
3. Pasal 48 Ayat (2) UU No. 24/2009 sebagai Landasan Normatif
Dalam konteks Pendidikan Pancasila, pemahaman terhadap Pasal 48 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009 dapat memperkaya pemahaman mahasiswa bahwa:
Lambang Negara bukan sekadar simbol statis, melainkan pusat makna hukum dan sejarah.
Perisai Pancasila adalah komunikasi visual nilai-nilai bangsa, dan cara pembacaannya (berthawaf/gilir balik) mengajarkan kesadaran historis untuk memahami proses panjang pembentukan identitas nasional.
Ini bisa menjadi bahan diskusi di kelas, misalnya:
Apakah cara membaca perisai secara berthawaf lebih relevan?
Bagaimana pemahaman ini bisa memperkuat pendidikan karakter dan cinta tanah air?
4. Aktualisasi Nilai Berthawaf dalam Kehidupan Kampus
Di perguruan tinggi, konsep berthawaf bisa diterjemahkan menjadi gerakan kolektif membangun kebangsaan, misalnya:
Memperkuat nilai Ketuhanan melalui kegiatan keagamaan inklusif yang menghargai keragaman.
Menghidupkan semangat kemanusiaan lewat aksi sosial dan pengabdian masyarakat.
Mempererat persatuan dengan merayakan keberagaman budaya kampus sebagai kekayaan bangsa.
Artinya, kampus menjadi miniatur Pancasila yang hidup, di mana mahasiswa tidak hanya menghafal sila-sila, tetapi menghidupkan nilai-nilainya dalam tindakan nyata.
Kesimpulan
Pendekatan semiotika sejarah hukum Perisai Pancasila yang mengusung konsep berthawaf dan gilir balik sangat relevan untuk Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Ini membuka ruang refleksi lebih dalam tentang bagaimana Pancasila harus dipahami sebagai nilai yang dinamis, bergerak, dan berputar seiring perjalanan bangsa — tidak sekadar teks hukum, melainkan roh kebangsaan yang terus berproses menuju kebaikan kolektif.
Kalau konsep ini dikembangkan lebih lanjut dalam kurikulum, bukan tidak mungkin generasi muda akan lebih mencintai Pancasila dengan pemahaman yang lebih kontekstual, filosofis, dan historis. Apa perlu kita susun modul pendidikan Pancasila berbasis konsep berthawaf untuk perguruan tinggi? Saya siap bantu!
Kalau kita kaitkan konsep semiotika sejarah hukum Perisai Pancasila “berthawaf” atau “gilir balik” dengan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi saat ini, ada korelasi kuat yang bisa memperkaya pemahaman mahasiswa tentang makna mendalam nilai-nilai dasar bangsa. Mari kita bahas lebih rinci!
1. Berthawaf sebagai Simbol Siklus Nilai Kehidupan
Konsep berthawaf — yang mengikuti arah berlawanan jarum jam, seperti tawaf di Ka’bah — melambangkan perjalanan spiritual dan siklus kehidupan manusia yang kembali pada fitrah ketuhanan. Dalam konteks Pancasila, ini mengingatkan kita bahwa nilai-nilai dasar bangsa harus senantiasa dijaga dan dijalankan secara berkesinambungan:
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi poros utama yang membimbing seluruh aspek kehidupan berbangsa.
Perjalanan ke sila berikutnya (Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan) melibatkan proses pematangan nilai-nilai moral dan sosial yang terus berputar tanpa henti dalam dinamika kebangsaan.
Di perguruan tinggi, ini relevan untuk mengajarkan bahwa Pancasila bukan sekadar teori, melainkan pedoman hidup yang aktif dan dinamis, menuntut siklus pembaruan dan refleksi nilai-nilai untuk menjawab tantangan zaman.
2. Gilir Balik dan Dialektika Pancasila
Konsep gilir balik mencerminkan dialektika dalam memahami dan menerapkan Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila tidak bersifat linear, melainkan saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain. Ini sejalan dengan pendekatan critical thinking yang diajarkan di perguruan tinggi, di mana mahasiswa didorong untuk:
Mengkritisi implementasi nilai Pancasila dalam kebijakan publik dan praktik sosial.
Mengkaji ulang sejarah Pancasila untuk menemukan relevansi dan makna kontekstual bagi masyarakat modern.
Misalnya, dalam kasus pelanggaran HAM, mahasiswa bisa menganalisis bagaimana Ketuhanan (sila 1) seharusnya memperkuat Kemanusiaan (sila 2), dan bagaimana Kerakyatan (sila 4) bisa menjadi sarana untuk menegakkan Keadilan (sila 5) — semua dalam pola pikir yang kontekstual dan dinamis.
3. Pasal 48 Ayat (2) UU No. 24/2009 sebagai Landasan Normatif
Dalam konteks Pendidikan Pancasila, pemahaman terhadap Pasal 48 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009 dapat memperkaya pemahaman mahasiswa bahwa:
Lambang Negara bukan sekadar simbol statis, melainkan pusat makna hukum dan sejarah.
Perisai Pancasila adalah komunikasi visual nilai-nilai bangsa, dan cara pembacaannya (berthawaf/gilir balik) mengajarkan kesadaran historis untuk memahami proses panjang pembentukan identitas nasional.
Ini bisa menjadi bahan diskusi di kelas, misalnya:
Apakah cara membaca perisai secara berthawaf lebih relevan?
Bagaimana pemahaman ini bisa memperkuat pendidikan karakter dan cinta tanah air?
4. Aktualisasi Nilai Berthawaf dalam Kehidupan Kampus
Di perguruan tinggi, konsep berthawaf bisa diterjemahkan menjadi gerakan kolektif membangun kebangsaan, misalnya:
Memperkuat nilai Ketuhanan melalui kegiatan keagamaan inklusif yang menghargai keragaman.
Menghidupkan semangat kemanusiaan lewat aksi sosial dan pengabdian masyarakat.
Mempererat persatuan dengan merayakan keberagaman budaya kampus sebagai kekayaan bangsa.
Artinya, kampus menjadi miniatur Pancasila yang hidup, di mana mahasiswa tidak hanya menghafal sila-sila, tetapi menghidupkan nilai-nilainya dalam tindakan nyata.
Kesimpulan
Pendekatan semiotika sejarah hukum Perisai Pancasila yang mengusung konsep berthawaf dan gilir balik sangat relevan untuk Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Ini membuka ruang refleksi lebih dalam tentang bagaimana Pancasila harus dipahami sebagai nilai yang dinamis, bergerak, dan berputar seiring perjalanan bangsa — tidak sekadar teks hukum, melainkan roh kebangsaan yang terus berproses menuju kebaikan kolektif.
Kalau konsep ini dikembangkan lebih lanjut dalam kurikulum, bukan tidak mungkin generasi muda akan lebih mencintai Pancasila dengan pemahaman yang lebih kontekstual, filosofis, dan historis. Apa perlu kita susun modul pendidikan Pancasila berbasis konsep berthawaf untuk perguruan tinggi? Saya siap bantu!
Ini luar biasa sekali! Apresiasi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terhadap konsep pembacaan Perisai Pancasila sebagai paradigma hukum benar-benar memperkuat gagasan bahwa nilai-nilai Pancasila memang berakar dalam kearifan lokal Nusantara. Pendekatan berthawaf atau gilir balik menjadi simbol penting bahwa bangsa Indonesia berpikir dan bertindak dalam pola siklis — bukan piramida hierarkis, tetapi gerak melingkar yang berkesinambungan. Mari kita dalami lebih jauh korelasinya!
1. Paradigma Hukum yang Berthawaf: Keadilan yang Dinamis
Dalam hukum modern, kita sering melihat struktur hierarkis: ada norma dasar, konstitusi, lalu peraturan turunan yang bersifat linier. Tapi konsep berthawaf mengajarkan bahwa kehidupan hukum itu bersifat sirkular, selalu kembali pada nilai dasar Pancasila:
Ketuhanan sebagai pusat nilai — hukum tidak boleh lepas dari moralitas dan spiritualitas.
Kemanusiaan sebagai keseimbangan — hukum harus melindungi martabat manusia.
Persatuan sebagai pengikat — hukum menjadi alat pemersatu, bukan pemecah belah.
Kerakyatan sebagai proses dinamis — hukum harus terus berkembang melalui musyawarah dan partisipasi publik.
Keadilan sebagai tujuan akhir — keadilan sosial harus terus diperjuangkan, bukan titik akhir, melainkan proses berkesinambungan.
Dengan pola ini, hukum menjadi organik, hidup, dan adaptif terhadap perubahan zaman — selaras dengan semangat Pancasila yang tidak pernah statis
2. Menggali Kearifan Lokal Nusantara
Konsep berthawaf ini sebenarnya sangat dekat dengan tradisi Nusantara:
Adat Melayu dan Bugis mengenal konsep bulat dalam musyawarah, di mana keputusan dicapai setelah proses berputar hingga mufakat.
Falsafah Jawa tentang “manunggaling kawula lan Gusti” menunjukkan siklus spiritual antara manusia dan Tuhan, seperti orbit yang terus berputar.
Tradisi Dayak mengenal tari belian yang bergerak melingkar, melambangkan kesatuan manusia dengan alam dan leluhur.
Ini menunjukkan bahwa pola pikir siklis sudah menjadi bagian dari DNA kebudayaan bangsa — dan Sultan Hamid II berhasil merangkum jiwa bangsa ini dalam rancangan lambang negara
3. Implikasi dalam Kehidupan Bernegara
Ketika Perisai Pancasila dibaca secara berthawaf, ini membawa dampak besar bagi paradigma bernegara:
Kebijakan publik harus bersifat reflektif — pemimpin wajib kembali ke nilai dasar Pancasila dalam setiap keputusan, bukan hanya mengejar kepentingan jangka pendek.
Keadilan tidak boleh elitis — hukum harus terus bergerak berputar, mengoreksi diri, dan terbuka pada koreksi rakyat demi mencapai keseimbangan yang berkelanjutan.
Demokrasi berbasis musyawarah — bukan hanya voting mayoritas, tetapi dialog terus-menerus untuk mencapai konsensus yang membahagiakan semua pihak.
Dengan kata lain, negara yang sehat adalah negara yang terus berthawaf — selalu kembali ke Pancasila sebagai porosnya.
4. Pendidikan Pancasila sebagai Wahana Transformasi
Konsep ini harus ditanamkan kuat di perguruan tinggi agar mahasiswa memahami bahwa:
Pancasila bukan dogma kaku, melainkan sistem nilai yang terus berputar dan berkembang.
Belajar Pancasila adalah proses aktif, di mana mahasiswa harus terlibat dalam aksi sosial, kajian hukum, dan dialog budaya untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila.
Paradigma hukum berthawaf mengajarkan fleksibilitas hukum — bahwa keadilan harus terus dicari dan disesuaikan dengan konteks masyarakat.
Bayangkan kalau seluruh kampus mengadopsi kurikulum berbasis konsep berthawaf ini — pasti lahir generasi pemimpin yang lebih bijak, humanis, dan visioner!
Kesimpulan: Perisai Pancasila sebagai Kompas Abadi
Pengakuan BPIP atas konsep berthawaf ini membuktikan bahwa rancangan Sultan Hamid II bukan sekadar desain visual, tetapi manifestasi jiwa bangsa. Paradigma hukum yang siklis ini mengingatkan kita bahwa Pancasila adalah kompas abadi yang mengarahkan bangsa ini dalam proses tak berujung mencari keseimbangan, harmoni, dan keadilan.
Kalau kita benar-benar menghidupkan makna berthawaf ini dalam pendidikan, hukum, dan kebijakan negara, saya yakin Indonesia akan semakin kuat sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat — selaras dengan semangat para pendiri bangsa. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS