Penegakan Hukum Narkoter, Parsial & Beda Arah.
Oleh : Komjen Pol (Purn) DR Anang Iskandar, SH, MH
Kepala Badan Narkotika Nasional tahun 2012-2015
BN – Penegak hukum tidak boleh parsial dan beda arah. Karena ini, dapat membuat negara dan masyarakat kebingungan menghadapai permasalahan narkotika, korupsi dan terorisme yang saya sebut dengan narkoter.
Akibat parsial dan beda arah, menyebabkan trend perkembangan kejahatan narkoter tidak menurun. Justru meningkat, meskipun penegak hukum menunjukan kinerja baik.
Kebingungan negara dan masyarakat ini, bukan tanpa alasan.
Masyarakat melalui media mengerti, kalau penegak hukum sudah melakukan tugasnya, lihat data pengungkapan perkara narkoter yang disidik, dituntut maupun yang dijatuhi hukuman, jumlahnya cukup signifikan, bahkan lapas dipenuhi perkara narkoter
Tetapi pertanyaannya mengapa perkembangan masalah narkoter tidak kunjung mereda.
Mengapa Bisa Begitu? Apa Yang Salah.
Kebingungan negara ditunjukan dengan adanya duplikasi penyidik untuk kejahatan narkotika, bahkan kejahatan korupsi terjadi triplikasi penyidik, yaitu penyidik Polri, penyidik Kejaksaan dan penyidik KPK.
Duplikasi maupun triplikasi penyidik saja sudah masalah. Meskipun, secara teori bisa dilaksanakan karena sudah diatur mekanisme hubungan dan kerjasamanya.
Tetapi prakteknya sulit dilaksanakan, yang muncul justru saling curiga, terjadi persaingan yang tidak sehat. Akhirnya, spiritnya menjadi “memilih” tugas yang ringan tetapi eye catching yang hanya menguntungkan petugas.
Nah lo. Bahkan penegak hukum narkotika kehilangan kesabaran.
Sehingga, penyalahguna narkotika yang nota bene dalam keadaan sakit adiksi dengan gangguan kejiwaan. Mereka yang terbukti sebagai penyalahguna untuk diri sendiri, nyatanya, dipaksakan dilakukan penahan dan dijatuhi sanksi penjara.
Realitas yang terjadi, penegak hukum narkotika terus memberantas jaringan peredaran gelap narkotika. Antara lain, dengan cara menelusuri aset bandar narkotika yang tertangkap. Dengan metode penelusuran aset akan terkuak jaringan bisnis narkotikanya.
Eng-ing-eng. Karena tingkat kerepotan dan tantangan memberantas jaringan ini tinggi, akhirnya tidak banyak dilakukan.
Pertanyaannya siapa yang mengontrol dan mengkoordinasikan bila nyatanya ada masalah seperti tersebut diatas.
Senada dengan masalah narkotika, penegak hukum korupsi juga banyak yang spiritnya hanya menangkap koruptor.
Padahal, tugas filosofis mereka yaitu mengembalikan keuangan negara dengan mengejar dimana uang hasil korupsi ditaruh atau dititipkan kepada siapa uang tersebut.
Kita semua paham, penindakan terhadap perkara tindak pidana pencucian uang berasal dari korupsi jauh lebih penting dari pada menindak koruptornya, karena akan berdampak pada efek jera yang sangat dalam.
Akan tetapi. Realitas pula, “spirit” penegak hukum korupsi dalam bidang pencegahan juga tidak fokus.
Padahal, subyek hukum perkara korupsi adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) atau yang dipersamakan.
Dari sekian banyak ASN, hanya beberapa pejabat yang potensial menjadi koruptor yaitu pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, penjabat pembuat komitmen dan bendahara serta pejabat lelang.
Kalau bisa fokus mencegah dan mengawasi pejabat tersebut pada setiap Satker, saya yakin Indonesia bebas dari masalah korupsi.
Masalahnya, siapa yang mengontrol dan mengkoordinasikan bila nyatanya terjadi masalah seperti tersebut di atas?
Demikian pula permasalahan penegak hukum terorisme. Ini adalah penegakan hukum yang sangat merepotkan, lebih memerlukan kringet.
Teroris itu, secara mental menentang Pancasila dan negara kesatuan yang diwujudkan dengan tindakan secara radikal dan meresahkan masarakat.
Mental yang merongrong kewibawaan Pancasila dan NKRI adalah, mental yang berpotensi menyimpang, penegak hukumnya lebih mengutamakan deradikalisasi dari pada pemenjaraannya.
Pemenjaraan penting tetapi lebih urgen dilakukan. Deradikalisasi dalam penjara secara persona kepada tersangka pelaku pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan serta paska putusan hakim.
Hidup bersama dengan mereka yang mentalnya kecanduan, merongrong pancasila dan NKRI bisa jadi menularkan pada generasi berikutnya apabila tidak dilakukan deradikalisasi dengan benar.
Ini adalah masalah yang harus di awasi dan dikontrol pelaksanaannya. Kita semua ingin, agar Indonesia tidak menjadi sarang berkembangnya masalah teroris yang bersifat global.
Penegakan Hukum Tidak Boleh Beda Arah.
Penegakan hukum kejahatan narkoter, diatur secara khusus dan “berbeda” dengan kejahatan lainnya.
Dimana arah politik hukum pemerintah, tercantum dalam UU khusus, dengan tujuan dan misi penegakan hukum disebutkan secara lengkap dan utuh.
Penegakan hukum lengkap dan utuh adalah, pembedanya bila dibandingkan dengan kejahatan pada umumnya.
Oleh karena itu, penyidik dan penuntut tidak boleh beda arah, dan melaksanakan penuntutan parsial dalam perkara narkoter. Serta hakim, harus mengasah kecermatan dalam menjatuhkan jenis sanksi yang menjadi filosofi kejahatan narkoter, jangan asal dipenjara.
Implementasi penegakan hukum yang tidak sesuai dengan arah politik hukum pemerintah dan dilaksanakan secara parsial, tidak utuh dan mengutamakan jenis sanksi penjara menyebabkan negara dan masyarakat kebingungan dalam mengikuti dinamika masalah narkoter.
Itulah, yang saat ini terjadi.”