Perang Terhadap Narkotika “Sangat Terkenal” tetapi Hasilnya?
Oleh : Komjen Pol ( Purn ) Dr. Anang Iskandar, SH.
BN – Kenapa penyalah guna hukumannya menjalani rehabilitasi, padahal penyalah guna diancam pidana. Untuk menjelaskan permasalahan tersebut perlu membuka sejarah.
Sejarah berkonvensi Internasional tidak selamanya berjalan lancar, demikian juga Konvensi tentang narkotika, pernah mengalami kolektif blunder ketika menerapkan Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961.
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut melarang baik penyalahgunaan maupun peredaran gelap narkotika secara pidana dan diberikan hukuman penjara. Amerika sebagai pelopor Konvensi Tunggal Narkotika 1961 kemudian meminpin perang melawan narkotika.
Perang melawan narkotika tersebut dengan sasaran siapa pun yang terlibat masalah narkotika, baik pengedar, produsen, penanam dihukum penjara, termasuk penyalah guna dilakukan penahanan dan dijatuhi hukuman penjara.
Perang terhadap narkotika “sangat terkenal” tetapi hasilnya “sangat mengecewakan” karena:
1. Trend pertumbuhan penyalah guna makin naik, peredaran narkotika juga naik, timbul masalah residivisme penyalahgunaan narkotika. Amerika sendiri menghasilkan generasi hippies
2. Perang melawan narkotika pimpinan Amerika selanjutnya dievaluasi tahun 1972 dan hasilnya dinyatakan gagal.
3. Sebab dinyatakan gagal karena penyalah guna sebagai penderita sakit kambuhan dan gangguan mental dijatuhi hukuman penjara, mereka tidak sembuh justru berdampak buruk bagi yang bersangkutan, masarakat dan negara.
Atas kegagalan perang melawan narkotika berlandaskan Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961.
Maka, konvensi tersebut diamandemen dengan protokol 1972, bahwa hukuman terhadap penyalah guna yang semula berupa hukuman penjara, diganti dengan alternatif hukuman berupa rehabilitasi.
Sejak tahun 1972, Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961 beserta protokol yang merubahnya, berlaku secara global dengan ketentuan perubahan bahwa penyalah guna diberikan hukuman alternatif berupa rehabilitasi.
Indonesia mengadobsi konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya, menjadi UU no 8 tahun 1976, dimana penyalah guna diberikan alternatif hukuman berupa rehabilitasi.
Di 1988 Indonesia juga mengadobsi Konvesi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psykotropika tahun 1988.
Yang isinya menyempurnakan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya, menjadi UU no 7 tahun 1997 berisi kerjasama dan teknik pemberantasan narkotika.
Pada tahun 2009 ketika DPR dan Pemerintah membuat UU narkotika, dimana UU no 8 tahun 1976 dan UU no 7 tahun 1997, tersebut dijadikan dasar dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Bahwa dalam menangani penyalah guna diberikan hukuman berupa rehabilitasi, dalam menangani pengedar menekankan kerjasama dengan negara lain.
Karena UU no 35/2009 tentang narkotika, dalam menangani penyalah guna diberikan hukuman rehabilitasi maka konstruksi UUnya dibuat sebagai berikut:
1. Tujuan dibuatnya UU adalah menjamin penyalah guna dan pecandu mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 4d).
Kalau pengedar diberantas (pasal 4c). Meskipun keduanya, penyalah guna dan pengedar dikriminalkan oleh UU narkotika. Penyalah guna tidak oleh dituntut dengan cara di-yunto-kan karena beda tujuan penegakan hukumnya.
2. Penyalah guna dijelaskan dalam pasal 1/15 yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum.
3. Penyidik, penuntut dan hakim diberi kewenangan menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan (pasal 13 PP 25/2011)
4. Dalam memeriksa perkara penyalah guna, hakim diberi kewajiban (127/2) untuk memperhatikan kondisi taraf ketergantungan penyalah guna (pasal 54) dan menggunakan kewenangan justice for health yaitu kewenangan dapat menghukum rehabilitasi. (pasal 103/1)
5. Rehabilitasi adalah bentuk hukuman (pasal 103/2).
Menurut catatan saya, sejak berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, penyalah guna narkotika yang ditangkap, disidik, dituntut dan diadili oleh penegak hukum dilakukan penahanan dan dihukum dengan hukuman penjara.
Padahal, tujuan UU Narkotikanya menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi sedangkan terhadap pengedar diberantas.
Aparat penegak hukum hanya atas dasar unsur pasal 111, 112, 113 atau 114 serta merta menganggap bahwa penyalah guna memenuhi unsur pasal tersebut.
Padahal, unsur pasal tersebut diperuntukan bagi pengedar, bukan bagi penyalah guna, untuk penyalah guna diatur secara khusus pada pasal 127/1.
Di pasal 127/1 tidak boleh di-yunto-kan dengan pasal pengedar (pasal 111,112,113 atau 114) karena beda tujuannya.
Penyalah guna tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan, alternatifnya penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi.
Sayangnya, pada praktek penegakan hukum, penyalahguna disidik, dituntut dan diadili seakan akan sebagai pengedar, oleh karena itu penyalah guna pada akhir ditahan.
Nah, soal penahanan ini yang menjadi biang keladi masalah.
Dari sini, akhirnya dimanfaatkan penyidik yang memeriksa untuk narget melalui fihak ketiga, wani piro?
Kalau minta tidak ditahan atau direhabilitasi, padahal merehabilitasi penyalah guna itu, kewajiban dan kewenangan penegak hukum atas dasar peraturan perundang undangan.
Demikian juga pada proses penuntutan dan pengadilan mengalami hal yang sama.
Masalahnya bukan wani piro, kalau keluarga piro piro nggak wani, dan penyalah sudah dilakukan penahanan maka penyalah guna (pasal 127/1) tetap disidik dan dituntut sebagai pengedar dengan pasal 111, 112, 113 atau pasal 114 atau dituntut secara subsidiaritas dengan pasal pengedar.
Penyalah guna (pasal 127/1) yang dituntut sebagai pengedar pasal 111,112,113 atau 114 atau dituntut secara subsidiaritas dengan pengedar tersebut untuk selanjutnya oleh hakim memutuskan bersalah dihukum dengan hukuman penjara.
Penyalah guna ditahan selama proses penegakan hukum dan dihukum penjara, tidak saja melanggar UU narkotika yang dilakukan oleh penyidik, jaksa dan hakim yang mengadili, juga merupakan pelanggaran terhadap HAM yang suatu saat bisa meledak. ( red )