PROBLEMATIKA HUKUM TENTANG KEWENANGAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN ANALISIS DARI PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH & KEBIJAKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL  (ESDM) TERBARU

PROBLEMATIKA HUKUM TENTANG KEWENANGAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN ANALISIS DARI PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH & KEBIJAKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL  (ESDM) TERBARU

Hasil  Pemetaan Kebijakan Dalam  Regulasi Pemerintah Pusat

Oleh Turiman Fachturahman Nur

Problematika Hukum :
PP Nomor. 96 Tahun 2014 memang tidak secara langsung merujuk PP Nomor. 23 Tahun 2010 di bagian Menimbang dan Mengingat, namun PP 96 Tahun 2014 sebenarnya adalah peraturan yang diterbitkan untuk mengubah dan melengkapi PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam praktiknya, PP 96 Tahun 2014 mengubah beberapa ketentuan penting terkait perizinan, tata kelola Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan aspek lain dalam pengelolaan pertambangan.
Berikut adalah beberapa poin penting yang menunjukkan keterkaitan antara PP Nomor 96 Tahun 2014 dan PP Nomor 23 Tahun 2010:
1. Perubahan Ketentuan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
PP No. 96 Tahun 2014 memperjelas dan menyesuaikan beberapa ketentuan tentang mekanisme pengajuan, penetapan, dan pencabutan IUP. Ketentuan ini mengacu pada tata cara yang sebelumnya diatur dalam PP No. 23 Tahun 2010 namun membutuhkan perbaikan agar lebih jelas dan terstruktur.
2. Pengaturan Lebih Detail tentang Wilayah Pertambangan
Beberapa pasal dalam PP 96 Tahun 2014 memberikan pengaturan lebih rinci tentang wilayah pertambangan yang awalnya telah diatur di PP No. 23 Tahun 2010. Misalnya, perubahan dan tata cara penentuan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dan pembatasan luas wilayah pertambangan.
3. Peningkatan Tata Kelola Pertambangan
Salah satu tujuan utama dari PP No. 96 Tahun 2014 adalah memperbaiki tata kelola pertambangan untuk meningkatkan efektivitas, akuntabilitas, dan pengawasan. Perubahan ini diambil dari evaluasi atas implementasi PP No. 23 Tahun 2010 dan kebutuhan perbaikan tata kelola yang lebih baik.
4. Aspek Lingkungan dan Pemanfaatan Mineral serta Batubara
PP No. 96 Tahun 2014 juga menambahkan aturan yang lebih rinci terkait pemanfaatan sumber daya dan aspek lingkungan yang belum sepenuhnya terakomodasi di PP No. 23 Tahun 2010. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Secara keseluruhan, meskipun dalam Bagian Menimbang dan Mengingat PP 96 Tahun 2014 tidak merujuk PP 23 Tahun 2010 secara eksplisit, substansi perubahan yang ada di dalamnya menunjukkan keterkaitan erat dengan ketentuan yang ada di PP 23 Tahun 2010.
Berikut adalah alasan-alasan detail terkait mengapa PP No. 96 Tahun 2014 diterbitkan untuk mengubah dan melengkapi ketentuan dalam PP No. 23 Tahun 2010:
1. Kebutuhan Akan Kepastian Hukum dalam Perizinan IUP
PP No. 23 Tahun 2010 awalnya mengatur mekanisme penerbitan, pengelolaan, dan pengakhiran Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Namun, dalam praktiknya, beberapa ketentuan dianggap belum jelas, terutama dalam hal prosedur dan persyaratan perizinan, yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha. PP No. 96 Tahun 2014 kemudian diterbitkan untuk memperjelas aspek-aspek tersebut dan memberikan kepastian hukum agar investor dan pelaku usaha mendapatkan panduan yang lebih konkret dalam pengurusan IUP.
2. Peningkatan Pengawasan Tata Kelola Pertambangan
Salah satu tujuan utama dari penerbitan PP 96 Tahun 2014 adalah memperbaiki tata kelola dan pengawasan pertambangan agar lebih efektif. PP No. 23 Tahun 2010 dianggap kurang memberi ruang yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan. Dalam PP No. 96 Tahun 2014, terdapat penekanan pada pengawasan dan pemberian sanksi administratif, yang memberikan wewenang lebih besar kepada pemerintah untuk memantau kepatuhan perusahaan tambang terhadap aturan yang berlaku.
3. Menyelaraskan dengan Prinsip Kelestarian Lingkungan
PP No. 23 Tahun 2010 belum secara komprehensif mengatur upaya-upaya pelestarian lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Mengingat aktivitas pertambangan memiliki potensi dampak besar terhadap ekosistem, PP No. 96 Tahun 2014 ditetapkan untuk memperketat ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan. Ini termasuk perbaikan dalam pengelolaan tailing, reklamasi pascatambang, serta pengelolaan air dan tanah, agar aktivitas pertambangan lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
4. Menanggapi Perkembangan Ekonomi dan Teknologi
Perkembangan sektor pertambangan, baik dari segi teknologi maupun ekonomi, terjadi cukup pesat setelah PP No. 23 Tahun 2010 diberlakukan. Dengan munculnya metode baru dalam eksplorasi dan eksploitasi mineral, diperlukan aturan tambahan yang mengakomodasi praktik-praktik ini agar tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku. PP No. 96 Tahun 2014 diterbitkan untuk merespons perkembangan tersebut, seperti dalam penentuan wilayah dan tata cara izin tambang khusus (WIUPK), serta pengelolaan teknologi yang lebih efisien dan aman.
5. Mengurangi Ketimpangan Akses dan Meningkatkan Keadilan Ekonomi
Salah satu pertimbangan dalam revisi ketentuan ini adalah memberikan kesempatan yang lebih adil dalam akses kepemilikan dan pengelolaan izin tambang. Pada PP No. 23 Tahun 2010, mekanisme perizinan terkadang menguntungkan pihak-pihak tertentu, sedangkan pelaku usaha lainnya kesulitan mendapatkan izin. PP No. 96 Tahun 2014 memperbaiki aspek ini dengan menciptakan mekanisme yang lebih transparan dan memperketat kontrol, sehingga tercipta persaingan usaha yang sehat dan merata di sektor pertambangan.
6. Pengaturan Mengenai Bagi Hasil dan Manfaat Ekonomi untuk Daerah
PP No. 96 Tahun 2014 menegaskan pentingnya kontribusi pertambangan terhadap ekonomi daerah melalui pajak, retribusi, dan royalti. Hal ini untuk memastikan bahwa daerah yang menjadi lokasi pertambangan mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar dan adil dari kegiatan pertambangan. PP ini mengatur lebih lanjut mengenai kontribusi tersebut, termasuk dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
7. Penegakan Sanksi dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Pengalaman setelah implementasi PP No. 23 Tahun 2010 menunjukkan adanya kesulitan dalam penerapan sanksi bagi pelanggar ketentuan pertambangan. PP No. 96 Tahun 2014 memperjelas jenis-jenis sanksi administratif dan prosedur pemberiannya, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, pembekuan izin, hingga pencabutan izin. Selain itu, PP ini memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa, baik antara pemerintah dengan perusahaan, maupun antara perusahaan dengan masyarakat.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, PP No. 96 Tahun 2014 diterbitkan sebagai respons terhadap berbagai kendala dalam pelaksanaan PP No. 23 Tahun 2010, dengan tujuan menciptakan tata kelola yang lebih jelas, transparan, dan berkeadilan di sektor pertambangan.
Kedua peraturan ini, PP No. 96 Tahun 2021 dan PP No. 96 Tahun 2014, memiliki relevansi terhadap pelaku usaha pertambangan yang ingin mengoptimalkan izin eksplorasi mereka, meski korelasi langsung hanya ada pada PP No. 96 Tahun 2021. Berikut korelasi pentingnya:
1. PP No. 96 Tahun 2021 – Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan
Penting untuk Perubahan Status Izin: Bagi pelaku usaha yang telah memiliki izin eksplorasi, PP ini adalah acuan langsung untuk memproses peningkatan status izin dari eksplorasi menjadi izin produksi atau operasi.
Pasal Terkait:
Pasal 19-20: Mengatur mekanisme dan syarat untuk memperoleh peningkatan status IUP dari eksplorasi menjadi operasi produksi. Pelaku usaha harus menyelesaikan sejumlah persyaratan administratif, teknis, serta lingkungan, seperti menyusun laporan studi kelayakan yang menjadi dasar persetujuan izin operasi.
Pasal 23-25: Terkait ketentuan administrasi perpanjangan izin, di mana pelaku usaha yang izin eksplorasinya belum habis masa berlaku tetapi ingin meningkatkannya ke tahap produksi harus mengikuti persyaratan lebih lanjut.
Pasal 73-79: Sanksi administratif yang bisa diberlakukan jika pemegang izin tidak memenuhi persyaratan teknis atau melanggar ketentuan lingkungan.
Peluang untuk Peningkatan Izin: Peraturan ini menciptakan mekanisme yang memungkinkan pemegang izin eksplorasi mengajukan peningkatan izin menjadi produksi, sehingga dapat segera memulai kegiatan operasi komersial setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, termasuk terkait studi kelayakan, AMDAL, dan perizinan lainnya.
2. PP No. 96 Tahun 2014 – Penyertaan Modal pada ASEAN Infrastructure Fund
Dampak Tidak Langsung pada Pelaku Usaha: Meskipun PP ini tidak secara langsung terkait dengan perizinan pertambangan, keterlibatan Indonesia dalam ASEAN Infrastructure Fund mendukung investasi infrastruktur, termasuk infrastruktur pendukung sektor energi dan pertambangan.
Relevansi pada Infrastruktur: Pelaku usaha pertambangan bisa memperoleh keuntungan secara tidak langsung dari peningkatan kapasitas infrastruktur di kawasan ASEAN, yang dapat mencakup fasilitas energi, transportasi, atau jalur ekspor yang lebih baik.
Keterkaitan Ekonomi Regional: Partisipasi dalam ASEAN Infrastructure Fund dapat mempengaruhi stabilitas dan daya saing industri pertambangan di Indonesia dengan menyediakan akses pendanaan atau mendorong kerja sama infrastruktur lintas negara di sektor energi.
Kesimpulan
PP No. 96 Tahun 2021 sangat penting bagi pelaku usaha pertambangan dengan izin eksplorasi yang ingin meningkatkannya ke tahap operasi produksi karena menyediakan panduan proses perpanjangan dan peningkatan izin
PP No. 96 Tahun 2014 memberikan dampak tidak langsung melalui pengembangan infrastruktur yang mendukung sektor energi dan logistik, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelaku usaha pertambangan untuk beroperasi lebih efisien.
Jika pelaku usaha telah memenuhi persyaratan studi kelayakan, AMDAL, dan administrasi lainnya yang diatur dalam PP No. 96 Tahun 2021, mereka dapat mengajukan peningkatan status izin eksplorasi mereka agar bisa beroperasi secara penuh.
Implikasi Hukum Administrasi Negara
Dalam konteks hukum administrasi negara, terdapat beberapa hambatan utama yang dapat mempengaruhi proses peningkatan izin eksplorasi menjadi izin operasional, khususnya bagi pelaku usaha pertambangan di Indonesia. Hambatan ini meliputi aspek birokrasi, koordinasi lintas lembaga, dan penerapan peraturan. Berikut detail hambatan-hambatan tersebut:
1. Birokrasi yang Kompleks dan Panjang
Hambatan Utama: Proses administrasi perizinan pertambangan di Indonesia seringkali melibatkan prosedur yang rumit dan berlapis-lapis. Banyak pelaku usaha menghadapi kesulitan dalam memenuhi berbagai persyaratan, seperti studi kelayakan, analisis dampak lingkungan (AMDAL), hingga izin penggunaan lahan.
Dampak: Proses yang panjang ini dapat menghambat pelaku usaha yang ingin segera memulai tahap operasional, menambah biaya, dan bahkan meningkatkan risiko ketidakpastian.
Aspek Administratif: Persyaratan administratif yang perlu dilengkapi beragam dan memerlukan waktu lama, seperti survei lapangan, pengumpulan dokumen, dan evaluasi teknis dari berbagai instansi pemerintah.
2. Koordinasi Lintas Lembaga yang Kurang Efektif
Hambatan Utama: Keterlibatan banyak lembaga, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta pemerintah daerah, sering kali menyebabkan tumpang tindih kewenangan. Ini mengakibatkan kebingungan dalam hal persyaratan perizinan dan membuat proses administrasi menjadi tidak efektif.
Dampak: Ketidakjelasan kewenangan ini dapat menyebabkan penundaan proses, terutama jika satu lembaga memberikan persyaratan tambahan yang tidak diatur oleh lembaga lain atau jika terjadi perbedaan interpretasi mengenai peraturan.
Aspek Administratif: Pelaku usaha seringkali harus bolak-balik antara instansi yang berbeda, yang masing-masing memerlukan verifikasi, rekomendasi, atau perizinan tambahan.
3. Interpretasi dan Implementasi Peraturan yang Tidak Seragam
Hambatan Utama: Peraturan yang mengatur sektor pertambangan seringkali ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai lembaga atau bahkan oleh pemerintah daerah. Misalnya, PP No. 96 Tahun 2021 bisa saja ditafsirkan berbeda di tingkat pusat dan daerah, mengingat perbedaan kondisi wilayah dan kebijakan lokal.
Dampak: Pelaku usaha mungkin mengalami kesulitan dalam memahami persyaratan spesifik yang diterapkan di daerah tertentu, yang bisa jadi berbeda dari kebijakan pusat. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan risiko ketidaksesuaian dalam praktik.
Aspek Administratif: Variasi penafsiran ini bisa menghambat konsistensi dalam penerapan peraturan, yang pada akhirnya mempengaruhi efektivitas proses perizinan.
4. Kurangnya Sumber Daya di Tingkat Pemerintah Daerah
Hambatan Utama: Pemerintah daerah sering kali memiliki keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki keahlian teknis di bidang pertambangan dan lingkungan, sehingga menyebabkan proses verifikasi dan pengawasan kurang optimal.
Dampak: Proses pengawasan terhadap izin tambang yang telah diterbitkan atau sedang dalam tahap peningkatan dapat terhambat. Selain itu, pelaku usaha mungkin harus menunggu lebih lama karena terbatasnya jumlah personel yang memproses perizinan.
Aspek Administratif: Kurangnya tenaga ahli di tingkat daerah menyebabkan keterlambatan dan potensi ketidakakuratan dalam penerapan peraturan teknis dan prosedur pengawasan.
5. Masalah Pengawasan dan Penegakan Hukum
Hambatan Utama: Dalam praktiknya, pengawasan terhadap aktivitas pertambangan sering kali lemah karena keterbatasan pengawasan langsung serta sanksi yang tidak selalu diterapkan dengan tegas.
Dampak: Ketidakjelasan dalam penegakan sanksi bagi pelanggar izin pertambangan berpotensi mengurangi tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap peraturan. Hal ini dapat merugikan pelaku usaha yang telah mematuhi aturan, sementara mereka yang melakukan pelanggaran tetap bisa beroperasi tanpa sanksi.
Aspek Administratif: Pengawasan yang lemah juga dapat mengakibatkan penyalahgunaan izin eksplorasi atau izin operasi, yang pada akhirnya berdampak negatif pada sektor pertambangan secara keseluruhan.
Kesimpulan
Hambatan terbesar dalam perspektif hukum administrasi negara pada sektor pertambangan terkait peningkatan izin eksplorasi menjadi izin operasional melibatkan birokrasi yang kompleks, koordinasi antar-lembaga yang kurang efektif, perbedaan interpretasi peraturan, keterbatasan sumber daya daerah, dan lemahnya pengawasan. Mengatasi hambatan-hambatan ini membutuhkan penyederhanaan prosedur administrasi, peningkatan koordinasi lintas lembaga, dan pengawasan yang lebih ketat untuk meningkatkan efisiensi proses izin dan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Problematika Hukum Terkait Kewenangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam Konteks Otonomi Daerah
Dalam konteks otonomi daerah, masalah kewenangan perizinan IUP di sektor pertambangan di Indonesia melibatkan beberapa aspek hukum yang saling terkait. Hal ini diatur oleh regulasi pemerintah pusat dan daerah yang saling bersinggungan, yang seringkali menimbulkan tantangan dalam implementasi dan pengawasan. Berikut adalah pemaparan terkait masalah hukum yang muncul dalam kewenangan IUP, terutama dengan perubahan yang terjadi dalam regulasi, seperti yang diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 dan PP Nomor. 96 Tahun 2014.
1. Tumpang Tindih Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Pada dasarnya, otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola potensi sumber daya alam, termasuk pertambangan, yang ada di wilayah mereka. Namun, PP No. 23 Tahun 2010 mengatur bahwa IUP untuk mineral dan batubara harus dilaksanakan dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini menciptakan ketegangan antara kewenangan daerah dalam pengelolaan pertambangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, yang sering kali dianggap tidak mempertimbangkan kondisi lokal secara memadai.
PP No. 96 Tahun 2014 memberikan pembaruan dengan memperjelas dan mengatur lebih lanjut mekanisme pengelolaan IUP, yang tujuannya adalah untuk memperbaiki tata kelola pertambangan. Namun, masih ada ketidakseimbangan dalam kewenangan pengawasan dan pelaksanaan, di mana pemerintah daerah merasa terbatas dalam melaksanakan kebijakan lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi setempat.
2. Kompleksitas Birokrasi dalam Perizinan
Prosedur perizinan yang berlapis-lapis menjadi masalah besar. PP No. 96 Tahun 2014 dan PP No. 23 Tahun 2010 sama-sama memberikan instruksi yang cukup rinci tentang tata cara perizinan, namun banyak pelaku usaha yang mengalami kesulitan terkait proses administratif yang panjang dan melibatkan berbagai instansi. Hal ini menghambat efisiensi dalam pengajuan izin dan meningkatkan biaya bagi perusahaan, yang pada akhirnya dapat menghambat investasi di sektor pertambangan.
3. Kurangnya Koordinasi Lintas Lembaga
Perizinan pertambangan melibatkan banyak instansi, mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pemerintah daerah. Ketidakefektifan dalam koordinasi antar lembaga sering kali memperpanjang proses perizinan dan menyebabkan ketidaksesuaian dalam penerapan regulasi yang sama, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kewenangan ini terkadang tidak jelas, yang menyebabkan kebingungan bagi pelaku usaha dalam memahami persyaratan yang harus dipenuhi.
4. Pengawasan yang Lemah dan Penegakan Hukum
Meskipun PP No. 96 Tahun 2014 memperkenalkan sistem pengawasan yang lebih ketat dan memberikan sanksi yang lebih tegas, implementasinya masih menghadapi banyak kendala. Pengawasan terhadap pelaksanaan IUP sering kali tidak maksimal, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan izin, seperti eksploitasi berlebih atau pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan yang merugikan masyarakat dan ekosistem.
5. Hambatan dalam Penyesuaian Regulasi dengan Perkembangan Teknologi
Dengan berkembangnya teknologi eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, regulasi yang ada terkadang tertinggal dalam mengakomodasi metode-metode baru yang lebih efisien atau ramah lingkungan. Meskipun ada perubahan dalam PP No. 96 Tahun 2014, seperti penyesuaian terhadap wilayah pertambangan dan pengelolaan lingkungan, tantangan tetap ada terkait penerapan teknologi yang lebih maju dalam eksploitasi tambang.
Solusi Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya perbaikan dalam hal:
Simplicity dan Transparansi dalam prosedur perizinan agar pelaku usaha dapat lebih mudah memahami dan mengikuti prosedur yang berlaku.
Koordinasi yang Lebih Baik antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan kebijakan yang dikeluarkan dapat diterapkan dengan adil dan efektif di seluruh wilayah.
Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum, dengan menekankan pentingnya pengawasan yang konsisten di setiap tahapan perizinan.
Perbaikan dalam Pengelolaan Lingkungan, memastikan bahwa prinsip-prinsip keberlanjutan diintegrasikan dalam setiap keputusan terkait IUP.
Secara keseluruhan, solusi untuk problematika kewenangan dalam perizinan IUP di sektor pertambangan perlu melibatkan harmonisasi antara regulasi pusat dan daerah, serta peningkatan kapasitas lembaga yang terlibat dalam pengelolaan dan pengawasan sektor pertambangan.
Untuk mengatasi masalah kewenangan izin usaha pertambangan (IUP) dalam konteks otonomi daerah, kebijakan nasional yang harus ditempuh mencakup beberapa langkah penting. Kebijakan ini perlu menyeimbangkan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam dan keadilan bagi masyarakat.
Beberapa kebijakan yang bisa ditempuh antara lain:
1. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Pemerintah perlu menyusun dan memperbarui peraturan yang lebih jelas mengenai kewenangan perizinan antara pemerintah pusat dan daerah, agar tidak terjadi tumpang tindih yang membingungkan. Misalnya, memperkuat peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi tetap memastikan standar nasional untuk perlindungan lingkungan dan keberlanjutan.
Peraturan yang mengatur kewenangan ini harus mencakup klarifikasi mengenai pengawasan dan prosedur perizinan, dengan memberikan ruang bagi daerah untuk berperan tanpa mengabaikan kewajiban untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
2. Peningkatan Koordinasi Lintas Lembaga
Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara lembaga-lembaga terkait, sangat penting untuk mencegah fragmentasi kebijakan. Pembentukan forum koordinasi antara Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan pemerintah daerah dapat memastikan kebijakan yang terintegrasi dan implementasi yang lebih efektif. Kebijakan ini juga harus mencakup pelatihan untuk pegawai di daerah mengenai prosedur perizinan yang baru, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan adil.
3. Penyederhanaan Prosedur Perizinan
Mengurangi birokrasi yang berlebihan dan memperkenalkan sistem perizinan berbasis teknologi (digitalisasi) dapat mempermudah proses pengajuan izin usaha pertambangan. Penyederhanaan prosedur ini harus dilakukan dengan tetap memastikan bahwa standar lingkungan dan sosial dipenuhi. Ini akan mempercepat proses perizinan, mengurangi potensi penyelewengan, dan meningkatkan daya tarik investasi.
4. Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Kebijakan nasional harus memperkuat sistem pengawasan melalui penerapan teknologi dan memperkuat kapasitas lembaga yang bertanggung jawab. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan lebih kepada pemerintah daerah dalam hal pengawasan dan penegakan hukum yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Penegakan hukum yang lebih tegas akan mencegah praktek ilegal dan memastikan bahwa izin diberikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Pembangunan Infrastruktur Pendukung
Untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut, pembangunan infrastruktur pendukung seperti sistem informasi yang terintegrasi antar lembaga dan antara pusat dan daerah perlu diperkuat. Hal ini termasuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan audit lingkungan dan evaluasi dampak sosial-ekonomi dari proyek pertambangan.
6. Kebijakan Keberlanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat
Penting untuk memastikan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam berbasis pada prinsip keberlanjutan. Hal ini termasuk menetapkan kebijakan yang memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem serta pemberdayaan masyarakat lokal yang terlibat dalam sektor pertambangan. Kebijakan yang inklusif ini akan mengurangi ketegangan sosial dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka.
Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan pengelolaan izin usaha pertambangan akan lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi pembangunan daerah dan negara secara keseluruhan.
Kebijakan Kementerian , Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Dalam menghadapi masalah pengelolaan pertambangan, ada dua opsi yang dapat dipertimbangkan: mengembalikan kewenangan ke daerah atau membagi hasil dengan cara yang lebih seimbang. Menurut kebijakan saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyepakati untuk mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan pertambangan ke pemerintah daerah, khususnya untuk komoditas mineral bukan logam dan batuan serta izin pertambangan rakyat. Kewenangan ini memberikan pemerintah daerah kesempatan untuk mengelola sektor tersebut dengan lebih dekat kepada masyarakat dan dampak lokal.
Namun, dalam hal komoditas strategis seperti batu bara dan logam, pengelolaannya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan produksi dan menjaga ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, meskipun kewenangan lokal dapat diperkokoh, mekanisme bagi hasil tetap diharapkan agar pendapatan dari sektor pertambangan dapat mengalir ke daerah yang berperan langsung dalam pengelolaan dan dampak sosial-ekonomi pertambangan tersebut. Hal ini akan memperkuat sinergi antara pusat dan daerah dalam mencapai tujuan nasional serta memajukan pengelolaan yang berkelanjutan.
Sebagai langkah konkret, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama dalam membangun pedoman pengelolaan yang jelas dan berbasis pada kebutuhan lokal, namun tetap berorientasi pada pencapaian target nasional, seperti pemulihan lahan bekas tambang dan pengelolaan lingkungan.
Dalam konteks kewenangan daerah dalam pengelolaan sektor pertambangan, beberapa kebijakan nasional sedang dirumuskan oleh kementerian terkait untuk memberikan pengelolaan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022, kewenangan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara telah didelegasikan sebagian kepada pemerintah provinsi, dengan fokus pada komoditas mineral bukan logam, batuan, dan beberapa jenis mineral tertentu. Meskipun demikian, pemerintah pusat tetap memiliki peran dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan ini dan memastikan bahwa tujuan nasional terkait dengan penerimaan negara, investasi, dan ketahanan energi tercapai.
Selain itu, Kementerian ESDM sedang mengembangkan Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional (RPMBN) 2022-2027 yang memuat pedoman-pedoman terkait perizinan, pembinaan, pengawasan, pengelolaan lingkungan, serta pemulihan lahan bekas tambang. Dalam hal ini, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting, mengingat pemerintah daerah adalah pihak yang lebih dekat dengan dampak langsung dari aktivitas pertambangan.
Untuk mendukung pengelolaan pertambangan rakyat, pemerintah juga telah menyusun pedoman untuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang didelegasikan kepada pemerintah provinsi, guna mengatasi kegiatan pertambangan ilegal dan meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap ekonomi daerah.
Secara keseluruhan, meskipun ada pendelegasian kewenangan ke daerah, kebijakan ini tetap mengharuskan adanya pengawasan ketat dan koordinasi antara pusat dan daerah untuk memastikan bahwa sektor pertambangan berjalan secara berkelanjutan dan menguntungkan bagi seluruh pihak terkait.
Sistematika dari kebijakan menteri terkait kewenangan daerah dalam sektor pertambangan, khususnya yang sedang dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dapat dipahami melalui beberapa poin utama berikut:
1. Delegasi Kewenangan dan Tugas Pemerintah Daerah
Kebijakan ini mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola izin usaha pertambangan, terutama untuk komoditas tertentu seperti mineral bukan logam dan batuan. Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam hal penerbitan izin, pengawasan operasional, serta pengelolaan pasca-tambang.

2. Sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Untuk memastikan pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan, kebijakan ini menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Meskipun kewenangan sebagian besar diberikan kepada daerah, pemerintah pusat tetap mengawasi dan memastikan kebijakan pertambangan sesuai dengan kepentingan nasional, seperti penerimaan negara dan perlindungan lingkungan.
3. Penguatan Pengawasan dan Pembinaan
Kementerian ESDM akan memperkuat peran pengawasan dan pembinaan terhadap daerah dalam melaksanakan kebijakan pertambangan. Ini mencakup pemantauan terhadap kepatuhan terhadap regulasi yang ada, terutama dalam hal perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.
4. Penyederhanaan Prosedur Perizinan
Kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan prosedur perizinan, sehingga mempermudah proses bagi pelaku usaha, namun tetap menjaga ketatnya pengawasan. Pemerintah daerah diberikan instruksi untuk menyusun mekanisme yang lebih efisien dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP).
5. Peningkatan Keadilan dalam Bagi Hasil
Kebijakan ini juga bertujuan untuk memastikan pembagian hasil yang lebih adil antara pemerintah pusat dan daerah melalui pajak, royalti, dan kontribusi lain dari sektor pertambangan, serta memastikan daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan dapat merasakan manfaat ekonomi yang lebih besar.

6. Keterlibatan dalam Pengelolaan Lingkungan
Salah satu aspek penting yang ditekankan adalah pengelolaan lingkungan yang lebih baik, dengan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam pengawasan dampak lingkungan pertambangan, termasuk reklamasi dan pascatambang.
Kebijakan ini mencerminkan sebuah pendekatan yang lebih desentralistik, namun tetap dengan pengawasan dan regulasi dari pemerintah pusat untuk mencapai tujuan jangka panjang yang berkelanjutan dan adil dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Korelasi Dengan Kewenangan Daerah Dapatkah Pendelegasian Wewenang?
Dasar hukum dari kebijakan kewenangan daerah dalam sektor pertambangan yang sedang dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berlandaskan pada beberapa peraturan dan undang-undang, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 10 mengatur bahwa kewenangan dalam pemerintahan daerah terbagi menjadi kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Dalam konteks ini, pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan terkait izin pertambangan kepada pemerintah daerah, dengan tetap melakukan pengawasan terhadap implementasinya.
Pasal 12 juga menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan kebijakan.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
Pasal 6 mengatur bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pertambangan dapat diberikan sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan kepentingan nasional.
Pasal 40 juga menjelaskan tentang pengelolaan hasil pertambangan dan pembagian hasil untuk daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Peraturan ini mengatur secara rinci mengenai tata cara pemberian izin usaha pertambangan oleh pemerintah daerah, termasuk kewajiban daerah untuk melakukan pengawasan dan melaporkan hasilnya kepada pemerintah pusat.
4. Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan
Menyederhanakan prosedur perizinan di tingkat daerah untuk memfasilitasi kemudahan berusaha di sektor pertambangan. Kebijakan ini mengatur tentang delegasi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pemberian izin usaha pertambangan.
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 40 mengatur tanggung jawab daerah dalam mengawasi dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan dan memastikan bahwa pengelolaan lingkungan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Peraturan Menteri ESDM No. 41 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pertambangan
Peraturan ini mengatur kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan operasional di lapangan dan memastikan agar kegiatan pertambangan yang ada tidak merusak lingkungan dan memenuhi standar keselamatan.
Kebijakan dan regulasi ini secara keseluruhan memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah daerah dalam mengelola sektor pertambangan, namun tetap mengharuskan adanya pengawasan dan regulasi dari pemerintah pusat untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Korelasi antara kebijakan yang sedang dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait kewenangan daerah dalam sektor pertambangan dengan kegiatan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI
Korelasi antara kebijakan yang sedang dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait kewenangan daerah dalam sektor pertambangan dengan kegiatan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sangat erat. Komite II DPD RI berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan otonomi daerah, pemerintahan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Beberapa poin korelasinya adalah:
1. Penguatan Kewenangan Daerah: Komite II DPD RI mendukung adanya desentralisasi kewenangan untuk memungkinkan daerah lebih memiliki peran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk pertambangan. Dalam hal ini, DPD RI berfungsi untuk mendorong kebijakan yang memperkuat kapasitas daerah dalam mengelola kegiatan pertambangan sambil menjaga kepentingan nasional.
2. Keadilan dalam Pembagian Hasil Pertambangan: DPD RI, melalui Komite II, berperan penting dalam memastikan bahwa hasil dari kegiatan pertambangan dapat dinikmati secara adil oleh daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam. Pembagian hasil yang seimbang dan berkeadilan adalah isu yang selalu dibahas di Komite II, terkait dengan kebijakan pemerintah pusat dalam mendukung daerah untuk memperoleh haknya atas hasil pertambangan yang ada.
3. Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah: Komite II DPD RI juga berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan daerah, serta mengawasi implementasi kebijakan yang ada. Dalam hal ini, kebijakan yang disusun oleh Kementerian ESDM yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pemberian izin pertambangan dan pengawasan operasional di lapangan, akan selalu melibatkan masukan dan koordinasi dengan Komite II DPD RI untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan prinsip otonomi daerah dan keberlanjutan.
4. Sosialisasi dan Advokasi Kebijakan: Komite II DPD RI berperan dalam menyosialisasikan dan mengadvokasi kebijakan terkait kewenangan daerah dalam sektor pertambangan agar diterima dengan baik oleh masyarakat dan pihak-pihak terkait di daerah, serta untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan tersebut tidak merugikan daerah atau masyarakat lokal.
Dengan demikian, kebijakan yang sedang dirumuskan oleh Kementerian ESDM sangat relevan dengan fungsi Komite II DPD RI, yang selalu berfokus pada pengelolaan sumber daya alam dan kewenangan daerah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat serta pengelolaan yang berkelanjutan.
Dalam hal pengawasan kegiatan pertambangan, regulasi di Indonesia memiliki beberapa pasal penting yang memberikan dasar hukum terkait pengawasan yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Beberapa pasal yang relevan dapat ditemukan dalam undang-undang yang mengatur tentang Sumber Daya Alam, termasuk dalam:
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara:
Pasal 154: Menyatakan bahwa pengawasan terhadap kegiatan pertambangan dilakukan oleh pemerintah dan/atau instansi yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 160: Mengatur tentang kewajiban perusahaan pertambangan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk mengenai perlindungan lingkungan dan keselamatan kerja.
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:
Pasal 15: Memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alam di wilayahnya, namun dengan tetap mematuhi kebijakan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah memiliki peran dalam mengawasi pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Pasal 56: Mengatur tentang pengawasan dalam rangka memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada prinsip tata kelola yang baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara:
Pasal 61: Menetapkan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab mengawasi operasional pertambangan yang ada di wilayahnya, termasuk pemenuhan kewajiban oleh perusahaan pertambangan.
Pasal 62: Mengatur bahwa pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara keseluruhan, sementara pemerintah daerah berfokus pada pengawasan yang lebih terperinci di tingkat lokal.
4. Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara:
Pasal 3: Menetapkan bahwa pengawasan kegiatan pertambangan dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan menjunjung tinggi aspek keselamatan serta perlindungan lingkungan.
Penting untuk dicatat bahwa pengawasan dalam kegiatan pertambangan bukan hanya melibatkan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pertambangan yang ada di daerahnya. Selain itu, sektor swasta, dalam hal ini perusahaan pertambangan, juga wajib mematuhi regulasi dan standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terkait. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This