Restorative Justice Diatur Secara Formal dalam UU no 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Oleh: Dr. Anang Iskandar, M.H
BN – Penegak hukum, masarakat hukum, Komisi III DPR dan pencari keadilan harus memahami bahwa restorative justice diatur secara formal dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, penyalah guna narkotika dinyatakan sebagai kriminal, tetapi pemidanaannya berupa rehabilitasi. Restorative justice dalam perkara penyalahgunaan narkotika merupakan pendekatan penyelesaian masalah yang menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan bagi kepetingan pelaku tindak pidana sekaligus korban penyalahgunaan narkotika dengan menitik beratkan pada penjatuhan hukuman berupa rehabilitasi.
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur restorative justice dalam penyelesaian masalah penyalahgunaan narkotika secara formal, tapi sayang prakteknya penyalah guna narkotika tidak dijatuhi hukuman rehabilitasi tetapi dijatuhi hukuman penjara. Pemenjaraan tersebut justru menimbulkan masalah, antara lain : masalah lapas over kapasitas dan berbagai masalah dilapas akibat penyalah guna atau pecandu dipenjara.
Pemenjaraan terhadap penyalah guna dan pecandu juga menyebabkan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika, dampaknya negara bukan menghasilkan generasi emas tetapi menghasilkan generasi sakit ketergantungan narkotika yaitu generasi yang hidupnya digerogoti penyakit tidak hanya secara fisik saja tetapi jiwanya juga menjadi terganggu. Pemenjaraan bagi penyalah guna dan pecandu narkotika, justru merugikan negara secara finansial karena biaya proses penegakan hukum dan biaya perawatan selama dipenjara menjadi tidak murah. Penyalah guna dan keluarganya juga dirugikan karena tidak mendapatkan akses perawatan untuk mendapatkan penyembuhan, akibatnya penyalah guna mudah relapse.
Restorative Justice ala UU Narkotika.
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur secara detail tentang restorative justice meskipun tidak menjelaskan pengertian restorative justice. Restorative justice ala UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika diatur berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
Pertama: tujuan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dinyatakan secara ekplisit, yaitu menjamin upaya rehabilitasi bagi penyalah guna dan narkotika (pasal 4d). Kejahatan narkotika terdiri dari 2 jenis yaitu penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, secara umum unsur kedua kejahatan tersebut sama, tetapi secara khusus dibedakan atas tujuan kepemilikan narkotikanya. Kepemilikan narkotika yang tujuannya digunakan untuk dikonsumsi atau digunakan untuk diri sendiri maka tergolong kejahatan penyalahgunaan narkotika diatur hanya dalam 1 (satu) pasal dalam UU narkotika yakni pasal 127/1.
Penyalah guna diancam pidana paling lama 4 tahun penjara dan tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan, menjadi kewajiban penegak hukum untuk menempatkan kedalam lembaga rehabilitasi sesuai tujuan UU narkotika. Sedangkan kalau kepemilikan narkotikanya bertujuan selain untuk dikonsumsi misalnya digunakan untuk komuditas diperjual belikan tergolong pengedar.
Pembeli narkotika untuk dijual kembali dengan tujuan mendapatkan keuntungan tergolong pengedar, sedangkan pembeli dengan jumlah terbatas untuk dikonsumsi tergolong penyalah guna. Secara awam kriteria penyalahgunaan narkotika dapat dilihat dari jumlah barang bukti, jika barang buktinya terbatas untuk digunakan sendiri maka digolongkan sebagai penyalah guna, bila jumlahnya barang buktinya melebihi pemakaian sehari tergolong pengedar.
Kedua, penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi sebagai upaya paksa selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan (pasal 13 PP 25/2011). Ketiga, arah dan tujuan penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan serta penjatuhan hukumannya mengacu pada tujuan UU narkotika yaitu menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).
Keempat, dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika hakim diberi kewajiban memperhatikan pasal 54 (kondisi taraf ketergantungan penyalah guna), pasal 55 (kewajiban hukum terdakwanya dan unsur pemaaf) dan pasal 103 (kewenangan hakim dapat menghukum rehabilitasi) agar proses pengadilan berlangsung secara fair. Kelima, dalam memeriksa perkara pecandu (penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan narkotika), hakim diberi kewenangan dapat memutuskan atau menetapkan untuk memerintahkan terdakwa atau yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi (pasal 103/1).
Keenam, rehabilitasi adalah bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika dimana masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2). Ketujuh, tempat menjalani rehabilitasi penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan narkotika atas keputusan atau penetapan hakim adalah rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan (pasal 56)
Menteri Kesehatan berkewajiban menetapkan rumah sakit dan lembaga rehabilitasi yang melayani rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim yang tersebar di kab/kota di indonesia, biayanya ditanggung oleh rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk. Restorative justice secara formil berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika sampai sekarang tidak diimplementasikan oleh penegak hukum sehingga negara dirugikan dan penyalah guna juga dirugikan karena tidak mendapat akses penyembuhan.
Perlu kontrol dalam implementasinya.
Komisi III DPR, masarakat hukum dan pencari keadilan perlu melakukan kontrol terhadap implementasi penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika yang secara formal menggunakan pendekatan restorative justice dengan pemidanaan berupa rehabilitasi. Kontrol dari Komisi III DPR dan masarakat hukum pidana perlu dilakukan mengingat masalah over kapasitas lapas sudah terjadi sejak dasawarsa yang lalu, dimana saat ini sekitar 70 % lapas dipenuhi perkara narkotika yang mayoritas adalah perkara penyalahgunaan narkotika.
Selain masalah over kapasitas lapas, pemenjaraan terhadap penyalah guna menyebabkan terjadinya masalah residivisme penyalahgunaan narkotika. Pemidanaan rehabilitasi bagi penyalah guna selama ini tidak berjalan, karena penegak hukum khususnya hakim tidak menggunakan ketentuan yang bersifat khusus dalam UU narkotika yaitu pendekatan restorative justice, tetapi menggunakan pendekatan secara umum berdasarkan KUHP dan KUHAP.
Kalau Komisi III DPR melakukan kontrol terhadap proses penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice yang menitik beratkan pada penjatuhan hukuman berupa rehabilitasi terhadap penyalah guna. Saya yakin masalah over kapasitas lapas dan masalah residivisme penyalahgunaan narkotika serta masalah narkotika secara keseluruhan lambat laun dapat diatasi. ( red )