Simbol Burung Elang Rajawali Garuda Pancasila sebagai Lambang Kreatif Vermogen Lambang Semangat Membangun Menurut Sultan Hamid II

Simbol Burung Elang Rajawali Garuda Pancasila sebagai Lambang Kreatif Vermogen Lambang Semangat Membangun Menurut Sultan Hamid II

Oleh: Turiman Fachturahman Nur ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Staf Ahli Khusus Senator Syarif Melvin AlKadrie, SH Senator DPD Dapil Kalimantan Barat, Mentari Dalam Nagari Kesultanan Kadriyah Pontianak)

A.Analisis Kategorisasi Sejarah Hukum Perancangan Lambang Negara
Bahwa Sultan Hamid II Merancang Lambang Negara dua Tahap
Tahap pertama Rancangan Lambang Negara Sultan Hamid II “figur  burung Garuda dalam mitologi Bangsa Indonesia”
1.Gagasan Awal Lambang Negara
Sisi  kesejarahan  lambang  negara  itu  dimulai  pada  tahun  1945 sebelum merdeka, tepatnya pada tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar 1945, salah satu anggota Panitia bernama Parada Harahap mengusulkan tentang  lambang negara. Usul tersebut disetujui oleh semua anggota, dan disepakati akan dibahas tersendiri kemudian, dalam bentuk Undang-undang istimewa yang mengatur secara khusus tentang lambang negara. Keterangan ini dapat ditemukan dalam naskah Persiapan Undang-Undang Dasar, 1945 jilid I yang disusun oleh Muhammad Yamin hal 263 dan lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 disusun oleh Soeripto yang menyatakan:
Anggota Parada Harahap: Mengusulkan supaya disamping bendera juga lambang negara (wapen). Semua setuju, tetapi dalam Undang-undang Istimewa.
2.   Hasil Penyelidikan Panitia Indonesia Raya,1945
Tanggal 26 Januari 1950 Ki Hajar Dewantoro (dari Yogyakarta) mengirimkan balasan surat kepada Sultan Hamid II melalui sekretaris Dewan Menteri RIS (Z. Yahya) yang isinya menunjuk Muhammad  Yamin  untuk  memberikan  masukan  mewakili  beliau kepada Panitia Lambang Negara dan surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950 No XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara.
Isi surat balasan Ki Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II itu sebagai   berikut:
“Merdeka! Yogyakarta, 26 Januari 1950
Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke Jakarta untuk keperluan “Panitia Lambang Negara”, maka dengan ini saya memberitahukan kepada Paduka Tuan:
1. Bahwa pada waktu ini ada beberapa keperluan serta pekerjaan yang penting bagi saya di Yogyakarta, sehingga sukariah bagi saya untuk pergi ke Jakarta.
2. Bahwa  kalaulah  benar  saya  diangkat  menjadi  anggota  dari  pada “Panitia Lambang Negara RIS” sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan penyelidikan yang seksama oleh “Panitia Indonesia Raya”, yang dulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih mengetahui segala apa yang direncanakan oleh “Panitia Indonesia Raya ” tersebut dari pada saya sendiri.
Selanjutnya berdasarkan bahan dasar yaitu berupa gambar-gambar sktesa figur garuda dari berbagai candi di Jawa yang dikirim oleh Ki Hajar Dewantoro, maka Sultan Hamid II   membuat berbagai sketsa rancangan lambang negara RIS, sebagaimana yang dipercayakan oleh Presiden  Soekarno   sebagai  pelaksanaan  Pasal  3  ayat  (3)  Konstitusi RIS 1949
3.Panitia Lambang Negara  dibawah Konstitusi RIS 1949
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 Pasal 3 ayat (3): Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara. Pada Sidang kedua Kabinet   RIS tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia teknis: Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A Pellaupessy, (anggota), Moh. Natsir (anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/ menilai usulan- usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
4. Sultan Hamid II hanya diserahi tugas membikin rencana buat lambang negara.
Hal ini patut diketahui, bahwa secara historis yuridis dan historis  Lihat Buku ”Peristiwa Sultan Hamid II”, (Jakarta: Persaja, 1954), hal. 176. Sultan Hamid  II,  menyatakan: ”Sebagai  Menteri  Negara  saya  hanya  diserahi  tugas  menyiapkan gedung Parlemen dan membikin rencana buat lambang negara. Sampai saya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada lain tugas saya”. Dalam transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967 juga  dinyatakan  hal  yang  sama  “Saja  sedjudjurnya hanya  berupaja mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol jang ada di  peradaban klasik bangsa Indonesia bersama anggota   Panitia   Lambang   Negara   itu   sebenarnya   semangat   gorong-royong   lewat perentjanaan gambang Lambang Negara RIS sebagaimana ditugaskan kepada saja selaku Menteri Zonderportofolio. Karena memang tidak ada tugas lain untuk saja sebagai Menteri Selain merentjanakan lambang negara dan menjiapkan gedung parlemen RIS, saja berharap agar  kelak  bangsa  ini  ditjintai oleh  kita  semua  bertekad untuk  memadjukan-membangun bersama”.
5.Gambar Rancangan Sultan Hamid dibawa dalam Rapat Panitia Lambang Negara RIS
Selanjutnya pada tanggal 8 Februari 1950 rancangan final gambar lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid II kemudian dibawa kedalam rapat  Panitia Lambang Negara.Mengenai gambaran bentuk gambar lambang negara yang dirancang oleh  Sultan  Hamid  II    juga dijelaskan  di  dalam  buku  Muhammad Yamin: 6000 Tahun Sang Merah Putih: halaman 168 Burung Garuda itu memegang sebuah perisai yang terbagi atas lima bidang, yang keseluruhannya melukiskan ajaran Pancasila ya ng m enjad i dasar filosofi ke neg araan s eja k prokl ama si:    Pe ri    Ketuhanan   Yang   Maha   Esa,   Peri Kebangsaan, Peri Kerakyatan, Peri Kemanusiaan dan Peri Keadilan. Semboyan yang banyaknya 17 aksara itu Bhinneka Tunggal Ika berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pads zaman emas sekeliling patih Gadjah Mada dan negara Hayam Wuruk pada pertengahan abad XIV.
Gambar lambang negara ini Lambang Negara RIS Tahap Pertama yang masih perbaiki oleh Sultan Hamid II
Keterangan Mohammad Hatta itu selengkapnya dalam Bung HattaMenjawab”, (Wawancara Muhammad Hatta dengan Z. Yasni) Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), hal. 108
….. Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priono,  Banyak gambar  yang  masuk waktu  itu, tetapi  yang terbaik akhirnya ada dua buah, satu dari Muhammad Yamin dan  yang  satu  lagi  dari Sultan  Hamid. Yang diterima  oleh Pemerintah dan DPR adalah dari Sultan Hamid yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin ditolak, karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang. Saya berpendapat bahwa apa yang ada sekarang itu, seperti uraian saya  tadi  sudah  tepat  dan  bernilai  abadi  bagi  kehidupan negara dan bangsa Indonesia
B.Analisis Klarifikasi Hukum
Rancangan Lambang Negara Tahap Kedua Sultan Hamid II “figur  burung Elang Rajawali”
Selandjutnya gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr Mohammad Jamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima, 10  Februari  1950  dan  esoknja  untuk  pertama  kali diperkenalkan kepada chalajak ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950.
Walaupun demikian, ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung di belakang podium Parleman Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawali tidak „berdjambul‟  dan terlihat „gundul‟.  Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS atas perintah Paduka   Jang   Mulia   Presiden   Soekarno   kepada   pelukis Dullah, untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
Kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinya terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja.
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara yang menyatakan: Lukisan Garuda diambil dari benda Peradaban Indonesia seperti hidup dalam Mityologi, symbologi dan Kesusasteraan Indonesia dan seperti pula tergambar pada beberapa candi sejak abad ke 6 sampai abad ke 16. (Penjelasan Pasal 1) Burung Garuda dari mytologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung Elang Rajawali
C.Analisis Verifikasi Hukum
Penetapan Lambang Negara Reppublik Indonesia 11  Februari 1950 “Elang Rajawali, Garuda Gundul”
Tanggal 11 Februari 1950 rancangan lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS dan diresmikan  pemakaiannya  dalam  Sidang  Kabinet  dan  Parlemens  RIS yang   dipimpin   Perdana   Menteri   RIS   Mohammad   Hatta   yang mengambil tempat di gedung Penjabon atau Gedung Parlemen RIS atau sekarang Gedung Pancasila yang berada di komplek Kementrian Luar Negeri.  Inilah  saat  pertama  bangsa  Indonesia  mempunyai  lambang negara, yang merupakan karya kebangsaan yang diramu dari berbagai aspirasi,  oleh  seorang  anak  bangsa  Indonesia  Sultan  Hamid  II  dan keterangan  ini  diperkuat  oleh  Bung  Hatta  dalam  buku  Bung  Hatta Menjawab: Z. Yasni, “Jakarta: Gunung Agung, 1978), hal. 108.
Semboyan Bhinneka, Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah   kita   merdeka,   semboyan   itu   kemudian   diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.
Proposisi Muhammad Hatta tersebut juga dikuatkan oleh Prof.Dr. R Soepomo, dalam bukunya “Undang-Undang Sementara  Republik Indonesia”,1954 hal. 25, ketika menjelaskan bagian ke III Lambang dan Bahasa Negara dalam Konstitusi RIS 1949 Pasal Penetapan Lambang Negara, dinyatakan ditetapkan, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan oleh Kabinet RIS menjadi Lambang Negara, sebagaimana tertera juga pada Buku Lukisan Revolusi Indonesia 1945-1950, Kementrian Penerangan Republik Indonesia, hal. XXIII:    Ichtisar Parlemen, 17 Februari 1950 nomor 2 memuat berita negara,  bahwa  sidang  Dewan  Menteri  R.I.S  tanggal  11 Februari 1950 telah mengesahkan Lambang Negara R.I.S yang direncanakan oleh Panitia Lambang Negara menurut bagian III pasal 3 Konstitusi R.I.S.Gambarnya lambang negara tersebut adalah dimuat dalam ichtisar Parlemen tersebut.”
Akhir Februari 1950 Sultan Hamid II mendapat saran dari Presiden Soekarno untuk menyempurnakan kembali pada bagian bentuk kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang terkesan “gundul” atau mirip elang bondol pada lambang negara Amerika Serikat. Selanjutnya sekitar awal Maret 1950 Sultan Hamid II mengajukan lukisan lambang negara yang sudah diperbaiki khususnya pada bagian kepala Rajawali-Garuda Pancasila.
Gambar tersebut ternyata masih  mendapat masukan dari Presiden Soekarno, yaitu pada bagian bentuk cakar kaki yang mencengkram pita yang terlihat menghadap ke belakang terkesan terbalik. Penyempurnaan yang dilakukan Sultan Hamid II hanya tinggal merubah bentuk cakar kaki sehingga menghadap ke depan, dan bagian lain sudah sama seperti gambar lambang negara sekarang ini.
D.Analisis Validasi Hukum
Tanggal 20 Maret 1950 bentuk final gambar lambang negara rancangan   Sultan   Hamid   II   yang   telah   diperbaiki   tersebut diajukan kepada Presiden Soekarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Adapun isi disposisi tersebut berbunyi: J.M Sultan Hamid menteri negara, menurut pendapat saya lukisan  Ruhl  ini  membuat  lambang  negara  kita  lebih  kuat, maka untuk itu saya tetapkan bahwa ontwerp Ruhl inilah yang harus dipakai. Lebih baik kita rugi beberapa ribu rupiah daripada mempunyai lambang negara yang kurang sempurna. Saya harap J.M mengambil tindakan seperlunya contoh kehendak saya. Merdeka!.
Kemudian Presiden Soekarno setelah memberikan disposisi itu memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah (1950-1960) untuk melukiskan kembali gambar tersebut sesuai bentuk final sebagaimana yang telah dibuat oleh Sultan Hamid II, atau seperti dipergunakan secara resmi sekarang ini dan  patut pula ditambahkan, bahwa Dullah hanya melukis kembali sesuai skesta gambar lambang negara yang telah diperbaiki oleh Sultan Hamid II atau sebagaimana telah disposisi oleh Presiden Soekarno tanggal 20 Maret 1950.
Keterangan  ini  dapat  dikemukakan  dalam  Majalah  Gatra  No  32Tahun I, 25 Juni 1995, dalam judul “Bung Karno, Ikan dan Air”, yang menyatakan:

…. salah satu bentuk kepercayaan itu ialah permintaan bung Karno kepada Dullah untuk mengubah posisi kaki gambar Pancasila  y a n g   t a d i n y a   d i r a n c a n g   ( p e n u l i s   S u l t a n H a m i d    I I )    d i    K e m e n t e r i a n    P e n e r a n g a n .    D a l a m rancangan Kementerian Penerangan, kaki garuda dilukiskan seolah-olah menghadap ke belakang. Dan oleh Dullah dilukis kembali dengan membalik sehingga tampak menghadap kedepan.
Keterangan yang sama dinyatakan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya kepada Solichim Salam, 15 April 1967:
Saja meminta bantuan D Ruhl Jr untuk membuat sketsa dari lambang  negara  jang  saja  buat  dengan  membawa  potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh   Dullah, karena lukisan  Dullah  jang  gambar  rantjangannja  semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis  D.Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi  sebagai  wapen  negara,  waktu  itu  tanggal  20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
Berdasarkan analisis diatas, bahwa pernyataan Dr Anhar Gongong sebenarnya pada awalnya beliau sudah membenarkan tetapi Ketika menjelaskan terhadap kebenaran telah melakukan “kekeliruan” berdasarkan fakta sejarah hukum, dengan menyatakan bahwa ada kesalahan kesalahan rancangan lambing negara yang dirancang Sultan Hamid II dengan menyatakan bahwa Dullah yang melakukan perubahan, jadi yang benar adalah Dullah hanya melukis Kembali dan sejak awal Dullah yang dipercayakan untuk melukis Lambang Negara Rancangan Karya Sultan Hamid II dan tentang karya Sultan Hamid II tidak hanya dibuktikan dengan sketsa tetapi bukti sejaman yang didukung literasi dan pernyataan Muhammad Hatta, 1978 dan dikuatkan dengan sertifikat cagar budaya tahun 2016 yng diterbitkan oleh institusi Pemerintah  Menteri Pendidikan Kevudayaan cq Dirjen Cagarbudaya Republik Indonesia”
Lambang Negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila, merupakan representasi semiotika hukum yang mencerminkan pandangan filosofis, dasar negara, dan ideologi Indonesia. Garuda, dalam mitologi Hindu dan Buddha, adalah kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan kekuatan dan keagungan. Dalam konteks Indonesia, Garuda diadaptasi menjadi simbol nasional yang mencerminkan identitas dan kedaulatan bangsa.
Analisis semiotika hukum terhadap lambang negara menunjukkan bahwa figur burung elang Rajawali dipilih karena sosoknya yang besar dan gagah, melambangkan tenaga pembangun negara dengan harapan Indonesia menjadi negara yang besar dan setara dengan negara-negara di dunia.
Garuda Pancasila dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak dan diperkenalkan oleh Presiden Soekarno pada 15 Februari 1950. Lambang ini terdiri dari burung Garuda yang menggenggam pita bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” atau menurut Bung Karno 22 Juli 1958 bhina Ika tunggal Ika “berjenis jenis tetapi Tunggal” dan yang paling penting pessng Soekarno kepada Sultan Hamid II agar Perisai di dada Garuda harus memuat lima simbol yang mewakili lima sila Pancasila, yaitu:
1. Bintang: Melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Rantai: Melambangkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Pohon Beringin: Melambangkan Persatuan Indonesia.
4. Kepala Banteng: Melambangkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Padi dan Kapas: Melambangkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Setiap elemen dalam lambang ini memiliki makna mendalam yang mencerminkan nilai-nilai dasar negara Indonesia. Misalnya, jumlah bulu pada sayap, ekor, dan leher Garuda disusun sedemikian rupa untuk melambangkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, Garuda Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai lambang negara, tetapi juga sebagai representasi visual dari ideologi Pancasila yang menjadi dasar hukum dan filosofi bangsa Indonesia.
Lambang Negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila, sarat dengan simbol-simbol yang memiliki makna mendalam, mencerminkan nilai-nilai dasar negara dan filosofi bangsa Indonesia. Berikut penjelasan lebih rinci mengenai elemen-elemen dalam lambang tersebut:
1. Burung Elang Rajawali Garuda Pancasila
Makna: Melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan. Warna emas pada Garuda mencerminkan keagungan dan kemuliaan.
Jumlah Bulu:
Sayap: Masing-masing terdiri dari 17 helai bulu.
Ekor: Terdiri dari 8 helai bulu.
Di Bawah Perisai: Kaki yang mencekam pita Terdiri dari 19 helai bulu.
Leher: Terdiri dari 45 helai bulu.
Total: 17-8-19-45, yang merepresentasikan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
2. Perisai
Makna: Melambangkan pertahanan bangsa Indonesia.
Garis Hitam Tebal Horizontal: Melambangkan garis khatulistiwa yang melintasi Indonesia.
Warna Merah dan Putih: Mewakili warna bendera nasional Indonesia; merah melambangkan keberanian, dan putih melambangkan kesucian.
3. Simbol-Simbol dalam Perisai
Nur Cahaya berbentuk Bintang Emas dengan Latar Hitam:
Makna: Melambangkan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bintang melambangkan cahaya rohani yang dipancarkan oleh Tuhan kepada umat manusia.
Rantai Emas:
Makna: Melambangkan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Rantai yang terdiri dari mata rantai berbentuk lingkaran dan persegi menggambarkan hubungan manusia yang saling terkait, menunjukkan hubungan antara pria dan wanita.
Pohon Beringin:
Makna: Melambangkan sila ketiga, “Persatuan Indonesia”. Pohon beringin dengan akar yang menjalar ke mana-mana menggambarkan keragaman suku bangsa Indonesia yang bersatu dalam satu pohon, yaitu Indonesia.
Kepala Banteng:
Makna: Melambangkan sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Banteng adalah hewan sosial yang suka berkumpul, mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Padi dan Kapas:
Makna: Melambangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Padi dan kapas merupakan simbol kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan dan sandang, yang harus terpenuhi secara adil.
4. Pita Putih dengan Tulisan “Bhinneka Tunggal Ika”
Makna: Semboyan ini berarti “Berbeda-beda tetapi satu jua”, mencerminkan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya di Indonesia yang bersatu dalam satu kesatuan bangsa.
Setiap elemen dalam Garuda Pancasila dirancang dengan cermat untuk mencerminkan nilai-nilai luhur dan semangat persatuan bangsa Indonesia, menjadikannya simbol yang kaya akan makna filosofis dan historis.
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua,” berjenis jenis tetapi tunggal yang merupakan inti dari identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Semboyan ini menegaskan bahwa meskipun Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya, agama, dan bahasa, semuanya bersatu dalam satu kesatuan negara.
Keberagaman ini menjadi kekayaan yang memperkaya budaya dan kehidupan sosial Indonesia. Dengan mengakui dan menghormati perbedaan, masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan secara harmonis, saling menghargai, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Implementasi nilai-nilai “Bhinneka Tunggal Ika” dalam kehidupan sehari-hari mendorong terciptanya toleransi, inklusivitas, dan keterbukaan. Hal ini penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta mencegah konflik yang dapat timbul akibat perbedaan.
Dengan demikian, “Bhinneka Tunggal Ika” bukan sekadar semboyan, tetapi menjadi landasan filosofis yang memperkuat eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia dalam membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera, dengan tetap menghormati dan merayakan keberagaman yang ada.
Selain itu lambang negara Republik Indonesia adalah lambang tenaga pembangun kreatif vermogen, demikian yang disampaikan oleh Sultan Hamid II kepada Soekarno dan Soekarno berpesan kepada Sultan Hamid II agar lambang negara yang dibuat dan atau dirancang oleh Sultan Hamid II sebagai pelaksanaan pasal 3 ayat 3 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, karena pada awalnya dimaksudkan sebagai lambang negara Republik Indonesia Serikat atau RIS , yang diresmikan 11 Februari Tahun 1950 dan perbaikan oleh Sultan Hamid II dari tgl  8 Februari 1950 sampai dengan 20 Maret 1950 yang ditandai dengan disposisi dari presiden Soekarno kepada Yang mulia Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara Republik Indonesia
Sultan Hamid II, yang bernama lengkap Syarif Abdul Hamid Alkadrie, adalah perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Pada awalnya, lambang ini dirancang untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) sesuai dengan Pasal 3 ayat 3 Konstitusi RIS 1949.
Presiden Soekarno memberikan arahan kepada Sultan Hamid II agar lambang negara yang dirancang mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dengan sila-sila Pancasila sebagai dasarnya.
Setelah melalui beberapa revisi dan penyempurnaan, lambang negara tersebut diresmikan pada 11 Februari 1950.
Sultan Hamid II terus melakukan perbaikan desain hingga 20 Maret 1950, dengan disposisi langsung dari Presiden Soekarno.
Lambang Garuda Pancasila yang kita kenal saat ini merupakan hasil dari proses panjang tersebut, mencerminkan kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan sebagai simbol negara Indonesia yang dirancang anak bangsa Sultan Hamid II dari Pontianak Kalimantan Barat.
Mengenal Sultan Hamid II sebagai Perancang Lambang Negara Republik Indonesia
Sultan Hamid II Al-Qadrie (1913–1978) adalah tokoh penting dalam sejarah Kalimantan Barat dan Indonesia, dikenal karena kontribusinya di tingkat regional dan nasional. Lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913, ia berasal dari keluarga terkemuka dengan garis keturunan yang beragam, termasuk Melayu, Dayak, Bugis, dan Arab Alawiyyin. Ibunya berasal dari keturunan Turki. Keberadaan Sultan Hamid II tidak hanya terkait dengan keturunan bangsawan, tetapi juga dengan kepemimpinannya, kontribusi intelektual, dan perannya dalam membentuk lanskap politik di wilayahnya.
1. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Sultan Hamid II menerima pendidikan yang komprehensif, yang menggabungkan pengaruh Timur dan Barat. Ia diajari oleh seorang wanita Inggris, dan pada saat menyelesaikan pendidikannya, ia menguasai beberapa bahasa, termasuk Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman. Pendidikan yang luas ini memungkinkannya untuk terlibat dengan ide-ide global sekaligus mempertahankan hubungan kuat dengan nilai-nilai lokal. Kemampuannya untuk menyeimbangkan kedua dunia tersebut memberikan perspektif unik dalam pemerintahan dan diplomasi.
2. Peran Politik dan Kontribusi
Karir politik Sultan Hamid II dimulai ketika ia diangkat sebagai figur penting di wilayahnya pada masa perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Kepemimpinannya sangat berperan dalam menavigasi politik lokal, dan ia berupaya untuk menempatkan Kalimantan Barat sederajat dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Meskipun kontribusinya signifikan, warisannya agak tersisihkan dalam sejarah nasional, sebagian karena iklim politik pada masa Orde Baru (Orba) yang memarginalkan pemimpin daerah demi negara yang terpusat
3. Dampak Sosial dan Budaya
Sultan Hamid II dikenang karena perannya dalam memajukan kesejahteraan rakyatnya dan melestarikan warisan budaya Kalimantan Barat. Kepemimpinannya ditandai dengan fokus pada pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian tradisi lokal. Warisannya sangat dihargai di Kalimantan Barat, di mana ia dianggap sebagai simbol dari generasi pemimpin yang hilang yang menggabungkan integritas, visi, dan komitmen terhadap rakyatnya
4. Waris dan Penghargaan
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, dan warisannya terus diperingati di Kalimantan Barat. Meskipun keadaan politik menyebabkan ia terabaikan dalam diskursus nasional, ketertarikan terhadap kontribusinya kini semakin berkembang, terutama karena masyarakat lokal berusaha untuk kembali terhubung dengan cita-cita yang ia perjuangkan: perpaduan visi global dengan penghargaan mendalam terhadap budaya lokal.
Sebagai kesimpulan, Sultan Hamid II Al-Qadrie tetap menjadi figur yang dihormati di Kalimantan Barat, dengan kontribusinya yang signifikan dalam bidang pendidikan, pemerintahan, dan pelestarian budaya. Kepemimpinannya tetap dikenang, dan ia menjadi contoh integritas, visi, dan komitmen kepada rakyatnya.
Sultan Hamid II, yang dikenal sebagai tokoh sentral dalam sejarah Kalimantan Barat, mengalami perubahan besar dalam pandangannya terkait sistem negara Indonesia. Awalnya mendukung konsep negara federal dengan Kalimantan Barat sebagai negara bagian, ia kemudian mengubah pandangannya menjadi mendukung status Daerah Otonomi Khusus (DOK) setelah menyadari bahwa negara serikat tidak lagi relevan dengan cita-cita persatuan Indonesia. Perubahan ini muncul dari pengalamannya dalam menghadapi kenyataan politik pasca-kemerdekaan yang jauh dari idealisme federalisme
Perubahan ideologis ini, meskipun didasarkan pada niat baik untuk meningkatkan kedudukan Kalimantan Barat, malah memicu kesalahpahaman dan kecurigaan dari pemerintah pusat dan sebagian masyarakat. Hal ini akhirnya berujung pada vonis pengkhianatan terhadap Sultan Hamid II, meskipun ia tidak terlibat langsung dalam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak buahnya, Westerling, yang bertindak di luar kendalinya
Tiga kekeliruan utama dalam pandangan Sultan Hamid II adalah:
1. Penyampaian ide federalisme yang dianggap prematur dan tidak dipahami oleh masyarakat pada saat itu, mengingat ketidakadilan yang masih merajalela.
2. Latar belakangnya yang dianggap asing, baik dari sisi pendidikan Barat maupun keturunan campuran, yang membuat ide-idenya dianggap aneh atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia saat itu.
3. Penolakannya terhadap komposisi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang dianggap mengabaikan keterlibatan etnis Dayak Kalimantan Barat dan kelompok etnis lainnya, yang seharusnya dipandang sebagai kekuatan nasional yang beragam.
Meskipun terpinggirkan dalam sejarah dan dianggap sebagai pengkhianat, Sultan Hamid II tetap dihargai oleh banyak kalangan di Kalimantan Barat, terutama karena kebijakan multikulturalnya yang berusaha mendamaikan kelompok etnis yang berbeda. Ia dikenal sebagai tokoh yang memiliki visi jauh ke depan, meski harus menanggung konsekuensi dari ketidakadilan politik yang menimpa dirinya.
Sultan Hamid II, yang lahir pada 12 Juli 1913 di Pontianak, adalah putra Sultan Syarif Muhammad Algadrie, penguasa Pontianak. Ia berasal dari garis keturunan bangsawan, dengan leluhur seperti Sultan Abdurrahman, yang memainkan peran penting dalam sejarah Pontianak. Pendidikan Hamid mengikuti jalur internasional, dimulai dengan sekolah berbahasa Belanda di Indonesia dan kemudian di Koninklijk Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda. Karir militernya di Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) mencakup pertempuran melawan Jepang di Balikpapan selama Perang Dunia II.
Setelah Jepang kalah pada 1945, Sultan Hamid II kembali ke Pontianak dan dinobatkan sebagai Sultan setelah keponakannya, Syarif Thaha, turun tahta di tengah tekanan situasi politik. Pemerintahan Sultan Hamid II terkait erat dengan keterlibatannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia diangkat sebagai Menteri Negara tanpa portofolio dalam kabinet Republik Indonesia, di mana ia berperan dalam merancang lambang negara—Garuda Pancasila. Meskipun memiliki kontribusi penting, masa jabatannya singkat karena terjebak dalam konflik politik, termasuk keterlibatannya dalam pembentukan sistem federal dan kekecewaan dengan pemerintahan pusat Republik Indonesia.
Hamid adalah sosok yang kompleks, menggabungkan hubungan eratnya dengan penjajahan Belanda dan perannya dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Keterhubungannya dengan budaya Eropa dan statusnya sebagai perwira militer di tentara kolonial membuatnya menjadi sosok yang dihormati sekaligus tidak dipahami dalam konteks identitas pascakolonial Indoneia.
Sejarah Sultan Hamid II menunjukkan perjalanan yang penuh dengan kompleksitas, baik secara politik maupun pribadi. Pada 24 Januari 1950, Sultan Hamid II, yang merasa kecewa dan marah dengan situasi negara pasca-kemerdekaan, memerintahkan Westerling dan pasukannya untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS di Jakarta. Keinginannya untuk menjadi Menteri Pertahanan dan memimpin militer dalam upaya mempertahankan negara federal tercermin dari keputusan emosional ini. Namun, setelah merenung, Hamid menyadari bahwa tindakannya tidak dapat dibenarkan.
Pada 18 April 1953, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa Hamid divonis 10 tahun penjara, sebuah hukuman yang diterima dengan tenang. Setelah menjalani hukuman di Jakarta dan Yogyakarta, Hamid hidup tenang bersama keluarganya hingga 1967, di mana ia menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Indonesia Air Transport hingga wafatnya pada 30 Maret 1978.
Pemikirannya tentang federasi dan otonomi daerah, yang didasari pada keinginannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, sering dianggap kontroversial. Hamid menganggap bahwa sistem federasi dapat lebih menguntungkan daerah, yang sering merasa tertinggal dibandingkan dengan Jawa. Meskipun gagasannya dianggap cemerlang oleh sebagian orang, ide tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia saat itu. Ia sering dicurigai sebagai pengkhianat karena kolaborasinya dengan negara-negara bagian Indonesia dan dukungannya terhadap federasi. Meski demikian, Sultan Hamid II tetap diingat sebagai perancang Lambang Garuda Pancasila, simbol persatuan dan keadilan Indonesia.
Sultan Hamid II tidak terbukti terlibat dalam kasus Westerling meskipun terdapat tuduhan bahwa ia terlibat dalam peristiwa yang melibatkan pasukan Westerling. Kasus ini muncul setelah Sultan Hamid II memerintahkan Westerling untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950, sebuah keputusan emosional yang timbul dari kekecewaan Hamid terhadap situasi politik dan negara saat itu. Namun, setelah introspeksi, Hamid menyadari bahwa tindakannya tersebut tidak dapat dibenarkan, dan tidak ada bukti langsung yang mengaitkan Hamid secara aktif dalam aksi Westerling.
Meskipun demikian, akibat pengaruhnya dan keterlibatannya dalam perjuangan politik pada masa itu, ia tetap dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung Indonesia pada 18 April 1953, dengan vonis 10 tahun penjara. Namun, tuduhan terhadap Hamid lebih kepada pengkhianatan karena ide federasinya dan hubungan dengan beberapa negara bagian Indonesia, yang lebih dipandang sebagai ancaman oleh pemerintah Republik Indonesia, ketimbang bukti keterlibatannya langsung dalam peristiwa Westerling.
Sultan Hamid II terlibat dalam beberapa peristiwa penting yang mengarah pada tuduhan keterlibatannya dalam kasus Westerling, namun tidak ada bukti kuat yang mengaitkan dirinya secara langsung dengan aksi-aksi yang terjadi.
Pada 24 Januari 1950, Sultan Hamid II, yang saat itu merasa kecewa dengan situasi negara dan pemerintahannya, memerintahkan pasukan Westerling, yang dikenal sebagai seorang tokoh militer yang terlibat dalam operasi-operasi kontroversial di Indonesia, untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS di Pejambon, Jakarta. Perintah tersebut dikeluarkan dalam suasana emosional, karena Hamid merasa terhina dan frustrasi dengan kegagalannya menduduki posisi Menteri Pertahanan, meskipun memiliki reputasi militernya yang solid. Keinginannya untuk mempertahankan negara federal dan sistem yang lebih otonom bagi daerah seperti Kalimantan Barat membuatnya merasa terpinggirkan dalam pemerintahan pusat yang mengutamakan kesatuan.
Namun, setelah beberapa saat, Hamid menyadari bahwa tindakannya tidak sesuai dengan posisi dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin dan mantan kepala negara. Sesudah menyadari hal ini, ia menginsafi bahwa perintah tersebut tidak patut dilakukan. Akibatnya, meskipun Hamid telah memerintahkan serangan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia terlibat dalam operasi militer atau kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Westerling.
Pada tahun 1953, Mahkamah Agung Indonesia menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap Sultan Hamid II karena dianggap terlibat dalam upaya pengkhianatan negara, terutama terkait dengan ide-idenya tentang federasi yang dianggap mengancam kesatuan negara Republik Indonesia. Namun, selama proses hukum, tidak ada bukti langsung yang menunjukkan keterlibatan aktif Sultan Hamid II dalam tindakan kekerasan atau peran dalam peristiwa Westerling. Pada akhirnya, ia hanya dianggap sebagai seorang tokoh yang memiliki ideologi yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya terkait dengan federasi yang ia perjuangkan.
Hamid menerima vonis tersebut dengan tenang, meskipun ia kemudian mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno, yang ditolak. Selama menjalani hukuman, Hamid tetap dianggap sebagai tokoh yang berpegang teguh pada gagasan tentang otonomi daerah dan federalisme yang dia yakini lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, meskipun pandangannya sering kali berbenturan dengan pandangan pemerintah pusat yang lebih memilih negara kesatuan.
Tuduhan terhadap Hamid lebih berkaitan dengan pandangan politik dan perjuangannya untuk memerdekakan daerah dari dominasi pusat, ketimbang keterlibatannya dalam peristiwa kekerasan yang terjadi selama periode tersebut. Seiring waktu, Sultan Hamid II dipandang sebagai seorang tokoh yang memiliki visi jauh ke depan mengenai pentingnya hak-hak dasar manusia dan otonomi daerah, meskipun ia dipandang sebagai pengkhianat oleh sebagian kalangan karena ide federasinya yang bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang dianut oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pada akhirnya, meskipun dinilai kontroversial dan terjebak dalam politik yang penuh konflik, Sultan Hamid II tetap dikenang sebagai perancang Lambang Garuda Pancasila dan tokoh yang berkontribusi dalam sejarah Indonesia, meskipun pandangannya tidak diterima pada masa itu.
Sultan Hamid II, seorang tokoh dari Kalimantan Barat, menjadi figur penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya sebagai Sultan Kesultanan Qadriyah, tetapi juga sebagai pemikir dan pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, terutama terkait dengan konsep federalisme dan otonomi daerah. Dalam kondisi sosial dan politik yang penuh ketidakpastian pasca-kemerdekaan, masyarakat Kalbar merindukan seorang pemimpin yang memiliki pemikiran besar dan integritas tinggi, yang dapat mewujudkan gagasan-gagasannya dalam bentuk konkrit, bukan hanya figur mesianis atau pahlawan idealis yang datang tanpa dasar.
Hamid Al-Qadrie, yang lahir di Kalimantan Barat, memiliki pendidikan yang luar biasa, menguasai beberapa bahasa asing dan menerima pendidikan Barat yang memadukan wawasan global dengan pemahaman lokal. Ini menjadikannya figur yang dapat beradaptasi dengan tuntutan zaman sambil tetap menjaga akar budaya lokal. Ia berpendidikan tinggi, mengikuti pendidikan militer di Akademi Militer Breda, Belanda, dan kemudian menjadi Ajudan Ratu Belanda. Karier militernya yang cemerlang mengantarkannya menjadi orang Indonesia pertama yang menguasai lima bahasa asing dan memiliki pengaruh di dunia internasional.
Selain itu, Hamid memainkan peran besar dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama dalam perundingan-perundingan terkait pembentukan negara federal dan upaya mempersatukan berbagai negara bagian di Indonesia pasca-perang kemerdekaan. Ia berkontribusi dalam upaya menyelesaikan konflik politik antara Belanda, Negara-Negara Bagian Indonesia, dan Republik Indonesia pada masa-masa kritis, terutama dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Melalui BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg), Hamid bekerja untuk menciptakan kesepakatan yang memungkinkan integrasi negara-negara bagian ke dalam NKRI.
Namun, meskipun kontribusinya sangat besar, pemerintah pusat Indonesia tidak selalu mengakui peran penting Hamid Al-Qadrie, terutama karena pandangannya yang lebih condong pada sistem federasi, yang pada saat itu dianggap bertentangan dengan prinsip negara kesatuan. Masyarakat Kalbar dan banyak pihak lainnya, baik di dalam maupun luar negeri, menganggap Hamid sebagai figur yang berani berpikir dan bertindak di luar mainstream, dengan gagasan tentang otonomi daerah yang lebih adil dan merata. Namun, pandangan ini tidak selalu diterima di pusat, yang lebih fokus pada sentralisasi kekuasaan.
Keberpihakan Hamid terhadap federasi dan otonomi daerah berakar dari keyakinannya bahwa negara bagian yang berbentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB 12 Juli 1947 sebagai satuan kenegara berdiri sendiri , seperti Kalimantan Barat, harus memiliki kebebasan lebih dalam mengelola urusan domestiknya untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Ia memandang bahwa tanpa pembagian wewenang yang jelas antara pusat dan daerah, Indonesia akan menghadapi masalah ketidakadilan, diskriminasi, dan bahkan kolonialisme internal.
Dengan segala kontribusinya, Sultan Hamid II tetap dikenang sebagai pemikir besar yang mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan pentingnya otonomi daerah dan keseimbangan antara pusat dan daerah dalam sebuah negara yang majemuk., ada point penting Pemikiran Sultan Hamid II saat menjadi kepala negara daerah Istimewa Kalimantan Barat, berikut ini, disarikan dari rekam jejak dalam transkrip perancangan lambang negara Republik Indonesia berikut ini, yang akhir hayat wafat dalam keadaan bersujud setelah sholat magrib di rumah persinggahan belisu jalannradio dalam, 1978.
1. Pentingnya Cinta Sejati kepada Allah
Cinta sejati adalah fondasi kehidupan yang tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, tetapi pada apa yang dilakukan secara tulus dan tidak terlihat. Cinta sejati kepada Allah adalah motivator terbesar dalam hidup, yang harus menjadi pusat segala aktivitas dan tujuan hidup.
2. Kesehatan Rohani
Kesehatan rohani sangat penting untuk keseimbangan hidup, karena seringkali kita baru menyadari nilainya setelah kehilangannya. Kesehatan rohani menjadi dasar untuk bijaksana, yang tidak hanya didapatkan melalui pengetahuan orang lain, tetapi juga dari pemahaman diri sendiri.
3. Kebijaksanaan dan Pembentukan Karakter
Kebijaksanaan dan pengalaman hidup membentuk karakter, yang sangat penting dalam memecahkan masalah dan menjalani hidup dengan integritas. Salah satu aspek penting adalah melakukan diplomasi hidup, yakni menghadapi kenyataan dengan moralitas yang tinggi
4. Pentingnya Mimpi dan Tujuan Hidup
Mimpi adalah refleksi dari tujuan hidup. Memiliki tujuan yang jelas dan menulisnya dapat membantu seseorang untuk tetap fokus dan termotivasi. Mimpi masa kini adalah kenyataan esok hari, dan dalam mencapai tujuan, kita harus siap dengan kegagalan yang mungkin terjadi.
5. Peran Kerja Keras dan Keberuntungan
Kerja keras adalah kunci untuk meraih sukses. Keberuntungan datang ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. Oleh karena itu, meningkatkan pengetahuan tentang dunia sekitar dapat memperbesar peluang kesuksesan.
6. Kebiasaan yang Membentuk Sukses
Kebiasaan adalah kunci menuju kesuksesan. Menciptakan kebiasaan yang mendukung tujuan dan nilai hidup adalah langkah awal menuju pencapaian. Setiap keputusan yang diambil dapat mengubah arah hidup secara dramatis.
7. Mencapai Sukses dengan Fokus pada Ridha Allah
Sukses sejati datang dengan niat yang benar, yaitu karena Allah. Semua usaha, baik dalam mencari nafkah maupun dalam kehidupan sehari-hari, harus diarahkan untuk memperoleh ridha-Nya. Kesejahteraan duniawi dan spiritual harus berjalan seiring.
8. Menghindari Kelekatan pada Kekayaan Duniawi
Meskipun dunia menawarkan kekayaan, tujuan hidup seharusnya adalah mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati. Oleh karena itu, kita harus memperkaya diri baik dengan materi maupun dengan kedalaman spiritual, serta berbagi dengan orang lain, terutama mereka yang membutuhkan.
9.Empati dan Refleksi:
Melihat dari sudut pandang orang lain: Memahami dampak tindakan terhadap orang lain dan melatih empati. Jika sesuatu menyakiti kita, kemungkinan besar itu juga menyakiti orang lain.
Pentingnya waktu untuk diri dan refleksi: Luangkan waktu untuk berdoa, belajar, bermain, dan berbagi dengan orang yang kita cintai, karena itu membawa keseimbangan dan kebahagiaan.
10. Kemanusiaan dan Pembentukan Karakter:
Kehebatan sejati: Orang hebat bertindak terlebih dahulu dan baru berbicara, seiring dengan tindakan mereka.
Pertumbuhan melalui perjuangan: Kehidupan yang manis datang setelah menghadapi kesulitan, seperti durian yang keras namun memiliki isi yang lezat.
Belajar dari kesalahan masa lalu: Menyadari bahwa tidak ada jiwa yang suci tanpa masa lalu, dan tidak ada orang yang berdosa tanpa masa depan.
11. Pikiran dan Kekuatan Berpikir:
Berpikir positif: Pikiran kita membentuk realitas kita; berpikir negatif menarik hal negatif, sementara berpikir dengan cinta membawa kebaikan dan kasih sayang.
Pendekatan kreatif terhadap tantangan: Kesiapan untuk mencari solusi daripada mencari alasan
12. Rasa Hormat dan Kebaikan:
Menanggapi negativitas: Membalas kebaikan dengan kebaikan adalah hal biasa, namun membalas kejahatan dengan kebaikan adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan.
Dampak kata-kata: Kata-kata memiliki kekuatan yang sangat besar—digunakan dengan cinta, mereka menyembuhkan dan memberkati, tetapi jika digunakan sembarangan, mereka dapat menghancurkan.
13. Hidup sebagai Perjalanan Pribadi:
Pengenalan diri dan tanggung jawab: Hasil hidup kita bergantung pada bagaimana kita membangunnya, dan penting untuk tidak menyalahkan orang lain atas kegagalan kita, tetapi lebih fokus pada perbaikan diri sendiri.
Mengelola harapan: Jangan terlalu menghabiskan atau mengorbankan diri, karena keseimbangan adalah kunci dalam hidup.
14.. Pandangan Ilahi dan Spiritualitas:
Fitrah (disposisi alami): Manusia diciptakan dalam bentuk terbaik menurut desain ilahi. Al-Qur’an mengajarkan bahwa Tuhan menunjukkan tanda-tanda-Nya kepada kita di dunia dan dalam diri kita sendiri.
Tujuan hidup manusia: Setiap orang dilahirkan dengan tujuan, dan melalui refleksi diri, kita dapat menyelaraskan diri dengan alam sejati dan petunjuk ilahi.
Kebiasaan Positif untuk Kesuksesan: Untuk meraih kesuksesan, penting untuk menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang membawa kita menuju tujuan. Kebiasaan pemenang seperti disiplin, kerja keras, dan ketekunan akan menghasilkan hasil yang baik dalam berbagai aspek kehidupan—bisnis, karir, atau pendidikan.
Niat yang Tepat: Keberhasilan sejati datang dari niat yang tulus, terutama niat yang mengarah kepada ridho Allah. Jika niat kita murni untuk Allah, maka segala rintangan akan terasa lebih ringan, dan kita akan diberi kemudahan dalam meraih tujuan kita.Menggunakan Harta untuk Ibadah: Mengumpulkan harta bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan ibadah. Dengan niat yang baik, harta yang kita peroleh bisa menjadi bekal untuk beribadah dan memberi manfaat bagi orang lain.
Disiplin dan Konsistensi: Disiplin adalah salah satu kebiasaan dasar yang membawa pada kesuksesan. Dengan disiplin, kita tidak hanya terhindar dari masalah, tetapi juga mampu meraih tujuan yang lebih besar. Disiplin adalah bagian dari ibadah yang sangat dihargai.
Perencanaan yang Matang: Rencana adalah langkah awal menuju kesuksesan. Tanpa perencanaan yang jelas, kita akan kesulitan mencapai tujuan. Oleh karena itu, membuat rencana yang sederhana namun konsisten adalah kunci utama.
Menghadapi Tantangan: Tidak ada yang mudah dalam meraih cita-cita. Tantangan dan hambatan pasti ada, tetapi dengan kerja keras dan ketekunan, kita bisa melewatinya. Mengganggu zona nyaman dan tidak takut gagal adalah bagian dari proses menuju kesuksesan.
Mimpi dan Tujuan: Bermimpi itu penting, tetapi lebih penting lagi untuk memiliki tujuan yang jelas dan rencana yang terstruktur untuk mencapai mimpi tersebut. Proses mencapai mimpi akan menuntut kita untuk terus berusaha, tidak hanya berfokus pada hasil akhir.( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This