Upaya Bersama Dalam Penanganan Pengungsi Di Indonesia
JAKARTA – Dirjen Imigrasi DR. Drs. Ronny F Sompie, SH.MH mengatakan saat ini diperlukan adalah upaya kerja sama antara kementrian dan lembaga kemudian pemerintah daerah serta masyarakat dan tentunya tokoh-tokoh masyarakat termasuk media, bagaimana mensosialisasikan perpres (peraturan presiden) no.25 tahun 2016 tgl 31 desember 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, itu menunjukkan bahwa saat ini sudah ada pedoman dari masing-masing kementrian kemudian lembaga kemudian pemda yang terkait dengan pengungsi ini yaitu pengungsi dari luar negeri bagaimana masing-masing berperan siapa yang menemukan kemudian menyerahkan kepada pemda untuk di tampung.
Nah dalam penampungan itu ada pengamananya oleh kepolisian dan penampungan itu bersifat sementara sampai pendataan selesai dan selanjutnya kita meregistrasi mereka, berasal dari mana, negara mana, kemudian mau kemana, nah itu kita akan komunikasi dengan lembaga PBB UNHCR karena lembaga PBB UNHCR yang selama ini menangani pengungsi ini untuk diarahkan ke negara-negara ketiga atau negara tujuan dari pengungsi itu. Nah negara kita ini Negara kedua yaitu negara transit yang walaupun belum meratifikasi konfensi yang berkaitan dengan penanganan pengungsi tapi kita sudah membuat perpres no.125 tahun 2016 untuk menangani pengungsi lebih kepada upaya memberikan pertolongan kesehatan, makanan, perlindungan dari segi hak asasi manusia dimana para pengungsi mengalami persoalan di negaranya seperti persoalan politik atau persoalan apa saja yang harus dibantu yaitu membantu secara darurat.
Ronny F Sompie menambahkan, karena darurat maka yang kita tampung adalah yang memang betul-betul harus diberikan pertolongan nah itu, bagaimana pelaksanaanya karena sudah sampai dengan bulan july dan pengungsi ini berjumlah sekitar 14.350 orang. Dimana 25% adalah anak-anak (465 orng) yang datang sendiri atau terpisah dari keluarganya. Dan para pengungsi, para pencari suaka ditempatkan di 13 Rudenim sebanyak 1.946 orang dengan rincian di Rudenim Tanjung Pinang 387 orang, Medan 294 orang, Balikpapan 236 orang, Pekanbaru 141 orang, Pontianak 134 orang, Makassar 145 orang, Kupang 135 Orang, Manado 156 orang, Denpasar 112 orang, Surabaya 48 orang, Semarang 80 orang, Jakarta 58 orang dan Jayapura 20 orang. Selain itu mereka juga ditempatkan di 125 Kantor imigrasi diseluruh Indonesia sejumlah 2.062 orang.
“Sebaran pengungsi dan pencari suaka di Community House sejumlah 4.478 orang dan mandiri sejumlah 5.832 orang. Berdasarkan kebangsaan umumnya yang banyak datang ke Indonesia berasal dari Afganistan 7.154 orang (49,7%), Somalia 1.446 orang (10%), Myanmar 954 orang (6,6%), Irak 946 orang (6,5%), Nigeria 725 orang (5%), dan Srilanka 540 orang (3,7%) dan lain-lainnya 2.640 orang (18,3%),” ungkap Ronny
Terjadi tren peningkatan jumlah pengungsi dan pencari suaka sejak tahun 2010 yaitu dari 2.882 orang menjadi 14.405 orang pada tahun 2017 (UNHCR). Dan upaya Ditjen Imigrasi adalah melakukan pengawasan keimigrasian oleh 125 kantor Imigrasi dan Rudenim serta 496 TIM PORA di seluruh Indonesia. Ujar Dirjen Imigrasi ke wartawan Sinar Pagi Baru.
Mereka sudah berangsur-angsur dikirim ke negara ketiga sebagian yang tidak diterima dalam mediasi UNHCR sebagai lembaga PBB kemudian kita kembalikan ke negara asalnya kalau sudah tidak di terima tapi yang masih menunggu, itu yang masih kita tampung.
Kita memastikan bahwa peran masing-masing itu kemudian mendapatkan anggaran. Anggaran untuk penanganan pengungsi ini bagaimana bisa melakukan pengawasan terhadap yang bukan pengungsi tapi mereka adalah ilegal maigrant. Ilegal maigrant adalah mereka yang berusaha masuk dengan tujuan-tujuan ekonomi kemudian masuk dalam sindikat tindak pidana perdagangan orang tapi seolah-olah modus operandinya itu berlagak sebagai pengungsi dan ini yang harus di cegah, di antisipasi bagaimana kerja sama antar lembaga dan kementrian, lembaga daerah untuk memberikan informasi.
Bahwa kegiatan yang berkaitan dengan pengungsi bukanlah semata-mata tugasnya Direktorat Jendral Imigrasi karena kementrian dan lembaga sudah mendapatkan pedoman, payung hukum berupa peraturan presiden no. 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi. Nah bagaimana masing-masing kementrian dan lembaga berperan termasuk pemerintah daerah yang mengajukan anggaran untuk menyiapkan tempat penampungan. Jadi tempat penampungan ini tidak harus gedung yang baru mungkin dengan gedung-gedung yang ada tapi di fungsikan untuk menampung secara darurat.
Secara darurat ini kita tidak tau nanti pengungsi itu datang ke propinsi mana, kabupaten mana dan ke kota mana, jadi kita hanya bersiap-siap untuk menyiapkan makalah darurat itu datang dalam penanganan pengungsi.
Dan tempat pengungsian itu tergantung oleh Gubernur, Walikota ataupun Bupati bagaimana menyikapi peraturan presiden no.125 tahun 2016, kemudian bagaimana Bakamla yang sehari-hari mengawasi laut, kemudian ada teknik polri pengamanan diperbatasan selain imigrasi di pos lintas batas. Kalau mereka datang secara prosedur pasti imigrasi tau atau tapi kalau mereka datang tidak secara prosedur ya melalui tempat-tempat seperti pantai, jalur-jalur diperbatasan darat yang tidak ada petugas imigrasi maka pengamanan perbatasan itu bisa membatu untuk kemudian mengarahkan mereka tempat penampungan di pemda sambil memberikan informasi kepada imigrasi untuk pengawasan keimigrasian dan untuk kordinasi UNHCR tentang bagaimana melakukan identifikasi, registrasi apakah mereka tercatat di negara lain sebagai pengungsi,kalau sudah terdaftar pengungsi di negara lain kenapa mereka pindah. Nah ini harus ada data yang kongkrit yang bisa kita dibantu oleh UNHCR yang selama ini memang sudah seperti itu.(Sri S)