UU Narkotika: Hakim Terbelenggu, Kewenangannya Sia-Sia
Oleh: Dr Anang Iskandar (Pengamat Hukum & Aktivis Anti Narkoba).
BN – Ya, kebiasaan mengadili perkara penyalahguna tanpa keterangan ahli, yang menyatakan penyalah guna adalah pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.
Hakim terbelenggu kebiasaan menjatuhkan sanksi penjara, berdasarkan ketentuan hukum yang bersifat umum (KUHP dan KUHAP) sehingga lapas over capasitas.
Padahal, kebiasaan tersebut bertentangan dengan tujuan UU narkotika bersifat khusus, yaitu menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).
Dan, kewajiban hakim berdasarkan pasal 127/2, untuk memperhatikan pasal 54, 55 dan 103.
Bagaimana itu Pasal 103?
Teks selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1). Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana tersebut ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Kewenangan pasal 103 adalah kewenangan hakim yang diberikan oleh UU narkotika “dapat” memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika terbukti bersalah.
Ada kata dan “dapat”, yang artinya “dapat” mengambil tindakan dengan menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika terbukti tidak bersalah.
Rehabilitasi itu jenis hukuman, dimana dalam ayat (2) dinyatakan masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
Kewenangan hakim dalam pasal 103 tersebut adalah, kewenangan bersifat imperatif.
Kenapa imperatif?
Karena hakim tidak punya pilihan lain, kecuali pilihan memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Kewenangan “dapat” dàlam pasal 103 tersebut bukan berarti fakultatif, bisa dapat atau bisa tidak dapat digunakan, tetapi kewenangan extra /tambahan yang bersifat wajib untuk mewujudkan tujuan UU narkotika.
Berdasarkan PP 25/2011 tentang wajib lapor pecandu, hakim juga diberi kewenang untuk menempatkan terdakwa penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan pengadilan (pasal 13).
Bagaimana dengan penyidik?
Demikian pula penyidik dan jaksa, juga diberi kewenangan untuk menempatkan tersangka atau terdakwa kedalam lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya.
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada saya, kenapa pasal 103 kok “dapat”? Yang berarti, fakultatif sedangkan maknanya bersifat wajib.
Secara empiriknya saat ini ada 48 ribu penyalahguna mendekam dalam penjara. Kenapa penyalah guna dihukum penjara oleh hakim?
Berdasarkan hasil wawancara dengan para hakim, mereka para hakim berpendapat:
1. Bahwa pasal 103 tersebut adalah pasal yang bersifat fakultatif karena kewenangan hakim tersebut diikuti kalimat “dapat”.
2. Bahwa hakim berpendapat kewenangan “dapat” pada pasal 103 artinya dapat digunakan bisa juga tidak dapat digunakan, tergantung pada kenyakinan hakim.
3. Bahwa penyalah guna disidik dan dituntut sebagai pengedar dan/atau turut serta melakukan, bagaimana kami sebagai hakim dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi?
Nah, loh.
Ternyata, hakim terbelenggu pemikirannya karena berpedoman pada ketentuan UU yang bersifat umum (KUHP dan KUHAP).
Sehingga, pasal 103 yang berisi kewenangan hakim bersifat wajib untuk memutuskan dan menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi menjadi sia sia, karena tidak digunakan.
Secara teknis, berdasarkan surat edaran MA no 4 tahun 2010, tentang penempatan penyalahguna, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu.
Hakim wajib memutuskan atau menetapkan penyalah guna yang menjadi terdakwa untuk menjalani rehabilitasi bila barang buktinya terbatas untuk pemakaian satu hari (point 2)
Dalam surat edaran tersebut pada point 4 tertulis hakim “harus” dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi / taraf kecanduan terdakwa, sehingga wajib adanya keterangan ahli sebagai proses terapi dan rehabilitasi.
Bagaimana prakteknya?
Petunjuk teknis dari MA tidak diimplementasikan, atas kebiasaan / kelalaian hakim tidak menghadirkan ahli dalam sidang perkara penyalahgunaan narkotika dan kebiasaan/ kelalaian menjatuhkan hukuman penjara, disengaja atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
#Komisaris Jenderal Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. adalah seorang Purnawirawan mantan Kepala Badan Narkotika Nasional. Pria asal Mojokerto ini juga mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri menggantikan Komjen Pol. Budi Waseso.
Dikenal sebagai lulusan Akademi Kepolisian, yang berpengalaman dalam bidang reserse. Kini menjadi dosen dan kolumnis beberapa media nasional. Pria kelahiran 18 Mei 1958 ini mendedikasikan dirinya sebagai penggiat rehabilitasi narkoba. ( red )