WAPRES JK : KEMBANGKAN KULTUR SADAR BENCANA UNTUK KURANGI RISIKO BENCANA
Depok – Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, dalam Pembukaan Pekan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-4 dan Munas Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) di di Balairung Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (8/5), kembali mengingatkan agar masyarakat Indonesia meningkatkan kultur sadar bencana pada Senin (8/5/2017). “Meningkatnya bencana di Indonesia perlu diantisipasi dengan mengembangkan kultur sadar bencana untuk mengurangi risiko bencana. Bencana bersifat multidimensi sehingga semua ilmu harus memberikan solusi terhadap bencana. Selalu dinamis dan harus dapat dilakukan preventif,” ujar Jusuf Kalla.
“Saya sharing pengalaman. Sebab salama 17 tahun saya ikut serta dalam penanganan bencana. Sejak menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang merangkap Ketua Bakornas, kemudian menjadi Ketua PMI. Apalagi saya terjung langsung menangani tsunami Aceh yang demikian dahsyat, kemudian gempabumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.Lalu gempa Sumatera Barat dan bencana lainnya. Kultur kebiasaan masyarakat di Simeulue sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia saat ini. Begitu merasakan gempa besar langsung berlari ke bukit. Saat tsunami Aceh, kultur masyarakat Simeulue ini telah menyelamatkan warga sekitar. Hanya ada korban 10 jiwa, sedangkan di Aceh yang tidak memiliki kultur ini korbannya lebih dari 100 ribu jiwa,” tambah Jusuf Kalla.
Wapres juga menyampaikan, “Ternyata intensitas gempa tidak simetris dengan korban gempa. Kita lihat gempa 6,3 SR di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 menelan korban 5.700 jiwa meninggal, sedangkan gempa 7,6 SR di Sumatera Barat menyebabkan 1.700 orang meninggal dunia. Dampak gempa tergantung pada lokasi, waktu, dan kondisinya. Di Yogya penduduk lebih padat, rumah beratap genteng, kejadian pada subuh. Sedangkan gempa di Sumatera Barat terjadi pada sore hari dengan penduduk yang tidak sebanyak di Jawa. Jadi 4 hal yang harus dijawab para peneliti, akademisi, praktisi dan lainnya adalah apa, dimana, kenapa dan bagaimana? Iptek harus mampu memprediksi secara tepat. Untuk dapat mengatasi bencana maka ada 3 tahapan yaitu pertama tanggap darurat. Prioritas adalah penyelamatan korban. Kedua adalah rehabilitasi dan ketiga rekonstruksi. Saat pasca tsunami, pemerintah menetapkan tanggap darurat selama 3 bulan, kemudian rehabilitasi 3 bulan dan selanjutnya rekonstruksi selama 3 tahun. Hal yang sama juga kita lakukan saat penanganan gempa Yogyakarta. Cepatnya penanganan bencana ini menjadi contoh dunia. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction kepada Pemerintah Indonesia.”
Wapres juga meminta agar bencana makin meningkatkan kesadaran akademisi dan ilmuwan untuk mencari inovasi dan kreativitas sehingga korban bencana darpat dikurangi.
Kepala BNPB Willem Rampangilei dalam sambutan mengatakan, “Jutaan penduduk Indonesia tinggal di daerah bencana. 150 juta penduduk di daerah rawan gempa, 64 jiwa di daerah rawan banjir, dan 41 juta di daerah rawan longsor dan sebagainya. Sementara itu kejadian bencana terus meningkat setiap tahun. Kapasitas penanggulangan bencana di pemda masih belum merata. Penyebab bencana disebabkan laju degradasi lingkungan lebih cepat dari pemulihan. Untuk mengantisipasi bencana maka pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi prioritas pembangunan nasional. Pencegahan menjadi lebih prioritas. Diharapkam IABI dapat meningkatkan jejaring iptek untuk penanggulangan bencana. Investasi pengurangan risiko bencana dapat menjadi penggerak ekonomi pembangunan.”
Rektor UI, Muhammad Anis mengatakan Indonesia adalah laboratorium bencana yang menjadi tantangan bagi para pendidik, peneliti, praktisi. UI menyambut baik menjadi tuan rumah. PB berkembang pesat karena multidimensi. UI telah menghasilkam beberapa inovasi makanan untuk darurat bencana. UI menyelenggarakan simulasi dan pensisikan bencana. Saat terjasi bemvana UI selalu mengirimkan relawan dan UI Peduli membantu masyarkat dan pemda dalam penanganan bencana. Diharapkan PIT dapat menghasilkan inovasi dan terobosan.
Selama tiga hari (8 – 10/5), para ahli nasional dan internasional di bidang kebencanaan akan saling berbagi pengalaman, sharing knowledge serta brainstorming secara komprehensif terkait kebencanaan dan mensinergikan sains, teknologi, dan inovasi terkait kebencanaan. Dengan tema Peran Masyarakat Bagi Pencapaian SDGs : Kontribusi Pemangku Kepentingan Untuk Penurunan Risiko Bencana, diharapkan pertemuan ilmiah ini mampu menghasilkan keluaran berupa tersusunnya Blue Print Riset Kebencanaan sebagai acuan dalam perencanaan dan penganggaran sesuai dengan kebutuhan penanggulangan bencana di Indonesia.
Sutopo Purwo Nugroho
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB JK : KEMBANGKAN KULTUR SADAR BENCANA UNTUK KURANGI RISIKO BENCANA
Jakarta – Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, dalam Pembukaan Pekan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-4 dan Munas Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) di di Balairung Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (8/5), kembali mengingatkan agar masyarakat Indonesia meningkatkan kultur sadar bencana pada Senin (8/5/2017). “Meningkatnya bencana di Indonesia perlu diantisipasi dengan mengembangkan kultur sadar bencana untuk mengurangi risiko bencana. Bencana bersifat multidimensi sehingga semua ilmu harus memberikan solusi terhadap bencana. Selalu dinamis dan harus dapat dilakukan preventif,” ujar Jusuf Kalla.
“Saya sharing pengalaman. Sebab salama 17 tahun saya ikut serta dalam penanganan bencana. Sejak menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang merangkap Ketua Bakornas, kemudian menjadi Ketua PMI. Apalagi saya terjung langsung menangani tsunami Aceh yang demikian dahsyat, kemudian gempabumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.Lalu gempa Sumatera Barat dan bencana lainnya. Kultur kebiasaan masyarakat di Simeulue sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia saat ini. Begitu merasakan gempa besar langsung berlari ke bukit. Saat tsunami Aceh, kultur masyarakat Simeulue ini telah menyelamatkan warga sekitar. Hanya ada korban 10 jiwa, sedangkan di Aceh yang tidak memiliki kultur ini korbannya lebih dari 100 ribu jiwa,” tambah Jusuf Kalla.
Wapres juga menyampaikan, “Ternyata intensitas gempa tidak simetris dengan korban gempa. Kita lihat gempa 6,3 SR di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 menelan korban 5.700 jiwa meninggal, sedangkan gempa 7,6 SR di Sumatera Barat menyebabkan 1.700 orang meninggal dunia. Dampak gempa tergantung pada lokasi, waktu, dan kondisinya. Di Yogya penduduk lebih padat, rumah beratap genteng, kejadian pada subuh. Sedangkan gempa di Sumatera Barat terjadi pada sore hari dengan penduduk yang tidak sebanyak di Jawa. Jadi 4 hal yang harus dijawab para peneliti, akademisi, praktisi dan lainnya adalah apa, dimana, kenapa dan bagaimana? Iptek harus mampu memprediksi secara tepat. Untuk dapat mengatasi bencana maka ada 3 tahapan yaitu pertama tanggap darurat. Prioritas adalah penyelamatan korban. Kedua adalah rehabilitasi dan ketiga rekonstruksi. Saat pasca tsunami, pemerintah menetapkan tanggap darurat selama 3 bulan, kemudian rehabilitasi 3 bulan dan selanjutnya rekonstruksi selama 3 tahun. Hal yang sama juga kita lakukan saat penanganan gempa Yogyakarta. Cepatnya penanganan bencana ini menjadi contoh dunia. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction kepada Pemerintah Indonesia.”
Wapres juga meminta agar bencana makin meningkatkan kesadaran akademisi dan ilmuwan untuk mencari inovasi dan kreativitas sehingga korban bencana darpat dikurangi.
Kepala BNPB Willem Rampangilei dalam sambutan mengatakan, “Jutaan penduduk Indonesia tinggal di daerah bencana. 150 juta penduduk di daerah rawan gempa, 64 jiwa di daerah rawan banjir, dan 41 juta di daerah rawan longsor dan sebagainya. Sementara itu kejadian bencana terus meningkat setiap tahun. Kapasitas penanggulangan bencana di pemda masih belum merata. Penyebab bencana disebabkan laju degradasi lingkungan lebih cepat dari pemulihan. Untuk mengantisipasi bencana maka pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi prioritas pembangunan nasional. Pencegahan menjadi lebih prioritas. Diharapkam IABI dapat meningkatkan jejaring iptek untuk penanggulangan bencana. Investasi pengurangan risiko bencana dapat menjadi penggerak ekonomi pembangunan.”
Rektor UI, Muhammad Anis mengatakan Indonesia adalah laboratorium bencana yang menjadi tantangan bagi para pendidik, peneliti, praktisi. UI menyambut baik menjadi tuan rumah. PB berkembang pesat karena multidimensi. UI telah menghasilkam beberapa inovasi makanan untuk darurat bencana. UI menyelenggarakan simulasi dan pensisikan bencana. Saat terjasi bemvana UI selalu mengirimkan relawan dan UI Peduli membantu masyarkat dan pemda dalam penanganan bencana. Diharapkan PIT dapat menghasilkan inovasi dan terobosan.
Selama tiga hari (8 – 10/5), para ahli nasional dan internasional di bidang kebencanaan akan saling berbagi pengalaman, sharing knowledge serta brainstorming secara komprehensif terkait kebencanaan dan mensinergikan sains, teknologi, dan inovasi terkait kebencanaan. Dengan tema Peran Masyarakat Bagi Pencapaian SDGs : Kontribusi Pemangku Kepentingan Untuk Penurunan Risiko Bencana, diharapkan pertemuan ilmiah ini mampu menghasilkan keluaran berupa tersusunnya Blue Print Riset Kebencanaan sebagai acuan dalam perencanaan dan penganggaran sesuai dengan kebutuhan penanggulangan bencana di Indonesia.
Sutopo Purwo Nugroho
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB