Anang Iskandar: Gratis Biaya Rehabilitasi Penyalahguna

Anang Iskandar: Gratis Biaya Rehabilitasi Penyalahguna

ratis ! Biaya rehabilitasi dibebankan kepada negara.

Bila penyalahguna narkotika yang ditangkap kemudian ditempatkan oleh penyidik narkotika ke dalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL.

Apa itu IPWL?

Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di lingkungan Kemenkes, Kemensos dan BNN guna mendapatkan perawatan.

Penempatan kedalam lembaga rehabilitasi oleh jaksa penuntut umum dan hakim selama proses penuntutan dan pengadilan biayanya juga dibebankan kepada negara.

Termasuk biaya rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim bagi terdakwa penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika (pecandu).

Anggarannya ditanggung oleh rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL.

Pada prinsipnya segala tindakan penegak hukum yang bersifat pro-justitia, biayanya dibebankan kepada negara, mulai dari dari biaya assesmen biaya, biaya rawat inap/rawat jalan termasuk biaya penegakan hukumnya.

Penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi di IPWL selama pemeriksaan adalah kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim sebagai kewajiban.

Pelaksanaan proses rehabilitasi tidak harus rawat inap, rehabilitasi bisa dilakukan dengan rawat jalan tergantung kadar kecanduan dan dampak buruk yang diderita penyalah guna narkotika.

Rehabilitasi bukan bentuk penahanan, rehabilitasi adalah proses penyembuhan secara medis dan sosial.

Oleh karena itu rehabilitasi bukan dimohon oleh keluarga penyalah guna, atau penyidik minta supaya keluarganya mengajukan permohonan.

Harusnya seperti apa?

Hal ini merupakan kewajiban penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai tujuan UU narkotika untuk merehabilitasi dengan menempatkan penyalah guna ke IPWL.

Kalau penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi ke IPWL dimohon orang tua atau pengacaranya kepada penyidik narkotika. Maka, akan digunakan penyidik narkotika yang “nakal” sebagai bargaining, wani piro.

Biaya rehabilitasi dan anggarannya diatur berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan untuk IPWL di lingkungan Kemenkes, Menteri Sosial untuk IPWL di lingkungan Kemensos dan Kepala BNN di lingkungan BNN.

Penyidik narkotika yang menangkap penyalahguna, atas perintah UU kemudian menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi, tidak boleh memberatkan keluarga tersangka.

Menjadi memberatkan jika menempatkan penyalahguna hasil tangkapannya pada rumah sakit atau lembaga rehabilitasi berbayar.

Penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi atau rumah sakit berbayar oleh penyidik, penuntut umum dan hakim akan menjadi masalah yang memberatkan keluarga.

Kenapa memangnya kalau dibebani biaya rehabilitasi?

Ini sudah melanggar asas bahwa tersangka atau terdakwa dalam proses penegakan hukum tidak dibebani biaya.

IPWL dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2011 sebagai aturan pelaksanaan UU narkotika yang tugasnya melayani berbagai bentuk rehabilitasi.

Secara tegas diperintahkan Undang-undang, pelaksanaan juga sudah diperkuat peraturan pemerintah. Bahwa  biaya dibebankan pada rumah sakit atau lembagai rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL dengan layanan antara lain:

a. Rehabilitasi atas inisistif penyalah guna dan/atau pecandu, atau kewajiban orang tua pecandu untuk melakukan wajib lapor agar mendapatkan perawatan (pasal 55 UU no 35 tahun 2009).

b. Rehabilitasi atas perintah penyidik narkotika, penuntut umum dan hakim sebagai bentuk upaya paksa selama proses penegakan hukum (pasal 13 PP 25 tahun 2011).

c. Rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah, rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim tersebut sebagai bentuk hukuman (pasal 103 UU no 35 tahun 2009).

Berdasarkan data puslitdatin BNN tahun 2019 jumlah IPWL di lingkungan Kemenkes, Kemensos, dan BNN adalah 918 IPWL yang tersebar di seluruh Indonesia.

Artinya tempat rehabilitasi tak berbayar bagi penyalah guna dan/atau pecandu yang bermasalah dengan penegakan hukum, sudah tersebar diseluruh Indonesia.

Sesungguhnya tinggal kemauan Kapolri selaku atasan penyidik, Jaksa Agung selaku atasan penuntut umum dan kemauan Ketua Mahkamah Agung sebagai atasan para hakim.

Mereka memerintahkan melaksanakan penegakan hukum sesuai UU narkotika dan mengawasi dengan sungguh sungguh pelaksanaannya.

Tidak ada alasan pembenar bagi penyidik, jaksa penuntut dan hakim yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, kemudian melakukan upaya paksa penahanan.

Apalagi penjatuhan hukuman berupa hukuman penjara, seperti selama ini. Karena penyalah guna dan pecandu dijamin Undang-undang.

Mereka berhak mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan aparat penegak hukum semuanya diberi kewenangan untuk merehabilitasi bukan menahan atau memenjarakan.

Kalau penyidik narkotika, jaksa penuntut umum dan hakim melaksanakan penegakan hukum rehabilitatif sesuai tujuan dan kewenangan yang diberikan oleh UU narkotika, saya yakin IPWL akan berfungsi.

Kita semua sudah berperan untuk mencegah penyalah guna mengulangi perbuatannya atau mencegah penyalah guna menjadi residivis dan lapas tidak over kapasitas seperti sekarang.

Catatan saya dan ini terbukti. Lapas over kapasitas dan terjadinya residivis penyalahgunaan narkotika adalah indikasi adanya mismanagemen dalam penegakan hukum.

Juga adanya misuse dalam penjatuhan hukuman bagi perkara narkotika khususnya perkara penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan konsep pidana umum.

Penegasan Rehabilitasi Gratis

Karena pembuat UU yaitu Pemerintah bersama DPR mencantumkan tujuan secara gamblang yaitu mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia.

Kita ingin anak bangsa lepas dari penyalahgunaan narkotika (pasal 4b) serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Ini berlaku juga bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4 d) bila berhubungan dengan penegakan hukum.

Rehabilitasi berdasarkan UU narkotika adalah proses medis dan sosial untuk membebaskan penyalah guna dalam keadaan ketergantungan dari ketergantungan narkotikanya (pasal 1/16).

Sebagai bentuk hukuman khusus bagi penyalah guna dan pecandu yang mengalami proses penegakan hukum (pasal 103) serta sebagai bentuk upaya paksa penegak hukum (pasal 13 PP 25/2011).

Itu sebabnya negara bertanggung jawab atas biaya rehabilitasi bagi penyalah guna dan/atau pecandu.

Kenapa Harus Gratis?

Karena mereka di samping pelaku kejahatan, mereka juga korban bujukan, tipuan, rayuan dan paksaan untuk menggunakan narkotika ketika pertama kali menggunakan narkotika.

Untuk tahap penggunaan narkotika selanjutnya, bukan karena sengaja atau punya niat jahat melakukan perbuatan terlarang tetapi karena kebutuhan sakit ketergantungan yang dideritanya.

Sekarang ini, IPWL sudah eksis tetapi fungsinya masih belum difahami oleh sebagian besar masarakat dan sebagian besar penegak hukum.

Rehabilitasi Lebih Efisien dan Lebih Efektif

Pemerintah bersama DPR dalam membuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, menetapkan bahwa rehabilitasi memiliki makna ganda sebagai proses penyembuhan, sebagai bentuk upaya paksa dan sebagai bentuk hukuman bagi penyalah guna dan/atau pecandu.

Sebagai bentuk hukuman, rehabilitasi adalah pengganti hukuman pidana karena lebih efektif dan efisien bagi penyalah guna dan/atau pecandu dari pada hukuman penjara

Biaya rehabilitasi jauh lebih efisien dibandingkan dengan biaya penegakan hukum dengan memenjarakan

Efektifitas hukuman rehabilitasi, jauh lebih efektif dibanding hukuman penjara. Hukuman penjara hanya menghasilkan nestapa, selama dan setelah keluar dari penjara dipastikan akan menggunakan narkotika lagi.

Sedangkan hukuman rehabilitasi dilakukan dengan proses medis sehingga dapat diukur tingkat penyembuhannya.

Sayang efektifitas dan effisiensi bentuk hukuman penjara dan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna belum pernah diteliti secara akademis.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Selamatkan penyalahgunanya, penjarakan pengedarnya.

***

Anang Iskandar: Penyidik, Penuntut dan Hakim Serta Tujuan Penanggulangan Masalah Narkotika
Penulis adalah Komisaris Jenderal Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H.  Seorang Purnawirawan perwira tinggi Polri, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).  Aktivis anti narkoba yang  berpengalaman dalam bidang reserse.  Penulis buku kelahiran Mojokerto, 18 Mei 1958.

CATEGORIES
TAGS
Share This