Anang Iskandar: Percuma, Penyalah Guna Dihukum Penjara dan Tantangan Bagi Para Hakim

Oleh : Komjen Pol (purn) DR Anang Iskandar SH

Jakarta – Tantangan bagi hakim yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, untuk menggali dan menemukan solusi hukum yang tepat agar tidak menimbulkan banyak masalah ketika menjatuhkan hukuman.

Hukuman penjara bagi penyalah guna narkotika tidak menimbulkan effek jera, hukuman penjara juga tidak bermanfaat, justru menimbulkan berbagai masalah.

Pertama, masalah biaya, disamping besarnya biaya penyidikan, penuntutan dan pengadilan dalam menangani penyalah guna narkotika karena lama dan belarut larut dalam memeriksa perkara penyalah guna narkotika, sehingga biayanya mahal.

Berapa besarnya biaya pegawai yang menyidik, menuntut dan yang mengadili yang kerjanya super sibuk untuk memenjarakan penyalah guna narkotika dan betapa besarnya biaya lapas reform, biaya makan dan perawatan tahanan selama menjalani hukuman.

Padahal perkara penyalahgunaan narkotika termasuk perkara yang simple, karena tersangkanya mengakui perbuatannya, nggak ada tersangka yang berbelit belit, barang buktinya ada dengan jumlah terbatas, tujuan kepemilikannya jelas untuk dikonsumsi, saksi saksinya jelas dipastikan saksinya penyidik sendiri, kondisi terdakwanya, jelas kambuhan dan dalam keadaan ketergantungan narkotika.

Perkara penyalahgunaan narkotika berdasarkan surat edaran Jaksa Agung tahun 2019 dapat dilakukan pemeriksaan singkat, prosesnya tidak memerlukan waktu lama, biayanya jauh lebih murah.

Pembuktiannya di pengadilannya juga mudah, teori penjatuhan hukumannya jelas, menggunakan teori rehabilitasi dengan tujuan memperbaiki pelaku agar diterima kembali di lingkungan masarakat dan tidak mengulangi perbuatannya.

Penjatuhan hukuman rehabilitasi selaras dengan maksud dan tujuan UU narkotika, dan kewenangan hakim pada pasal 103 yaitu kewenangan dapat menjatuhkan hukuman yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Kedua, penyalah guna adalah penderita sakit kambuhan, yaitu sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan. Kalau penyalah guna dihukum dipenjara, tidak ada manfaatnya. Mereka pasti kambuh dan menggunakan narkotika lagi selama dipenjara, setelah selesai menjalani hukuman penjarapun mereka pasti kambuh lagi.

Dengan banyaknya penyalah guna dipenjara, banyak timbul masalah baru. Antara lain lapas over kapasitas, terjadi peredaran dalam lapas, banyak pegawai lapas yang bermasalah dan dipecat karena tidak tahan godaan pengedar narkotika.

Ketiga, karena penyalah guna dalam proses peradilan dihukum penjara, dan tidak mendapat pelayanan rehabilitasi, menyebabkan penyalah guna tidak sembuh dari sakit kambuhannya. Ini yang selanjutnya menjadi pembeli narkotika secara rutin, yang menyebabkan pertumbuhan penyalah guna sangat pesat dan disusul pertumbuhan peredaran narkotika di indonesia.

Hukuman penjara dipandang secara hukum kesehatan berarti pembiaran penyalah guna mengkonsumsi narkotika dalam proses menjalani hukuman dan pembiaran terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika.

Faktanya, banyak penyalah guna yang menjadi residivis penyalahgunaan narkotika, ini jumlahnya ribuan, ada pelaku yang 3 kali, bahkan ada pelaku yang 4 kali keluar masuk penjara.

Hukuman penjara pada akhirnya nanti, menghasilkan generasi ketergantungan narkotika seperti generasi hippies ala Amerika masa lalu, yang dapat menggoyahkan ketahan nasional pemerintah.

Menurut catatan saya, penyalah guna narkotika tidak memiliki kamus jera, karena kebutuhan mereka adalah narkotika, akal sehatnya tidak berfungsi dengan baik ketika secara fisik dan psykis mereka menagih.

Penyalah guna narkotika juga tidak punya niat jahat, mereka sebagai korban kejahatan yang dilakukan oleh pengedar. Mereka tertipu, dibujuk, dirayu, diperdaya bahkan ada yang dipaksa menggunakan narkotika untuk pertama kali, oleh kaki tangan pengedar melalui temen sebaya atau keluarga yang menjadi penyalah guna lebih dulu.

Bahkan tidak segan para pengedar menggratiskan narkotika untuk pemakai pertama begitu sudah kecanduan, ditarget untuk membeli.

Mereka tidak berdaya, UU kemudian mewajibkan keluarga, pemerintah agar membuat program wajib lapor dan penegak hukum juga diminta menjamin untuk menempatkan kedalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum dan dihukum dengan hukuman menjalani rehabilitasi. agar sembuh atau pulih seperti sediakala dan tidak menggunakan narkotika lagi.

Mereka sebagai penderita karena setiap saat harus membeli narkotika dengan harga yang tidak murah.
Mereka membeli bukan karena kebanyakan uang atau tidak tahu aturan kalau membeli narkotika itu melanggar hukum tetapi karena sudah ketergantungan akan narkotika.

Betapa sakitnya mereka ketika fisik dan psykisnya menagih narkotika sedangkan persediaan untuk dikonsumsi tidak ada.

Mereka punya keinginan berhenti menggunakan narkotika dan ingin mengakiri penderitaannya tetapi tidak mungkin dilakukan sendiri.

Itulah kenapa saya katakan percuma menghukum penjara penyalah guna narkotika, karena sama dengan membuang sumberdaya penegakan hukum.

Yang harus dihukum penjara adalah pengedarnya, mereka yang menjual narkotika “bukan” pembeli yang tujuannya untuk dikonsumsi.

Kajian tentang hukuman bagi penyalah guna.

Keterbatasannya ahli dari dalam negeri, yang melakukan kajian masalah penjatuhan hukuman bagi penyalah guna, “dipenjara atau direhabilitasi” menyebabkan saya menyampaikan kajian dari luar negeri:

1. Kajian tentang hukuman bagi penyalah guna narkotika menurut Fatima Trigueiros, Paula victoria dan Lusia Dias dalam studi dokumen dalam kajian sejarah portugis dari 1924 sd 1976.

Mereka menyatakan “lebih baik dilakukan terapi dibandingkan dihukum”.

Pemerintah portugis saat ini menggunakan model dekriminalisasi penyalah guna narkotika, dimana penyalah guna dipertahankan mengikuti model penegakan hukum kriminal dengan membatasi mekanisme dari implementasi penegakan hukum.

Dekriminalisasi penyalah guna narkotika, tidak diartikan legalisasi karena ada limitasi terhadap jenis narkotika tertentu dengan batasan 10 hari pemakaian. Lebih dari batasan 10 hari pakai mengikuti sistem peradilan kriminal.

2. Justin B. Shapiro melakukan penelitian tentang “Dekriminalisasi kepemilikan narkotika dalam jumlah kecil sebagai akibat kegagalan penegakan hukum di Meksiko” menguraikan latar belakang kebijakan dekriminalisasi penyalah guna narkotika oleh pemerintah Meksiko.

Pemerintah Meksiko mengakui bahwa menuntut para penyalah guna narkotika dan pecandu hanya akan menghambur hamburkan sumberdaya penegakan hukum serta mendorong korupsi di lingkungan polisi.

Korupsi tersebut timbul dimana para polisi dengan gaji kecil memangsa penyalah guna narkotika yang tidak berbahaya untuk mendapatkan pendapatan tambahan.

Hal ini menghancurkan integritas kepolisian dan mengalihkan fokus kepolisian dari mengejar para pengedar narkotika.

Alhasil Kongres Meksiko di bulan Agustus 2009 mendekriminalisasikan kepemilikan narkotika jumlah kecil artinya penyalah guna tidak mengikuti sistem peradilan kriminal.

Ini berarti Kementrian Umum Meksiko tidak akan memidana para penyalah guna dan pecandu yang membawa narkotika dalam jumlah tertentu yang secara khusus hanya digunakan untuk konsumsi pribadi.

Hukum di Meksiko mengatakan seorang yang kedapatan membawa sejumlah narkotika dibawah jumlah dekriminalisasi akan disarankan untuk mendapatkan perawatan, namun untuk mereka yang tertangkap hingga ketiga kalinya wajib melakukan perawatan.

Tantangan untuk para hakim.

Kedua kajian tersebut, selaras dengan maksud dan tujuan UU no 35 tahun 2009, yang juga mendekriminalisasi penyalah guna narkotika ( Anang Iskandar 2014). Dekriminalisasi penyalah guna narkotika diartikan bahwa kepemilikan narkotika yang jumlahnya terbatas untuk kepentingan dikonsumsi, proses peradilannya mengikuti proses peradilan hukum pidana namun penjatuhan hukumannya keluar dari sanksi pidana berupa sanksi menjalani rehabilitasi.

Dekriminalisasi penyalah guna narkotika dikonstruksi dalam pasal pasal UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika berikut:
1. Penyalah guna diancam pidana (pasal 127/1). Penyalah guna tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan (KUHAP pasal 21).
2. Tujuan UU narkotika yang berlaku menyatakan penyalah guna dan pecandu dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).
3. Hakim diberi kewajiban (pasal 127/2) mengetahui keadaan ketergantungan narkotika terdakwanya (pasal 54).
4. Hakim diberi kewenangan menghukum rehabilitasi, justice for health (pasal 103/1)
4. Rehabilitasi = hukuman (pasal 103/2)

Tantangan bagi para hakim kedepan, bersediakah para hakim secara berjenjang keluar dari kebiasaan menjatuhkan hukuman penjara dalam mengadili perkara yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika dan sebagai gantinya menjatuhkan hukuman rehabilitasi ? Sekaligus sebagai langkah terobosan yang tidak saja mengacu pada UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, tetapi lebih pada nilai sosial dan nilai kemanusiaan yang ditunggu tunggu masarakat. ( red )

CATEGORIES
TAGS
Share This