“BATU LAYANG” DIBUAT “Geger” Media Online”
BN – Batu layang, berkaitan dengan batu ditepi Kapuas dan istilah layang, tempat pemberhentian “batu terbang” dan kepulangan oleh para Kerabat menyebut pemakaman Batu Layang, lalu dijadikan nama Wilayah kelurahan Batu layang saat ini secara administrasi, diwilayah ini berkembang sebuah majelis kajian tasauf Batu Layang , titik nol, bahwa manusia tak ada apanya sekalipun Sultan sudah wafat, namun faktanya walaupun sudah tiada di dunia ini, tetapi nama “Batu Layang” penuh dayak tarik spiritual” apalagi saat ini telah tiba seorang wali Allah diwilayah wali majidud ” kopek” tersebut yang diawali fenomena puting beliung sebagai ayat kauniyah .
Batulayang setahun yang lalu memecahkan misteri 6 Alif mukhalafah di surah alfatehah, atau simbol Alif ketemu Nun asal kejadian manusia. Pemakaman khusus Kesultanan Kadariah yang menjadi Destinasi Wisata Religi bagi
Orang Pontianak dan Kalbar umumnya, tentu mengenal tempat bersejarah ini. “Batulayang” , Pemakaman Kesultanan Pontianak ini merupakan satu dari tiga aset warisan Kesultanan Pontianak setelah Istana Kadriah dan Masjid Sultan Abdurrahman.
Konon ketiga lokasi ini mempunyai letak dengan garis lurus dari istana, dari arah Timur ke Barat. Komplek pemakaman dikhususkan bagi para Sultan Pontianak dan keluarganya. Makam Sultan Pontianak terletak di tepian Sungai Kapuas yang dahulunya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, namun saat ini akses menuju lokasi tersebut sudah dapat menggunakan kendaraan.
Hampir tiap hari, nakam Sultan Pontianak ini dikunjungi oleh peziarah dan wisatawan untuk mengetahui lebih lengkap tentang riwayat para Sultan Pontianak, dengan segala bukti keberadaannya.
Dari sekian pengunjung, ada juga yang mengharapkan keberkahan dan bertawassul di tempat ini. Karena masyarakat muslim Kalbar, mengenal Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai salah seorang waliyullah di tanah Borneo dan juga tempat pemakaman sultan sultan lain seperti Sultan Muhammad Al qadrie dan Sultan Hamid II sang perancabg lambang negara RI Elang rajawali Garuda Pancasila
Mulai dari perorangan, sering datang penziarah ke tempat yang di sekitarnya terdapat batu-batu ini. Dari situlah, kemudian tempat ini dikenal dengan Batulayang yang bermakana ‘batu terbang” dan penuh misteri dan energi spiritual
Karena menurut yang dituturkan sesepuh, dulu batu-batu itu berada di istana yang berada di wilayah Timur. Kemudian terbang dan jatuh di wilayah barat, yakni di Batulayang.
Karl Von Smith, Seorang Insinyur Belanda yang jadi Murid Mbah Hasyim Asy’ari menerangkan, bahwa pada awalnya lokasi ini merupakan sebagai makam Sultan Abdurrahman yang wafat pada tahun 1808. Sultan dan kerabatnya telah memilih makam mereka di pinggir sungai Kapuas di daerah Batu Layang. Tidak ada alasan yang kuat mengapa dipilih tempat pemakaman para Sultan itu dipinggir Sungai Kapuas.
Kebiasaan raja-raja Jawa atau Sumatera membuat tempat pemakaman di suatu bukit atau disekitar mesjid. Mungkin Sultan Syarif Abdurrahman mempunyai makna khusus yang bernilai sejarah baginya dan nilai spiritual yang buktinya wilayah ini masih memberikan manfaat bagi kerabat kesultanan Pontianak.
Makam Sultan Syarif Abdurrahman terbuat dari kayu belian bertingkat dua. Diukir dengan motif tumbuhan bersulur yang selalu ditutupi dengan kelambu berwarna terang. Makam Sultan yang sudah berusia hamper 200 tahun itu telah banyak mendapat perbaikan dan perubahan.
Disampingnya terdapat makam isterinya Puteri Utin Chandramidi yang wafat tahun 1246 H atau tahun 1830. Makam Sultan Syarif Kasim yang wafat tahun 1819 berpagar kayu dan berkelambu kuning.
Di sampingnya terdapat makam seorang isteri dan anaknya. Begitupun makam Sultan Syarif Usman yang wafat ahun 1860, dimakamkan bersama isteri dan keluarganya. Makam Sultan Syarif Usman dalam satu ruang berpagar khusus. Nisan para Sultan yang berbentuk gada, menunjukkan bahwa itu adalah makam seorang lelaki. Nisan keluarga perempuan berbentuk pipih
Demikian pula dengan makam Sultan Hamid I, Sultan Syarif Yusuf, Sultan Syarif Muhammad, dan Sultan Hamid II dan Sultan Abu Bakar dalam kelompok tersendiri, pada serambi kiri arah masuk.
Makam Sultan Syarif Muhammad yang naik tahta tahun 1895, wafat sebagai akibat keganasan tentara pendudukan Jepang bersama dengan Sultan dan Panembahan di Kalimantan dan puluhan ribu pemuka dan rakyat Kalimantan Barat tahun 1944. la ditangkap Jepang tanggal 24 Juni 1944.
Setelah disiksa, dkuburkan di Pemakaman Kristen dekat gereja Katholik (Jl. Kartini sekarang) Pontianak. Baru pada tahun 1945, puteranya Sultan Hamid II memindahkan jenazahnya ke pemakaman Batu Layang. Di samping makam Sultan Syarif Muhammad dimakamkan isterinya Syecha Jamilah binti Mahmud Syarwani bergelar Maha Ratu Suri yang meninggal tanggal 14 April 1977.
Terdapat pula makam Syarifah Fatimah binti Syarif Muhammad bergelar Ratu Anom Bendahara.
Juga pemakaman kerabat Syarif Thaha Alkadri bin Syarif Usman bergelar Pangeran Negara wafat pada hari Kamis 27 September 1984. Di sebelahnya makam isterinya Raden Ajeng Sriyati bergelar Ratu Negara yang wafat hari Sabtu 12 Juni 1982. Sultan Hamid II yang wafat tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta juga dimakamkan di pemakaman Batu Layang. Inilah prosesi pemakaman Sultan Pontianak terakhir. Semua upacara pemakaman para Sultan Pontianak dilakukan dengan upacara kebesaran oleh rakyat Pontianak. Kebesaran seorang Sultan dimakamkan dengan penuh upacara dengan perarakan perahu Lancang Kuning melalui sungai Kapuas.
Begitulah Batulayang, komplek pemakaman keturunan Sultan Pontianak yang menjadi salah satu destinasi wisata religi di Kalbar.
Pada hari raya, ratusan warga datang dengan mengendarai bus. Ada juga yang menggunakan motor air. Selain pada Hari raya, ada juga yang datang ke Batulayang pada saat ingin berangkat atau pulang menunaikan haji.
Bahkan para mahasiswa sering terlihat berziarah dengan membaca Yasin dan Tahlil pada malam Selasa atau Jumat. Semoga salah satu cagar budaya peninggalan pendiri Kota Pontianak ini senantiasa lestari terjaga, dengan nama Pemakaman Baru layang pemakaman Kesultanan Pontianak. Ada satu makna yaitu 0561, satunya di istana Kadriah disimbolkan dgn mahkota diatas istana lurus ke puncak gubah masjid Jami Sultan Abdurrahman yang disangga tiang 6 (enam) rukun iman, lurus di titik khatulistiwa disimbolkan dengan segi lima 5 rukun Islam dan lima sila Pancasila, akhirnya ketitik nol 0 yaitu pemakaman Batu layang ,sesungguhnya manusia tak ada apa apanya dihadapan sang khalik, sekalipun Sultan disimbolkan dengan putaran air mengelilingi pulau melayang ditepi baru itulah batu layang ,batu melayang pulang ke awal pemberhentian dan akhir di dunia ini, dan wilayah ini dikramatkan ada semacam “energi spiritual” semacam pintu gerbang gaib diatas air berputar, silahkan buktikan ketika berdiri ditepi lurus pintu gerbang batu layang perhatikan air berthawaf mengitari pulau melayang ditepi batuan yang penuh misteri, namun saat sebuah media on line telah menggunakan nama itu untuk memberitakan pemberitaan yang telah melukai Marwah kekramatan Makam Batu layang yang seharusnya secara moral dan etika pers tidak boleh digunakan untuk enggel news karena istilah batu layang identik nama yang sudah diberikan oleh para kerabat kesultanan Pontianak dan menciderai majelis pengajian batu layang, sehingga bukan subtansi beritanya yang kata geger tetapi pencatutan nama batu layang yang membuat heboh para kerabat kesultanan, ini yang sedang kita coba redam dengan karakteristik masyarakat disekitar pemakaman batu layang, adalah tak etis dengan judul yang sebenarnya peristiwa yang belum jelas newsnya, dan kejadian peristiwa gegernya di Polsek Pontianak Utara dalam suatu peristiwa mediasi keluarga pam. Alkadrie yang sebenarnya bisa dimediasi tetapi ada “oknum” tertentu yang mengambil kesempatan dan ibu RT pun disinyalir menjadi “pemicu” yang seharus peristiwa cukup dimediasi di tingkat RT, sehingga berkembang jadi kasus yang masih belum jelas “buat pusing,” para penegak hukum dan akhirnya cenderung “blunder” karena pemberitaan salah satu media on line di daerah ini, dengan judul warga batu layang geger, pada faktanya gegernya di Polsek Pontianak Utara “gagal mediasi” berkembang jadi ranah ” pelaporan” akhirnya dibawa ke Polresta dan menjadi “faktor X ” kemasalah lain” yang patut diduga akan menjadi ranah kasus pidana lain akan melibatkan kerabat Alkadrie yang sebenarnya masih kerabat keluarga, tetapi karena ada pihak pihak yang seharusnya menjadi mediator tetapi membuat runyam masalah yang akan membawa pada Marwah kerabat Batu layang yang sebenarnya tak tahu menahu peristiwa yang dibuat “geger” oleh pemberitaan alias news tanpa kategorisasi,klarifikasi, verifikasi dan validasi dan falsifikasi, jadilah geger, semoga geger ini tak melebar menjadi masalah Marwah kerabat alkadrie, bahkan Sultan pun tak tahu menahu masalah ini tetapi mendapat klarifikasi dari Polresta sehingga mencoba memediasi untuk diselesaikan secara kerabatan, hal ini belum selesai sudah jadi news yang enggelnya juga bikin geger karena mencatut “nama batu layang” yang secara semiotika warga paham itu nama sejak kesultanan dengan pemakaman kesultanan Pontianak Batu Layang. Seharusnya promonya berkaitan dengan ini pontianak,yaitu Makam Batu Layang merupakan makam Kesultanan dari Kerajaan Kadariah.
Makam ini terletak di tepi Sungai Kapuas Pontianak Utara yang tidak jauh dari Tugu Khatulistiwa.
Anisah, mahasiswi IAIN Pontianak, mengirimkan tulisannya tentang makam Kesultanan Batu Layang.
Sebelum memasuki makam Batu Layang, kita akan melihat gerbang utama makam Kesultanan Batu layang.
Ketika memasuki makam tersebut, Anda akan mendapatkan banyak sekali makam-makam yang berjejer.
Tidak hanya itu anda juga akan melihat para pengunjung, yang antusias pada saat memasuki makam Kesultanan Kadariah.
Masyarakat yang berziarah di sana mempunyai niat tersendiri atau melepas niat yang telah di nazhomkan sebelumnya.
Berdasarkan informasi valid dari salah satu penjaga di sana, konon katanya asal usul dinamakannya Batu Layang, karena terdapat batu-batu yang jika dilihat dari Sungai Kapuas, batu tersebut menampakkan bayangannya tidak tenggelam, tetap seperti melayang.
Selain itu, tak jauh dari dari tempat letaknya batu tersebut kita bisa mendapatkan satu meriam yang berwarna kuning dan memiliki tempat tersendiri.
Jika diperhatikan dengan seksama, posisi meriam tersebut menghadap ke arah Barat mengarah ke sebuah tempat yang seperti Pulau.
Meriam tersebut tidak sembarangan menghadap, dan tempat yang seperti pulau bukan sembarangan pulau biasa.
Tetapi, pulau tersebut adalah dahulu merupakan kapal besar milik Belanda, yang ditembak menggunakan meriam tersebut pada saat melawan penjajahan Belanda.
Sekarang meriam tersebut tidak lagi digunakan, tetapi mistisnya berdasarkan cerita warga yang rumahnya tidak jauh dari tempat kejadian, meriam itu pernah berbunyi sendiri.
Meriam tersebut saat ini masih dijaga dan masih tetap berada tak jauh dari batu-batu tersebut berada.
Selain untuk berziarah, makam ini juga dijadikan pengunjung sebagai tempat berekreasi, karena di tempat ini juga memiliki kantin yang menyediakan tempat duduk untuk bersantai atau melihat pemandangan yang ada di tepi Sungai Kapuas.
Pengunjung juga dapat bersantai di atas batu yang besar, sambil melihat pemandangan yang ada di tepi Sungai Kapuas.( red )