Kisruh Penarikan Motor Oleh FIF di Sumenep

Sumenep – Sejak beberapa hari terakhir, kisruh penarikan speda motor oleh debt collector yang diduga dibekingi sejumlah aparat kepolisian wilayah hukum Polres Sumenep, hingga hari ini masih menyisakan kegaduhan karena sejumlah pemilik maupun debitor lainnya mengaku sangat diresahkan.

Imbasnya, hal ini juga membuat hubungan kemitraan dikalangan awak media dan Humas Polres memanas. Pasalnya, mayoritas kalangan kuli tinta berharap agar Kapolres yang baru lebih mengedepankan kepentingan masyarakat kecil, terutama para pengkredit sepeda motor tidak diresahkan dengan aksi main rampas oleh pihak lising dengan menggunakan para debt collector mereka, yang beberapa hari lalu menuai kritik keras dikalangan warga.

Menyikapi hal tersebut, Kasubaga Humas Polres Sumenep, AKP Abd Mukit pada tanggal 29 Desember 2017 lalu, menyampaikan klarifikasi Kapolres melalui Media Partner.

“Kepada Rekan2 semua mohon maaf sebelumnya sy baru bisa berkomen krn sy dg bapak Kapolres msh digiligenting, bahwa terkait penarikan spd motor oleh FIF Polisi memberikan pengamanan atas tarikan benda jaminan fidusia”, ungkap dia dalam rilis yang diterima awak media di Sumenep.

Jaminan fidusia yang dilakukan pihak Polres, lanjut Mukid, adalah dengan dasar, Perkap no 8 tahun 2011. Ttg pengamanan eksekusi jaminan fidusia.
Kemudian Pasal 6, Psl. 29 ayat 1 ke 1.
Psl. 30. Uu. no 42 thn. 1999. dan Psl.
15 ayat 2.

“Itulah dasar Polri memberikan pengamanan jaminan fidusia. Utk lbh jelasnya kami undang rekan2 ( audiensi ) di Polres Sumenep nanti pd hari Selasa 2 Januari 2018. Agar permasalahan ini lbh jls, ” pungkasnya.

Pernyataan yang dikeluarkan pihak Humas Polres Sumenep ini rupanya memantik tanggapan serius dari kalangan pengamat hukum, seperti disampaikan oleh advokat muda Sumenep, Syafrawi, SH.

Menurutnya, perjanjian fidusia atau perjanjian hutang piutang antara kreditur dengan debitur, dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar.

Dalam prakteknya perjanjian fidusia tersebut tidak dilakukan di notaris, serta tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia untuk mendapat sertifikat.

Sehingga, perjanjian kreditur dengan debitur tidak bersertifikat jaminan fidusia, yang kekuatannya sama dengan kekuatan eksekutorial, atau sama dengan putusan pengadilan.

“Kalau prosedurnya benar, maka sertifikat perjanjian fidusia sama dengan putusan pengadilan, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan pasal 15 ayat (2) uu no. 42 th 1999 ttg jaminan fidusia,” kata Syafrawi, SH. Minggu (31/12/2017).

Namun karena perjanjian fidusia yang dibuat kreditur dengan debitur tanpa melalui notaris dan tidak didaftarkan (tdk bersertifikat), maka status perjanjian tersebut sama dengan perjanjian dibawah tangan.

“Tapi yang terjadi di Sumenep perjanjian fidusia antara kreditur dengan debitur tidak sesuai prosedur, maka tidak punya kekuatan eksekutorial terhadap barang yang ada dikonsumen,” terangnya.

Sehingga, apabila debt collector akan mengeksekusi barang yang ada di konsumen, yang lalai dalam pembayaran, harus dilakukan melalui gugatan perdata ke pengadilan, dan baru bisa dilaksanakan setelah berkekuatan hukum tetap, yakni putusan pengadilan.
“Kalau perampasan yang dilakukan Debt Collector (DC) dan dibekingi aparat kepolisian kemarin, itu merupakan perbuatan tindak pidana. Karena dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan. Dan itu melanggar pasal 368 KUHPidana sebagai pemerasan, dengan ancaman 9 th penjara,” paparnya.

CATEGORIES
TAGS
Share This