Konstruksi Hukum Hutan Desa & Kerjasama Usaha Bersama/Mitra Usaha Bersama dengan Pihak Ketiga

Konstruksi Hukum Hutan Desa & Kerjasama Usaha Bersama/Mitra Usaha Bersama dengan Pihak Ketiga

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH MHum,CPAbtr

Konstruksi hukum kerjasama pasal 142 Peraturan Menteri Lingkungan hidup Dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial khususnya yang berkaitan Hutan Desa apabila dilakukan pengembangan usaha, maka ada dua kategorisasi hukum , yaitu melalui: 1.kerjasama usaha, 2 kerjasama para pihak. Pelaku utama adalah KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) sedangkan mitra usaha perhutanan sosial salah satunya badan usaha milik swasta misalnya PT (perseroan terbatas) tetapi juga bisa oleh lembaga swadaya masyarakat, bisa juga perorangan sedangkan lihat pasal 145 ayat (1) permen LHK tersebut di atas , bahwa calon mitra usaha perhutanan sosial harus memenuhi persyaratan, yaitu mempunyai legalitas usaha, jika LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) sebagai pemegang perizinan atas persetujuan hak kelola dengan legalitas berdasarkan Perdes dan SK (Surat Keputusan ) kades ( Kepala Desa), yang dilegalisir atau disetujui menteri LHK, yang sebenarnya hanya menguatkan SK kades agar mendapat kewenangan mandat dari negara atau Pemerintah, karena hutan desa sudah dilekatkan hak pengelolaan atau persetujuan pengelolaan yang awalnya adalah hutan negara, maka ketika dilekatkan sesuatu hak pengelolaan, secara hukum kedudukannya bukan lagi hutan negara, tetapi hutan desa dalam status usaha perhutanan sosial, karena sudah dibebani hak pengelolaan atas persetujuan menteri LHK sebagai wakil negara atau pemerintah, oleh karena pemegang hak pengelolaan hutan desa yang statusnya bukan lagi hutan negara, tetapi hutan desa yang dikelola oleh lembaga yang dibentuk kades yaitu LPHD, ketika mau kerjasama dengan format pengembangan usaha yang dilakukan dengan cara atau model mitra usaha wajib mengajukan permohonan kerjasama usaha kepada KPS/KUPS dengan persetujuan kepala UPT (lihat pasal 146 huruf b) jika mitra usaha berasal dari Badan Usaha Swasta misalnya PT (Perseroan Terbatas) sebagai badan hukum privat atau perdata , maka harus memuat dasar perjanjian (lihat pasal 147 ayat (1) huruf b, tentulah dan wajib memperhatikan sistem bagi hasil yang proporsional berdasarkan KESEPAKATAN (lihat pasal ,147 ayat (1) huruf j dan formatnya sesuai lampiran XXV yang merupakan satu kesatuan dengan peraturan menteri (lihat pasal 147 ayat (2), patut diperhatikan selama persetujuan pengelolaan perhutanan sosial belum dicabut oleh pemberi mandat (lihat pasal 148 ayat. (1) huruf d), memang KPS/KUPS dapat bekerjasama dengan swasta /badan milik swasta atau PT (lihat pasal 150 ayat 1 huruf d , maka menteri berperan, dan posisi LSM hanya pendamping (lihat pasal 150 ayat 4 huruf a dan apabila Badan/Badan Milik Swasta mau ikut berperan dengan pemanfaatan hutan desa dalam kategori perhutanan sosial, peranya adalah penyedia modal dan off taker (lihat pasal 150 ayat 5) dan memang bisa didampingi oleh LSM sebagai pendamping (lihat pasal 150 ayat 6 huruf c, tetapi jika mau jadi pendamping kerjasama para pihak seperti kerja sama para pihak dalam hal ini pihak luar dan atau pihak ketiga (lihat pasal 142 huruf b Jo pasal 151 huruf c ,misalnya untuk memfasilitasi pemasaran, tetapi bila pada posisi memfasilitasi Pembuatan Perjanjian yang terbit, karena Undang Undang (peraturan perundang-undangan negara) yang note bene inklude didalamnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan hak desa dan kewenangan kepala desa, dengan demikian LSM wajib menjalankan pasal 152 ayat 5 Permen LHK nomor 9 Tahun 2021 pada ayat 5 huruf a,b atau hanya sebagai pendamping teknis pemasaran;kepada atau oleh para pihak yang melakukan mitra usaha, maka patut dipahami ada dua konstruksi hukum, yakni ada dimensi yaitu hukum perdata dan atau hukum publik, karena klarifikasi hukum dan verifikasi hukumnya masuk keranah hukum tata negara lebih khusus ranah hukum tata pemerintahan desa , apalagi obyek yang diperjanjikan ada aspek nilai ekonomi dan atau mitra usaha salah satu pengembangan usaga, jadi berdasarkan konstruksi hukum diatas LPHD bukanlah pihak yang berhak melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga, apalagi didalam obyek perjanjian obyeknya itu ada jual beli unit karbon yang selama ini sudah dihasilkan melalui hak dan persetujuan pada hutan desa yang awalnya hutan negara, yaitu semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Saat ini desa adalah swatantra pada level empat yang diberi nomenklatur pemerintahan desa yang kemudian iniatas dasar hak pengelolaan yang dimandatkan oleh pemerintah dalam hal ini kementerian LHK selaku kewenangan mandat yang berasal dari kewenangan atribusi Kepala Desa, oleh LPHD melalui KPS/KUPS, tetapi jika LSM mau jadi fasilitas pemasaran jual beli unit karbon, maka wajib patuh dengan peraturan perundang-undangan yang mengikat LPHD, karena LPHD dibentuk oleh Kades berdasarkan perdes yang merupakan produk hukum pemerintahan desa, dan LSM dan PT jika memang “beritikat baik untuk jual beli dengan obyek hukum perjanjian yaitu unit karbon melalui mitra usaha dan atau pengembangan usaha, upaya hukum yang logis kades akan buat SK pendelegasian wewenang,tetapi harus dibuat kesepakatan formulasi bagi hasil yang sesuai dengan hak desa dan kewenangan desa dan atau kepala desa lihat pasal 93 UU nomor 6 Tahun 2014 tentang desa itupun pelaku utamanya KPS/KUPS atas jika mau dengan format delegasi wewenang dan wajib patuh dengan permen LHK Nomor 9 tahun 2021 sebagai konsideran dan dasar hukum SK kades yang dibuat berdasarkan perdes hak pengelolaan hutan desa dan atau Perdes Pembentukan kelembagaan Desa. Apapun pemanfaatan hutan dalam hal status hukum yang awal hutan negara yang belum dibebani hak haruslah selaras dengan jiwa undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok pokok agraria yang materi muatan bisa lintas kewenangan dengan peraturan perundang undangan lain, artinya jiwa daripada Undang-undang ini tidak semata-mata ditujukan kepada perlindungan dan
pengurusan hutannya saja, akan tetapi juga dan terutama ditujukan kepada pemanfaatan hutan
sebesar mungkin untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan makna pasal 33 U.U.D negara RI. 1945.
Hutan mempunyai fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain:
1. Mengatur tata-air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara
kesuburan tanah.
2. Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya
untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
3. Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil
hutan pada khususnya.
4. Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5. Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
6. Merupakan salah satu unsur basis Strategi Pertahanan Nasional.
7. Memberi manfaat-manfaat lain yang berguna bagi umum.
Oleh karena itu di dalam materi muatan peraturan perundangan kehutanan ditetapkan, bahwa semua hutan dikuasai oleh Negara.
Pengertian ,dikuasai” bukan berarti “dimiliki”, melainkan suatu pengertian yang mengandung
kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik.
Sehubungan dengan pengertian itu, maka dalam rangka ketentuan pemanfaatan hasil hutan sesuai kategorisasinya masih dimungkinkan adanya Hutan desa dalam NKRI yang berada pada level wilayah hukum pemerintahan desa, agar supaya semua hutan
memenuhi fungsinya dengan baik, maka sesuai dengan maksud keberadaan hutan desa itupun perlu diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh negara berdasarkan haknya, meskipun pelaksanaan daripada pengurusan dan pengusahaan itu
dilakukan sendiri oleh yang diberi hak pengelolaan dan atau persetujuan. Hutan desa dipergunakan istilah “Hutan Negara”, untuk menyebut semua hutan yang bukan “Hutan Milik”. Dengan demikian maka pengertian ,Hutan Negara” itu mencakup pula hutan-hutan
yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat
Hukum Adat. Ada juga hutan dalam penguasaan masyarakat Hukum Adatbdi Kalbar Hutan tembawang yang penguasaannya atas tanah tertentu yang didasarkan pada Hukum Adat, yang lazimnya disebut hak ulayat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria,
tetapi sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut kenyataannya hak Ulayat itu sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada) tidaklah akan dihidupkan
Jiwa daripada Undang-undang ini tidak semata-mata ditujukan kepada perlindungan dan
pengurusan hutannya saja, akan tetapi juga dan terutama ditujukan kepada pemanfaatan hutan
sebesar mungkin untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan makna pasal 33 U.U.D. 1945.
Hutan mempunyai fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain:
1. Mengatur tata-air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara
kesuburan tanah.
2. Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya
untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor. 3. Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil
hutan pada khususnya.
4. Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5. Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
6. Merupakan salah satu unsur basis Strategi Pertahanan Nasional.
7. Memberi manfaat-manfaat lain yang berguna bagi umum.
Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan, bahwa semua hutan dikuasai oleh Negara.
Pengertian ,dikuasai” bukan berarti “dimiliki”, melainkan suatu pengertian yang mengandung
kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik.
Sehubungan dengan pengertian itu, maka dalam rangka ketentuan pasal 5 ini masih dimungkinkan
adanya Hutan Milik sebagaimana tersebut pada pasal 2. Dalam pada itu agar supaya semua hutan
memenuhi fungsinya dengan baik, maka sesuai dengan maksud pasal 11, Hutan Milik itupun perlu
diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh Negara berdasarkan haknya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 5, meskipun pelaksanaan daripada pengurusan dan pengusahaan itu
dilakukan sendiri oleh pemiliknya.
Di dalam pasal 2 dipergunakan istilah “Hutan Negara”, untuk menyebut semua hutan yang bukan
“Hutan Milik”. Dengan demikian maka pengertian ,Hutan Negara” itu mencakup pula hutan-hutan
yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat
Hukum Adat. Penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada
Hukum Adat, yang lazimnya disebut hak Ulayat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria,
tetapi sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut
kenyataannya hak Ulayat itu sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada) tidaklah akan dihidupkan
kembali. Menurut perkembangannya hak Ulayat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan
kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah. Selain pembatasan tersebut di
atas, pelaksanaan hak Ulayat itu pun harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan
nasional serta tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi. Menurut perkembangannya hak Ulayat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan
kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah. Selain pembatasan tersebut di
atas, pelaksanaan hak Ulayat itu pun harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan
nasional serta tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi, tetapi menjadi berbeda ketika dengan status hukum hutan desa yang telah dilekatkan hak pengelolaan dan persetujuan oleh negara, karena sudah dilekatkan hak melalui persetujuan dan atau perizinan tertentu, ketika menjadi obyek usaha bersama dan mitra usaha dalam pengembangan usaha misalnya atau menjadi obyek perjanjian dan atau perikatan mitra usaha bersama dengan pihak ketiga yang bernilai ekonomis tentu wajib tunduk dengan SOP, apalagi dalam konsep pengelolaan kehutanan sosial, misalnya jual beli unit karbon dari hutan desa tentunya perlu patuh dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional dan pengendalian Emisi Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional, yang kemudian berapa pasal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 Tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, atas berkat Rahmat Allah dan didorong keinginan luhur untuk memajukan kesejahteraan rakyat berdasarkan nilai nilai dan asas asas Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara tanpa mengabaikan sunatullah dan atau dienul Ibrahim QS 22 ayat 78 dan melanggar hukum Allah karena unit karbon itu sesungguhnya miliknya Allahyang maha mencipta semesta alam itu hutan desa kehutanan sosial yang lestari tetapi memberi manfaat sebesar besar bagi manusia salah satunya manfaat ekonomi dan pemberdayaan masyarakat desa yang ada disekitarnya,yaitu masyarakat desa. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This