KUHP MENYERAP KEARIFAN LOKAL

KUHP MENYERAP KEARIFAN LOKAL

Oleh : Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum,CPabtr

BN – Saat ini setelah 77 Tahun Indonesia merdeka, akhirnya kita memiliki KUHP Nasional yang merupakan produk anak bangsa sebagai cerminan peradaban dan nilai-nilai keindonesiaan, yang telah diinisiasi pembaruannya sejak 1963. Pasca disahkan tanggal 6 Desember 2022 lalu, KUHP akan mulai berlaku efektif 3 tahun terhitung sejak diundangkan (6 Desember 2025).

Keberadaan KUHP Nasional tersebut akan menggantikan KUHP peninggalan Kolonial Belanda, yang selama ini penerapannya kaku, dan tidak memiliki alternatif sanksi selain pidana penjara, sehingga acapkali menimbulkan konflik sosial karena menjadi sarana pembalasan (lex talionis) dan menyebabkan kepadatan (overcrowding) di lembaga permasyarakat, yang kapasitasnya hanya 132 ribu, namun dihuni oleh hampir 280 ribu warga binaan.

Yang patut perlu diakui tidak mudah menyusun KUHP di sebuah negara yang multietnis, multireligi, dan multiculture, karena setiap pengaturan isu tertentu akan menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu, pasal-pasal yang diformulasikan dalam KUHP dan materi muatan ini sudah menyerap kearifan lokal, dalam hal ini tindak pidana yang hidup dalam masyarakat setempat, yakni hukum pidana adat, selama perbuatan tersebut belum diatur dalam KUHP

Materi muatan KUHP baru ini semaksimal mungkin berupaya untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan negara, dan kepentingan masyarakat, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat dan kebebasan berekspresi.

Dalam hal tindak pidana mengeluarkan pendapat atau Partisipasi masyarakat dari lapisan infra struktur harus dipahami dan disadari bermakna dari hak masyarakat sipil untuk dapat didengar, dijelaskan dan dipertimbangkan masukannya sudah semaksimal mungkin dipenuhi pembentuk undang-undang, sehingga keputusan memperbarui KUHP lama yang sudah berlaku sejak 1918 bukan lagi karena target waktu, melainkan karena kebutuhan pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern. Sebagai negara hukum yang berdaulat dan demokratis, Indonesia akan senantiasa menghormati dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil.

Salah satu contoh pengaturan KUHP yang bersifat humanis adalah dengan mengakhiri pro (retensionis) dan kontra (abolisionis) dari penjatuhan pidana mati. Dalam KUHP, pidana mati adalah bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif yaitu dengan masa percobaan selama 10 tahun, sehingga dengan asesmen yang terukur dan objektif, pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Selama masa transisi 3 tahun menunggu KUHP Nasional berlaku efektif, maka agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut, Pemerintah akan terus mensosialisasikan substansi KUHP kepada seluruh masyarakat, terutama aparat penegak hukum, serta mempersiapkan berbagai peraturan pelaksana dari KUHP, sehingga meminimalisir penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum

Subtansi KUHP telah berorientasi pada paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi menekankan pada pembalasan, melainkan pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Keadilan korektif berkaitan dengan penjeraan terhadap pelaku, sedangkan keadilan restoratif lebih menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban, sementara keadilan rehabilitatif dalam rangka memperbaiki korban maupun pelaku.

KUHP yang baru disahkan ini juga mengatur alternatif sanksi selain penjara, yaitu denda, pengawasan dan kerja sosial, serta qperumusan tindak pidana secara jelas, ketat, dengan penjelasan yang cukup untuk menghindari multitafsir demi kepastian hukum, yang mengedepankan keadilan dan kemanfaatan. Hal jelas terlihat jelas dalam tujuan dan pedoman pemidanaan yang terdapat dalam Buku 1 KUHP.

Mengenai pasal-pasal dalam buku II KUHP yang menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat dan juga perhatian dari dunia internasional, maka secara garis besar dapat dibagi menjadi dua isu besar, yaitu isu ruang privat masyarakat dan isu kebebasan berpendapat yang merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh KUHP.

Dari sisi ruang privat masyarakat, Pasal Perzinaan (411) dan Kohabitasi (412) merupakan Delik Aduan Absolut, artinya hanya suami atau istri (bagi yang terikat perkawinan) atau orang tua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan) yang bisa membuat pengaduan. Pihak lain tidak bisa melapor, apalagi sampai main hakim sendiri. Jadi tidak akan ada proses hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung, serta tidak ada syarat administrasi untuk menanyakan status perkawinan dari masyarakat dan turis.

Disamping itu, terkait perbuatan menjual atau memberi minuman yang memabukkan kepada orang yang sedang dalam keadaan mabuk (424 ayat 1), sebenarnya berasal dari Pasal 300 ayat (1) KUHP lama yang masih berlaku dan tidak pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Jadi karena tidak pernah dipermasalahan sebelumnya, maka penerapannya juga tidak akan jauh berbeda bagi masyarakat dan turis dengan keadaan yang ada saat ini.

Mengenai isu kebebasan berpendapat, KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik jelas tidak akan dapat dipidana karena dilakukan untuk kepentingan umum. Sedangkan penghinaan di negara manapun, termasuk kepada Presiden/Wapres (218) dan Lembaga Negara (240) jelas merupakan suatu perbuatan yang tercela (intrinsically wrong). Namun KUHP mengaturnya sebagai delik aduan, sehingga masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan.

Atas dasar itulah, Kemerdekaan Pers juga tetap terjamin. Hal ini dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 218 dan 240 KUHP diatas yang mengadopsi Pasal 6 huruf d UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu Kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga jelas tidak bisa dipidana.

Mengenai pengaturan tindak pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia, yang diadopsi pengaturannya dalam KUHP hanyalah dua kejahatan inti (core crimes) yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sanksinya disesuaikan dengan modified delphie method. Oleh karena itu, pengaturan yang bersifat khusus terkait HAM akan tetap mengacu pada UU Pengadilan HAM yaitu, tidak ada daluwarsa dan berlaku retro aktif.

Selebihnya, pengaturan pasal-pasal KUHP sama sekali tidak mendiskriminasi perempuan, anak, dan kelompok minoritas lainnya, termasuk agama dan kepercayaan manapun, sebab seluruh ketentuan terkait berasal dari KUHP sebelumnya yang sudah

sedapat mungkin direformulasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal, misalnya the International Covenant on Civil and Political Rights (the New York Convention, 1966). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) telah disahkan DPR RI 6 Desember 2022 lalu. Selanjutnya UU KUHP baru tersebut menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Universitas Tanjungpura Khususnya fakultas hukum dalam draf KUHP telah memberikan sumbangan pemikiran dalam tindak pidana terhadap ideologi negara dan tindak pidana yang berkaitan dengan hukum adat agar diatur kriterianya dalam Peraturan Pemerintah dan dikategorikan dalam materi muatan perda, mengingat undang -undang masyarakat hukum adat belum diterbitkan, dengan catatan sepanjang perbuatan -perbuatan itu belum diatur dalam KUHP yang baru ini, demikian juga tentang kajian terhadap ideologi untuk ilmu pengetahuan di perguruan tinggi tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Yang paling penting adalah penyerapan terhadap kearifan lokal yang beragam. Turiman Fachturahman Nur sebagai akademisi bersyukur bahwa terhadap perlindungan hukum tentang ideologi Pancasila terserap dipasal 188 KUHP yang representatifnya secara semiotika hukum ada dalam perisai Pancasila pada lambang negara yang merupakan simbolisasi dasar negara, filsafat bangsa dan ideologi negara yang tidak dapat diganti di negara ini, yang secara semiotik hukum dibaca secara “berthawaf” atau gilir balik berdasarkan pasal 48 ayat 2 Undang -Undang Nomor 24 Tahun 1999, sebagai penguatan terhadap Pasal 36 A, 36 C UUD Negara Republik Indonesia, yang kita ketahui bersama dirancang oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. ( red )

CATEGORIES
TAGS
Share This