Berhati Hatilah Posting Bermuatan Sara
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Media sosial sarana silahturahmi virtual, namun ketika kita tidak bijak memanfaatkan akhirnya membawa mudharat bagi kita sendiri, khususnya informasi yang berkaitan dengan Suku, Agama dan Ras, dan antar golongan disingkat SARA. Memang saat ini belum terciduk oleh penegak hukum, tetapi “jejak digital” akan mudah ditelusuri dan dipetakan melalui kecanggihan teknologi. Berikut ini perlu dipahami Interpretasi hukum “Tanpa Hak” memposting informasi yang bermuatan SARA, karena peraturan perundang-undangan terhadap postingan yang melarang cukup sudah banyak membawa orang kemasalah hukum.
Mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), berkaitan dengan unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. Klasul hukum ‘Tanpa hak’ dimaksudkan adalah tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Deskripsi alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. dengan demikian klasul hukum ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.
Pertanyaannya adalah hal apa yang dilarang penyebaran informasi tanpa hak? Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Berikut rumusan norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada tataran norma hukum sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.
Bagaimana contohnya, misalnya penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan oleh Aparat Penegak Hukum (“APH”) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.
Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Bagaimana efektivitas ketika pasal dalam tataran Penerapan Pasal ini? Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan materi norma pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada subtansi kasusnya yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.