Wawancara Awal Tahun Komjen Pol ( p ) Dr. H. Anang Iskandar, SH.MH.

BN – Hidupnya seperti Heaven Influence. Punya banyak pengalaman baik yang “ditularkan” dalam kehidupan pada umumnya dan kepolisian khususnya.

Anak tukang cukur ini tak hanya bicara anti korupsi tapi rajin mengedukasi aparat, penegak hukum dan masyarakat umum bagaimana sebaiknya menghadapi “darurat narkoba”.
Mantan Kepala BNN dan Kabareskrim Polri ini rajin menulis kolom hingga buku hingga kini.

Di masa pandemic Covid-19, pria kelahiran Mojokerto,18 Mei 1958 ini merasa hidupnya terus berarti. Tulisan dan pemikirannya dishare, ke medsos, rekan hingga relasi sampai ke jaringan Presiden Jokowi.

Anang memang polisi yang santun. Hidupnya seperti dianugerahi keberuntungan dan ada banyak momen, dimana hidupnya tidak ngoyo, tapi justru mendapat apa yang diinginkan rekan-rekan kepolisian.

Sebagai polisi, putera dari pasangan Suyitno Kamari Jaya dan Raunah ini merasa polisi hanyalah pelayanan dan bentuk pengabdian.

Rajin dan tekun, kadang ada momen yang tak dikira. Tak tergeser dari gaya hidup dunia. Polisi ini malah muncul di tengah angin topan.

Ayahnya berprofesi sebagai tukang potong rambut.

Pria yang karirnya terus naik. Dari memberantas perjudian, narkotika, dan ilegal loging. Ketika menjadi purnawirawan perwira tinggi Polri, ia berpengalaman dalam bidang reserse terus aktif dalam komitmennya untuk berbuat terus untuk bangsa ini.

“Hidup ini pendek, bagaimana kita berbuat yang terbaik untuk keluarga, sekeliling dan bangsa selama hayat masih di kandung badan,” ujar Anang Iskandar suatu kali.

Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1982 ini menjadi dosen, aktivis cegah narkoba dan sempat terpanggil menjadi calon pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Dikenal sebagai “bapaknya rehabilitasi” karena selalu mengedukasi, seorang penyalahguna narkoba sebaiknya jangan diproses hukum, hingga diancam pidana.

Anang mengedukasi penegak hukum, sebaiknya pecandu itu diobati di panti rehabilitasi. Bukan saja karena penyalahguna yang banyak ini, nanti akan memenuhi penjara, korban narkoba jika di penjara bisa terjerembab dalam hal-hal yang lebih buruk.

Di penghujung Desember 2020 lalu demikian, Anang mengaku sebagai sosok yang optimis dalam banyak hal.

Bahwa “perjuangan”nya untuk mengedukasi penegak hukum dan berbuat untuk mengatasi bangsa ini dari genggam narkoba, sedikit terasa.

“Panitera, Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri dituntut laksanakan Restorative Justice bagi penyalahguna,” ujar Anang mengutip keputusan Mahkamah Agung.

Adapun surat itu Keputusan Dirjend Badan Peradilan Umum no 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 desember 2020 tentang pedoman penerapan restorative justice.

Di awal Januari 2021 ini, jenderal ini menerima wawancara lewat video call.

Obrolan lewat teknologi ini ke Anang Iskandar, untuk mengetahui dampak dari keluarnya surat MA itu, bagi perkembangan cegah dan masalah narkoba di Indonesia.

Benarkah SK dari MA tentang restorative justice ini punya pengaruh?

Harapan saya demikian, karena panitera, hakim dan ketua Pengadilan Negeri dituntut laksanakan Restorative Justice bagi penyalahguna narkoba.

Pedoman penerapan restorative justice terhadap perkara penyalah guna narkotika berlaku terhitung mulai tanggal 22 desember 2020.

Bisa jelaskan lebih lanjut?

Panitera, hakim dan Ketua Pengadilan dituntut Mahkamah Agung untuk melaksanakan restoratif justice.

Karena selama berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap perkara penyalah guna narkotika yang nota bene adalah pecandu berupa hukuman penjara.

Padahal, Mahkamah Agung telah mengeluarkan pedoman baik berupa Surat Edaran MA no 4 tahun 2010 dan Surat Edaran MA no 3 tahun 2011.

Menurut Anda seperti itu?

Ya. Catatan saya, penyalah guna bila dilakukan assesmen oleh team assesmen terpadu, hasilnya akan diketahui bahwa penyalah guna berpredikat sebagai pecandu atau sebagai korban penyalahgunaan narkotika.

Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan pasal 54 wajib menjalani rehabilitasi.

Hakim diberi kewenangan dapat memutuskan atau menetapkan terdakwa penyalah guna narkotika untuk menjalani rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah.

Artinya apa?

Hakim punya kewenangan menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna dalam keadaan ketergantungan yang sifatnya wajib.

Namun prakteknya, jarang sekali digunakan, kecuali terhadap perkara artis Nunung dan Jefri Nichole.

Anda ingin tegaskan, SK itu Tuntutan Mahkamah Agung kepada pengadilan?

Berdasarkan surat keputusan Dirjend Badilum Mahkamah Agung tersebut, panitera, hakim, majelis hakim dam ketua pengadilan dituntut agar melakukan hal hal sebagai berikut.

Pertama. Bagi panitera, dalam melaksanakan tugasnya dituntut memastikan bahwa jaksa telah melampirkan hasil assesmen dari team assesmen terpadu pada setiap berkas perkara narkotika.

Yang dikatagorikan sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.

Jika berkas perkara pada saat dilimpahkan tidak dilengkapi dengan hasil assesmen maka hakim pada saat persidangan dapat memerintahkan kepada jaksa untuk melampirkan hasil assesmen dari team assesmen terpadu.

Apa lagi?

Hakim dapat memerintahkan terdakwa agar menghadirkan keluarga dan fihak terkait untuk didengar keterangannya sebagai saksi yang meringankan dalam rangka pendekatan restoratif justice.

Kehadiran saksi yang meringankan ini sebagai salah satu tuntutan Mahkamah Agung, agar pengadilan berjalan adil dan setara.

Memang selama ini kenapa?

Harus diakui, selama ini jomplang, tidak pernah dihadiri saksi yang meringankan, kerapkali diputus hanya berdasarkan keterangan saksi dari penyidik yang menangkap saja.

Lantas apa lagi?

Majelis hakim dalam proses persidangan dapat memerintahkan agar pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika untuk melaksanakan pengobatan, perawatan dan pemulihan pada lembaga rehabilitasi medis dan / atau lembaga rehabilitasi sosial.

Kewenangan tersebut selaras dengan tujuan UU yang tercantum pada pasal 4d dan pasal 54 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berarti sebagai kewajiban bagi hakim bila penyalah guna hanya berperan sebagai penyalahguna.

Pengadilan “wajib” menyediakan daftar lembaga rehabilitasi medis?

Benar. Pengadilan “wajib” menyediakan daftar lembaga rehabilitasi medis atau sosial melalui koordinasi dengan BNN.

Artinya, pengadilan harus mengetahui secara pasti rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk Menteri Kesehatan yang menyelenggarakan layanan rehabilitasi atas perintah hakim, dikab/kota dimana pengadilan berada.

Adalah tugas Menteri Kesehatan untuk menunjuk rumah sakit atau lembaga rehabilitasi di kab /kota di seluruh Indonesia (pasal 59).

Dengan pedoman restoratif justice Mahkamah Agung ini Anda optimis?

Ya, kalau terlaksana maka penyalah guna akan dihukum menjalani rehabilitasi sesuai cita semangat dan tujuan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Dampak yang diharapkan dari terbitnya Surat Keputusan Dirjend Badilum Mahkamah Agung, akan terjadi perubahan dalam proses penuntutan dan penyidikan tindak pidana narkotika katagori penyalah guna narkotika dan jenis hukuman bagi penyalah guna narkotika.

Maksudnya perubahan dalam proses penuntutan?

Dalam dakwaan terhadap perkara narkotika dengan katagori kepemilikan narkotikanya terbatas untuk sehari pakai, tujuannya untuk dikonsumsi atau digunakan untuk diri sendiri wajib dilakukan assesmen agar diketahui status penyalah guna sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu merangkap pengecer.

Kalau berkas perkara tidak ada hasil assesmen, maka berkas perkara tidak dinyatakan lengkap. Jaksa dapat minta penyidik untuk dilakukan assesmen.

Teknisnya seperti apa?

Kalau hasil assesmen team assesmen terpadu terdakwanya sebagai pecandu, maka perkaranya disebut perkara pecandu, kalau hasilnya sebagai korban penyalahgunaan narkotika maka terdakwanya hanya dituntut pasal 127/1, tidak dilakukan penahanan selama proses penuntutan.

Sebab, disamping karena tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan, juga bertentangan dengan ditujuan dibuatnya UU narkotika, yang secara ekplisit UU narkotika menjamin penyalah guna dan pecandu direhabilitasi.

Kalau hasil assesmen terdakwanya sebagai pecandu merangkap pengecer?

Yang ini dapat dituntut secara subsidiaritas dengan pasal bagi pengedar, penyalah guna dapat dilakukan penahanan oleh jaksa penuntut umum.

Dalam hal putusan atau penetapan hakim memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani dilembaga rehabilitasi milik pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, Jaksa melaksanakan putusan tersebut.

Biaya rehabilitasi ditanggung siapa?

Atas putusan hakim ditanggung oleh rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

Proses perawatan melalui rehabilitasi atas putusan hakim aturan pelaksanaannya dipertanggung jawabkan kepada Menteri kesehatan setelah berkoordinasi dengan Instansi terkait (pasal 13 PP no 25 tahun 2011)

Perubahan dalam arah penyidikan

Kalau hakim melaksanakan restoratif justice terhadap penyalahguna narkotika dengan putusan atau penetapan untuk memerintahkan penyalah guna menjalani rehabilitasi sesuai tujuan UU narkotika.

Maka teknik penyidikan juga harus merubah dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika.

Penyalahguna yang ditangkap yang nota bene adalah pecandu secara teknis harus dilakukan assesmen?

Benar. Agar jelas diketahui perannya sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu atau penyalah guna merangkap pengecer.

Permintaan assesmen kepada team assesmen terpadu menjadi kewajiban penyidik, selama ini permintaan assesmen dilakukan atas permintaan tersangka atau keluarganya.

Bila menangkap penyalah guna disaratkan UU untuk bekerja sama dengan BNN dalam rangka proses penyidikannya.

Benarkah, kalau pengadilan melaksanakan restoratif justice maka tugas penyidik narkotika untuk menangkap penyalah guna menjadi tidak menarik. Kenapa?

Karena harus memintakan assesmen kepada team assemen terpadu kemudian menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi karena tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan, harus berkoordinasi dengan BNN yang kesannya ribet.

Sehingga tugas penyidik lebih fokus pada menangkap pengedar, pelaku peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Kabarnya Anda ingin membuat watch, semacam LSM pemantau untuk pelaksanaan restorative justices ini?

Idenya sudah ada dan sedang menunggu siapa-siapa saja yang tergerak untuk bergabung.

Apa harapan Anda di 2021 ini?

Semoga niat Mahkamah Agung dapat melaksanakan restorative justice sesuai cita cita, maksud dan tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Yang dapat dilaksanakan oleh para panitera, hakim dan majelis hakim dan ketua pengadilan di seluruh Indonesia terhitung tanggal 22 desember 2020.

Dan menjadi berkah bagi bangsa Indonesia dalam menapaki tahun 2021 aamiin. ( red )

CATEGORIES
TAGS
Share This