Agustus Ini, Gejolak Impor Beras Mencuat Lagi

Jakarta – Setelah pernah terjadi pro dan kontra impor beras pada bulan Februari lalu, kondisi perberasan di bulan Agustus 2018 ini terjadi kembali, adanya informasi yang beredar tentang Kebijakan Menteri Perdagangan, Enggartyasto Lukita untuk membuka kran impor beras sebanyak dua juta ton kembali membuat jadi sorotan.

Apa yang sebenarnya terjadi pada beras sebagai komuditas utama yang dikonsumsi oleh masyarakat kita.

Satu sisi, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman selalu menyatakan bahwa Indonesia “akan surplus” dan “surplus”, padahal untuk kedua kalinya selama tahun 2018 kran impor beras dibuka kembali, yang berarti beras petani lokal tidak berlebih.

Mengenai hal itu, Prof. Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB yang juga adalah Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan CORE Indonesia, yang dimintai tanggapannya via telepon seluler saat sedang berada di Shanghai, China, menyampaikan, sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia mengawali tahun 2018 dengan gejolak harga beras.

Tanda-tanda terjadinya gejolak harga beras sebenarnya sudah nampak sejak bulan Oktober 2017. Harga ditingkat konsumen sebelumnya stabil dikisaran Rp 11.200/kg untuk beras medium, beberapa bulan sebelumnya hingga September 2017.

Harga sedikit meningkat ke kisaran Rp 11.300/kg selama bulan Oktober, ketika petani mulai menanam padi periode Musim Hujan (MH). Stok beras nasional perlahan-lahan menurun karena praktis pasca Oktober panen menipis, ungkapnya.

Lalu, di bulan November harga beras medium rata-rata nasional sudah bergeser di kisaran Rp 11.400, dan kemudian melonjak cepat. Dipertengahan Januari mencapai Rp 12.000,- dan akhir Januari 2018 di angka Rp 12.200,- (PIHPS, Juli 2017 – Januari 2018).

Kenaikan harga yang begitu cepat serta cadangan beras pemerintah yang hampir minus di bulan Januari mencemaskan pemerintah, sehingga pemerintah memutuskan impor beras sebesar 500.000 ton yang menyulut kontroversi, ujar Guru Besar ini.

Lebih jauh ia menjelaskan, harga ditingkat konsumen selaras dengan situasi panen ditingkat usaha tani yang tercermin dari hasil kajian harga gabah bulanan oleh Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).

Di bulan April dan Mei 2017 dipuncak dan setelah panen raya, harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 3.800,- dan Rp 3.894,- yang bila dikonversi sederhana menjadi harga beras di tingkat petani sebesar Rp 7.600,- dan Rp 7.788,- dan di tingkat konsumen sebesar Rp 9.576,- dan Rp 9.813,-.

Harga tersebut masih di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET) rata-rata sebesar Rp 9.883,- untuk beras medium (Permendag 57/M-DAG/PER/8/2017), terangnya.

“Di bulan Oktober harga gabah dalam bentuk GKP sudah mencapai Rp 4.908,-/kg atau setara dengan Rp 11.288,- di tingkat konsumen yang tidak jauh berbeda dengan data PIHPS. Harga ini sudah 14,2% diatas HET atau sudah melampaui kriteria kenaikan sebesar 10% untuk memutuskan impor beras. Di bulan Januari 2018 harga gabah mencapai titik tertingginya yaitu sebesar Rp 5.667,-/kg GKP atau setara dengan Rp 13.034,-/kg beras medium”, ungkapnya.

Harga gabah mulai tertekan bersamaan dengan dimulainya musim panen, serta mencapai titik terendah di bulan April 2018, yaitu sebesar Rp 4.319 per kg GKP, meskipun harga tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding bulan yang sama tahun 2017.

Untuk itu, kata Profesor Guru Besar IPB ini mengatakan, ditengah klaim kecukupan produksi padi dan stok beras masih memiliki potensi kerawanan.

Pada Musim Panen I bulan Februari hingga April 2018 yang lalu, panen padi sangat bagus, bahkan banyak petani jaringan AB2TI melaporkan produksi yang hampir dua kali lipat dibanding Musim Panen I tahun 2017.

Tetapi panen yang sangat bagus tersebut tidak banyak membantu untuk menurunkan harga dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Harga gabah ditingkat petani meningkat 13,6% dari April 2017 ke April 2018 dan 16,5% dari Mei 2017 ke Mei 2018. Setelah sempat tertekan di bulan Juni harga gabah rata di bulan Juli 2018 mencapai Rp 4.479,-/kg GKP (Survei Harga GKP, GKG dan beras di 46 Kabupaten produsen padi, AB2TI 2017-2018).

Harga GKP tersebut setara dengan harga beras sebesar Rp 11.287,- dan sudah jauh melampaui HET untuk beras medium.

Pergerakan harga gabah di tingkat usaha tani ini bisa menjadi “peringatan” bagi pemerintah berkaitan dengan situasi beras di tahun 2018 ini.

Panen yang bagus di Musim Panen I belum mampu menyamakan atau menurunkan harga GKP dibanding tahun sebelumnya. Penyebabnya dipastikan karena stok awal tahun 2018 yang sangat tipis.

Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di BULOG bahkan sempat minus di bulan Februari 2018, hal ini menyebabkan panen pertama terkuras untuk mengisi stok di penggilingan dan pedagang.

Laporan terkait kekeringan yang sedang melanda berbagai daerah saat ini tidak bisa dipandang “sebelah mata”. Sebagian besar area sawah di wilayah produksi di Pulau Jawa saat ini sudah memasuki katagori waspada yaitu belum termasuk area yang kekeringan tetapi berpotensi kekeringan dalam beberapa minggu atau bulan ke depan.

Pemerintah perlu berkonsentrasi penuh ke area-area tersebut untuk mencegah potensi penurunan produksi. Peran pendataan disini menjadi sangat penting. Perlu dihindari laporan-laporan tipe menyenangkan atasan, dan sebaiknya BPS yang melakukan pendataan, bukan Kementerian Pertanian.

Harga gabah diperkirakan akan terus naik dan mencapai puncaknya di bulan Januari 2019 nanti. Hingga bulan Oktober ini, pemerintah diharapkan tidak perlu panik dan melakukan intervensi berlebihan terhadap harga beras.

Biarlah petani mendapat sedikit peningkatan keuntungan di tengah ancaman penurunan produksi. Setelah Oktober pemerintah perlu melakukan pengendalian harga beras, karena pada saat itu petani sebagian besar sudah menjadi konsumen beras, ungkapnya.

Kementerian Perdagangan.

Saat hal ini dikonfirmasi kepada Ka.Humas Kementerian Perdagangan, Fajarini Punto Dewi, mengatakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan keterangan resmi.

Sikap Kontra terhadap keterangan Prof. Dwi Andeas Santosa Guru Besar IPB.

Ada sikap yang berbeda dari sikap Prof. Dwi Andreas Santosa, yakni dari Peneliti Pusat Studi Bencana, Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Koordinator Nasional Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey mengatakan, perlunya mengkaji kondisi perberasan secara komprehensif, pasalnya, kebijakan impor beras bisa saja diputuskan mengingat tahun ini sudah memasuki tahun politik.

“Artinya, diputuskannya impor beras bukan berarti produksi beras dalam negeri tidak meningkat. Jadi perlu diluruskan informasi simpang siur dan menyesatkan dari beberapa pengamat dan praktisi tentang perberasan. Ini sekaligus menanggapi pengamat dari INDEF dan peneliti dari CORE serta AB2TI,” tegas Pri Menix di Bogor, Jumat (24/8/2018).

Pria jebolan IPB ini menegaskan fakta kerja keras dan keberhasilan peningkatan produksi beras pada era pemerintahan Jokowi-JK ini patut diapresiasi. Lihat saja, banyak terobosan peningkatan produksi yang telah dilakukan yakni sejak 2015 hingga kini telah direhabilitasi jaringan irigasi 3,2 juta hektar, mekanisasi 380 ribu unit alat mesin, subsidi benih dan pupuk, asuransi 1 juta hektar pertahun dan lainnya.

“Hasilnya, kemampuan produksi padi kita sangat kuat. Bukti pertama, saat 2015 terjadi El-Nina terbesar 2.95 dejarat C SST, dengan berbagai program pompanisasi, sumur dangkal, hujan buatan dan tanam di rawa lebak, telah mampu berproduksi dan hanya impor 1,5 juta ton beras,” tutur Pri Menix.

“Coba bandingkan Elnino 2015 itu tertinggi sepanjang sejarah. El-nino tertinggi sebelumnya tahun 1998 sebesar 2,53 derajat C SST, terpaksa tahun 1998-1999 impor beras sangat besar 12,1 juta ton,” sambungnya.

Menurut Pri Menix, apabila 2015 tidak ada Program Upaya Khusus peningkatan produksi padi, dengan penduduk 2015 sebesar 255 juta jiwa dan kondisi iklim lebih parah dari 1998 di mana penduduk saat itu 201 juta jiwa, maka dipastikan 2015 akan impor beras 16,8 juta ton dan di dunia ini tidak ada beras sebanyak itu.

“Jangan dilupakan lah, Ini kan bukti prestasi produksi saat iklim paling ekstrim. Masa menilai persoalan beras hanya menggunakan kaca mata kuda, satu arah. Parahnya menurut data sendiri, bukan fakta secara keseluruhan,” ucapnya.

Bukti kedua dikatakan Pri Menix, produksi beras lokal kuat. Faktanya, pertambahan jumlah penduduk 2014 hingga 2018 sebanyak 12,8 juta jiwa itu lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura. Tambahan penduduk 12,8 juta jiwa butuh tambahan pasokan 1,7 juta ton beras dan terbukti selama ini pasokan cukup dipenuhi dari tambahan produksi petani.

“Di tahun 2016 Indonesia tidak ada impor beras konsumsi, sejatinya beras masuk pada awal 2016 itu merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1, 5 juta ton tahun 2015. Kita bisa cek kode HS data BPS untuk beras impor sejak 2016 sampe 2017, terlihat secara terang benderang jenis yang diimpor, berupa gabah untuk benih, beras pecah atau menir dan beras ketan yang merupakan beras khusus. Memang benar 2017 ada impor 305 ribu ton adalah beras menir untuk industri, menir tidak dikonsumsi,” bebernya.

Karena itu, Pri Menix menuturkan dua bukti di atas tentu sudah cukup menjelaskan bahwa produksi beras 2015 hingga 2018 mencukupi berlebih dan meningkat dari tahun ke tahun, tidak perlu impor. Indikator pasokan beras cukup juga dapat dilihat dari indikator stock beras di pasar. Data stock beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) selalu di atas 40 ribu ton, ini 2 hingga 3 kali lipat dibandingkan stock harian 3-4 tahun yang lalu. Artinya beras di pasaran cukup dan aman aman saja.

“Demikian pula indikator harga beras baik di tingkat petani dan di eceran tidak ada gejolak berarti. Data trend harga tidak ada yang mengkawatirkan,” tuturnya.

Selanjutnya stock beras  Bulog per 10 Agustus 2018 sebesar  2,1 juta ton beras dan dipastikan hari ini bertambah lagi dari serap beras petani.  Stock Bulog akan bertambah hingga September 2018 seiring dengan serap beras petani 500 ribu ton.

“Ini artinya bila akan ditambah impor 1 juta ton dengan dalih untuk cadangan pemerintah kan ga wajar.  Beras impor untuk apa dan mau disimpan dimana?. Saat ini pun gudang penuh. Kapasitas gudang efektif paling 2,6 juta ton beras,” ungkap Menix.

Jadi, Pri Menix menegaskan apabila dipaksakan impor tambahan 1 juta ton lagi, dipastikan mubajir dan ujung-ujungnya akan menekan harga gabah petani sehingga gairah bertani menurun. Karena itu, kebijakan impor beras ini mesti diaudit. Pasalnya, kebijakan Menteri Perdadangan tidak sinergi dan selalu bertolak belakang dengan gerakan Mentan Amran bersama jajarannya yang selalu di lapangan menggerakkan tanam padi dan memacu produksi.

“Bila ada beberapa pengamat yang masih memutar-balikkan informasi,  tentunya bisa diragukan independensinya dan mudah mudahan bukan merupakan bagian dari mafia beras,” tegasnya.

Penulis: Nanggar Ginting/Rinaldo/Red.

Foto: ilustrasi pertanian. (ist)

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS