Kategori Hukum & Klarifikasi Hukum Peristiwa Mediasi Yang “Gagal” di Polsek Pontianak Utara Terhadap Kasus Kehamilan  Gadis Dewasa

Kategori Hukum & Klarifikasi Hukum Peristiwa Mediasi Yang “Gagal” di Polsek Pontianak Utara Terhadap Kasus Kehamilan  Gadis Dewasa

Oleh : Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum,CPabtr

1.Peristiwa hukum, bahwa  SJ telah melakukan pengaduan pertama kali ke Polsek  Pontianak Utara untuk melakukan mediasi, tetapi petugas Polsek Pontianak Utara “gagal” melakukan  mediasi para pihak, yang terjadi adalah pengaduan, sehingga kemudian dibawa ke Polresta.

2. Peristiwa hukum, bahwa SJ pada saat mediasi dalam keadaan hamil dan atas kehamilan itu dikaitkan dengan  “keperawanan yang direnggut” yang kemudian dinisbahkan kepada Syarif Bakar yang dikenal pertama kali bulan 25 Juni 2021 dan SB dimintai. Pertolongan dalam  pembuatan KTP, dan diurus di kantor camat untuk rekam KTP,  catatan sipil, bukti pengambilan dibuktikan dengan data administrasi ( B1)

3. Bahwa atas kebaikan tersebut, karena SB mengenal SJ ,karena tetangga dan salah satu pam Al Kadrie, maka lazim  meminta nomor WA kepada SJ, maka setelah itu menjadi dekat hubungannya dan kedekatan ini terjadi peristiwa hubungan   perbuatan X pada tanggal  11 Agustus 2021 pada itu umur SJ 18 tahun 1 bulan empat puluh hari ,(1 bulan. 41 hari).

4. Setelah peristiwa tersebut menurut SJ mengaku “hamil” dan tanpa diketahui telah  terjadi penguguran janin, yang merupakan peristiwa yang berbeda dengan masalah kehamilan saat ini dan setelah peristiwa itu lost konteks dengan SB, setelah diminta dibelikan hp dan diberikan uang untuk itu, namun tiba tiba saat SJ (Syarifah janah) Hamil dan terjadilah permintaan pertanggung jawaban atas kehamilan yang mana bersangkutan sudah berumur diatas 18 tahun keatas.

5. Bahwa hubungan terakhir SB yaitu bulan Januari akhir 2022, kemudian tiba tiba tgl 7 bulan  Desember 2022 dengan  menghubungi bakar yang diawali dengan cal kerabatnya F bukti rekaman dan atas tekanan kerabat F inilah meminta pertanggungjawaban kepada Syarif Bakar dan  kemudian berkembang tuduhan terhadap SB yang menyebabkan SJ hamil melalui paman ( F sepupu).

6. Atas peristiwa itu ibu RT dilingkungan SJ berada dan kerabat berupaya menyelesaikan selaku RT dan peristiwa ini juga “dilaporkan ke KPAI ” dan kemudian mencoba mediasi sesuai kewenangannya dalam UU No 23 Tahun 2002 dan atas itu kemudian  terjadi undangan mediasi di Polsek Pontianak Utara, 20 Desember 2022, pada saat ini kerabat dua belah pihak untuk diupayakan mediasi oleh penegak hukum, namun yang terjadi adalah saling tegang, sehingga atas diskresi Penegak Hukum agar masalah ini ditangani di Polresta dalam hal ini kewenangan PPA dan atas gagal mediasi kemudian melimpahkan pengaduan ke PPA Polresta Pontianak.

7. Dimediasi dengan klarifikasi untuk dimintai keterangan,  pertama tgl 27 Desember 2023 , tahap kedua  klarifikasi dan ketiga penyelidikan tgl 26 Januari 2023 saat ini tahap penyelidikan patut diduga “pengabulan dibawah umur” sehingga peristiwa kehamilan SJ ” bergeser menjadi dugaan pengabulan dibawah umur” para saksi sudah diadakan dan dimintai keterangan oleh penegak hukum untuk klarifikasi hukum dan kemudian peristiwa ini diekspos oleh sajah satu media on line  9 Januari 2023 dengan judul sedikit  tendensius dan patut diduga menyalahi etika news “Batu Layang Geger”  dan ini cukup membuat kerabat kesultanan Pontianak keberatan dengan enggel berita tersebut dan dalam news itu pengurus KPAI dimintai wawancara dan beberapa kerabat SJ dan akhirnya terjadi fitnah atau “hoax berita” karena tidak dilakukan investigasi tetapi news yang patut diduga “news palasia ” tetapi atas laporan KPAI ke HD, dewan redaksi sebagaimana  dalam klarifikasi BrantasNews.

8     Analisis kategorisasi hukum  Pencabulan terhadap anak secara tegas di larang dalam Undang-Undang Perlindungan anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 76, Disebutkan bahwa setiap orang dilarang memaksa anak melakukan persetubuhan, baik dengan dirinya maupun dengan orang lain.
9. Klarifikasi hukum klasul “Pemaksaan persetubuhan” atau “ancaman” terhadap anak-anak untuk melakukan persetubuhan maka hal tersebut merupakan pencabulan, sehingga dapat dikenai ancaman pidana. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan anak tersebut.

10.Persetubuhan anak dibawah umur, sudah dikategorikan sebagai pemerkosaan atau pencabulan. Oleh sebab itu, pidana penjara bisa diberlakukan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor .35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak Dalam Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan anak  Nomor 35 tahun 2014 ada beberapa hal yaitu “pelaku pencabulan anak dibawah umur akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama adalah 15 (Lima Belas) tahun serta denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah)’

11. Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan pula “bahwa pidana juga berlaku terhadap orang yang melakukan tipu muslihat atau membujuk anak melakukan tindakan cabul”. apabila seorang lelaki dewasa melakukan hubungan intim dengan anak di bawah umur 18 tahun suka sama suka,           apakah ini termasuk dalam pencabulan anak di bawah umur? Namun faktanya dari peristiwa hukum diatas hal itu terjadi Persetubuhan dengan Anak Atas Dasar Suka-Sama Suka atau tidak  dalam dalam  bujuk rayu dan, namun pada peristiwa ini salah satu sudah menikah.

12 Analisis Verifikasi hukum ,bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak. Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, posisi anak tetap sebagai korban walaupun anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain.

13.Bahwa dalam yurisprundensi Kasus serupa dapat dilihat dalam pertimbangan hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene Nomor: 157/Pid.B/2011/PN Pangkajene, dimana Majelis Hakim menekankan bahwa “norma utama yang terkandung dalam UU Perlindungan Anak yang menjadi aturan yang didakwakan dalam perkara a quo berbeda normanya dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terkait dengan masalah tindak pidana kesusilaan” . KUHP, menurut hakim, mensyaratkan adanya “kekerasan atau ancaman kekerasan untuk dapat menghukum pelaku pemerkosaan berdasarkan Pasal 285 KUHP. Sehingga jika terjadinya persetubuhan tersebut karena “suka sama suka” antara korban dan pelaku, maka unsur “pemaksaan” menjadi hilang.

14. Verisikasi hukum lebih lanjut, dalam pertimbangannya hakim menyebutkan, menurut UU Perlindungan Anak, hukum melindungi anak-anak dari segala bentuk perbuatan persetubuhan baik itu, karena suka sama suka, pembujukan, terlebih jika ada pemaksaan. Ini berarti “atas dasar suka sama suka” dalam persetubuhan yang melibatkan anak, tidak dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum.

15. Analisis validasi hukum, bahwa jerat Hukum Bersetubuh dengan Anak dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut dapat dikategorikan bahwa mengenai persetubuhan dengan anak serta perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 76D dan 76E UU 35/2014 sebagai berikut: Pasal 76D UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 76E UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.Sanksi dari tindak pidana tersebut dapat dilihat dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Perpu 1/2016:
Pasal 81 Perpu 1/2016:
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 82 Perpu 1/2016:
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Sedangkan, jika persetubuhan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dan atas dasar suka sama suka serta dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki tersebut.
Lain halnya, jika salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak (lihat Pasal 284 KUHP). Simak juga artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab?
Jika Menuntut di Kemudian Hari Kemudian, mengenai pertanyaan kedua Anda, apakah jika anak tersebut telah berumur 18 tahun, anak tersebut tetap dapat menuntut pelaku? Perlu diketahui bahwa tindak pidana terjadi pada saat korban masih anak-anak, maka yang berlaku adalah ketentuan pada saat tindak pidana terjadi, yaitu ketentuan terhadap korban persetubuhan/percabulan anak. Jika anak tersebut telah berusia 18 tahun, ia tetap dapat menuntut, karena belum melewati daluarsa penuntutan pidana yang diatur dalam Pasal 78 KUHP:
16. Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:  mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

17. Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan. Karena sanksi pidana bagi persetubuhan atau percabulan terhadap anak di bawah umur paling sedikit 5 tahun dan paling lama 15 tahun, maka daluarsanya adalah sesudah 12 tahun sesudah perbuatan dilakukan. Ini berarti, korban masih dapat melakukan penuntutan walaupun ia bukan termasuk kategori anak lagi

18. Jika kita menilik data hukum  administrasi negara ,  sebagai klarifikasi hukum terhadap Tempus peristiwa hukum  dapat diacu dengan kategorisasi hukum berikut ini :
Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan dapat dilihat sebagai berikut:
Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak menurut Kitab Udang –Undang Hukum perdata Di jelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum meniakah. Seandainya seorang anak telah menikah sebalum umur 21 tahun kemudian bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa bukan anak-anak.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun.

Menurut Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak  Yang disebut anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dijelaskan dalam (Pasal 1 Ayat (3)) Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana

Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”

Menurut UU No.44 thn 2008 ttg Pornografi Pasal 1 angka 4 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun “

Menurut UU No. 3 TAHUN 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 “ Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin “.

Menurut Konvensi Hak-hak Anak Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal

Menurut UU No.39 thn 1999 ttg HAM Pasal 1 angka 5 “ Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”.

19.  Berdasarkan kategorisasi hukum diatas bila dikaitkan dengan peristiwa hukum yang saat ini dimediasikan oleh PPA tidak masuk kategorisasi umur hal ini dibuktikan dengan KTP, KK  yang diurus oleh SB sebagai pihak yang diadukan pada saat mediasi.  Dan lokus dan tempus peristiwa hukum tak dapat diklarifikasi lagi, dan SB tak “bertanggung jawab” atas kehamilan yang sekarang dan patut diduga “fitnah” yang “diseting” dan  diduga ada ” faktor X”  terhadap kehamilan SJ saat ini, namun jika benar itu “benih”, maka perlu test DNA alternatif solusi pertama atau pembuktian “pecah perawan pertama kali” dibutikan dengan teknologi kedokteran “dan perlu penegak hukum mengembangkan peristiwa hamil pertama yang digugurkan oleh inisiatif orang tua SJ dan patut diduga melibatkan “dukun yang melakukan tindak pengguran janin yang kategorisasi tindak pidana ” dan seharusnya peristiwa hukum ini yang diklarifikasi hukum oleh PPA sebagai tindakan perlindungan anak, tetapi peristiwa mediasi yang patut diduga pengabulan anak dibawah umur patut diduga karena “saat ini SJ Hamil dan tidak diketahui Janin hasil tindakan cabul dengan siapa, oleh karena perlu dianalisis latar belakang SJ dalam kehidupan sosialnya melalui media sosial istagram da. FB yang bersangkutan”  dan juga mantan matan lelaki yang pernah berhubungan badan dengan SJ sehingga saat ini menjadi “hamil” dan atas dasar keberatan dengan membawa  media on line news yang sepihak dengan ikon “Geger Batu Layang” sudah di investigasi oleh tim berantas news,  karena keberatan dari Sultan Pontianak yang ditugaskan kepada Tengku mulia Dilaga, dan sudah diupayakan mediasi kerabat tetapi tak direspon dengan baik,  untuk melakukan investigasi terhadap news media on line yang sudah menciderai ikon lokus  Batu layang sebagai lokus makam Raja Raja kesultanan Pontianak sebagai bagian cagar budaya yang terdaftar secara resmi , mengingat klarifikasi para kerabat pam Al Kadrie  dan sudah dilakukan hak jawab oleh media online mitra mabes polri, alangkah bijak jika hal ini proses berlarut larut dalam pelayanan penegakan hukum terhadap mediasi dan klarifikasi oleh PPA, bisa menimbulkan “fitnah dan konflik antar kerabat  pam Al Kadrie” menurut berapa pihak kerabat perlu diadakan investigasi dan klarifikasi titik persoalan sesuai paradigma restorasi justice sebelum menjadi peristiwa hukum lain yang jadi benang merah masalah” dan menghindarkan opini news yang hoax dan palasia “.

CATEGORIES
TAGS
Share This